Jadi Serakah
Oleh AA Navis
(Dimuat dalam SRIWIJAYA POST/MINGGU, 3 MEI 1992)
DALAM sinetron yang mengisahkan pelarian politik negara komunis ke Amerika Serikat, hampir selalu ditemukan angan-angan para pelarian, bahwa di Amerika setiap orang memiliki kebebasan dan kesempatan untuk menjadi kaya-raya.
Sosiolog Adam Smith menulis dalam The Roaring 80S, dalam masyarakat yang liberal materialistis, setiap orang dianggap punya hak menjadi kaya, dan berhak pula memamerkan kekayaannya. Pandangan ini membuat etos kerja berkembang menjadi pendapat bahwa mereka yang kaya dan sukses akan mendapat yang terbanyak. Maka keserakahan seperti dianjurkan jadinya.
Maka di Amerika itu, boleh dikatakan saban hari, akan muncul orang-orang kaya baru yang memiliki jutaan dolar. Seperti bintang film, penyanyi, olahragawan atau bandit-bandit yang luput dari jangkauan hukum. Di antaranya yang paling menggemparkan ialah Mike Tyson, petinju berleher beton, yang paling banyak merapun lawan-lawannya dalam satu ronde pertandingan.
Dan, ketika Mike Tyson diajukan ke pengadilan karena memperkosa gadis peserta kontes kecantikan, komentar umum mengatakan, perilaku jagoan itu tidak terlepas dari latar belakang masa kecilnya yang liar dalam lingkungan kumuh masyarakat kulit hitam miskin di Amerika Serikat. Ketika menjadi kaya raya dan terkenal, naluri liar masa kecilnya lebih tidak terkendalikan lagi. la menjadi mahkluk garang seperti yang diperlihatkannya di arena tinju. Umpamanya, pelecehan terhadap perempuan sebagai objek kelelaki-lakiannya. Dengan perilaku itu, seolah Tyson ingin menonjolkan ke-jago-annya. Bagai ayam sabung ia berkokok keras; “Inilah aku.”
Pada Sisi lain ada komentar, keberingasan sosial itu, dimungkinkan oleh anggapan umum bahwa aparat_ hukum akan kehilangan nyaji bi!a berhadapan dengan orang terkenal, kaya dan pembayar pajak tinggi. Antara lain contohnya kasus percabulan klen Kennedy dengan gadis kencannya. Pengadilan tidak menghukum Ted Kennedy yang membiarkan gadis itu mati terbenam. Akhirnya keponakan si Kennedy itu, dilindungi pengadilan dari tuduhan memperkosa gadis yang dikencaninya
Tapi dalam kasus Tyson, mungkin karena ia neger (puak kulit hitam), maka aparat hukum bertindak seolah hendak menyucikan diri buat “Sang Dewi Keadilan”, sebagai bukti Amerika betul-betul negara hukum yang memproses hukum sebagaimana mestinya Pengadilan seperti bernafsu menjatuhkan sanksi keras, dengan tidak memberikan kebebasan bagi Tyson bernafas di luar penjara, sekalipun dengan uang jaminan. Alasan pengadilan, karena khawatir Tyson kabur ke luar negeri.
Akan tetapi seorang psikolog dari Harvard Medical, Steven Berglas dalam bukunya Succes Syndrome mengemukakan, keberingasan orang sukses bukan berasal dari latar belakang hidup yang sulit di masa kecil. Dalam penelitiannya, tidak ditemukan seorang pun orang sukses menjadi beringas atau serakah yang pernah mengalami kesulitan hidup di masa kecil.
Kejahatan, keliaran atau keserakahan, katanya, justru dilakukan orang-orang yang memiliki latar belakang hidup makmur, dan orang tua mereka kaya atau berkuasa. Perilaku yang lahir dari keinginan ego-nya untuk memperagakan perilaku atau kelakuan yang akan dapat menaikkan gengsinya sendiri, terlepas dari pengaruh kekayaan atau kekuasaan orangtuanya. Mereka bahkan seperti tidak peduli pada kemungkinan hancurnya karir orang tua.
Berglas memang tidak mengemukakan asal-muasal kejahatan warga masyarakat Amerika umumnya. la hanya mengususkan penelitian selama 6 tahun itu pada perilaku menyimpang pengusaha muda sukses. Namun menurutnya, pengusaha inilah yang cenderung serakah melakukan bisnis dengan cara kotor. Mereka dalam melakukan keculasan itu, bukan untuk mencari uang. Hanya sekadar menonjolkan ego masing-masing, selain juga menunjukkan kepada dunia bahwa mereka tidak di bawah bayang-bayang kebesaran orangtuanya.
Kerakusan, keserakahan, dan keberingasan perilaku pengusaha muda itu, lanjut Berglas, justru karena mengalami depresi berat karena kekayaan dan kesuksesannya sendiri. Mereka yang menderita di puncak sukses itu, menempatkan keberhasilan sebagai target personal, bukan sebagai hasil usaha yang profesional. Kekayaan baginya sebagai alat untuk kesenangan, kebahagiaan, dan bagi menegakkan harga diri.
Dan, saat sukses telah sampai di puncak, mulailah muncul depresi itu. Ibarat artis penyanyi atau film yang sampai di puncak, lalu kalang kabut mempertahankan posisinya. Terkadang, dalam mempertahankan itu mereka babat sana-sini, bahkan menghancurkan temannya sendiri. Psikolog Laurence Shames, dalam bukunya The Hunger for More menggambarkan hal ini sebagai; mereka yang sukses tak ubahnya morfinis berat yang membutuhkan dosis lebih besar dan lebih besar lagi.
Kalau sudah begini, saya teringat pada ungkapan Ustazd Zainuddin MZ, bahwa ciri orang serakah itu ialah, jika ia mempunyai sebidang tanah berisi emas, ia ingin memperoleh dua bidang. Selanjutnya tiga, empat, dan sampai tidak terhitung jumlahnya. Entahlah!
Lalu, apakah gejala seperti di Amerika itu bertumbuhan juga di Indonesia yang tercinta ini? Mengingat pola bisnis telah mengarah ke sistem liberal yang kapitalis, apakah orang-orang kaya yang serakah pun berhak memperoleh previlasi yang lebih banyak? Sementara terkadang, untuk menjadi lebih kaya mereka terlihat jelas mengembangkan bisnis dalam cara apapun atau memamerkan kemewahannya di tengah-tengah masyarakat yang masih melihat uang kertas seribu seolah selebar daun pintu?
Entahlah! Sejauh ini (mungkin) belum ada ditemukan hasil penyelidikan sosiolog negeri ini, seperti yang dilakukan ilmuwan Amerika Serikat yang liberalis dan kapitalis itu.
000
Leave A Comment