DI LAYAR KACA televisi kadangkala ditampilkan grup atau koor yang membawakan hymne Indonesia Subur. Saya cuma kadangkala terganggu karena ada bagian-bagian nadanya yang diimprovisasikan, sehingga berbeda dengan yang kami pelajari, juga dengan kesan syahdu ketika kami lagukan atau kami mainkan di INS Kayutanam. Apalagi kalau “dingepopkan” Saya tak tahu harus bilang apa, apalagi kalau nama penciptanya tak disertakan.
Hymne Indonesia Subur diciptakan pada tahun 1925 dengan melodinya oleh Engku Mohammad Sjafei dan lirik oleh Ibrahim Mara Sutan. Engku Sjafei bercerita, bahwa lahirnya hymne itu didorong oleh keinginan untuk merumuskan suatu Indonesia yang dicita-citakan, yakni suatu Indonesia yang “subur, aman, dan makmur” serta “rukun dan damai”. Bahkan merupakan salah satu upaya kreatif untuk memiliki suatu lagu kebangsaan sekalian untuk membangun semangat dan gerakan nasionalisme, berhubung dewasa itu belum ada lagu semacam itu. Karena itulah, kata Engku Sjafei, nada dasarnya memang hymne seperti umumnya lagu kebangsaan.
Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 memperdengarkan mars Indonesia Raya yang dimainkan W.R. Soepratman dengan komposisi nadanya disusun W.R. Soepratman sendiri dan kata-katanya—menurut Mr. M. Nazif pada Anwar Sutan Saidi—oleh Mohammad Yamin. Kongres Pemuda juga meresmikannya menjadi lagu kebangsaan kita. Begitulah kehendak sejarah.
Itu tidak mengapa. Namun Indonesia Subur tetap menjadi landasan cita-cita yang hendak dicapai oleh INS Kayutanam.
Saya tidaklah orang yang sentimental mengenang masa lalu. Tidak juga seorang fetisy, pemuja seseorang. Bagaimana kami tempo doeloe melagukan hymne Indonesia Subur barangkali lebih murni. Tapi bagaimana mereka yang lain dewasa ini memperlakukannya mungkin lebih relevan dengan telinga atau selera zaman yang, toh, tetap syahdu kata orang.
Demikian juga apabila orang menyebut INS Kayutanam atau menyebut nama Sjafei, kesan yang ditimbulkannya bagi orang lain bisa tidak sama dengan saya. Ya meskipun sama-sama menghargai atau menghormatinya.
***
MOHAMMAD SJAFEI adalah anak seorang pejuang, guru pencinta bahasa, Ibrahim Mara Sutan dengan isterinya Andung Chalidjah. Di waktu kecil Engku Sjafei sudah disiapkan untuk menjadi pejuang bangsanya. Kepadanya diceritakan kisah-kisah perjuangan tokoh-tokoh besar dunia. Sjafei Ialu dimasukkan ke Sekolah Raja di Bukittinggi (1908—1914), yaitu sekolah guru.
Tahun 1914 Mara Sutan meletakkan jabatan sebagai Kepala Sekolah Desa Sambas, Kalimantan Barat. Lalu pindah ke Batavia mencemplungkan diri dalam gerakan politik. Mulanya memasuki Budi Utomo, lalu partai Insulinde. Insulinde sendiri adalah kelanjutan Indische Partij yang telah dibubarkan oleh pemerintah Belanda karena Anggaran Dasarnya menyatakan bahwa “Tujuan perkumpulan ini hendak mencapai kemerdekaan Indonesia seluas-luasnya”.
Sjafei yang sedang belajar di Sekolah Raja di Birugo, Bukittinggi, dikirimi orang tuanya tulisan-tulisan Dr. Tjipto Mangunkusumo, R.M. Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan Douwes Dekker—yakni para pendiri dan pemimpin Indische Partij.
Setamat Sekolah Raja tahun 1914 Engku Sjafei menolak dibenum menjadi guru sekolah pemerintah dan mencemplungkan diri ke dunia pendidikan swasta dan politik di Jakarta.
Pengurus Besar Insulinde menyerahkan pengayoman seluruh cabang Insulinde di seluruh Indonesia kepada Mara Sutan dan Engku Sjafei. Beberapa tahun mereka menjadi pengurus cabang Insulinde. Mereka memonitor dan mendapat gambaran yang jelas tentang keadaan masyarakat di luar Pulau Jawa sekaligus cabang-cabang Insulinde. Setiap Rabu keduanya diterima Pro-cureur Generaal (Jaksa Agung) untuk mengemukakan berbagai-bagai hal yang terjadi di luar Pulau Jawa dan bertentangan dengan keadilan.
Dalam Kongres Budi Utomo di Bandung pada bulan November 1915, Engku Sjafei mengusulkan supaya Indonesia diberi parlemen. Usulan diterima oleh kongres dan diteruskan pada pemerintah Belanda. Pada permulaan tahun 1916 bersama Alimin menyampaikan sebuah resolusi pada pemerintah Belanda lewat Partai Insulinde, supaya bahasa Belanda untuk anak-anak Indonesia dipermudah. Resolusi itu tak digubris. Agaknya kalau dipermudah maka banyak anak-anak Indonesia akan berpandangan maju Ialu menentang penjajahan.
