SETELAH terbitnya buku saya Alam Terkembang Jadi Guru, seorang teman yang penyair, menggeleng-geleng tak percaya. Bukan karena membaca isinya tapi karena mengagumi banyaknya kutipan dan catatan kaki di banyak halaman buku! Mungkin ia pusing karenanya.
Saya sendiri pernah jengkel dalam sebuah seminar memperingati Hari Chairil Anwar yang diselenggarakan IKIP Padang pada tahun 1965 gara-gara “catatan kaki”. Seminar dihadiri banyak dosen tapi lebih banyak lagi mahasiswa dan mahasiswi. Makalah saya yang panjang oleh sarjana-sarjana guru bahasa perguruan tinggi itu dianggap tidak ilmiah karena “tak ada catatan kaki”. Dalam kasus yang Iain, seorang sarjana dari Belanda menyatakan keheranan yang sama kepada saya, kenapa dalam banyak kata pengantar skripsi doktoral di dua tiga universitas di Indonesia ditemukannya kata-kata Pancasila dan UUD 1945, misalnya semacam “demi Pancasila dan UUD 1945”. Barangkali di matanya tidak ilmiah juga. Saya sendiri tidaklah tahu apa benar demikian.
Kejengkelan saya pertama bukan karena makalah saya dinilai tidak ilmiah berhubung tak punya catatan kaki itu. Sebab sebelum memberi ceramah, sang dekan FPBS IKIP Padang meminta hal lain, yaitu agar isi makalah saya diperlunak. Bingung menghadapi permintaan itu maka saya katakan, bahwa saya yang akan bertanggung jawab atas isi makalah itu karena saya yang membuatnya.
“Benar Pak Navis yang membuatnya, tapi kan kami yang menyelenggarakan forum diskusi,” jawabnya. Kami nanti yang jadi sasaran.”
Sementara di forum seminar, atau forum lain, termasuk kongres, umumnya saya tidak punya kesan apa-apa. Biasanya diskusi, seminar, atau kongres bersifat terbatas juga. Misalnya dalam hal waktu senantiasa kurang. Orang hanya menjalankan program dan dananya ada. Begitu seminar atau kongres selesai, habis sampai di sana. Begitu pun peserta. Kalau mau tahu kedalaman dan akurasi pemikiran seseorang maka lebih baik membaca karya-karya tulisnya. Namun kadangkala ada juga kejutan pemikiran atau tanggapan dari sebuah forum.
Karena punya pengalaman menyertai banyak seminar dan diskusi, saya mulai menyeleksi atau memperhitungkan apakah forum itu bermanfaat atau tidak. Kalau tidak, maka saya akan menolaknya. Andaikata forum itu hanya untuk bernostalgia, seperti membicarakan masalah adat, itu tidak akan saya hadiri. Tetapi tidak pernah saya tolak, kalau forum itu dilaksanakan dan ditujukan bagi orang-orang muda.
Kalau saya diminta menyampaikan makalah di forum yang berbeda tapi topik yang diminta sama, saya selalu menulis makalah yang tidak sama. Artinya tidak itu ke itu saja yang saya sampaikan. Banyak sarjana atau intelektual lain, yang sepertinya menjual ‘barang” yang sama ke mana-mana. Di Bandung, di Jakarta atau di Makasar, dia “menjual” soal yang sama. Kalau pun ada perubahan, hanya sedikit saja. Saya tidak mau seperti itu. Kalau saya menyampaikan hal yang itu ke itu juga, seperti menipu orang banyak sebab sebuah makalah biasanya dibayar mahal.
Untuk mencari atau mendalami suatu topik masalah yang baru maka kalau perlu saya akan membaca buku. Kadang-kadang dibeli buku mahal, judulnya bagus, sesuai dengan permasalahan yang akan ditulis. Setelah lelah membaca ternyata isinya air mentah saja. Tidak bertemu informasi yang diperlukan.
Saya juga menulis untuk media massa dalam dua jenis tulisan.
Yang pertama, tulisan yang dibuat atas keinginan atau prakarsa sendiri—karena ada masalah atau gagasan yang ingin saya sampaikan. Saya pikirkan pula di media apa tempatnya, sebab tergantung pada sifatnya: bersifat nasional atau lokal. Saya menulis permasalahan yang menurut saya aktual untuk koran atau majalah, namun redakturnya bisa menilai tidak. Jadi letih-letih saja kita membuatnya. Saya cukup sering mengalami hal itu.
