LANGIT MAKIN MENDUNG: SIMALAKAMA KREATIVITAS
Oleh: A.A Navis
(Dimuat oleh Harian “Aman Makmur” 1969. Padang, Tahun VI, 23 Oktober)
MAJALAH “Sastra” nomor Augustus 1960 diberangus oleh Kejaksaan Tinggi Medan, karena memuat cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” karya Ki Panji Kusmin yang dianggap telah menghina agama Islam. Sejumlah seniman sastrawan dan cendekiawan di Jakarta telah memprotes tindakan Kejaksaan Tinggi itu. Diantaranya kritikus H.B Jassin, Ketua Dewan Kesenian Jakarta Trisno Sumardjo, Ketua Badan Pembina Teater Nasional D. Djajakasuma, Dr. Umar Khayam Direktur Jenderal Filem, Radio dan TV Republik Indonesia. Juga penyair Taufiq Ismail dan anggota DPR/MPRS Slamet Sukirnanto.
Dalam sejarah kesusastraan dan penerbitan sejak zaman kolonial dulu pernah terjadi pemberangusan. Novel Maisir Thaib yang berjudul “Meester Leider Semangat” diberangus dan pengarangnya dipenjarakan di Sukamiskin lebih setahun. Pada masa Orde Lama ratusan judul buku dibakar dan dilarang beredar dan pengarangnya diganyang habis-habisan, walau isi buku itu tidak ada sangkut pautnya dengan politik masa itu.
Lalu pada zaman Orde Baru yang menentang teror dan sistem politik Orde Lama, melakukan hal yang serupa dengan membakar dan melarang beredarnya buku-buku yang ditulis oleh pengarang yang anti Orde Baru, meski banyak diantara buku itu tidak ada sangkut pautnya dengan politik. Bahkan eksponen Orde Baru di Palembang dengan menggunakan anak-anak yang bernaung dalam KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) telah membakar surat kabar dan majalah yang tidak disukai isinya meski status penerbitan dan penyiarannya masih sah ada. Aksi anak-anak ini ditoleransi oleh pemerintah setempat. Juga beberapa kantor surat kabar di Surabaya mendapat giliran yang serupa, malah diobrak abrik oleh yang menamakan dirinya Orde Baru.
Kini tibalah giliran majalah “Sastra”. Majalah yang pada masa Orde Lama pun diberangus. Ditemui berbagai aspek dari peristiwa kasus ini, baik dari segi hukum, politik maupun keagamaan.
Aspek Hukum.
Pada aspek hukum dapat dilihat dari berbagai sisi. Bahwa Kejaksaan Tinggi yang mempunyai kekuatan hukum menurut HIR (Herziene Inlands Reglement) itu bukan hanya telah melakukan tindakan preventif, juga telah mengadili dan menghukum suatu karya yang belum tentu dipahami sebagaimana memahami kejahatan yang konkrit. Dalam hal ini komentator RRI, Wiratmo Sukito (yang baru saja berpindah agama dari Katolik ke Islam) telah menulis dalam “Harian Kami” sebagai berikut: “Bahwa pihak Kejaksaan Tinggi di Medan bukan saja telah bertindak sebagai Kejaksaan, tetapi juga telah bertindak sebagai Pengadilan, yang telah mengadili majalah bulanan Sastra in absentie, hal mana bertentangan dengan apa yang tersurat dan tersirat dalam pidato kenegaraan Presiden Soeharto, memperkuat pelaksanaan sistem konstitusional, menegakkan hukum dan menumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat sebagai syarat mutlak untuk mewujudkan stabilisasi politik.”
Sikap Kejaksaan Tinggi itu akan menimbulkan konsekwensi hukum yang luas pula karena setiap kelompok dalam masyarakat yang bagaimana pun kecilnya harus mendapat pelayanan yang sama apabila mereka pun memandang suatu karya sastra atau tulisan sebagai suatu yang bertentangan dengan kaidah kehidupannya. Kalau tidak, pemahaman hukum dalam kehidupan demokrasi akan senantiasa berpihak kepada yang kuat atau yang berkuasa semata. Maka hukum yang melambangkan keadilan yang sangat nisbi.
