SETIAP hari, subuh-subuh saya sudah bangun sekitar pukul 5.00 WIB pagi. Kami—saya dan Ramudin—sudah harus bersiap-siap pergi sekolah karena kereta api berangkat pukul 5.30 WIB. Saya penumpang gratis karena anggota keluarga pegawai kereta api. Sampai di Kayutanam sejam kemudian. Kadang-kadang, kalau terlambat bangun, saya tidak sempat mandi.

Sekolah usai di waktu sore. Karena itu saya selalu membawa nasi rantangan. Nasi itu saya tumpangkan ke sebuah kedai. Nanti, tengah hari diambil untuk dimakan. Saya bersama kawan Iain membawa nasi ke tepi batang air dan memakannya. Tetapi, sering nasi itu sudah dimasuki semut merah. Kalau sudah begitu, saya sangat menderita. Saya harus mengeluarkan dulu semut merah itu, baru memakan nasinya.

Jenjang pendidikan INS Kayutanam ada tiga tahap: Tahap pendidikan rendah (dasar) 7 tahun, tahap peralihan I tahun, dan tahap lanjutan 4 tahun (SLTP). Saya masuk INS sejak tingkat SD. Tapi yang lain ada yang masuk tahap lanjutan, karena itu harus mulai dari tahap peralihan—seperti Boestanoel Arifin Adam.

Semasa tujuh tahun SD (tingkat rendah) INS tahun 1932 sampai 1939, saya pernah “melompati kelas”, yaitu dari kelas 6 langsung ke kelas peralihan sebelum kelas di tingkat Ianjutan.

Suatu hari dalam tahun tahun 1939 ayah saya berhenti kerja di Jawatan Kereta Api. Maka kami sekeluarga berkumpul di Padangpanjang. Ayah Ialu membuka lepau nasi dekat bengkel kereta api. Saya pun tinggal di lepau dan tetap bersekolah di Kayutanam pagi dan sore.

Sebelum subuh, saya sudah mesti bangun. Memasak air dan nasi. Waktu itu saya masih kelas rendah di RP-INS. Kalau masuk pagi, pulang pukul 14.00 WIB dan kalau sekolah sore, pulangnya sekitar pukul 19.00 WIB.

Saya senang jadi murid INS. Dan boleh dikata lebih bebas. Saya senang kerajinan tanah liat untuk membuat barang-barang keramik. Membuat patung. Juga senang menggambar. Musik. Sebagai murid saya boleh mengerjakan apa saja, misalnya mau membuat patung ketika praktek keramik. Guru hanya membimbing teknis. Pada dasarnya sebagai murid saya lebih banyak belajar dari kesalahan sebelumnya, jadi semacam learning by doing.

Gaya mengajar guru INS seperti gaya seorang teman atau kakak. Kadangkala dengan nada mengejek, sehingga harus diperbaiki sendiri!

***

PADA INS tingkat lanjutan kami juga mendapat kesan seakan-akan kami bebas memilih vak yang kami sukai. Artinya bisa meninggalkan vak yang tidak kita sukai. Paling tidak saya pernah melakukannya.

Kami punya beberapa guru Bahasa Inggris. Ada Anwar Tamin, A. Hamid dan seorang lagi orang Malaya Aziz. Saya merasa terhina, karena guru Malaya itu pernah menokok kepala saya. Maka setiap dia masuk kelas, saya pun keluar.

Sekali waktu saya dicela Wakidi karena melukis orang. Kepala saya ditokok dengan pinsil. Sejak itu, saya tidak mau belajar melukis dengan Wakidi. Pertama karena ia seolah melarang saya menggambar orang. Kedua karena ia tokok kepala saya. Setiap dia masuk kelas, saya keluar. Tapi tidak ada hukuman kepada saya. Saya pikir, itu sedikit kasus unik jadi siswa INS.

***

SETELAH naik ke kelas dua tingkat lanjutan saya mulai berpikir: Kalau tamat sekolah, apa yang akan saya kerjakan, apa yang akan saya perbuat. Dua hal yang terpikir waktu itu: ingin menjadi petani atau membuka usaha reparasi mobiler dari rumah ke rumah. Ingin saya mulai dari Aceh.

