Pergaulan A.A. Navis luas sekali. Tidak saja di kalangan seniman sastrawan ataupun wartawan, tapi juga dekat dengan kalangan kepemerintahan, militer, pengusaha, ulama, kalangan adat, akademisi, politisi sampai kalangan anak muda. Keluasan pergaulan ini tidak saja oleh sebab karya-karyanya ataupun pemikirannya, tapi juga karena perilaku kehidupannya yang suka menolong kawan yang kesusahan tanpa pamrih serta selalu berpihak kepada orang yang teraniaya. Tak peduli ia dari kelompok mana orang yang ditolongnya itu. Jiwa merdeka yang ia miliki membuat Navis bebas berbuat dan berekspresi dan tidak takut dengan siapapun. Suatu kali ia hendak ditangkap karena aktivitasnya dianggap tidak pro pemerintah. Lalu ia bilang ke isterinya: “Jika nanti mau mencari Papi, cari di kantor polisi”. Begitulah. Dan ia tidak lari bersembunyi.
Kalangan kepemerintahan pada umumnya berang kepada Navis karena sedemikian kritisnya. Baik semasa sebagai aktivis sosial maupun ketika menjadi anggota DPRD Tk. I Sumatera Barat selama 11 tahun. Namun kemudian jadi akrab oleh sebab munculnya solusi-solusi yang baik untuk kepentingan masyarakat banyak maupun untuk kepentingan pemerintah itu sendiri. Tidak sedikit orang yang ingin ia di-recall. Tetapi Harun Zain, Gubernur Sumatera Barat waktu itu, mengatakan: “Jangan. Dia itu asset daerah”. Padahal Harun Zain berang kepadanya. Begitulah. Setiap ada orang hendak mendiskreditkan Navis, selalu saja ada yang membela.
Pada waktu menciutnya sistem kepartaian dalam politik Indonesia dari partai yang banyak menjadi tiga saja, A.A. Navis melihat gelagat adanya kegelisahan di kalangan ulama. Hal ini bisa menyebabkan pembangunan dan kehidupan masyarakat di Sumbatera Barat tidak harmonis kalau diniarkan. Maka dengan beberapa kawannya yang sepemikiran, ia lakukan pendekatan. Pendekatan dimulai dengan mempengaruhi kalangan militer agar melakukan pendekatan dialog personal dengan para ulama berpengaruh di Sumatera Barat. Dilakukan melalui militer karena memang pada waktu itu posisi militer sangat strategis dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Para ulama pada dasarnya sudah kenal A.A. Navis melalui cerpen Robohnya Surau Kami yang sempat menggelisahkan sebagian ulama di Sumatera Barat. Namun dengan adanya pendekatan kalangan militer kepada para ulama itu, di tambah dengan berbagai aktivitas A.A. Navis yang memberikan solusi terhadap kegelisahan ulama, maka hubungan mengarah kepada kedekatan pribadi. Navis pun kemudian dekat dengan Buya Dt. Palimo Kayo, Muhammd Natsir dan lain-lain. Meski ada juga yang menjaga jarak karena berbeda dalam konsep-konsep pemikiran keislaman.
Pergaulannya dengan kalangan militer juga dekat. Dimulai dengan ketidak setujuan masyarakat ibu Hartini Soekarno akan diberi gelar kehormatan Bundo Kanduang Agung pada tahun 1964. Yang menurut Chairul Harun akan di panggil “bunduang” oleh masyarakat nantinya. Ia datangi Komandan Korem Wirabraja/Kodam III 17 Agustus di Bukittinggi. Lalu Panglima Kodam III/17 Agustus di Padang. Dengan alasan antara lain mitologi Bundo Kanduang sendiri tidaklah begitu terhormat dikalangan terpelajar Minangkabau meski mungkin tidak demikian di kalangan masyarakat awam. Jika Bung Karno tahu akan hal itu, apakah ia tidak akan marah? Akhirnya gelar Bundo Kanduang Agung batal, diganti dengan Ibu Kanduang Agung. Sejak itu hubungan Navis dengan kalangan militer jadi dekat. Kedekatan ini berdampak terhadap mencairnya ketegangan antara masyarakat dengan militer pasca PRRI. Tugu-tugu yang disebut “tugu pembebasan” yang dibangun dibanyak nagari pasca PRRI dirobohkan karena mengundang trauma. Lalu terjadi perbaikan hubungan militer dengan mantan tentara PRRI. Begitu juga terjadi perbaikan hubungan militer dengan para seniman dengan terselenggaranya sendratari Imam Bonjol yan.