Andai kata suatu karya sastra atau pun tulisan diumpamakan sebagai orang yang menjadi tersangka, berapa lama hak Kejaksaan Tinggi untuk menahan si tersangka untuk diperiksa dan ukuran-ukuran apa yang dipakai untuk menjadikan karya sastra itu sebagai tersangka yang dapat dibawa ke pengadilan. Apakah ukuran yang dipakai hanya semata-mata ukuran yang diberikan oleh para ulama di Sumatera Utara saja, ataukah juga akan dipakai ukuran-ukuran kesusasteraan? Andaikata pertimbangan yang digunakan hanyalah berdasarkan delik aduan pihak ulama setempat, maka sikap hukum di Sumatera Utara akan berbeda dengan sikap hukum di wilayah lain di Indonesia. Dengan sikap hukum demikian akan terjadilah keanekaan tindakan dari peralatan hukum itu sendiri. Umpamanya di suatu wilayah hukum suatu buku di terima tapi di wilayah hukum lainnya dilarang. Seperti halnya penyitaan buku-buku komik di Bukittinggi baru lalu oleh pejabat yang mengatas namakan Muspida, pada hal buku tersebut jelas mencantumkan izin terbit dari pihak Kepolisiaan Jawa Barat. Tentu saja hal ini merupakan tindakan hukum yang aneh pada Republik Indonesia yang berdasarkan Negara Kesatuan ini.
Aspek Politik.
Dari aspek politik, kasus majalah “Sastra” ini merupakan suatu versi dari tindakan-tindakan yang dapat ditunggangi oleh kepentingan politik lokal, regional maupun nasional. Pada suatu daerah seperti Sumatera Selatan pihak KAPPI dibenarkan oleh pejabat hukum untuk merampas majalah/koran pada kios-kios, lalu mereka bakar tanpa mengganti kerugian pemilik kios.
Kemudian pemerintah setempat mengeluarkan larangan atas beredarnya majalah/koran yang diganyang KAPPI ini. Hal ini merupakan suatu legalisasi dari suatu tindakan teror politik yang selama ini kita cela waktu dilakukan Orde Lama. Akan tetapi lebih berbahaya lagi apabila pemerintah yang menggunakan anak-anak KAPPI sebagai taktik operasional dalam menumpas kekuatan yang tidak disukai. Cara demikianlah yang selalu digunakan oleh orang-orang PKI dalam mengganyang lawan-lawan politiknya. Setidak-tidaknya cara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Sumatera Selatan atau pun di Surabaya itu akan mengajak massa menggandrungi sikap yang anarkis.
Dalam bentuk lain apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi terhadap majalah “Sastra” sesungguhnya telah memberi hati kepada suatu kekuatan politik lokal terhadap suatu media yang bersifat nasional, yang sesungguhnya akan sulit baginya untuk melakukan penuntutan kepada pengarang atau penerbit karena perbedaan wilayah kekuasaan. Terkecuali kalau Kejaksaan Agung mendukung tindakan bawahannya. Lazimnya Kejaksaan Agung tentulah akan mendukung tindakan bawahannya pada tingkat pertama. Salah benarnya bawahan itu akan diperhitungkan kemudian. Dan tentu saja sastrawan dan karyanya yang selalu menjadi kurban.
Aspek Kebebasan Berkarya.
Aspek kebebasan mencipta memang akan tetap menjadi paling ruwet selama pihak-pihak yang tidak mempunyai kredibilitas di bidang kesusastraan ikut campur dalam menilai karya sastra. Misalnya akan terjadi kelak, bahwa sebuah karya akan dipandang oleh umum sebagai porno. Sikap kejaksaan seperti di Medan itu tentulah akan melarang peredaran karya sastra tersebut. Padahal porno tidaknya karya sastra tidak mungkin diukur dengan norma-norma lama, yang pada umumnya menjadi pegangan formal. Tanpa peduli bahwa nilai normatif sudah berubah oleh zaman.
