Dalam hal kebudayaan, A.A. Navis tergolong seorang yang tidak setuju dengan persepsi pemerintah terhadap kebudayaan. Baginya, kebudayaan adalah cara manusia hidup dan berkembang sesuai dengan alam dimana manusia itu hidup. Bukan sama sekali sebagai materi sejarah dan perilaku kehidupan tradisional. Akibatnya adalah peninggalan-peninggalan sejarah hanya sebagai barang pajangan, tidak dipakai sebagai suatu nilai yang dibutuhkan untuk mengangkat martabat kehidupan manusia. Begitu juga dengan pemuka adat tidaklah diperlakukan sebagai seorang pemimpin kaum atau suku, tetapi diperlakukan sebagai bagian dari perpanjangan tangan penguasa yang harus patuh kepada aturan-aturan yang dibuat penguasa. Bahkan dijadikan sebagai materi pajangan untuk kegiatan-kegiatan kebudayaan atau kebutuhan pariwisata. Padahal menurut Navis, pemuka adat itu mampu mencari uang sendiri baik untuk hidupnya, untuk kehidupan kaum atau suku yang dipimpinnya maupun untuk berbagai pembangunan infrastruktur di daerah yang mereka pimpin. Kekacauan kebudayaan ini memang sudah terjadi dan sengaja dilakukan oleh penjajah beratus tahun lamanya. Namun ketika Indonesia sudah merdeka, semestinya pemerintah bisa mengembalikan fungsi itu dengan nilai-nilai kearifan budaya yang mereka miliki.
Untuk menumpahkan kerisauannya ini, Navis mengungkapkan kritikannya dalam berbagai makalah dan penelitian dengan latar belakang kebudayaan Minangkabau sebagai contoh. Karena menurutnya, kebudayaan Minangkabau yang paling dipahaminya, sementara perlakuan penguasa kepada kebudayaan suku lain sama saja.