Pada Kongres Insulinde di Semarang tahun 1917 Engku Sjafei terpilih menjadi utusan untuk menemui pemerintah Belanda buat menyampaikan usul penghapusan poenale sanctie yaitu suatu undang-undang penjajahan yang sangat mengikat kaum buruh. Dalam poenale sanctie buruh diharuskan menandatangani perjanjian yang sangat menguntungkan kaum majikan, antara Iain perjanjian untuk tidak melakukan pemogokan. Yang banyak membuat perjanjian itu adalah “kuli-kuli kontrak” dari Jawa. Sebagai juru bicara Insulinde Sjafei menyatakan bahwa perjanjian poenale sanctie sama dengan perbudakan secara modern.
Barulah setelah Graaf Van Limburg Stirum diangkat menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1918 diadakan perubahan dalam poenale sanctie, juga pembentukan “Dewan Perwakilan Rakyat” atau Volksraad. Engku Sjafei sendiri ditunjuk oleh pemerintah Belanda sebagai anggota Volksraad tetapi ditolaknya karena sebagian besar aanggota Volksraad adalah orang Belanda, jadi pasti selalu kalah suara.
Di Batavia Engku Sjafei juga terjun ke dunia pendidikan, yaitu mengajar di Sekolah Kartini (1914—1922). Tahun 1920 ada kemungkinan sekolah-sekolah memasukkan pelajaran kerajinan tangan sebagai mata pelajaran fakultatif. Tertarik akan hal itu dan mendapat sambutan dari kepala sekolah Kartini, maka Engku Sjafei terjun mempelajari kerajinan rakyat, antara Iain di Tasikmalaya dan Garut. la pun mulai mempraktekkan pengajaran kerajinan tangan di Sekolah Kartini tanpa mengganggu pelaksanaan mata pelajaran lain.
Berkaitan dengan itu Sekolah Kartini ikut mengisi pameran kerajinan tangan dalam rangka kongres perkumpulan guru bangsa Belanda. Hasilnya memuaskan. Pengajaran kerajinan tangan terbukti tidaklah merusak program akademis. Murid-murid Sekolah Kartini lulus 100% ujian masuk SLTP yang disebut sekolah Deventer dan MULO, bahkan dengan angka yang tinggi.
Kemudian Engku Sjafei menyambung pelajaran ke Negeri Belanda (1922—1925). Di luar itu ia pun mempelajari kerajaan dan bangsa Belanda. Misalnya di mana kekuatannya dan sumber kekuatan bangsa dan kerajaan Belanda sehingga mampu menjajah Indonesia. la pun aktif dan bertukar pendapat di dalam rapat-rapat Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang ketika itu dipimpin oleh Hatta sedang anggota-anggota pengurusnya yang lain adalah Arnold Mononutu, Dr. Sukiman, Mr. Subardjo, Ir. Dermawan, sedangkan Engku Sjafei sendiri ditugaskan memegang bidang pendidikan di majalah Perhimpunan Indonesia. Selanjutnya dalam satu rapat PI tahun 1922 ditetapkan bahwa suatu konsepsi dan sistem pendidikan kebangsaan harus ditemukan untuk masa depan perjuangan dan sekaligus masa depan Indonesia merdeka.
Di sinilah Engku Sjafei mulai memikirkan suatu sistem pendidikan nasional untuk bangsa Indonesia. Cita-citanya yang semula ingin jadi pelukis ditinggalkan. Dalam bukunya Arah Aktif, ia mencari jawaban atas pertanyaan, bagaimanakah corak pendidikan dan pelajaran yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia untuk mencerdaskan otaknya?”
Konsep dasarnya adalah anak-anak haruslah diaktifkan. Dengan pengertian bangsa Indonesia mesti diaktifkan.
Sekembali dari Negeri Belanda, ia membicarakan gagasannya dengan Mara Sutan dan Andung Khalidjah. Ketiganya bertekad untuk mewujudkan sistem pendidikan itu. Maka kedua orangtuanya bekerja keras dan penuh pengorbanan untuk mewujudkan konsepsi pendidikan Sjafei. Maka dipilihlah lokasinya, yaitu di Kayutanam, Sumatera Barat, kurang lebih 52 kilometer dari kota Padang.
Pada tahun 1932 Engku Sjafei, bersama-sama dengan pengurus madrasah, menolak peraturan pemerintah Belanda yang terkenal dengan Ordonansi Sekolah Liar. Yaitu peraturan yang menetapkan setiap guru di sekolah swasta harus punya izin mengajar. Sjafei menyampaikan ancaman hendak membubarkan sekolahnya daripada harus menerima peraturan tersebut. Akhirnya berkat perjuangan bersama ulama, ordonansi itu ditangguhkan pelaksanaannya. Bahkan sampai kedatangan bala tentara Jepang, peraturan itu tidak pernah dilaksanakan.
000
Leave A Comment