MASA KECIL konon amat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian seorang manusia. Bagaimana masa kecil saya? Dalam kenyataannya saya lebih banyak bersama kakek dan mak tuo (kakak dari ibu saya) di Kampung Jawa, kurang lebih 200 meter dari stasiun kereta api kota kecil Padang Panjang. Mereka di sana sudah sejak akhir abad ke-19.

Kampung Jawa hampir seluruhnya dihuni masyarakat pendatang dengan mayoritas orang Jawa yang umumnya menjadi pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api. Penduduk Iainnya adalah orang Bengkulu, juga orang Palembang. Karena mayoritas orang Jawa maka disebut Kampung Jawa.

Kakek buyut saya bernama Warido. la salah seorang prajurit Jawa pasukan Sentot Alibasa—salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro yang seusai Perang Diponegoro (1825-1830) dikirim Belanda ke Sumatera Barat untuk memadamkan Perang Padri (1821—1837).

Salah seorang putra prajurit Warido adalah kakek saya, Raden Moerdiman; orang Yogya itu lahir di Sumatera Barat dan bekerja sebagai masinis kereta api. Saya memanggilnya Angku. Konon di masa mudanya Angku pernah menantang temannya berpacu cepat menjalankan kereta api dari Kayutanam ke Padangpanjang, artinya melintasi Lembah Anai dan rel bergigi mendaki ke Padangpanjang. Taruhannya sebulan gaji. Kakek saya duluan. Lawannya masinis lain menyusul dengan KA berikutnya. Waktunya diukur. Maka di kampung Guguk, tak begitu jauh sebelum Lembah Anai, kakek saya menyiram rel kereta api tak bergigi dengan oli sehingga kereta saingannya (yang menyusul) tak bisa maju. Roda-roda besinya hanya berputar cepat di rel, alias di tempat. Karena pertandingan itu curang dan memang dimaksud Angku sebagai semacam senda gurau maka tentulah taruhan batal.

Kakek saya Raden Moerdiman ini menikahi Mariyah, yaitu nenek saya menurut garis ibu. Nenek saya ini orang Bengkulu. Maklumlah dulu banyak orang Bengkulu datang ke Sumbar. Menurut buku sejarah, pasukan Sentot setelah cukup lama berada di Batusangkar dikawatirkan akan bisa menimbulkan kesulitan pihak Belanda berhubung pergaulan dan pengaruhnya yang kian besar di tengah masyarakat setempat. Karena itu ia bersama pasukannya pernah dipindahtugaskan ke Bengkulu. Saya tidak tahu persis, apakah nenek dan kakek saya bertemu di Bengkulu atau di mana. Salah seorang anak mereka adalah ibu saya yang lahir di Padangpanjang dan bernama Sawiyah.

Adapun bapak saya, Nafis Sutan Marajo, kelahiran Padang. la adalah putra kakek saya Abdul Kadir, orang Koto Anau, Solok. Bapak adalah pegawai Jawatan Kereta Api, jelasnya Hoofd Mandoer bagian jalan.

Saya sendiri lahir pada tanggal 17 November 1924 di Kampung Jawa, Padangpanjang. Kelahiran saya ditangani bidan Makatita, orang Ambon. Ayah dan ibu memberi saya nama Ali Akbar, lalu dipanggil si Ali atau si Kabar oleh teman-teman saya. Sedangkan Engku Guru di sekolah memanggil saya Akbar atau Ali.

Saya punya saudara seibu sebapak 11 orang. Yang sebapak malah 16. Dari istri pertama bapak saya memperoleh anak perempuan yang sekarang tinggal di kota Medan, Yetti namanya. Bapak pun menikahi ibu saya. Ibu saya melahirkan 12 anak: tiga orang sudah meninggal—dua meninggal sewaktu bayi dan seorang lagi tatkala sudah berpangkat mayor. Saya adalah anak tertua. Sedangkan adik-adik saya adalah Amran, Nafisah, Anas, Adel, Syafinah, Adlis, Andrias, Nurfirma, dan Anwar. Setelah ibu meninggal maka bapak menikah lagi dan saya memperoleh tiga adik lagi, yaitu Nasman, Adelim, dan Dodi. Semuanya mengeja nama tambahan Nafis, hanya saya yang mengeja menjadi Navis.