Akibatnya tentu saja karya sastra tersebutlah yang selalu menjadi korban pada tingkat pertama. Dan andaikata menurut penegak hukum karya itu terbukti salah, namun menurut fihak lain yang lebih kompeten tidak, akan cukup sulit bagi sastrawan atau penerbit untuk menuntut ganti rugi pada Pemerintah. Kasus demikian mungkin akan sering terjadi, bukan hanya karena alasan porno, tapi juga karena alasan politik atau stabilitas keamanan yang sulit diketahui di mana tepinya. Apabila kewenangan hukum yang dimiliki yang berwajib seperti Kejaksaan Tinggi tidak diberi kesempatan untuk diuji oleh Pengadilan Negeri dan hak-hak sastrawan tidak diberikan untuk menuntut ganti rugi akan perlakuan yang keliru dari peralatan negara, maka kebebasan mencipta yang diperlukan sastrawan akan selamanya tinggal angan-angan. Terhadap kasus “Langit Makin Mendung” ini sepatutnya dilanjutkan ke pengadilan untuk diuji benar tidaknya cerita pendek itu telah menghina agama Islam. Akan lebih baik lagi apabila karya itu tidak disita sebelum diketahui kesalahannya. Biarkan masyarakat menilainya terus menerus dalam diskusi atau polemik. Dengan demikian apresiasi sastra akan terus berkembang dan citra masyarakat terhadap sastra kian dapat meningkat. Dan kalau nantinya pengadilan telah mengambil keputusan, masyarakat akan tahu dengan pasti bahwa keputusan tersebut adalah benar dan tepat.
Apabila keputusan pengadilan belum ada, tapi pihak yang berwenang telah melakukan penghukuman dengan penyitaan, hal itu samalah artinya dengan pemberangusan kebebasan penciptaan. Dan apabila sastrawan telah senantiasa merasa tidak adanya kebebasan penciptaan, maka karya-karya besar tidak akan pernah lahir di Indonesia ini. Setidak-tidaknya, meski pun ada karya besar ditulis, namun penerbit akan takut, karena tidak mau memikul kerugian finansial.
Memanglah kebebasan penciptaan senantiasa menghadang risiko. Siapa yang takut pada risiko tentu saja tidak akan berbuat apa-apa. Risiko itu hendaknya dipikul oleh pengarang sendiri, tidak oleh penerbit. Sebab apabila keduanya akan memikul risiko, konsekwensinya kebebasan mencipta betul-betul tidak ada sama sekali.
Aspek Keagamaan.
Aspek masaalah keagamaan memanglah yang paling runyam pada masa sekarang. Secara filsafat, meski pun dengan pandangan filsafat Islam sendiri, bahwa rasa pengagungan terhadap Tuhan bukanlah miliknya suatu kelompok penganut saja. Secara filsafat pula, ajaran dari para Imam Islam yang empat itu, bukanlah dogma, melainkan merupakan suatu pengantar bagaimana cara sebaiknya memahami dan menghayati ajaran Islam. Manusia diberi otak dan hati oleh Tuhan untuk melakukan pertimbangan dan penghayatan yang benar tentang ajaran-Nya yang termaktub dalam Quran. Dan karena itu setiap orang dengan sendirinya mempunyai hak untuk menafsirkan menurut kemampuannya. Dalam menafsirkan itulah orang akan senantiasa berbeda. Dan jika terjadi perbedaan penafsiran, pihak yang tidak setuju tentu tidak berhak untuk menghukum tafsir itu.
