MENGKHAYALKAN CALON PRESIDEN
Oleh A.A.Navis
(Dimuat dalam Harian Singgalang Padang, Jumat 29 Mei 1992)
SAYA pernah berangan-angan yang khayali. Betulnya bukan mengkhayalkan angan-angan. Melainkan memikirkan suatu pendapat atau pandangan secara matang. Tapi, oleh karena tak mungkin saya capai atau sulit diwujudkan, maka dikategorikanlah dia sebagai angan-angan yang khayali. Angan-angan saya itu begini : Pada post Pak Harto, sebaiknya jabatan presiden maksimal 2 X saja.
Alasan saya ialah: Siapapun yang jadi presiden nanti belum tentu ketokohannya seperti Pak Harto yang memiliki peran penting dalam sejarah menegakkan, menyatukan dan membangun Republik Indonesia. Sehingga figur Pak Harto tidak kalah dari pada Bung Karno yang merancang dan membangun negeri kita ini sebagai negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat melalui Proklamasi 17 Agustus 1945. Karena Pak Harto membebaskan bangsa dan negara dari ancaman kekuasaan komunis pada tahun 1965. Lalu membangun program rakyat dengan sangat berhasil.
Sebagaimana Bung Karno yang didukung rakyat, maka Pak Harto pun berulang ulang didukung rakyat melalui “kebulatan tekad”. Bedanya dengan Bung Karno, Pak Harto melaksanakan konstitusi dengan konsekuen. Misalnya melaksanakan pemilu sekali 5 tahun, dan mematuhi GBHN serta bertanggungjawab kepada MPR. Karena itulah rakyat suka oleh Pak Harto terus menerus dan tak hendak menggantikannya dengan figur lain.
Alasan lainnya ialah presiden masa post Pak Harto, tidaklah merupakan figur besar dalam sejarah seperti yang dimiliki Pak Harto. Mungkin ia punya karisma yang bagus juga, namun pengaruhnya kepada rakyat pasti tidak seperti yang dimiliki Pak Harto.
Nah, jika sebagai manusia biasa presiden yang akan datang itu bernafsu pula untuk menjadi presiden berkepanjangan, mungkin ia akan “terpeleset” seperti Marcos yang membina kekuatan dengan menggunakan intrik dan teror atau jika perlu meniadakan pemilu karena alasan keamanan. Atau seperti upaya bung Karno untuk mendapat mandat menjadi “presiden seumur hidup” dari MPR.
Mungkin saja presiden post Pak Harto tidak memiliki watak Marcos, umpamanya. Akan tetapi siapa tahu, orang-orang atau politisi yang suka korupsi di sekitarnya, begitu lihai mengatur atau menumbuhkan situasi agar Presiden mengambil tindakan yang sesuai menurut politisi yang korupsi itu.
Alasan lainnya lagi, jika masa jabatan Presiden itu maksimum 2 x saja, maka orpol pendukungnya akan berperan lebih baik dalam menunaikan tugasnya menampung aspirasi rakyat yang jadi pemilihnya. Jika orpol itu gagal melaksanakan fungsinya, ada harapan rakyat akan memilih orpol lain pada pemilu berikutnya. Jika sistem itu dapat dipakai, menurut khayal akan memperhatikan aspirasi rakyat dalam membangun negara dan membentuk kekuatan politiknya. Oleh karena aspirasi rakyat akan lebih kritis berdasarkan rasionalistasnya dalam menilai kebijaksanaan pemerintah.
Di negara maju, seperti di Eropa, AS atau Jepang, pergantian PM atau presiden tidaklah menyebabkan terjadinya perobahan sistem atau struktur atau organisasi dalam pemerintahan. Akan tetapi dinegara berkembang, seperti di Timur Tengah atau Asia Tengah dan bahkan Asia Tenggara, telah lazim terjadi bahwa setiap pergantian pimpinan pemerintah biasa terjadi berbagai macam perobahan, bahkan perobahan UUD mereka, demi mengukuhkan kekuasaan yang telah mereka peroleh.
Maka untuk menghambat kemungkinan “nafsu manusia” untuk terus menerus berkuasa, ada baiknya bila jabatan presiden buat masa yang akan datang dimaksimumkan 2 x saja. Kalau Pak Harto berpendapat bahwa membatasi lama masa jabatan presiden masa akan datang itu sama dengan “mengebiri UUD”, agaknya pendapat itu ada benarnya jika kita lihat pada kerangka berpikir Pak Harto pribadi, yang menilai pribadi siapapun yang bakal jadi presiden R.I nanti, sama dengan apa yang dilakukan beliau selama ini.
Kita tentu mengharapkan hal yang sama. Namun, karena saya berkhayal, dalam pikiran saya lahir pemikiran yang macam macam. Macam macam seperti lazim nya orang berkhayal, “bak si pungguk merindukan bulan” jadinya.
000
Leave A Comment