SAYA berumur 18 ketika bala tentara Jepang dikabarkan menduduki kota Bukittinggi, didahului barisan serdadu bersepeda dari utara. Serdadu Jepang itu adalah bagian dari Tentara (AD) 25 yang mula-mula menduduki kota besar Medan dan dari sana terus bergerak ke selatan dan ke mana-mana sehingga menguasai seluruh pulau Sumatera.
Pendudukan kota Bukittinggi dan kota-kota berikutnya senantiasa dibarengi dengan penjarahan toko-toko, terutama toko-toko Cina.
Saya sedang sakit malaria dan ikut orang tua ke Padang. Di Jalan Nipah ayah saya kembali membuka lepau nasi. Saya menolong orang tua berjualan nasi di satu langkan rumah keluarga.
Sebenarnya, waktu zaman Jepang, saya ingin jadi tentara. Kawan-kawan saya banyak yang masuk tentara. Ketika keinginan itu saya sampaikan, ibu saya menangis: “Indak ka jadi tentra waang do! [Tak bakalan (kuizinkan) jadi tentara kamu!]”
Karena ibu yang melarang, mau apa lagi; akhirnya saya tidak jadi masuk tentara. Lagi pula saya berpostur kecil seperti akan dikisahkan lagi di bagian lain.
Setelah sehat, saya disuruh ayah mengikuti ujian untuk menjadi pegawai kereta api. Tepatnya untuk jadi pegawai rendah di stasiun. Saya ikuti suruhan ayah. Saya lulus dan dipanggil. Tetapi, saya bilang pada ayah: “Kalau hanya mendapat pangkat itu, untuk apa lama-lama sekolah di Kayutanam. Itu kan pekerjaan untuk anak kelas 5 SD saja.”
Karena itu, meskipun saya lulus toh akhirnya saya tidak dipaksa ayah menjadi pegawai stasiun. Kemudian, kami sekeluarga pindah ke Duku. Itu beberapa kilometer dari kota Padang, sebuah kampung di pinggir jalan raya Padang—Bukittinggi. Waktu itu ayah sudah kembali bekerja di Jawatan Kereta Api setelah berhenti di zaman Belanda.
Di Duku, ada pekarangan yang luas. Tanah halaman itu saya cangkul dan saya tanami kacang hijau. Saya juga menolong ibu membuat sabun. Mula-mula kelapa dimasak menjadi minyak. Minyak itu dimasak kembali bersama abu daun kelapa dan jadilah sabun.
Saya pernah juga membuat peniti dari kawat dan dijual dengan cara menitipkannya di kedai-kedai. Peniti itu tidak begitu laku.
Kemudian saya berdagang ubi. Saya beli sekarung ubi di Padangpanjang Ialu dibawa ke Duku, dan dijual ke Lubuk Buaya. Kemudian sakit malaria saya kambuh kembali.
Karena suatu masalah yang saya sudah lupa maka ayah pun marah-marah. Tetapi saya tak pernah lupa salah satu kalimat ayah: “Percuma sajo waang iduik (Percuma saja kamu hidup!)”
Itu sama artinya ejekan bahwa saya masih menyusu pada orangtua. Mendengar itu saya langsung membungkus baju, minta diri dan pergi ke Padangpanjang.
Setelah meninggalkan rumah, saya tidak pernah dicari atau disuruh pulang. Saya tidak minggat. Kan saya minta diri sebelumnya.
***
DI PADANGPANJANG saya dapat kabar dari kawan-kawan bahwa ada grup kesenian yang aktif dalam kegiatan sandiwara, pameran seni lukis dan musik. Maka saya pun bergabung ke dalam grup kesenian Barisan Seni Bangsa yang dipimpin oleh Sofjan Naan itu. la seorang guru tari di Padangpanjang dan pandai main musik dan melukis. Saya tinggal di sanggar. Makan sehari-hari, apa adanya.
Di sanggar itu, saya melukis dan bermain musik. Kalau ada acara pertunjukan sandiwara, saya mendapat tugas membuat dekor dan mencat layar. Segala macam pekerjaan saya lakukan. Yang mau kerja berat hanya beberapa orang saja, tiga empat orang. Saya termasuk dalam kelompok yang tidak seberapa orang itu.
Kawan-kawan lain, kalau mereka memegang rol (peran) dalam sandiwara, merasa ogah mengerjakan yang Iain. Mereka merasa diri penting.
