BERMULA DARI SEPUCUK SURAT SANG KIYAI

Oleh : A.A. Navis

https://www.petrishenko.com/
slot gacor
slot gacor maxwin
gacor333
https://www.gacor333.co/
gacor333 login
https://www.sin303.co/
sin303
sin303 login
https://www.woodrestorationmalta.com/
sin303
slot gacor
https://demoweb.lldikti4.or.id/m8bet/
m8bet
m8bet login
https://demoweb.lldikti4.or.id/mas8/
mas8
mas8 login
slot bonus
slot bonus 100
http://teknikelektro.ft.mercubuana.ac.id/wp-content/language/slot-bonus-100/
http://teknikelektro.ft.mercubuana.ac.id/wp-content/themes/seotheme/page/slot777/
slot777
slot777 login
http://teknikelektro.ft.mercubuana.ac.id/wp-content/uploads/2017/12/
slot shopeepay
slot shopeepay 10000
new member 100
https://repository.hikmahuniversity.ac.id/slot-bonus/
jayabet
https://www.bovingdon.net/
polisislot
polisi slot
slot gacor
slot online
https://www.pin303.co/
1xbet
1xbet indonesia
https://demoweb.lldikti4.or.id/1xbet-indonesia/
slot gacor
slot online
https://demoweb.lldikti4.or.id/slot-gacor/
slot777
slot online
https://demoweb.lldikti4.or.id/slot777/
slot gacor
slot online
https://diskominfo.klaten.go.id/uploads/slot-gacor/
slot server luar
server thailand
https://bovingdon.net/slot-server-luar/
slot server luar
server thailand
http://cbt.mimiftahululumbendung.sch.id/server-thailand/
megapari
server thailand
https://www.apapunada.my.id/megapari/
depo 25 bonus 25
slot188
https://heylink.me/slot188maxwin/
https://heylink.me/situsfreechip/
w69
w69 indonesia
http://cbt.mimiftahululumbendung.sch.id/w69-indonesia/
we88
we88 indonesia
https://demoweb.lldikti4.or.id/we88-indonesia/

(Dimuat dalam Harian Singgalang, 12 April 1989)

SEKEMBALI menghadiri seminar “orang awak” di Jakarta dan Bandung, saya mendapat surat dari Yogyakarta, yang kata pendahulunya berbunyi: perkenankanlah saya mengenalkan nama saya: A.H. Fachruddin (Pak A.R). Dan selanjutnya isi penting dari surat itu ialah: Saya membaca dlm buku “Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia tahun 1983-1984″ terdapat diantaranya nama Saudara beserta keterangan riwayat penting ringkasnya. Saya gembira dan bersyukur, karena dari 745 orang ada sejumlah 487 orang yang menyatakan beragama Islam. Berarti saya seagama dengan Saudara.

Saya merasa terenyuh membaca surat tersebut, yang ternyata dari Ketua PP Muhammadiyah. Terenyuh oleh karena dari jumlah nama tokoh yang tercatat terdapat hanya 65,36% saja yang beragama Islam. Pada hal berdasarkan angka-angka sensus, orang Indonesia yang beragama Islam ialah 89%. Maka semestinya jumlah nama tokoh itu jika disesuaikan dengan angka sensus ialah 663 orang. Kemana larinya sejumlah 23,6% tokoh lainnya yang semestinya ada itu?

Angka itu memang tidak lari ke mana-mana. Angka itu menunjukkan bahwa pamor umat Islam di Indonesia memang rendah mutunya dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang menganut agama bukan Islam, identik dengan pamor umat Islam di dunia yang tidak mampu “mencaguik” di tengah-tengah dunia internasional.

Saya terenyuh, karena pada seminar “orang awak” yang saya ikuti di kedua kota itu baru-baru ini, saya pun mengemukakan angka-angka betapa merosotnya jumlah nama orang Minangkabau di dua ensiklopedi yang diterbitkan tahun 1955 dan tahun 1985, yaitu dengan perbandingan 20% pada tahun 1955 menjadi 9,7% di tahun 1985. Dan kemerosotan pamor orang Minangkabau itu ada hubungannya dengan agamanya yang Islam pula.

Ketertinggalan umat Islam Indonesia atau orang Minangkabau dalam forum nasional seperti yang dilihat pada buku “Apa dan Siapa” atau “Ensiklopedi Indonesia” itu, mungkin dapat dicari pada apa yang mereka pikirkan atau kerjakan, apa yang mereka cita-citakan atau perjuangkan bagi dirinya sendiri atau bangsa. Alangkah sulitnya untuk mengetahuinya.

Baik dalam sosiologi dan psikologi atau ilmu yang ada seperti ilmu komunikasi dan pedagogi dikatakan bahwa kecenderungan masyarakat dapat dibentuk dengan indoktrinasi, propaganda ataupun dakwah. Tentu saja akan sangat berhasil apabila disampaikan secara efektif. Dengan demikian maju-mundurnya umat Islam di Indonesia dapat terjadi karena efektif-tidaknya dakwah yang disampaikan oleh para da’i atau Islam itu sendiri. Dalam arti kata lainnya, kalau terjadi kemerosotan umat tidak lain karena sistem dan metoda serta materi dakwah tidak efektif, tidak terarah ke sasaran, bahkan mungkin juga ngawur.

