SUATU HARI di tahun 1956 di Bukittinggi, sebuah kota pegunungan kecil tapi bersejarah di jantung Sumatra Barat, saya ke toko buku kecil Pustaka Raya di Kampung Cina untuk membeli majalah sastra Kisah yang baru. Majalah ini kecil oplahnya tapi sedemikian prestisius sebab dianggap “membaptis” seorang penulis menjadi “sastrawan Indonesia”. Sama halnya dengan kritik sastra H.B. Jassin sendiri. Majalah ini selalu mengumumkan dan memberi hadiah cerpen-cerpen terbaik dari yang dimuat setiap tahun.
Saya membaca pengumuman: Tiga cerpen dipilih menjadi cerpen terbaik dan memperoleh Hadiah Sastra Majalah Kisah untuk tahun 1955. Yakni cerpen ‘Kejantanan si Sumbing’ Soebagio Sastrowardoyo, ‘Dua Dunia’ N.H. Dini, dan karya saya ‘Robohnya Surau Kami’. Urutannya seperti itu. Tidak ada disebut nomor satu, dua, atau tiga.
Susah melukiskan perasaan saya waktu itu. Seingat saya tak ada reaksi saya yang berlebih-lebihan.
Sejak tahun 1950 saya sudah mengirim naskah-naskah cerpen untuk majalah Mimbar Indonesia tetapi selalu ditolak redaktur sastranya H.B. Jassin. Namun beberapa komentar kecil saya dimuat dalam rubrik kecil Giliran Saudara majalah Kisah. Cerpen saya yang pertama kali di-acc untuk dimuat majalah Kisah adalah cerpen ‘Pada Pembotakan Terakhir’. Tapi yang lebih dulu dimuat dan langsung menggaet Hadiah Sastra Majalah Kisah justru cerpen ‘Robohnya Surau Kami’.
Tentu saya senang mendapat hadiah yang Rp 200 itu. Nilai rupiahnya hampir sama dengan gaji saya sebulan sebagai pegawai di Jawatan Kebudayaan, Rp 250. Tapi kepuasan utama saya sebagai pengarang bukanlah karena karya-karya saya memperoleh hadiah. Melainkan karena karya-karya saya dibaca dan dibahas.
Tidak ada yang baru atau aneh tentang itu kecuali kenyataan, bahwa ‘Robohnya Surau Kami’ dengan cepat mendapat reaksi dan respons dari masyarakat dan lingkungan sastra. Penerbit Nusantara Bukittinggi segera menerbitkannya dalam bentuk buku bersama cerpen-cerpen saya lainnya. Sepanjang catatan seorang wartawan Suara Pembaruan Jakarta, Sihol P. Manullang, setelah Indonesia merdeka hanya dua simposium yang secara khusus membahas karya sastra yang dianggap kontroversial. Yang pertama adalah simposium ‘Robohnya Surau Kami’, yang kedua membicarakan sajak Sitor Situmorang (SP, 22 Mei 1989). ‘Robohnya Surau Kami’ pun diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jepang dan Jerman. Itu suatu kemewahan nasib yang tak dialami kebanyakan pengarang.
Maka beberapa dekade berjalan, sedangkan saya sendiri memperoleh lagi beberapa hadiah sastra. Baik sebagai pemenang suatu sayembara maupun karena prestasi kreatif yang saya capai dalam sastra.
Banyak yang percaya bahwa ‘Robohnya Surau Kami’ akan tetap menjadi bahan perbincangan sastra. Apalagi karena isyarat-isyarat zaman bahwa kian diperhatikannya nilai-nilai humanisme dan religi di masa depan. Cerpen itu, konon adalah salah satu karya sastra klasik modern Islam dengan warna Indonesia. Entahlah.
***
SUKSES saya di lapangan sastra sebenarnya bukanlah berdiri sendiri. Paling tidak digerakkan oleh semangat dan kegelisahan intelektual. Sejak akhir dekade 1960-an malahan saya lebih banyak mencurahkan perhatian di lapangan pemikiran-malahan juga sebagai aktivis sosial. Sedikit sekali saya menghasilkan karya sastra pada dekade 1970-an dan dekade 1980-an. Bersama beberapa teman kami membentuk suatu Forum Cendekiawan pada akhir 1960-an dan awal 1970-an di Bukittinggi, dan hal-hasilnya kami coba menyumbangkannya kepada berbagai pihak, misalnya kepada pihak militer. Atas support saya dan teman-teman maka di Padang kemudian dibentuk Forum Cendekiawan Padang.