Andaikata dalam perbedaan pendapat itu, oleh pihak yang punya massa pendukung adalah tidak islami melakukan teror. Sepatutnya mereka melakukan delik aduan. Apabila pihak pemerintahan mentolerir teror kelompok yang mempunyai dukungan massa, dan tidak meletakkan hukum pada tempatnya, maka agama akan menjadi dogma. Sedangkan dogma adalah suatu yang statis sifatnya. Dan hal ini akan sangat berbahaya bagi pengembangan dan penjabaran agama itu sendiri dalam kurun masa yang senantiasa maju ini. Hukum agama secara lambat laun agama akan menjadi alat penghalang bagi setiap orang berpikiran maju untuk membersihkan ajaran agama dari kejunuban. Ingat saja kepada perbenturan tentang ajaran agama atau “kaum tua” dengan “kaum muda” masa lalu yang menyebabkan agama Islam tetap berkembang secara dinamis sampai sekarang. Padahal setiap “kaum muda” yang merupakan golongan reformis pada mulanya adalah golongan minoritas yang membangkang terhadap ajaran nenek moyangnya.
Terhadap kasus “Langit Makin Mendung” yang jelas merupakan karya sastra tidak bermutu dan penalaahan agamanya yang sangat konyol itu, jika perlakuan yang dilaksanakan oleh kelompok yang menyampaikan aduan kepada Kejaksaan Tinggi atau kelompok yang melakukan teror terhadap kantor redaksi, sesungguhnya tindakan tersebut akan sama tidak bermutu atau konyol dengan pikiran Ki Panji Kusmin itu sendiri. Menurut pandangan secara filsafat, maka tidak seorang pun yang boleh menghukum orang Islam lainnya dengan tuduhan sebagai menyalahi ajaran agama Islam atau pun menghina Islam bahkan menghina Tuhan. Akan tetapi setiap orang berhak menyatakan bantahan terhadap suatu tulisan atau pun pandangan yang keliru. Jika yang dilakukan oleh mereka yang tidak menyukai cerita pendek itu, lakukan penilaian dan buat bandingan atau tulis karya sastra yang bermutu, agar semua pembaca akan bertambah ilmu dan mutu penghayatan agamanya. Malah saya kira, Ki Panji Kusmin itu sendiri pasti akan menemukan kebenaran yang hakiki dan andaikata ia merasa berdosa, pastilah ia akan bertobat.
Jelas sekali bahwa Ki Panji Kusmin mempunyai pengetahuan yang dangkal tentang Islam, sehingga tangannya tidak jadi kelu melukiskan hal yang paling pantang bagi aqidah agama Islam, seperti merupakan wajah Tuhan dan wajah Nabi-Nabi malah sampai merupakannya seperti burung elang. Dalam agama lain, umat bisa saja merupakan wajah Tuhan dan para Nabi menurut imajinasinya masing-masing. Sehingga Kristus dapat dirupakan seperti orang Eropah, Cina, India atau Afrika Hitam. Dan disinilah bermulanya percampur-adukan pemahaman ajaran Kristen dan Islam yang dianut Ki Panji Kusmin dalam mengembangkan imajinasinya ke dalam cerita pendeknya itu. Bahkan iapun telah melakukan lebih jauh lagi dari pada ajaran agama yang ada di Indonesia.
Meski kita tahu bahwa otak Ki Panji Kusmin demikian konyolnya, namun sikap yang emosional menghadapinya, sebenarnya merupakan sikap yang tidak dewasa pula. Padahal umat Islam dewasa ini bukan lagi merupakan sebagian besar mereka yang hidup 50 tahun yang lalu. Umat Islam Indonesia dewasa ini telah mempunyai cendikiawan yang mempunyai ilmu yang lebih luas dan lebih tinggi dan berpaham maju, yang pasti akan dapat membatalkan dan menangkis paham-paham sesat dengan ilmunya. Maka itu tindakan teror atau sikap yang mudah tersinggung secara emosional, tentulah tidak mencerminkan kepiawaian ajaran Islam itu sendiri atau setidak-tidaknya mencerminkan bahwa pemahaman tentang pokok ajaran Islam seperti Iman, Islam dan Akhlak itu telah tidak dihayati sebagai suatu kesatuan ajaran.
000
Leave A Comment