Setiap mesjid yang terorganisasi dengan baik setiap hari melaksanakan dakwah, bahkan sangat intensif pada setiap bulan puasa. Belum termasuk dakwah yang disampaikan secara bergiliran dari rumah ke rumah, baik pada waktu arisan, takziah atau acara perkawinan. Namun kenapa kualitas umat Islam Indonesia secara kuantitatif tertinggal dari penganut agama lain, seperti yang dihitung oleh Kiyai H. A. R itu?

Jika dilihat dari observasi yang saya lakukan, materi dakwah lebih masalah moral atau hanya berkisar pada masalah moral, terutama tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, dan sedikit tentang hubungan sosial dan sikap manusia yang bertakwa. Materi dakwah tersebut efektif bagi orang tua, baik bagi kebutuhan rohaninya atau nasehat yang tak langsung ditujukan kepada anak-anak mereka yang sulit mereka urus. Namun nampaknya tidak efektif untuk memotivasi citra umat Islam agar menjadi bangsa yang disegani dunia, karena ilmunya, karena kepiawaiannya dan karena perannya sebagai khalifah di buminya. Adalah tidak berlebihan apabila Menteri Agama sampai menggagaskan program ulama plus, mengingat lemahnya perannya umat Islam pada berbagai gelanggang kehidupan nasional.

Terlepas dari perbedaan pandangan tentang pengertian ulama plus itu, karena ada pendapat bahwa ulama tidak bisa dicetak seperti sarjana umpamanya, namun gagasan menteri itu cukup memberi indikasi bahwa ketertinggalan umat Islam Indonesia sungguh-sungguh memprihatinkan. Keprihatinan itulah yang memotivasi mahasiswa Universitas Pajajaran Bandung untuk memprakarsai seminar yang bertema “Etos Kerja yang Islami dari Masyarakat Minangkabau”. Materi dari etos kerja yang Islami sangat bertolak belakang dengan materi ajaran sufisme yang sangat dominan di sampaikan oleh kebanyakan da’i dalam dakwah, sebagaimana yang pernah saya diskusikan dengan Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Mawardi Junus dan Khaidir Anwar beberapa tahun yang lalu di Kantor Perwakilan Pemerintah Sumbar, Matraman Raya. Yaitu bertolak atas materi dakwah yang bahwa dalam kubur para malaikat tidak menanyakan tentang apa dan berapa kekayaan seseorang, melainkan yang ditanyakan apa amal salehnya. Materi itu, menurut saya pada diskusi itu, memperlemah etos kerja umat Islam. Menurut saya umat Islam harus kaya raya agar mampu beramal banyak, hanya saja cara mencari kaya itulah yang harus Islami.

Visi dari etos kerja yang Islami, tekanannya bukanlah pada prilaku yang berakhlak menurut agama, melainkan pada sikap hidup yang berkemauan keras untuk mencapai hasil yang maksimal, baik oleh pejabat, pengusaha, ilmuwan, karyawan atau seniman dan lainnya. Menurut psikologi, orang yang berkemauan dan berkemampuan bekerja keras sepanjang waktu, dengan sendirinya terhindar dari sikap yang berakhlak rendah. Ciri dari orang yang rendah akhlaknya terdapat pada orang-orang yang tidak sibuk, tidak mau sibuk untuk mencapai hasil yang maksimal.

Menurut saya ketertinggalan umat Islam Indonesia dalam forum nasional banyak disebabkan oleh pilihan materi dakwah yang disampaikan oleh para da’i atau mubaligh. Ketrampilan mereka dengan berbagai gaya yang memikat jemaah dalam berdakwah nampaknya didapat dari pengalaman, bukan latihan khusus, sesungguhnya prestasi yang bagus. Namun dalam memilih materi dakwah tidak atau belum memakai pola yang strategis, tetapi sangat tergantung pada masalah yang aktual, itupun berkisar pada masalah moral, seperti masalah seksual, perjudian, etiket serta mode dalam hal pakaian. Seolah-olah yang menjadi problem dari umat Islam di Indonesia tidak lain dari masalah moral semata.

Oleh karena itu ada baiknya apabila MUI bersama IAIN sebagai institusi ilmu pengetahuan Islam melakukan evaluasi dalam hal ini dengan membawa berbagai pakar di bidang ilmu pengetahuan. Dan selanjutnya melakukan penelitian dan kajian untuk menyusun suatu program kerja tahunan yang berkesinambungan terus menerus. Seyogianya MUI bersikap lebih aktif dalam berprakarsa, sehingga MUI tidak hanya terlihat sebagai “lembaga fatwa” yang tampil ke depan bila datang “order” untuk merestui dan melegalisasi program pemerintah saja.

000