Padang Panjang sendiri adalah sebuah kota dengan penduduk heterogen dan campur baur; ada militer, pegawai kereta api, lalu masyarakat Sekolah Tawalib dan Muhammadiyah yang dipimpin ulama kaum muda. Dengan kehidupan seperti itu masyarakat Padangpanjang sangat toleran terhadap perbedaan-perbedaan agama dan suku. Juga terbuka dan bersemangat dalam gerakan pembaruan. Perlulah diketahui bahwa Padangpanjang adalah pelopor pembaruan sistem pesantren di Indonesia.

Sebagai mandor kepala perusahaan Jawatan Kereta Api, ayah saya sekali tiga tahun dipindahkan. Pernah bertugas di Kacang—Solok, dan Payakumbuh.

Saya bersekolah di INS Kayutanam. Karena itu saya tak ikut orang tua melainkan tetap di rumah Angku di Padangpanjang, bersama mande tuo Podi, kakak (dari) ibu saya. Mande tuo Podi adalah ibu (dari) Ramudin seorang violis dan pematung, kemudian juga suami Hoeriah Adam.

Anak-anak di rumah Mande Tuo Podi itu berempat. Pensiun Angku tak mencukupi. Untuk menambah pendapatan, Mande Tuo berjualan. Saya ikut berkeliling-keliling menjajakan kue mangkuk, gulai paluik, dan lompong sagu yang malam hari dibuat Mande Tuo.

Untuk makan kami, sering Angku membeli telur lalu direbus di rumah dan mesti dibagi empat. Kami dapat seperempat seorang. Kalau Mak Tuo sering membuatkan telur dadar. Telurnya diberi bumbu dan dikocok dengan daging kelapa yang sudah diparut. Maka telurnya jadi besar, itulah yang dibagi-bagi. Setiap habis makan masing-masing mencuci piring sendiri-sendiri. Pakaian juga dicuci sendiri, sterika sendiri. Untuk waktu itu, keadaan kami bukan termasuk miskin. Beberapa teman seusia saya lebih susah hidupnya.

Sebelum berangkat ke sekolah, kami yang anak laki-laki berkewajiban menyapu rumah dan halaman. Kalau tidak sempat sebelum berangkat sekolah pagi hari, maka harus dilakukan sore hari. Kami bergantian melakukannya.

***

KALAU saya renung-renungkan masa kecil saya maka saya pikir saya dijangkiti semacam kompleks kejiwaan. Yakni kompleks seseorang yang memiliki postur tubuh kecil, begini:

Saya anak yang kurus, kerempeng. Sehingga orang dan kawan-kawan menyebut saya si Rangkik; si Rangkik itu nama ejekan, yang artinya payah atau lemah seperti kakek yang sudah uzur. Selanjutnya karena itu orang suka bersilantas-angan (sewenang-wenang). Tetapi saya tidak mau dihinakan atau dipandang enteng demikian. Akibatnya sering-sering saya harus menegakkan kehormatan dengan berkelahi. Setiap saya berkelahi mesti kalah. Pasti babak-belur. Namun saya tidak menyatakan tunduk dan tidak pernah minta tolong! Obsesi saya adalah bagaimana suatu ketika dan seterusnya kehadiran saya yang berpostur kecil bisa diperhitungkan mereka yang bertubuh besar.

Kompleks begini menampilkan pula sifat saya yang lain, yaitu sifat solider terhadap kawan yang direndahkan pihak lain. Ya, sebagai anak yang berpostur kecil dan sering disepelekan maka saya merasakan betapa sakitnya disepelekan dan direndahkan. Selanjutnya saya pun sering ikut berkelahi membela kawan yang direndahkan kawan lain. Pulangnya babak-belur lagi.

Meskipun bertubuh “rangkik’, saya sering berkelahi. Rasanya bebas dan meriah memilih satu-satunya cara demikian di masa kecil.

Berkaitan dengan itu di masa kecil, entah kenapa, dalam keadaan lain saya sepertinya sering atau selalu bermimpi, yaitu bermimpi perang—tapi bisa juga sekadar melamun.