Khayal indah menjadi petani muncul sendiri setelah suatu hari saya bersama siswa lainnya dibawa studi tour ke lokasi kebun percobaan di Lubuk Minturun, Padang. Dan saya lihat bagaimana cara orang menanam pisang, sawo, sayur-mayur dan tanaman lain. Saya jadi rindu. Itulah yang membuka keinginan atau fantasi saya. Di dekat rumah, ada kolam ikan terlantar. Terpikir, kolam itu tentu bisa dimanfaatkan untuk beternak ikan.

Maka saya membayangkan memiliki suatu lahan pertanian yang luas. Lokasinya di sepanjang rel kereta api dari Padangpanjang ke Kayutanam. Yakni kawasan-kawasan tanah subur di sana sini. Atau di sekitar Padangpanjang. Khayal seperti itu sudah dipikirkan. Saya berladang, menanam tanaman keras, beternak, berkolam ikan dan langsung tinggal di sana.

Keinginan satu lagi, pergi ke Aceh. Dari Aceh pergi ke selatan. Dibuat semacam gerobak untuk membawa alat-alat yang akan dipergunakan untuk mereparasi mobiler orang. Begitulah khayalan saya.

Saya sendiri heran kenapa berfantasi demikian. Jika dalam pengalaman seseorang pernah terjadi apa yang disebut cinta monyet, maka saya sepertinya pernah mengalami cita-cita monyet. Saya tak tahu bagaimana komentar pakar psikologi tentang itu.

***

DALAM kenyataannya saya belum mempunyai cita-cita apa pun. Orangtua saya, ayah atau ibu, pun tidak mengharapkan saya harus jadi apa kelak. Artinya tidak ada harapan-harapan yang mereka inginkan tentang masa depan saya. Tapi ayah saya selalu memenuhi berbagai kebutuhan yang saya minta seperti alat musik, lukis atau bacaan.

Mulanya ayah saya seorang juru gambar di Perusahaan Kereta Api, juga punya hobi kesenian. Dia seorang penggemar berat atau pencandu film. Film-film waktu itu masih film bisu yang diiringi musik hidup. Di bioskop ada boks tempat pemain musik. Karena sering menonton film di bioskop, ayah saya hafal musik-musik klasik ringan yang mengantar dan mengiringi film bisu.

Mamak saya yang siswa INS Kayutanam, Tahardiman, adalah seorang pemain musik. Mamak saya itu sering berlatih musik di rumah dan saya bersama saudara yang lain asyik mendengar. Bahkan kalau dia main musik di pasar malam, kami dibawa untuk mendengarkan dia main. Jadi, suasana rumah di masa kecil saya sangat mendukung selera musik. Kemudian Tahardiman menjadi salah seorang pemain biola di Orkes Studio RRI Jakarta pimpinan Syaiful Bahri.

Selain berlatih musik, ada juga kawan-kawan mamak saya itu yang melukis. Musik dan lukisan, itu kegemaran saya di bidang kesenian.

Sewaktu kelas IV saya diberi oleh ayah sebuah biola kecil. Biola itu dibeli melalui suatu lelang di Payakumbuh karena waktu itu ayah saya bekerja di sana. Sebelum memperoleh biola, ketika masih duduk ke kelas III saya belajar main gitar. Namun setelah memiliki biola sendiri maka saya belajar dan latihan main biola satu sejam sehari. Guru pertama, ya, mamak saya itulah.

Setelah setahun saya berhenti belajar biola. Soalnya berlatih biola meminta konsentrasi penuh dan lama sekali, itu pun belum jaminan untuk menjadi pemain biola yang handal. Untuk terpakai dalam grup musik di sekolah, misalnya, minimal harus belajar biola dua tahun.

Saudara sepupu saya, Ramuddin yang kemudian menjadi suami Hoeriah Adam, latihannya lebih keras. Berjam-jam dia berlatih biola sendiri. Juga teman-teman saya. Mereka akhirnya ada yang masuk grup band sebagai violis. Tapi saya tidak. Maklumlah orang lain lebih sungguh-sungguh karena itu lebih mahir, sedangkan penguasaan biola saya seolah tidak maju-majunya.

Meskipun demikian saya ingin segera terpakai dalam  grup musik. Saya tidak memikirkan bagaimana menjadi pemain biola yang baik, melainkan bagaimana menjadi pemain dalam grup.