Yang kedua, tulisan berdasarkan permintaan, misalnya oleh redaksi sebuah media massa. Kalau saya diminta menulis sesuatu oleh sebuah media massa, saya akan membaca buku. Tetapi yang jelas, saya hanya akan menulis sesuatu yang saya kuasai. Dalam proses menulis makalah, kalau ada masalah yang tidak saya kuasai, maka saya akan membaca buku atau bahan-bahan referensi lainnya, apakah dengan membeli buku atau bahan yang ada di pustaka saya. Sebab, saya tidak mau menjual air mentah tapi diteriakkan; “zam-zam…zam-zam…” Saya tidak bisa melakukan itu.
***
SUATU hari di tahun 1989, tiba-tiba datang undangan dari Direktorat Kebudayaan Departemen P dan K untuk menghadiri sidang Forurn Kebudayaan di Jakarta. Rupanya saya diangkat menjadi anggota forum itu, yang tugasnya mempersiapkan Kongres Kebudayaan IV. Cukup lama masa persiapannya, yaitu dua tahun. Ada STA, Mochtar Lubis, Umar Kayam, Soejono Hoemardani, Anton Hilman, Dr. Mattulada, dan banyak lagi. Anggota lengkapnya saya tidak tahu.
Kami diundang bersidang setiap bulan.
Pada tiap sidang ada yang absen. Sidang biasanya membahas topik-topik yang akan dibahas Kongres Kebudayaan nantinya. Untuk ke Jakarta disediakan ongkos transportasi, lalu uang harian Rp 80.000 untuk tiga hari. Pribadi, saya rugi tenaga dan finansial. Orang lain pegawai yang digaji, saya tidak.
Kesan saya, ini forum bebas bagi tokoh budayawan melepaskan unek-uneknya. Semacam simulasi P-4. Ini kecerdikan Fuad Hasan yang psikolog. Saya sendiri tidaklah memandang forum ini istimewa atau bermanfaat karena tak satu pun topik yang bisa memecahkan masalah. Tapi hendaknya dicatat, bahwa kesan demikian adalah sejauh sidang-sidang yang saya hadiri. Padahal saya kan tidak hadir setiap bulan. Saya kemukakan beberapa contoh:
Suatu ketika Soejono Humardani mengemukakan bahwa hendaknya kongres tidak mempersoalkan Pancasila, politik dan sejumlah “jangan” lainnya. Kami tak sempat membahasnya dan dalam forum-forum berikut ia tak hadir lagi sebab ia sudah meninggal. Untunglah tak ada yang mengulangi saran Soejono Hoemardani itu.
Saya sendiri pernah mengritik kepengurusan organisasi Dharma Wanita yang amat feodalistis. Yang jadi pengurus biasanya isteri pejabat dan membawahi pegawai wanita karier yang pendidikan dan pengalaman berorganisasi lebih banyak dan lebih baik. Tapi saya ucapkan dalam dialog lepas. Saya disalami karena menyuarakan suara wanita-wanita karier. Tapi topik itu tak dibahas dalam Kongres Kebudayaan.
***
MENJELANG berlangsungnya Kongres Kebudayaan, saya terpilih sebagai salah seorang anggota Steering Committee yang beranggotakan 17 orang, sebagai anggota dari Sumatera. Yang lain dari perguruan tinggi, dari departemen P dan K, tapi juga terpilih tokoh-tokoh seperti Umar Kayam, Jakob Oetama, dan Abdurrahman Wahid.
Ketika Kongres Kebudayaan berlangsung maka tak kurang dari seribu peserta. Pembawa makalah 122, penyumbang makalah 34, peserta undangan 194, peserta umum 472 dan yang datang sendiri 100 orang lebih.
Saya sendiri ikut meneliti daftar peserta atau utusan dari propinsi Sumatera Barat dan Riau.
Saya tak tahu bagaimana pemilihan utusan dari daerah-daerah Iainnya, agaknya lebih banyak berdasarkan pilihan Kakandep P dan K setempat. Dari tiap Dati II 10 orang.