Saya bermimpi atau melamunkan Italia berperang mengalahkan orang Afrika. Karena itu saya ingin mengalahkan orang Italia dalam pertandingan sepakbola. Ketika Jepang berperang dengan Cina, saya jadi benci pada Jepang. Cuma, saya kurang simpati pada Cina, ketika koran menyebutkan serdadu Jepang mati 20.000, tapi serdadu Cina mundur juga.

Saya ingin memenangkan pertandingan bola melawan Cina sekaligus Jepang. Sesudah itu ketika terjadi perang Jepang dengan Belanda (Barat), saya berpihak pada Jepang. Saya bersimpati pada orang yang sebelumnya selalu dilecehkan orang Barat, lagi pula sama-sama orang Timur.

Kalau saya pikirkan sekarang, itu tentunya kompleks seorang anak berpostur kecil dalam bentuk mimpi-mimpi atau Iamunan-lamunan di masa kanaknya, yang menunjukkan simpati pada mereka yang direndahkan atau dilecehkan.

Barangkali ada kaitannya dengan kompleks kejiwaan saya lainnya, yaitu “kompleks seorang nasionalis”. Sebenarnya ini kompleks umum rakyat jajahan, dan dalam kasus saya diwarnai sifat atau masa kanak-kanak. Situasi dan suasana kota Padangpanjang di masa kecil saya memang mendorong munculnya kompleks begini.

Dewasa itu Padangpanjang adalah salah satu kota yang paling dinamis di Indonesia. Kota kecil ini, seperti juga Sumatera Barat umumnya, adalah salah satu pusat pergulatan kaum modernis Islam yang dimotori ulama-ulama yang tergolong kaum muda dalam tradisi pembaruan Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Mereka ingin memurnikan ajaran Islam sekaligus menegaskan kembali hak untuk berijtihad, menafsirkan kembali ajaran-ajaran Islam.

Ulama-ulama ini bahkan dalam saat-saat tertentu tampil di muka umum mengenakan jas dan dasi. Mereka melakukan pembaruan pendidikan pesantren, baik metode maupun kurikulum. Selain itu mereka menyelenggarakan organisasi dan kegiatan sosial langsung seperti mendirikan dan menyelenggarakan panti asuhan, rumah sakit, bahkan serikat dagang. Mereka juga bergerak di lapangan jurnalistik dengan terbitnya majalah Al-Moenir atau Al-Irsyad di Padang. Abuya-abuya seperti Dr. H. Abdul Karim Amrullah pendiri Soematera Thawalib dan Dr. H. Abdullah Ahmad pendiri HIS Adabiah, bahkan menerbitkan buku-buku karangan sendiri untuk mengemukakan paham atau menangkis kritik yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian mereka menghidupkan tradisi intelektual dalam arti kata sebenarnya.

Dalam pandangan sejarah, para ulama kaum muda adalah nasionalis secara politis. Sebagian mereka yang paling radikal terjun ke kancah politik dengan mendirikan Permi yaitu partai politik berazaskan nasionalisme dan Islam. Dari sinilah kita mengenal akhirnya ketokohan Rasoena Said, mulanya seorang pemimpin Permi yang karena aktivitas politiknya dibuang ke Semarang sedangkan yang lain ke Digul, dan lain-Iainnya. Sebagian kaum muda lainnya mendirikan partai PKI (Partai Komunis Indonesia). Demikianlah pada dasawarsa 1920-an dan 1930-an. Dengan demikian perasaan benci kepada penjajahan, khususnya penjajahan Belanda adalah hal yang umum di mana-mana. Maka tidaklah heran bahwa sejak kecil kami tak simpati pada (orang) Belanda yang penjajah.

Kami memiliki tetangga keluarga Belanda di Kampung Jawa. Dan di ujung jalannya juga ada keluarga Belanda. Tetapi kami tidak berkenalan dengan mereka. Awak kan pribumi, dipandang rendah oleh Belanda. Tidak ada pergaulan dengan Belanda-Belanda itu. Suasana zaman penjajahan dengan sendirinya menanamkan perasaan tidak suka pada Belanda. Karena sentimen anti Belanda maka kami menilai mereka angkuh-angkuh.

Sekali waktu saya dan beberapa teman sepakat untuk mengeroyok anak-anak Belanda itu di jalan. Mau ditinju atau ditantang berkelahi. Anak Belanda itu tiga orang, kami bertujuh—kalau tidak salah. Tetapi, yang terus berkelahi hanya saya seorang. Merasai (menderita) saya dipertigakan. Kawan-kawan Iain sudah pada lari. Itu pengalaman pahit yang selalu tertanam dalam perasaan, bahwa “orang awak” tidak punya rasa setia kawan yang tuntas.