Nah, kalau sandiwara usai, kawan-kawan lain sudah pulang, saya tetap tinggal mengemasi segalanya. Artinya mulai dari menyapu, menurunkan dan melipat layar, sampai mengangkat dan memindahkan bangku. Setiap kerja yang dimulai harus diselesaikan, itu ajaran yang saya terima di INS Kayutanam.
Karena pandai musik saya pun anggota orkes pimpinan Sofjan Naan. Orkes itu sering diundang dalam perhelatan perkawinan atau Pasar Malam. Itu artinya saya dan kawan-kawan dapat makan enak. Kami menamakannya “permak-permin”, akronim dari “perai makan perai minum”; artinya dapat makan minum secara gratis. Di zaman pendudukan militer Jepang, di mana banyak orang tidak makan, maka bermain musik dalam pesta kawin seolah dalam sorga.
***
KEMUDIAN terbuka kesempatan bekerja di pabrik porselen—Siroki Keisha—di Padangpanjang. Saya bekerja di sini namun masih dapat mengikuti setiap kegiatan kesenian, terutama yang berlangsung di Pasar Malam. Di pabrik itu gaji cukup tinggi, apalagi kalau tamatan INS. Selain gaji, juga dapat jatah beras.
Di pabrik ini saya menambah pengetahuan teknis pengolahan tanah liat menjadi keramik yang lebih baik, antara Iain bagaimana memanfaatkan gips dan membuat patung.
Di zaman itu kehidupan dan pendapatan saya termasuk lebih baik dari anak muda lain umumnya.
Seorang gadis kolega kami di pabrik porselen itu hanya memiliki sehelai baju bolong di bagian belakang. Untuk menutupnya dia mengenakan celemek yang semestinya dia pasang di depan. Kami sepakat, gadis itulah yang paling miskin. Suatu hari ketika saya dan beberapa teman makan siang, saya sarankan agar kami mengumpulkan uang untuk membantu gadis itu.
Kemudian, begitu kami menerima gaji bulan baru, kami kumpulkanlah sejumlah uang. Tetapi, entah apa sebabnya, gadis teman kami itu tidak masuk-masuk kerja lagi.
Saya jadi heran ketika sekali waktu dia datang ke pabrik. Bajunya bagus. la memakai topi layaknya nona-nona Jepang. Kami semua terpana. Bahkan trenyuh ketika tahu dia sudah jadi gundik orang Jepang.
Secara pribadi, saya sangat terharu. Terharu bukan karena ada wanita bangsa kita jadi gundik Jepang, tetapi pada kerahasiaan jalan nasib seseorang. Bahwa di saat kita sedang berusaha membantu seorang teman yang ditimpa kesusahan, tiba-tiba dia sudah jadi gundik Jepang. Itu termasuk kesan tersendiri di masa zaman Jepang.
Saya juga tidak tahan melihat orang-orang kampung, yang hanya memakai baju kulit kayu tarok. Banyak mereka yang tergeletak mati di teras bioskop di Padangpanjang. Pemandangan biasa demikian di zaman Jepang, saya tidak tahan menyaksikannya.
Untuk kehidupan pribadi saya, zaman Jepang itu pun menggoreskan beberapa peristiwa penting namun menyedihkan:
Pertama, peristiwa kereta api jatuh. Itu tidak jauh dari kota Padangpanjang, kurang lebih lima kilometer, ke arah Bukittinggi. Saya datang ke lokasi kecelakaan itu, dan ikut mengangkat korban. Para korban diangkat memakai jenjang bambu yang diambil dari rumah penduduk terdekat, Ialu dikumpulkan di mesjid Lubuk Mata Kucing, dekat sekolah Thawalib. Setelah bolak balik maka saya kembali ke lokasi kecelakaan. Mana yang patut ditolong, ditolong.
Seorang kawan meminta saya memegangi seorang korban yang Iuka parah di bagian tangannya. Begitu saya perhatikan, rupanya tangan orang itu sudah koyak. Melihat itu saya betul-betul tidak tahan. Saya memang tidak tahan melihat penderitaan orang.
Kedua, kereta api jatuh di jembatan Lembah Anai. Saya ikut berlari ke lokasi dan ikut membantu korban. Saya ikut mengangkat, kebetulan orang yang diangkat itu gemuk. Orang itu meraung-raung sepanjang jalan. Sepertinya bagian tubuh yang dipegang itulah yang sakit. Setelah meletakkan orang itu di tempat mengumpulkan korban kecelakaan, saya menjauh karena tidak tahan.
