PADA tanggal 31 Oktober 1926 Indonesisch Nederlandsche School (INS) dibuka, dengan 79 orang murid yang berdatangan dari seluruh Sumatera Barat. Ke sekolah, mereka berkereta api. Gurunya hanya Engku Sjafei. Anak-anak duduk dalam rumah di lantai berhubung belum ada bangku, Iokasinya setengah kilometer dari stasiun kereta api Kayutanam. Setahun kemudian, dipindahkan ke los bambu beratap daun rumbia, dalam kebun kopi di pekarangan rumah sewaan itu juga. Murid sudah duduk di bangku bambu, yang dipancangkan di lantai tanah.

Tak lama kemudian, sekolah dipindahkan lagi ke sebidang tanah yang disewa. Guru-guru ditambah. Murid-murid aktif serta membantu membangun sekolahnya sendiri sebagai bagian dari praktek pertukangan. Tiga tahun kemudian INS sudah memiliki dua gedung dengan delapan lokal.

Sepuluh tahun kemudian, di tahun 1936, tanah sewaan itu sudah menjadi kompleks sekolah yang luas—sama dengan enam buah SD enam Iokal.

Kampus yang sekarang yang luasnya 18 hektar di Pelabihan di tepi jalan raya arah Bukittinggi-Padang, dibeli INS pada tahun 1935. Untuk itu Andung Chalidjah menjual seluruh simpanan emasnya. Pemindahan gedung-gedung dari tanah sewaan yang dikerjakan gotong royong itu selesai pada tahun 1938.

Saya tak hendak berpanjang-panjang tentang ini. Cukuplah saya katakan bahwa setelah seluruh bangunan dan isinya pindah ke Pelabihan maka di atas lokasi 18 hektar akhirnya INS berkembang sedemikian rupa. Lapangan olahraganya lengkap, termasuk gedung untuk main bilyar, lapangan sepakbola—dengan tribun dan box musik hidup, lapangan tenis, kolam untuk olahraga renang dan bersampan-sampan, serta ruang senam. Ada juga kolam peternakan ikan, juga tanah untuk praktek pertanian. Panjang bangunannya mencapai 4,5 kilometer, kalau disambung-sambungkan. Selain memiliki delapan lokal untuk pelajaran akademis, INS memiliki sejumlah asrama untuk 300 siswa, workshops untuk keramik, kerajinan tangan, pertukangan, apar, perakitan radio, listrik, ruang tenun, oven untuk pembakaran keramik, oven untuk pembakaran roti, auditorium serba guna, ruang grafika, ruang musik, ruang gambar, ruang pameran, perpustakaan, pasanggrahan, perumahan guru, restoran, ruang makan beserta dapur, poliklinik, dan seterusnya.

Setelah INS boleh dikatakan komplit di tahun 1939, maka oleh Engku Syafei, dengan disepakati oleh ayah-bundanya, INS diwakafkan kepada nusa bangsa Indonesia—dengan akta notaris Raden Kadiman.

Pada zaman pendudukan militer Jepang, ia diangkat menjadi Ketua Wakil Rakyat Seluruh Sumatera (Cuo Sangi In Gico). Kampus INS lalu berubah menjadi pusat pergerakan politik nasional di Sumatera secara terselubung. Usaha pendidikan praktis terhenti, karena kampus dipakai untuk latihan ketentaraan dan kegiatan-kegiatan politik terselubung.

Para pemuda pejuang, pada zaman permulaan kemerdekaan mengangkat Engku Syafei sebagai Residen daerah Sumatera Barat yang pertama. INS seperti dijadikan sentral pemerintah RI, sebab ia sering berada di sini.

Di samping itu, Menteri Amir Syarifuddin menugaskan INS untuk “laksanakanlah sekalian daya upaya yang menaikkan nama Indonesia di luar negeri. Ini adalah jalan untuk mencapai de jure kita”

Maka di Padangpanjang Engku Sjafei mendirikan Ruang Kebudayaan, tempat diselenggarakannya pertunjukan kesenian sejak orkes symphony, sandiwara, pemeran Iukisan, dan lain-lainnya, yang mencerminkan betapa tingginya nilai budaya masyarakat Indonesia yang baru merdeka.

***

FILOSOFI pendidikan Engku Sjafei berorientasi pada hakikat alam ciptaan Tuhan yang senantiasa aktif, atau menurut Sjafei senantiasa “bekerja”-bahkan “benda-benda tak bernyawa yang di alam lepas, tetap bergerak atau bekerja”. Alam sekaliannya mengandung sifat bekerja. Selanjutnya:

Sifat kerja adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Tiap-tiap yang menentang dalil ini akan hancur.