Dewasa itu berkelahi dengan anak-anak Belanda, selesainya begitu saja. Orang tua tak ikut campur. Tidak pernah polisi atau serdadu-serdadu Belanda mengusut atau menangkap biang keladi perkelahian.

Saban kali pulang berkelahi, meski babak ,belur, di rumah tidak pernah dimarahi. Kalau baju kotor sehabis berkelahi, disuruh mencuci sendiri. Paling-paling teguran Angku, kalau ia di rumah: “Alah bacakak pulo ang tadi, yo! (Sudah berkelahi pula kamu, ya!)”

***

SEJAK sekolah dasar saya selalu nomor satu dalam pelajaran berhitung. Saya sebenarnya tidak ingin dapat nomor. Sejak kecil, sebenarnya memang saya tidak pernah punya keinginan menjadi orang nomor satu.

Yang saya inginkan cukuplah menjadi orang terpakai. Ke mana pun masuk terpakai.

Barangkali karena itulah, untuk ikut main sepakbola atau gerak jalan, saya setia latihan berjalan kaki sejauh 10 km yang setiap minggu diadakan sekolah. Saya juga ikut olahraga atletik seperti lompat tinggi. Ada teman yang tinggi lompatannya, tapi kadang-kadang saya bisa melampaui Iompatan yang sebelumnya tidak mungkin dilampaui. Dalam olahraga lari, saya sudah pasti kalah dari orang lain. Sebaliknya dalam kegiatan olahraga yang orang lain tidak ikut, saya ikut. Namun, tidak menjadi orang nomor satu.

Agaknya karena berpostur kecil dan dipandang sepele itulah saya selalu aktif. Ikut organisasi, perkumpulan. Saya paling suka organisasi sepakbola. Saya adalah anggota kesebelasan sekampung di Padangpanjang dan anggota klub RP-INS Kayutanam. Baik pada klub di Padangpanjang maupun klub INS saya bukanlah pemain yang terbaik.

Saya menyukai sepakbola sejak kecil. Bola yang dipakai, kalau tidak bola getah ya bola limau (jeruk Bali). Sering dalam permainan sepakbola, kaki atau tulang kering saya bengkak-bengkak. Tetapi main sepakbola terus.

Posisi saya dalam sepakbola, kalau tidak di depan, ya di belakang. Tergantung pada pemain yang kurang. Tetapi, saya tidak pernah merengek-rengek atau mengemis agar diikutsertakan main bola. Saya tak bisa memilih posisi yang saya sukai karena memang tidak jagoan. Tetapi karena rajin mengejar bola, saya selalu diikutkan dalam pertandingan. Kadang-kadang bertanding ke luar kota. Dalam setiap pertandingan, jarang yang tidak main kasar. Tubuh kesebelasan lawan biasanya besar-besar, maka merasai (kewalahan) awak dibuatnya. Jika dalam suatu pertandingan atau permainan bola saya dikasari lawan sampai tadangek-dangek (sesak nafas), saya tidak pernah punya keinginan membalas. Itu karena keluarga kami yang suka hidup sportif. Ayah benci main curang, orang licik, dan tak suka menghasut atau mem-backing anak-anak dalam perkelahian.

Target saya dalam main bola dan kegiatan apa saja: ikut, ikut serta sedapat-dapatnya! Sepertinya saya mendapatkan kegembiraan atau, kebahagiaan dalam kebersamaan. Motivasi demikian agaknya mendorong proses sosialisasi kepribadian saya. Bahwa saya senantiasa ingin aktual, dan karena itu harus berperan dalam situasi yang sedang berjalan.

Tahap pertama keterlibatan saya di dalam kesenian—melukis dan musik—siapa tahu juga didorong oleh kompleks anak berpostur kecil demikian. Tentu saja tak dapat dilupakan faktor pendidikan ikut menunjang seperti pendidikan INS Kayutanam yang dipimpin Mohammad Sjafei, lalu kesukaan membaca dan pergaulan, berdebat serta faktor-faktor lainnya.

000