Sejak kecil Navis rajin membaca, baik buku maupun majalah terkenal yang terbit kala itu. Dilakukannya baik di rumah, di sekolah maupun di gerbong kereta api. Ia pun selalu mencoba ikut dalam berbagai kegiatan baik di lingkungan pergaulannya maupun di sekolah seperti kegiatan kerajinan, kesenian dan sepak bola. Berupaya menjadi orang terpakai, katanya seperti diriwayatkan dalam otobiografinya. Navis kecil juga aktif membantu keuangan keluarga dengan berjualan berbagai penganan yang dibuat Mak Tuonya, membuat peniti dan bercocok tanam.
Memasuki usia dewasa di Padang Panjang, kampungnya, ia mulai mandiri. Mulai dari jadi kacung di grup kesenian, melukis, membuat patung, anggota orkes musik sampai jadi pegawai pabrik porselen milik Jepang. Kemudian mendirikan pabrik porselen dengan beberapa kawannya sesama alumni INS Kayutanam setelah Jepang hengkang. Sampai 40 orang karyawannya. Namun kemudian bangkrut. Ketika pengumuman Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Jepang masih berkuasa dan menduduki Batu Sangkar, 30 km dari Padang Panjang, ada himbauan untuk menggempur Jepang disana. Navis mengajukan diri ikut dengan 9 orang lainnya dengan modal senjata apa adanya seperti parang dan tombak. Tapi tidak jadi karena ketika akan berangkat, Jepang sudah kembali ke baraknya. Kemudian ia membuat patung di Pariaman dengan seorang asisten, adiknya, Anas Nafis. 2 tahun lamanya disana.
Lalu Navis pindah ke Bukittinggi bersama orang tua dan adik-adiknya. Di kota ini ia mendirikan sanggar. ARCA namanya. Lalu mendirikan organisasi seniman muda. Namanya SEMI, Seniman Muda Indonesia. Ia juga bergabung dengan Sumatera Symphoni Orchestra sebagai pemain flute. Ia pun membuka usaha toko buku. Toko Buku Djuita ia beri nama. Sewaktu agresi Belanda II akhir tahun 1948, apa yang sudah ia bangun di ibu kota propinsi Sumatera itu berantakan. Pada masa ini Navis juga membantu membebaskan salah seorang kerabat koleganya yang ditahan pihak militer. Barter candu dengan senjata juga dikerjakannya tanpa pernah ditangkap. Nampaknya punya banyak kawan membuat Navis dapat melaksanakan kegiatannya dengan baik.
Navis yang selalu aktif itu kemudian banyak menulis. Boleh dikata, dimanapun berada, ia selalu menulis selain melaksanakan kegiatan-kegiatan sosialnya. Baik ketika jadi pegawai negeri di Jawatan Kebudayaan Bukittinggi 1952-1955 maupun ketika jadi anggota DPRD Tk. I Sumatera Barat tahun 1971-1982. Baik ketika menetap di Bukittinggi, kemudian Maninjau, Bukittinggi lagi, lalu di Padang. Ketika mengunjungi berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat, menulis terus saja ia lakukan. Di Harian Singgalang, hasil pengamatan Navis di Amerika Serikat dimuat dalam artikel berjudul “Surat-Surat A.A. Navis dari Amerika Serikat” selama beberapa hari.
Ketika menunaikan ibadah haji di Mekah pada tahun 1994 bersama istrerinya, Navis juga menyempatkan diri menulis yang kemudian langsung di kirim dari sana dan dimuat setiap hari di Harian Singgalang Padang dengan judul “Surat-Surat Haji AA Navis”. Surat-surat haji ini berbicara mengenai perilaku manusia dalam menunaikan ibadah haji, keanehan-keanehan yang dialaminya, merasakan betapa kerasnya tantangan yang dialami Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sampai analisis fenomena-fenomena seperti kenapa Ka’bah berbentuk kotak, kenapa harus memakai baju ihram dan sebagainya. Tulisan ini kemudian dibuatkan buku oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul “Surat dan Kenangan Haji A.A. Navis” pada tahun 1994.