YA RITUAL, YA BUDAYA
Oleh AA Navis
(Dimuat pada Harian Sriwijaya post/Minggu, 29 Maret 1992 dan Harian Singgalang Padang/Jumat, 27 Maret 1992 dengan judul Idul Fitri dan Budaya Lokal)
WAKTU acara penyerahan Piala Citra pada FFI tahun lalu, Novia Kolopaking diiringi oleh Damsjik. Masa itu sinetron “Sitti Nurbaya” sedang lagi top-topnya. Maka kedua bintang itu tampil dengan pakaian seperti pasangan Sitti Nurbaya dengan Datuk Maringgih yang mereka gunakan dalam sinetron yang top itu. Ketika terjadi suatu insiden kecil, Novia berkata pada Damsjik: “Maaf, 00m”. Dan Damsjik spontan menjawab sebagaimana Datuk Maringgih menjawab permintaan maaf ayah Sitti Nurbaya. Katanya: “Soal maaf memaafkan, itu soal hari raya”. Jadi logika dialog kecil itu ialah maaf memaafkan bagi setiap orang berlaku pada Hari Raya, yaitu pada Idul Fitri.
Menurut kepercayaan Islam, Idul Fitri merupakan hari raya, hari bahagia karena mereka telah menyelesaikan dengan selamat salah satu ibadah yang berat, yaitu berpuasa dan bersadakah selama sebulan penuh. Namun kebudayaan lokal dari umat Islam di Indonesia menambahkan hikmah hari Idul Fitri itu dengan suasana yang meriah. Semacam pesta budaya. Orang-orang dan anak-anak terutama memakai baju baru bagus-bagus. Setiap rumah menyediakan makanan yang enak-enak yang dihidangkan dengan wajah yang ceria pada setiap tamu yang datang. Ada kalanya pula setiap anak-anak yang datang berkunjung pada sebuah rumah kerabat dekat atau jauh di hari itu, diberi: uang guna menambah meriah suasana atau menambah erat silahturahmi antara yang memberi dengan yang menerima. Dan tentu saja bagi yang menerima akan terkenang sepanjang umurnya. Artinya, pada saat itu setiap orang menjadi umat Islam yang terbaik dan pemurah, rahman dan rahim menirukan sifat-sifat Allah yang mereka imani.
Pada hari raya umat Islam di Indonesia terutama pada saling kunjung mengunjungi. Yang muda mengunjungi yang lebih tua, anak buah mengunjung bos. Bersalaman dan saling menyampaikan maaf. Tidak ada perasaan malu atau perasaan rendah diri di kala meminta maaf itu. Padahal pada hari-hari biasa meminta maaf itu sangat sulit diucapkan. Malah tidak pernah ada kasus, bahwa seseorang mengusir tamu, meski tidak pernah terdengar atau terjadi si tuan rumah tidak mau menjawab salam tamu yang tidak disukai itu. Demikian kudusnya hari raya tersebut.
Nah, andaikata Islam tidak menyediakan Idul Fitri itu, kapankah umat Islam berbondong-bondong saling kunjung untuk meminta dan menerima maaf antara sesamanya?
Mengaku salah, apalagi meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan dengan sengaja apalagi tidak dengan sengaja, bukan merupakan kebudayan bangsa kita. Politisi atau pejabat lebih suka mencari dalih atau mencari kambing hitam agar bebas dari kesalahan yang ia lakukan. Mana ada pejabat atau pemimpin bangsa kita dari semua tingkatan yang mau mengundurkan diri dari jabatannya karena telah melakukan kesalahan. Kalau kita mempunyai kebudayaan demikian, mungkin situasi dan kondisi sosial ekonomi bangsa jauh berbeda dari sekarang. Mungkin Indonesia jauh lebih cemerlang dari yang sekarang. Sehingga ada kata orang, jika mau menjadi politisi atau pejabat, mulailah belajar tebal-muka. Mungkin kata-kata itu sedikit provakatif.
Tapi yang benar, ialah Bangsa Indonesia sangat pemaaf. Ya, yang rakyatnya. Orang biasa saja melupakan suatu peristiwa, sehingga peristiwa itu bak es lilin yang terjemur di matahari, kian lama kian kecil dan kemudian menghilang sama sekali. Maka oleh karena itu apabila ada pejabat atau politisi telah melakukan kesalanan yang berakibat fatal sekali pun bagi orang banyak, orang bagai tidak perduli, acuh tak acuh. Mungkin mereka tidak memaafkan namun mereka suka melupakannya saja. Barangkali karena budaya kita demikian, pesta Idul Fitri merupakan momentum paling tepat untuk saling memaafkan.
Meski kita telah menjadi bangsa modern, acara saling kunjung sudah dapat diganti dengan pengiriman kartu lebaran atau memakai telepon saja, namun budaya kita masih belum beranjak jauh. Bangsa kita masih sungkan, bahkan dianggap kurang ajar, bila mengucapkan selamat hari raya dan maaf lahir batin itu melalui kartu atau telepon kepada atasan atau yang lebih tua yang bertempat tinggal se kota. Sehingga akibatnya, acara berhari raya bisa-bisa sampai memerlukan waktu satu bulan. Maka hari raya menjadi hari-hari yang memberatkan bagi anak buah atau orang-orang yang lebih muda. Namun semua orang yang telah sempat menunaikan permintaan maaf, seolah telah memperoleh nikmat, bagai sengsara membawa nikmat seperti judul sinetron yang lain. ltulah hikmah Idul Fitri. Dan bayangkan bagaimana sengsaranya kita bila Idul Fitri itu tidak ada.
000
Leave A Comment