Tiap-tiap yang melaksanakan dalil ini akan berbahagia.

Engku Sjafei mempunyai postur sedang. Ia tidaklah kurus kalaulah tidak gemuk. Orangnya penggembira, spontan dan terbuka. Tapi sangat kritis. Dalam sikap spontannya kadangkala mengejek memerahkan telinga. Juga humor-humornya. Tapi ia adil sekali. Kami lebih suka diadili Engku Sjafei daripada guru lain.

Kita bisa bebas dari hukuman kalau alasan tepat. Misalnya seperti dikisahkan Boestanoel Arifin Adam. Suatu pagi siswa-siswa INS disuruh mengumpulkan sampah dan membersihkan lapangan yang belum lama dipotong semak ilalangnya. Untuk itu semua harus duduk:

“He, duduk!”

Tapi seorang teman tak mau duduk.

“Manga awaang indak duduak? (Kenapa kamu tidak bekerja sambil duduk?)” teriak Engku Sjafei.

“Yang perlu kerja tapi bukan duduk, Engku!”

Baa kalau sambia duduak? (Bagaimana kalau sambil duduk?)”

“Anu, Engku, lancik awak dicucuak ilalang! [Pantat ditusuk (tunas) ilalang!]”

“O iya, ya! Kalau begitu kamu saja yang cerdik. Yang lain ini monyet-monyet tak berakal semua!” keluarlah cemooh Engku Sjafei.

Maka sambil tertawa berdirilah semua. Bagi Engku Sjafei sikap si anak demikian termasuk “kreatif”. Lalu bukan saja bebas hukuman malah dapat bonus pujian! Dan banyak sekali anekdot semacam itu.

Bagi Sjafei, pendidikan hendaklah merangsang potensi aktif si anak secara maksimal, yang memuncak pada kemampuan kreatif. Jadi kegiatan olahraga dan berbagai praktek kerajinan, pertukangan, atau kesenian dalam sistem pendidikan bukanlah tujuan, melainkan hanya alat. Alat untuk mengembangkan akal (intelek), emosi, kemauan dan daya kreatif, pendeknya alat untuk mengembangkan kepribadian yang harmonis.

Yang spesifik tentang itu adalah bahwa “pohon mangga takkan membuahkan rambutan”. Bahwa pembawaan (bakat) adalah faktor alamiah yang memberi karakteristik pada kepribadian seseorang. Bahwa aktivitas seseorang akan mencapai prestasi tak terduga apabila sesuai dengan bakatnya. Anak-anak INS pada dasarnya mengikuti dan mampu melakukan semua aktivitas, tapi ia berkembang, kreatif dan berprestasi tinggi terutama pada bidang yang sesuai dengan potensi major (bakat)-nya. Bahwa INS memiliki dan mengembangkan sarana untuk berbagai aktivitas, sejak dari olahraga, pertanian, pertukangan, permesinan, perpustakaan dan kesenian, semata-mata untuk merangsang berbagai potensi keaktifan, di samping untuk merealisasi bakat siswa pada tahap pendidikan.

Di dalam prakteknya, setelah menguasai tingkat ketrampilan dasar, para siswa bebas mengembangkan diri menurut bakat atau barangkali baru menurut keinginannya. Aktivitas yang sesuai dengan bakat pada akhirnya mengembangkan sikap dan daya kreatif. Para siswa senior saya, misalnya, dalam pertukangan atas prakarsa sendiri ada yang membuat gitar, stringbas dan mencoba membuat biola. Seperti juga mereka yang berkembang dalam musik menjadi anggota Orkes Simfoni. Kesebelasan INS pernah menjadi kesebelasan terbaik di Sumatera Barat. Dan ada siswa yang pandai membuat jas hujan.

Bentuk-bentuk aktivitas merupakan pelampiasan berbagai potensi dan bakat seseorang dengan bebas, sekaligus menciptakan harmoni dalam kepribadian (fisik, intelek, emosi, kemauan dan daya kreatif) serta dalam pergaulan dan kehidupan sosial. Aktivitas yang satu tidaklah bertabrakan dengan yang lain, melainkan saling mendukung atau menunjang sehingga menciptakan harmoni kepribadian dan kemasyarakatan.