Akhirnya saya belajar flute. Suling. Untuk menjadi pemain flute di grup musik sekolah, biasanya cukup belajar setahun. Tapi saya hanya enam bulan belajar dan berlatih flute, langsung masuk orkes. Memainkan suling rupanya tidak terlalu sulit buat saya. Maklumlah sebelumnya sudah belajar biola dan sudah menguasai not balok. Kebetulan mamak saya, Tahardiman itu, pemain musik yang komplit di grup musiknya.

Saya berlatih dan belajar enam bulan maka langsung jadi pemain flute dalam sebuah grup. Dalam grup itu, Boestanoel Arifin Adam adalah violis yang handal. Penguasaan biolanya luar biasa! Ia kemudian memang dikenal sebagai solis pada biola. Dia sempat melanjutkan studi musik di Brussel, Belgia.

Memang, dalam musik dan kehidupan ini, bagi saya yang terpenting justru bagaimana supaya bisa ikut. Yang prinsip adalah terpakai, sedangkan menjadi pemain biola atau tidak adalah soal selanjutnya.

***

SEBELUM sukses jadi pengarang, saya pikir saya akan jadi pelukis atau pematung. Kalau tidak ya pemain musik. Di luar itu saya adalah seorang kutu buku meskipun belum terpikir mau jadi pengarang.

Ayah saya senang kalau saya membaca. Juga memberi uang untuk membeli bahan bacaan. Namun saya lebih banyak meminjam bacaan dari pada membeli.

Saya biasa meminjam di sekolah, ke kawan, atau ke toko tempat orang menyewakan buku bacaan. Kalau meminjam ke SD Negeri, sewa buku 2 sen seminggu. Biasanya saya minta kawan yang meminjamkan, saya yang bayar dan dibaca bergantian. Kawan itu membaca tiga hari dan saya tiga hari pula. Kalau dipinjam di tempat penyewaan buku, sewanya 2 sen sehari.

Di atas kereta api antara Padangpanjang dan Kayutanam, banyak kesempatan untuk membaca. Apa saja yang bisa saya baca, saya baca untuk pengisi waktu. Saya tahu, dengan membaca ada tambahan ilmu. Kalau tidak membaca pelajaran sekolah tentulah saya membaca buku cerita.

Kadang-kadang saya latihan main suling. Karena di gerbong tidak banyak penumpangnya, saya kembangkan buku metode di bangku dan saya tiup suling.

Pekerjaan saya lainnya di atas kereta adalah membuat sket dengan pensil atau konte. Saya mensket orang sedang tidur atau apa saja. Itu kalau tidak ada bacaan. Saya waktu itu, mahirlah membuat sket. Saya paling suka menskets orang: orang sedang tidur, atau membual di gerbong kereta api.

Membaca itu begitu mengasyikkan saya. Ketika masih sekolah, sering saya tinggalkan praktek keterampilan di workshop lalu pergi ke gudang. Di gudang itu saya membaca buku sampai tamat, sehingga terkantuk dan tertidur. Kadangkala sekolah sudah usai dan orang sudah pulang, sedangkan saya terkurung di gudang dan terpaksa ke luar lewat jendela.

Sekali waktu tahun 1939 ayah saya menang lotre sebesar Rp 750. Lalu saya dan adik-adik dibawa piknik ke Medan. Di Medan, saya dibawa ke toko buku loak. Ayah tahu saya gemar membaca. Dan selama ini ayah selalu membelikan buku-buku kalau saya minta. Di toko buku loakan itu saya disuruh memilih apa saja buku dan majalah yang saya sukai.

Saya memilih majalah-majalah; Pedoman Masyarakat dan Panji Islam. Setiba di rumah majalah itu saya jilid sendiri baik-baik.

Dari majalah Pedoman Masyarakat khususnya, yang paling saya sukai cerita bersambung Hamka. Lalu saya suka cerita pendek, tulisan-tulisan filsafat Islam. Sejak masih SD, saya sudah berkenalan dengan filsafat, juga sejarah Islam.

Pada masa remaja bakat seni yang terus saya pupuk adalah melukis dan main musik. Mengarang belum, tapi kesukaan membaca tidak pernah surut.