Dalam kesehariannya, Navis banyak berdialog dengan berbagai kalangan baik formal maupun informal. Di gedung-gedung tertutup ataupun di lepau-lepau tempat banyak orang berkumpul sering ia lakukan. Termasuk dengan yang usianya jauh lebih muda. Baginya, terhadap yang sebaya atau sedikit lebih tua atau sedikit lebih muda adalah kawan berdebat. Sedangkan dengan yang muda-muda adalah kawan berdialog dan bekerjasama dalam berbagai aktifitas. Dengan cara ini ia memecahkan bebagai persoalan kemasyarakatan dan mendorong memunculkan kreatifitas-kreatifitas di tengah masyarakat.
Dengan gambaran pergaulannya yang seperti itu, berikut dengan tulisan-tulisannya yang banyak bermanfaat, beberapa sahabat ingin memberikan hadiah kepada A.A. Navis untuk memperingati hari jadinya yang ke 70. Diskusi antara Umar Kayam, Basril Djabar, Chairul Harun, Yusfik Helmi dan Asraferi Sabri memutuskan untuk membuat Otobiografi A.A. Navis yang ditulis oleh sahabat yang lain, Abrar Yusra. Sekaligus merayakannya di Hotel Pangeran Padang pada tanggal 17 November 1994. Rencana pembuatan otobiografi yang semula tidak diketahui Navis ini kemudian diterbitkan oleh, lagi-lagi kolega dekatnya di percetakan PT Gramedia. Sahabatnya di Yayasan Gebu Minang ingin pula memberi suatu hadiah. Maka diminta pula kepada adiknya, Anas Nafis untuk menulis kenangan yang kemudian diberi judul “Da Li Nan Navis”.
Sahabat yang lain, Pamusuk Eneste, seorang dosen, sastrawan dan juga editor di penerbitan Grasindo ingin mengupas A.A. Navis dari sisi dunia kepengarangannya. Obsesi Pamusuk Eneste ini ditulis oleh salah satu kawan mudanya, Ivan Adilla. Seorang sastrawan dan juga dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang. Hasil studi Ivan Adilla ini kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh PT Grasindo dengan judul “A.A. Navis: Karya dan Dunianya” yang terbit tahun 2003 tidak berapa lama setelah A.A. Navis tutup usia.
Pada tahun 2005, sahabat yang lain lagi jauh di Australia sana, Prof. Ismet Fanani, Guru Besar Deakin University Australia yang kagum akan kepribadian dan karya-karya A.A. Navis berupaya mengumpulkan seluruh cerpen-cerpen A.A. Navis baik yang sudah di bukukan maupun yang belum. Pada waktu itulah ia menemukan cerpen-cerpen yang belum dimuat di media cetak atau yang belum dibukukan. Pada masa pencarian itulah ia menemukan cerpen paling kontrovesial “Man Rabbuka” yang raib begitu saja setelah diprotes keras oleh kalangan ulama setelah dimuat di harian Nyata Bukittinggi tahun 1957 dan harian Siasat di Jakarta pada tahun yang sama. Cerpen yang dianggap melecehkan agama Islam. Prof. Ismet Fanani menemukan cerpen ini di perpustakaan Monash di Melbourne Australia dalam bentuk microfiche edisi mingguan Siasat.
Pencarian cerpen-cerpen yang sampai dilakukannya ke Cornell University Amerika Serikat ini akhirnya dibukukan dalam “Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis” oleh Penerbit Buku Kompas lengkap dengan riwayat penulisan dan proses pencetakannya.
Dalam buku ini Prof. Ismet tidak saja mengupas nilai-nilai yang ada pada cerpen-cerpen A.A. Navis, tetapi juga secara khusus mengupas persoalan raibnya cerpen “Man Rabbuka” itu. Menurutnya, cerpen ini tidaklah mengejek Islam ataupun agama lain. Ia lebih merupakan korban zaman.