JIKA KEGEMARAN MEMBACA JADI
TOLOK UKUR KEMAJUAN BANGSA
Oleh : A.A. Navis
(Dimuat dalam Harian Singgalang Padang, 7 September 1983)
SETELAH memenangkan perang melawan Rusia pada tahun 1905, Jepang merasa dirinya setara dengan bangsa-bangsa Eropah yang kolonialist. Setelah mengusir Rusia dari Korea, Jepang pun merasa dirinya berhak pula sebagai bangsa penjajah. Lalu ia menaklukkan kerajaan Mansyria yang terletak di utara Cina. Sukses yang dicapainya menimbulkan kesombongan dan keangkuhan yang “tidak ketulungan”. Lalu mereka terus menjarah ke selatan, memasuki jantung negeri Cina. Dan ketika perang dunia kedua meletus, Jepang mengambil kesempatan menjarahi bangsa-bangsa di Asia Tenggara, termasuk Indonesia kita. Karena negerinya yang miskin, Jepang yang dikuasai kaum militer jadilah mereka sebagai bangsa perompak lanun yang serakah untuk menguasai negeri orang lain. Akan tetapi mereka akhirnya dikalahkan dalam perang dunia kedua. Bahkan beberapa pulaunya di sebelah utara dicaplok oleh Sovyet Rusia. Jepang ketemu batunya.
Meski kalah, namun Jepang telah memiliki harga diri sebagai bangsa kelas satu. Kekalahan dalam perang dan sebagian pulaunya dicaplok itu, serta kondisi negerinya yang miskin dengan penduduk yang melimpah, telah menimbulkan motivasi yang kuat bagi bangsa Jepang untuk bangun dan bekerja keras. Sehingga kini Jepang menjadi raksasa ekonomi yang menimbulkan “kengerian” lain bagi bangsa-bangsa lain yang sebelumnya menguasai ekonomi dunia.
Pada berbagai bacaan ada keterangan bahwa sekitar tahun 1937, penduduk Jepang masih hidup dalam penderitaan yang cukup berat. Banyak orang tua menjual anak gadisnya untuk dijadikan geisha supaya mereka bisa membayar sewa rumah. “Itu betul. Tapi kini tidak ada lagi,” kata Prof. Yuzi Suzuki ketika saya tanyakan hal itu.
“Dorongan apa yang menyebabkan Jepang menjadi begitu maju hanya dalam tempo yang singkat? Apakah karena secara etnis mereka satu, dan juga karena agama yang dianutnya juga satu?” tanya saya lagi.
“Agama di Jepang banyak sekali macamnya,” katanya.
“Kalau begitu apa?” tanya saya.
“Kesadaran kami akan kemiskinan kami. Dan orang-orang tua kami mampu mempertahankan dirinya sebagai tauladan. Sedang faktor lain adalah pendukung,” jawabnya.
Dari bacaan saya mendapat keterangan bahwa rakyat Jepang suka bahkan kegilaan pada buku. Di atas bus, di atas trem, pada terminal atau stasiun di kala menanti, mereka pada membaca koran atau majalah atau buku. Sebuah buku yang di AS terjual sampai 120.000, tetapi di Jepang terjual 500.000 dalam waktu yang sama setelah diterjemahkan ke bahasa Jepang.
“Bagaimana menciptakan bangsa yang demikian?” tanya saya pada Profesor Jepang yang masih muda itu ketika kami menghadiri jamuan makan yang diadakan oleh Gapena (Gabungan Penulis Nasional) di Restoran Omar Khayam.
“Mulai dari STK anak-anak telah diperkenalkan kepada buku,” katanya singkat.
“Apakah karena gila pada bacaan itu yang menjadi salah satu faktor dari kemajuan Jepang masa ini?” tanya saya.
“Tentu saja,” jawabnya pula dengan singkat.
Dan saya jadi melamun panjang. Ketika saya jadi anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat, selama 5 tahun saya berusaha dengan gigih agar Pemerintah Daerah menyediakan anggaran agar setiap Sekolah Dasar memiliki perpustakaan sekolah. Akhirnya Drs.Mawardi Junus yang ketika itu menjadi Ketua Bappeda menerima desakan saya yang nyinyir itu. Setelah 5 tahun, setelah 250 SD yang memperolehnya, anggaran itu dihapuskan. Oleh karena Dep. P & K telah menyediakan anggarannya, sebagai alasan dari Kepala Bappeda yang baru untuk menghapusnya. “Tapi dengan terus menyediakan anggaran daerah, berarti lebih mem perbanyak buku,” kata saya mengimbangi. Namun saya kalah suara waktu itu. Dan dalam berbincang pada jamuan makan itu, hati saya menjeritkan bagaimana orang Sumatera Barat bisa maju apabila sarana untuk maju tidak disediakan cukup banyak.
Sedang saya melamun itu, tiba-tiba Profesor Jepang itu bertanya pada saya. “Dulu banyak pengarang Indonesia yang berasal dari Minangkabau. Kenapa kini jumlahnya tidak lagi berarti?” tanyanya.
Kata saya: “Pertanyaan yang sama pernah ditanyakan oleh Prof. Bernhard Dahm pada saya dalam versi yang lain. Katanya: ‘Dulu pemimpin nasional Indonesia banyak yang berasal dari Minangkabau, kenapa sekarang tidak lagi?”’.
“Saya juga ingin menanyakan juga,” kata Prof. Ismail Hussein yang duduk persis di depan saya.
Saya dapat menjawabnya sebagaimana juga setiap orang dapat. Tapi apa yang menyebabkan orang Minangkabau kehilangan pamornya itu? Banyak orang mencari alasan karena akibat PRRI yang berontak dan kalah. Perang PRRI hanya 3 tahun, eksesnya yang negatif mestinya sudah habis setelah Sukarno jatuh. Dibanding dengan Jepang yang pernah merasa dirinya perkasa, lalu kalah secara total, malah kekalahannya itulah yang ikut mendorongnya untuk bangkit lagi. Sedangkan orang Minangkabau yang terlibat aktif di PRRI, betul-betul menjadi “tidak mencaduk”. Itu sudahlah. Tapi bagi yang tidak ikut PRRI, kenapa juga “belum mencaduk?” Bagaimana pun memang akan sukar meningkatkan harkat penduduk Minangkabau, bahkan, bangsa Indonesia, apabila sarana yang vital untuk maju, yaitu pengadaan buku di sekolah-sekolah masih sangat minim.
Apabila anak-anak tidak diajar senang pada buku sejak di SD, bagaimana pun mereka tidak akan bisa merasa senang pada buku setelah di Perguruan Tinggi. Drs.Mawardi Junus mengeluh karena mahasiswanya tidak senang membaca. Dan karena itulah ketika ia menjadi Ketua Bappeda mau menerima usulan saya untuk menyediakan anggaran setiap tahun guna pembeli buku perpustakaan bagi SD.
Sekarang mari kita belajar berhitung. Jika bangsa Jepang yang telah demikian maju itu oleh karena rakyatnya gemar membaca, tentu akan kian ber kembang kemajuannya. Di samping itu orang Malaysia yang pembaca koran adalah 5%, sedangkan bangsa kita cuma 1 %, bagaimana jadinya tingkat kemajuan yang dapat kita capai setelah 10 tahun lagi, jika semangat membaca dipakai sebagai tolok ukur kemajuan suatu bangsa?
Pertanyaan ini perlu ditujukan kepada Ketua Bappeda, orang yang dipandang ahli dalam menyusun konsep pembangunan daerah dan warga daerah ini. *
Leave A Comment