Menurut pengalaman saya di INS, Engku Sjafei suka memompakan semangat nasionalisme. Caranya unik, sebab bukan bergaya demagogi yang agitatif. Engku Syafei suka bercerita tentang bagaimana Eropa, dan dibandingkan dengan negara-negara lain. Bagi Engku Syafei, Eropa maju karena alamnya dingin. Orang di sana enam bulan bekerja berat untuk hidup setahun. Udara dingin menyebabkan orang Eropa mampu bekerja lebih lama dibanding orang Indonesia. Produktivitasnya lebih tinggi. Orang Barat maju bukan karena mereka bangsa yang istimewa. Kita pun akan seperti orang Barat jika hidup di Eropa. Nah, bagaimana kita memacu diri sebagai bangsa sehingga tidak ketinggalan? Itulah soalnya.

Kalau tamat sekolah jangan mencari kerja ke kantor atau perusahaan industri. Bekerjalah sendiri. Ciptakan sendiri kerja. Belajar dan carilah peluang untuk lebih maju dari waktu ke waktu. Jatuh bangun adalah perkara biasa. Hal itu dipompakan terus-menerus oleh Engku Syafei dalam setiap kesempatan.

Engku Syafei senantiasa menekankan kepada siswa-siswa INS, bahwa lebih rancak menjadi tuan kecil daripada jadi budak besar. Dalam bahasa sekarang dianjurkan agar kami jadi orang yang berdikari atau mandiri.

Engku Sjafei akan mengejek sikap orang yang memuja orang. Misalnya mencium tangan orang yang dihormatinya.

Beliau selalu menceritakan alumnus-alumnus yang sukses di dalam masyarakat. Ada yang jadi tukang, tuan toko, pelukis yang mandiri, dan lain-lain dan tidak diperintah-perintah orang. Begitulah jadi orang, katanya.

Cerita bagaimana bangsa Indonesia bisa merdeka dari penjajahan Belanda, tidak ada dari Engku Syafei. Pikiran-pikiran atau konsepsi bagaimana memerdekakan Indonesia justru saya baca dari majalah atau koran. Ajaran pokok Engku Sjafei justru bagaimana menjadi manusia merdeka. Suatu hal yang tetap relevan sampai dewasa ini. Sebab dalam kenyataannya dewasa ini banyak bangsa atau negara sudah merdeka tapi rakyatnya belum. Engku Sjafei membentuk kami agar lebih dulu menjadi manusia merdeka, justru di saat bangsa Indonesia masih dijajah.

Tidaklah mengherankan jika alumni INS pada umumnya lebih suka mandiri. Sedangkan alumni terbaiknya berkembang di berbagai lapangan dan profesi yang berbeda. Ada yang menjadi musikus seperti Sjaiful Bachri, Boestanoel Arifin Adam, Djermias Sutan Bagindo, atau menjadi pelukis seperti Zaini, Mara Karma, Noerdin BS, menjadi wiraswastawan seperti Hamdan Siregar atau Tengku Burhanuddin, wartawan, ada juga yang bergerak di lapangan militer dan pemerintahan seperti Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin SH, Hasnan Habib, dan lain-lain.

***

BULAN Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi I. INS menjadi kamp pengungsi dan markas tentara. Engku Syafei mengungsi ke Padangpanjang. Lalu pada permulaan Agresi II, sesuai dengan politik bumi hangus dari gerilya, maka dengan persetujuan Engku Syafei kampus INS dibumihanguskan; sesuai dengan perintah Komandan Batalyon Pagaruyung Mayor Kamal Mustafa agar tidak dimanfaatkan oleh Belanda. Suatu hari di bulan Desember 1948, INS telah rata dengan tanah.

Sesudah pemulihan kedaulatan, kampus INS direhab kecil untuk menyelenggarakan kursus guru revolusioner Indonesia.

Lalu atas permintaan Menteri PPK (Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) dr. Bahder Djohan, Engku Syafei ditugaskan memimpin SGB Istimewa negeri di dalam kampus INS. Di samping itu juga dilaksanakan aplikasi-aplikasi kursus dalam vak-vak ekspresi bagi guru-guru/ kepala SD yang didatangkan secara periodik dari seluruh Indonesia.

Tetapi pada zaman PRRI, seluruh bangunan itu sekali lagi dibumiangkat oleh orang-orang komunis. Engku Syafei yang diangkat menjadi menteri PPK PRRI terpaksa hijrah mengungsi ke hutan.

Sepuluh tahun lamanya INS dibiarkan tanpa pemeliharaan. Akibatnya kampus itu menjadi hutan kembali.

Tapi tahun 1967 Sjafei kembali membangun INS. Tanggal 5 Maret 1969, Engku Syafei wafat. Selanjutnya Ruang Pendidik INS dipercayakan kepada Engku A. Hamid, guru dan pendidik tertua di INS.

000