Tatkala sedang tegak kebingungan itu, tiba-tiba datang seorang Jepang. Saya disuruh si Jepang itu mengiringinya untuk memasang kabel telepon. Di tempat kabel telepon yang putus, dengan enaknya si Jepang itu menyuruh saya berdiri dan dia naik ke bahu saya. Saya heran, kenapa saya bisa tahan menanggung beban tubuh si Jepang itu.
Setelah selesai membantu orang Jepang, saya kembali ke lokasi di mana kereta api tadi jatuh. Waktu itu, hari sudah hampir subuh. Orang-orang yang menolong korban sudah pada letih.
Seorang serdadu Jepang berteriak-teriak dari atas gerbong kereta yang terjungkang itu. Tetapi, tidak ada lagi orang yang mau menolong. Saya, dengan inisiatif sendiri mendekati Jepang itu. Rupanya ada orang yang terjepit, terhimpit roda kereta api yang sudah terlepas dari tempatnya. Untuk dapat mengeluarkan orang hidup dari himpitan roda itu, tentu perlu bantuan orang Iain untuk mengangkat besi berat itu.
Lalu saya bilang pada serdadu Jepang: “Tidak mungkin mengangkat roda itu sendirian. Harus ada bantuan orang lain.”
Tetapi, Iain yang terjadi. Si Jepang itu memberikan sebuah parang pada saya: “Potong. Potong na!” seru si Jepang.
Menghadapi itu, saya tidak tahan. Tidak siap mental. Saya pun pusing, lalu pergi dengan tubuh terhuyung-huyung. Saya tidak tahu apa yang terjadi terhadap korban itu. Seumur hidup saya menyesali diri oleh peristiwa itu.
***
DENGAN kalahnya Jepang pada Perang Dunia II, Indonesia memiliki peluang untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Waktu berita proklamasi kemerdekaan diperoleh, saya dan beberapa kawan di Barisan Seni Bangsa pun membuat selebaran, poster untuk menggelorakan semangat perjuangan. Tidak ada orang yang menginstruksikan, kami saja yang berinisiatif. Kami memasang selebaran, poster dan karikatur di kota Padangpanjang. Juga menyebarkannya ke kota-kota Iain di Sumatera Barat.
Tapi suasana belum berketentuan. Para pemuda sudah menyusun BKR tapi Jepang masih berkuasa.
Suatu hari pada tahun 1945 itu, dikabarkan bahwa di Batusangkar terjadi bentrokan antara para pemuda dengan serdadu Jepang.
Maka Camat Padang Panjang Camat Zaglul mengumpulkan para pemuda di Gedung Pemuda—kini gedung tersebut berganti kantor Walikota Padang Panjang. Gedung pun penuh sesak oleh para pemuda.
Waktu itu berpidatolah Camat Zaglul bahwa Jepang menyerang tentara Republik di Batusangkar. Bahwa Batusangkar perlu bantuan. Selanjutnya Camat Zaglul membakar semangat para pemuda untuk menyerang Jepang. Para pemuda pun tak kurang bersemangatnya dan meneriakkan yel-yel yang menyatakan setuju atau sedia menggempur Jepang!
Selanjutnya Camat Zaglul dengan bersemangat mengumumkan bahwa siapa yang mau bertempur ke Batusangkar agar mengacungkan tangan: “Diperlukan 15 pemuda!” Ironisnya, gedung yang sebelumnya bergelegar oleh yel-yel kesediaan para pemuda menggempur Jepang itu jadi sunyi. Camat Zaglul mengulangi seruannya. Entah kenapa, saya yang pertama mengacungkan tangan. Artinya menyatakan siap menggempur pasukan Jepang di Batusangkar! Melihat saya menunjuk, maka saudara sepupu saya Ramudin pun mengacungkan tangan.
Camat Zaglul mengulangi seruannya. Sekali. Dua kali. Tetapi tidak satu pun para pemuda itu yang menunjukkan tangan. Akhirnya hanya ada 10 pemuda yang bersedia pergi menggempur serdadu Jepang di kota Batusangkar. Sungguh suatu antiklimaks yang tak pernah terbayangkan bisa terjadi.
Perlu saya tambahkan bahwa kami 10 orang sukarelawan tempur itu tidak satu pun yang memiliki senjata. Bagaimana pula pergi berperang kalau tidak ada senjata? Lalu, dipinjam-pinjamlah senjata ke sana kemari. Senjata itu hanya tombak dan parang. Tak satu orang pun yang sudi meminjamkan.