***

SISWA INS adalah anak laki-laki. Jadi saya tak ada masalah dalam pergaulan sesama siswa INS. Biasa-biasa saja. Namun memang ada uniknya. Setiap kali kawan-kawan di INS mampu meraih prestasi yang bagus, saya selalu berpikir, “Awak manga kok indak bisa! (Saya kenapa tidak bisa!)” Selalu itu pertanyaan yang muncul.

Begitu juga dengan mengarang. Saya selalu tercengang melihat orang pandai mengarang. Heran atau kagum seperti seorang anak yang bertubuh kecil cemburu melihat rekannya yang bertubuh besar berhasil melaksanakan sesuatu.

Kok sahebat tu bana (Kok sehebat itu benar), pikir saya sama sendiri.

Maka ada juga keinginan agar pandai mengarang. Bukan menjadi pengarang. Diam-diam saya mencoba mencari jalan agar pandai mengarang. Saya penasaran, manga awak indak bisa! (mengapa saya tak bisa).

Kalau saya menemukan puisi di koran, saya gunting dan saya tempelkan di buku tulis. Waktu itu, tahulah saya bagaimana model puisi angkatan Pujangga Baru. Saya pun mencoba-coba membuat puisi. Tetapi saya tidak begitu suka dengan puisi. Yang paling menarik justru membaca novel atau cerpen. Saya sudah mulai membaca buku-buku cerita yang dikenal sebagai roman picisan. Karangan-karangan yang ada waktu itu, baik yang diterbitkan Balai Pustaka, maupun karangan orang Cina, hampir semua saya baca. Waktu membaca itulah, saya mencoba mengamati kalau ada kalimat yang rancak (bagus) dan alinea yang bagus lalu saya salin. Begitulah awal munculnya keinginan pandai mengarang.

***

PELAJARAN praktek kerajinan dan pertukangan menanamkan sikap tak suka berpangku tangan. Saya termasuk murid yang rajin bekerja. Apa saja pelajaran praktek keterampilan saya ikuti.

Saya juga terbiasa mengerjakan sesuatu secara teliti, cermat, hemat, dan tuntas. Pantang benar bagi Engku Sjafei suatu pekerjaan terbengkalai. Apalagi meninggalkan “kotoran”, yaitu sisa-sisa sampah dan perkakas yang tak teratur. Akibatnya memang ada rasa puas dan percaya diri setelah menyelesaikan suatu kegiatan dengan sempurna, meskipun hanya kegiatan sederhana seperti membuat kapstok. Karena itu ada perasaan kita mampu melakukan apa saja, tak tergantung pada orang lain. Bahan-bahan (material) untuk pelajaran pertukangan dibeli sendiri oleh siswa. Dan saya tidak punya uang. Lalu saya membantu teman-teman yang membuat kursi zice atau lemari. Dengan demikian saya memperoleh kesempatan untuk praktek ketrampilan.

Kalau ada kemauan, kata Engku Sjafei, ada jalan.

Dalam banyak hal saya rasa itu benar.

Saya tidak menamatkan sekolah. Situasi dan kesulitan umum di zaman Jepang berpengaruh pula pada ekonomi sekeluarga.

Tapi saya merasa mendapat tempat yang tepat yang mendidik saya mengembangkan bakat dan pribadi sehingga kompleks anak berpostur kecil mendorong saya agar “bisa terpakai” di mana-mana, termasuk dalam kesukaan “ikut ngomong” atau berpikir. Sejak kecil saya suka berdebat, suka menyatakan pikiran. Dalam kepala saya yang kecil, misalnya, saya sudah mempertanyakan hal-hal besar seperti apa dan bagaimana Allah—apalagi karena ikut-ikut membaca majalah dan buku-buku Islam, sedangkan basis pendidikan yang saya peroleh di INS membentuk saya memiliki kepercayaan diri untuk bertanya “kenapa saya tak bisa”, sampai akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa “kalau orang bisa kenapa kita tidak!”

Semua faktor ini, saya rasa, memotivasi dinamika diri saya untuk maju dalam perjalanan hidup saya sebagai manusia, apa pun artinya dan maknanya, sementara kesukaan saya membaca dan berdiskusi tidak pernah surut.

000