Saya menghadiri banyak forum seminar, simposium atau perbincangan-perbincangan masalah sosial seperti di Jakarta, Bali, Kuala Lumpur. Juga menulis banyak artikel dan esei yang mengupas masalah-masalah sosial-kebudayaan, ekonomi, dan politik. Setelah sering mengikuti forum-forum ilmiah dan diskusi maka bersama teman-teman kami mensponsori Seminar Kebudayaan Minangkabau, yang sebagian diterbitkan oleh PT Genta Singgalang Press di bawah judul Dialektika Minangkabau dalam Kemelut Sosial dan Politik.
Bagi rekan-rekan seperti Umar Kayam atau Taufik Abdullah atau Mochtar Naim atau Hendra Esmara boleh jadi keakraban kami justru disebabkan oleh perhatian saya yang besar terhadap masalah-masalah dan pemikiran sosial.
Mereka yang mengharapkan bahwa otobiografi ini akan lebih banyak bercerita tentang pergulatan-pergulatan saya sebagai sastrawan kreatif dalam arti yang sempit tentulah akan kecewa.
Pertama-tama haruslah saya katakan bahwa minat pokok saya justru tertuju pada masalah-masalah manusia dan kemanusiaannya. Katakanlah pada penderitaan, kegetiran, kebahagiaan dan harapan mereka, yang sebenarnya adalah bagian kehidupan kita semua. Minat demikian lebih didorong oleh semacam latar belakang kesadaran intelektual, bukan kesadaran primordial atau kepentingan tertentu dalam arti kata yang sempit.
Maka sejak lama saya tidak hanya menghadapkan diri dan simpati terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Saya ingin ikut dan buat sebagian sudah menggelutinya.
Menulis karya sastra hanyalah salah satu bentuk ekspresi kegiatan intelektual saya. Saya bukanlah seorang “estet” atau pemuja keindahan yang hanya hidup untuk menghasilkan karya-karya estetis, atau yang hidup demi keindahan belaka, seraya menghalalkan nilai-nilai kemanusiaan lainnya diinjak-injak.
Saya lebih merindukan kehidupan manusia yang bermartabat, dengan sendirinya juga merindukan transformasinya dalam kehidupan sosial, termasuk di lapangan politik. Kesadaran terhadap yang terakhir misalnya dalam upaya saya untuk melakukan semacam kerja sama dengan pihak militer di Sumatra Barat. Juga dalam kegiatan sebagai anggota DPRD Sumatra Barat (1971—1982). Suatu keterlibatan yang bukan didorong oleh kesadaran atau interest politik melainkan kesadaran dan tanggung jawab yang bersifat intelektual.
***
UPAYA-UPAYA atau “sukses” saya di lapangan sastra, kebudayaan, dan kehidupan intelektual umumnya, bagi banyak orang boleh jadi suatu surprise.
Surprise itu biasanya dikaitkan dengan kenyataan bahwa saya tetap tinggal di daerah. Persisnya di desa kecil Maninjau, kota Bukittinggi, lalu Padang. Padahal mereka yang dinilai menonjol di lapangan yang sama biasanya tinggal di Ibu Kota Jakarta. Atau Yogya.
Secara fisik kota-kota adalah sama, yaitu tempat pemukiman. Tapi sebenarnya kota-kota seperti Jakarta atau Yogya tahun 1950-an memberikan lingkungan dan suasana yang lebih hidup dan lebih intensif untuk berkesenian. Di sana bisa diperoleh banyak teman untuk berdiskusi meluaskan wawasan. Sedangkan wawasan-wawasan terbaru dari perkembangan sastra, budaya, dan pemikiran sosial seperti yang berkembang di Barat lebih gampang diperoleh berdasarkan bacaan. Lagi pula akan mudah berhubungan dengan media massa seperti majalah, koran, dan penerbit yang memberikan jangkauan yang luas kepada publik Indonesia. Pada akhirnya karena honor atau royaltinya jauh lebih baik daripada di daerah-daerah lainnya. Di Jakarta seorang penulis bisa hidup dengan hanya menulis. Bayangkan, dewasa ini honorarium sebuah cerita pendek di Harian Kompas sekitar Rp 200.000, sedang di Padang hanya sekitar Rp 5.000 atau sama dengan harga pita mesin tik dan kertas yang diperlukan untuk sebuah naskah.