Dalam penentuan utusan dari Sumatera Barat saya memprotes kalau hanya ditentukan Kanwil P dan K sebab pada anggapan banyak pejabat di lingkungan ini, yang disebut orang kebudayaan adalah orang kesenian saja. Kebudayaan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, bukan hanya kesenian. Karena itu saya juga mengusulkan Prof.Dr. Syofyan Asnawi (rektor Universitas Bung Hatta), juga Prof. Dr. Fachri Ahmad (Rektor Unand), Prof.Dr. Amir Sjarifuddin (Rektor IAIN), Prof.Dr. Alfian Lains (ekonom), A. Kadir Usman (ahli hukum), Chairul Harun, Dr. Mochtar Naim, Nasrul Siddik, Imran Manan (IKIP Padang), H. Anwardin (pemerintahan). Dan saya masih mengusulkan 10 orang lagi dengan dana dari Pemda Sumatera Barat.
Ketika kongres sedang berjalan ada rekan seniman dari Jakarta yang bertanya kepada saya, kenapa banyak seniman yang juga mernikirkan kebudayaan tak diundang. Dan kalaupun ada yang diundang tapi tidak sebagai penyampai makalah. Lalu disebut beberapa nama.
Untuk gampangnya, saya jawablah:
“Lupa saya!”
Konon para seniman Jakarta memang banyak yang tak diundang. Alasannya karena tak disediakan biaya akomodasi bagi mereka. Panitia konon jadi risi karena itu. Maka tak diundang saja. Tapi bagaimana persisnya saya juga tak begitu tahu. Lagi pula banyak seniman Jakarta lupa, bahwa Indonesia bukan Jakarta saja.
Saya juga tak menentukan siapa penulis makalah karena ada yang lain yang saya rasa lebih tahu.
Namun ketika kongres berlangsung, maka Gus Dur yang menerima kedudukan sebagai anggota steering committee ternyata bersama Emha Ainun Najib justru menyelenggarakan acara sendiri di Ujungpandang.
Seingat saya ketidakhadiran mereka pernah ditanyakan oleh orang-orang P dan K.
Saya berpendapat berhubung ada STA, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Arief Budiman, dan Rendra, maka secara psikologis dan secara intelektual Kongres Kebudayaan itu berhasil. Paling tidak dihadiri oleh tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia yang representatif. Hadirnya mereka, agaknya karena mereka bersimpati kepada Fuad Hasan, juga Umar Kayam. Tapi kalau Takdir, Arief, Rendra, Asrul tidak hadir, maka tak ada arti Kongres Kebudayaan. Kalau tak ikut mereka baru goncang. Maka tidaklah menjadi soal apakah Gus Dur dan Emha hadir atau tidak.
Arti terpenting Kongres Kebudayaan, menurut saya, adalah terciptanya dialog kebudayaan, apa pun artinya.
Lalu dari forum itu bisa dilihat lahirnya lapisan pemikir dengan pemikiran yang relatif baru, yakni dari generasi muda Indonesia. Salah seorang mereka bahkan dipilih menjadi salah seorang keynote speaker Kongres Kebudayaan pada bulan Oktober 1991 itu.
Saya juga terlibat diskusi siapa yang akan dipilih untuk menyampaikan hasil kongres. Usul orang-orang Budiardjo. Tapi saya menyatakan keberatan karena ia ABRI. Saya tak ingin ada image yang diharapkan tentang Kongres Kebudayaan hanya karena Budiardjo yang anggota Akademi Jakarta, juga dipandang sekaligus membawa simbol ABRI. Masyarakat menginginkan yang Iain, namun Jakob Oetama berkata, menurut pengamatannya hal itu tak menjadi soal. Meskipun demikian anggota-anggota yang lain membahas, kalau bukan Budiardjo lantas siapa?
Maka jadinya ada dua penyampai hasil kongres. Budiardjo menyampaikan hasil rumusan tiap kelompok sedangkan rumusan final Kongres Kebudayaan dibacakan oleh Christine Hakim.
***
YANG menyedihkan konon justru hasil kongres. Ada yang menilai terlalu lemah, tak memenuhi keinginan.
Kalau saya coba menoleh ke belakang, maka hal ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa konsep peserta tentang “kongres” kacau balau. Terutama makalah. Tak bisa dibedakan dengan makalah untuk simposium dan seminar. Banyak yang tak sesuai dengan tujuan kongres yang harus mengambil suatu keputusan. Ternyata banyak peserta yang makalahnya tak memenuhi syarat untuk masukan bagi serangkaian keputusan-keputusan tentang suatu kongres kebudayaan Indonesia.
Saya sendiri berpendapat, bahwa banyak peserta memang tidaklah menginginkan diambilnya keputusan-keputusan dengan tergesa-gesa. Jadi bukan karena mereka tak mengerti apa itu kongres.
000
Leave A Comment