Alasan mereka, nanti senjata itu hilang. Gila, saya pikir, bagaimana mungkin para pemuda itu mau mengorbankan nyawanya untuk perjuangan. Sedangkan meminjamkan atau mengorbankan senjata saja mereka tak mau!
Maka ayah saya yang jadi Sekretaris Pemuda, merepet-repet sengit, sambil merampasi senjata mereka untuk kami: “Baru tombak saja tidak ada yang mau meminjamkan. Sedangkan anak saya nyawanya yang akan hilang!”
Karena mau bertempur ke Batusangkar kami yang sepuluh orang itu segera disuruh berkumpul di stasiun Padangpanjang untuk menunggu kereta api yang akan membawa kami ke Kubu Kerambil. Tak ada orang yang mengantar kami ke stasiun, selain dua orang pimpinan pemuda—salah seorangnya ialah ayah saya.
Menurut rencana, kami naik kereta api ke Kubu Kerambil, dan dari sana berjalan kaki ke Batusangkar untuk menggempur serdadu Jepang. Tetapi kereta api tak kunjung datang.
Saya sendiri, sewaktu menunggu kereta api menjelang subuh itu, berpikir-pikir. Bagaimana caranya berperang melawan Jepang. Saya tak pernah dilatih atau berlatih perang. Dan kami hanya punya tombak sementara Jepang punya senapan yang dapat ditembakkan dari jauh. Bagaimana cara menyerbu mereka, pikir saya. Tentu diserbu dari belakang. Bagaimana nantinya merangkak-rangkak. Lalu, bagaimana pula menusuk Jepang itu dengan tombak. Jangan-jangan ketahuan sehingga lebih dulu ditembak mati oleh serdadu-serdadu Jepang. Dalam pikiran saya, sungguh tidak masuk akal mau menyerang tentara Jepang dengan senjata hanya tombak.
Semalaman kami menunggu kereta api yang tak pernah tiba. Mau apa lagi, akhirnya tidak jadi berangkat ke Batusangkar karena Jepang telah kembali masuk kamp mereka. Kejadian yang sebenarnya, Jepang mengepung markas BKR dan menangkap tentara Republik di Batusangkar, setelah terjadi insiden tembak-menembak di desa Sikaladi ketika konvoi Jepang dicegat para pemuda. Mereka tidak ingin Jepang lewat karena Jepang telah mungkir janji untuk menyerahkan senjatanya.
Anggota rombongan bubar satu-satu. Peristiwa itu sangat mengecewakan saya. Bukan karena tidak jadi bertempur, melainkan karena keengganan orang meminjamkkan senjatanya kepada saya.
***
SETELAH Jepang kalah dan Indonesia pun merdeka, macam-macam saja yang saya kerjakan di Padangpanjang. Di antaranya saya diajak kawan-kawan mengurus pabrik porselen setelah ditinggalkan orang Jepang. Kami jadikan pabrik porselen baru, bernama Pabrik Porselen Papeberi. Pabrik itu diurus oleh tujuh orang alumni INS yang menjadi pimpinan perusahaan, bagian produksi, pengolahan tanah dan gips, oven (pembakaran), perbengkelan, pemasaran dan administrasi. Saya memimpin bagian produksi yang tugasnya membuat barang-barang keramik. Anak buah saya 40 orang, sedangkan saya berumur 21.
Tidak sampai setahun di sana, saya berhenti karena tidak ada uang penggaji buruh. Lalu saya membuka sanggar seni rupa dengan beberapa teman pelukis. Saya membuat patung kecil Bung Karno dan Bung Hatta. Patung itu direproduksi dan dijual ke kantor-kantor. Banyak juga yang terjual. Kami juga membuat patung dan relief untuk tugu peringatan dua tahun ALRI di Pariaman.
Selain bekerja di pabrik porselen, yang selalu saya ingat adalah bahwa saya selalu ikut dalam konser yang sering tampil di Gedung Kebudayaan Padang Panjang. Waktu itu yang memimpin grup konser sekaligus konduktor adalah Pak Wakidi—yang dulu guru gambar saya di INS dan pelukis naturalis Indonesia terkemuka. Karya musik pilihan Pak Wakidi biasanya klasik ringan. Pendeknya karya-karya yang tergolong tidak begitu berat seperti juga Khalif of Baghdad atau Donau Wellen-nya Johann-Strauss.
000
Leave A Comment