Tidaklah mengherankan bahwa banyak mereka yang ingin jadi pengarang Indonesia memilih hijrah ke Jakarta atau Jogya-dan barangkali juga ke Bandung. Juga dari Sumatra Barat, seperti yang dicontohkan oleh “para pujangga” sejak Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, sampai-sampai kepada Chairil Anwar, Motinggo Boesje, bahkan Hamid Jabbar dan Asnelly Luthan serta banyak yang lain.
Hijrah ke Jakarta untuk berkembang memang masuk akal. Mereka yang pergi bertarung atau berjudi ke Jakarta kebanyakan sukses. Tapi juga banyak yang gagal. Akan halnya saya sendiri, yang memilih tetap tinggal di daerah, tidak saja dipandang sebagai melawan arus sejarah, akan tetapi juga sering dinilai sukses.
Lagi pula meskipun tetap “orang daerah”, dalam kenyataannya sampai dewasa ini, saya tetap bisa terlibat, melibatkan diri atau dilibatkan ke dalam main stream gerakan kesusastraan, kesenian, dan kehidupan intelektual Indonesia. Tempo-tempo saya menghadiri seminar atau forum perbincangan tertentu di Jakarta, di Kuala Lumpur, atau Singapura.
***
DEWASA INI ketika proses modernisme bahkan manajemen mengalami banyak benturan bahkan kegagalan, baik dalam konsep maupun penerapannya, maka secara berbarengan hal yang sama ditujukan terhadap sistem dan praktek sentralisme. Itu artinya orang menaruh harapan dan bersikap serius terhadap gagasan desentralisasi di berbagai lapangan, apalagi semakin menderasnya proses globalisasi. Juga di lapangan politik, meskipun tidak harus mengubah republik ini dari negara kesatuan.
“Pengalaman-pengalaman daerah” saya agaknya berguna atau inspiring bagi proses pencarian konsep alternatif bagi transformasi semacam gagasan desentralisasi, juga pluralisme. Baik di lapangan kesusastraan maupun kehidupan intelektual Indonesia pada umumnya di masa depan. Setidaknya saya harapkan demikian.
Lagi pula memang cukup banyak kegiatan saya yang berkaitan dan bisa saya kisahkan. Sebenarnya pengalaman biasa-biasa saja namun siapa tahu barangkali mengandung surprise juga karena kuat diwarnai situasi dan latar belakang yang bersifat lokal. Apalagi lebih banyak terkait dengan pengalaman-pengalaman diluar lapangan sastra-katakanlah kegiatan dan pengalaman intelektual, meskipun saya bukanlah seorang sarjana-apalagi yang jebolan universitas asing.
Izinkanlah saya menyatakan bahwa meskipun bermukim di daerah, namun kesadaran intelektual dan keterlibatan sosial saya tidaklah kurang intensifnya. Tentu saja dengan latar belakang dan warna lokal Sumatra Barat, apa pun artinya. Saya sendiri percaya semua itu tak kurang sifat keindonesiaannya.
Kalaulah tidak berlebih-lebihan, dalam hal-hal tertentu dibandingkan dengan situasi mereka yang tinggal di Jakarta barangkali hidup di daerah lebih intensif dan siapa tahu lebih dinamik. Misalnya dalam komitmen dan keterlibatan sosial.
Kenapa? Karena seniman dan intelektual di daerah secara langsung harus turun tangan. Baik atas kemauannya sendiri maupun karena di-fait-accompli oleh kenyataan yang menuntut keperdulian dan tanggung jawab sosial. Paling tidak saya mengalaminya.
Dilihat seperti itu sepertinya saya mengalami segi-segi yang membahagiakan karena tinggal di daerah. Memang demikian namun saya juga bisa berkisah hal-hal yang di luar itu.
Dengan demikian saya harap saya akan bercerita tentang pengalaman seorang manusia, kalau bukan pengalaman seorang intelektual. Tak lebih tak kurang, dengan segala arti dan kelemahannya. Dengan sendirinya tak bisa saya hindari bercerita tentang hal-hal yang bersifat pribadi, sekaligus sebagai cara berterima kasih terhadap lingkungan yang membesarkan saya sehingga saya merasa layak apabila dipandang pantas menjadi seorang manusia, manusia Indonesia.
000
Leave A Comment