SAYA akan mengisahkan satu dan lain hal tentang pengalaman kreatif saya itu.

Saya mulai lebih serius terhadap dunia sastra, terutama mengarang cerita pendek, sejak saya tidak diberi pekerjaan di kantor Jawatan Kebudayaan. Pekerjaan saya mengarang saja. Kebetulan ada mesin tik baru. Saya juga menulis karangan ke beberapa majalah, cerita sandiwara radio, juga main flute pada orkes Studio RRI Bukittinggi kalau ada pemilihan bintang radio.

Tulisan-tulisan saya dimuat di koran Haluan Padang dan Nyata Bukittinggi, majalah Waktu dan Pelangi Medan, di majalah-majalah Aneka, Siasat, Seni, Buku Kita, Roman, juga Mimbar Indonesia dan Kisah semua terbitan Jakarta, lalu di majalah Budaya Yogya.

Waktu majalah Kisah dengan redaksi H.B. Jassin, Idroes, dan M. Balfas terbit, maka saya menulis macam-macam untuk majalah sastra itu. Antara lain kritik terhadap cerpen-cerpen yang dimuat melalui rubrik khusus bernama “Giliran Saudara”. Rubrik itu memberi kesempatan kepada para pemula, atau siapa saja untuk mengritik karya-karya yang dimuat di majalah Kisah. Saya asyik mengikutinya.

Beberapa cerita pendek saya kirim ke Mimbar Indonesia sejak tahun 1950, selalu ditolak H.B. Jassin. Yang di-acc sejak tahun 1957 harus antre lama sekali. Dan sebelum cerpen ‘Robohnya Surau Kami’ dimuat majalah Kisah, belum satu pun cerita saya yang dimuat majalah itu. Pada bulan itu, akhir tahun 1955, mulanya saya kirim cerita pendek ‘Pada Pembotakan Terakhir’. Dua minggu kemudian sebelum cerita itu dimuat, saya kirim lagi ‘Robohnya Surau Kami’. Ternyata yang dimuat pertama adalah ‘Robohnya Surau Kami’.

Tidak lama setelah dimuat, muncul reaksi banyak orang. Banyak orang setuju. Hal itu dapat dibaca pada kolom ‘Giliran Saudara’ di Kisah itu. Ada yang menulis, selama ada cerita pendek dimuat Kisah, cerpen ‘Robohnya Surau Kami’-lah yang selesai, tuntas.

Bahkan ada satu seminar di Malang diadakan pemuda HMI dan organisasi Islam lainnya, khusus untuk menilai cerita pendek itu. Nah, yang muda-muda setuju, yang tua-tua tidak. A. Bastari Asnin menggambarkan pada saya bahwa anak-anak HMI di Universitag Gadjah Mada Jogyakarta bereaksi positif dengan melakonkan cerita pendek ‘Robohnya Surau Kami’ di atas pentas. Lakon itu dimainkan secara monolog oleh seorang pemain dan suara Tuhan keluar dari loudspeaker. Rektor Prof Rujito melihat lakon itu terkakah-kakah.

Di Bukittinggi tak ada reaksi resmi. Namun di kota ini ada yang bilang saya komunis atau Murba. Padahal sebenarnya saya tak berpartai.

Manga pula curito urang Murba ko ditabikkan, Rustam? (Kenapa cerita orang Murba diterbitkan pula, Rustam?)” ada buya yang berkata demikian kepada Rustam Anwar dari Penerbit Nusantara. Padahal yang Murba ayahnya, Anwar Sutan Saidi. Reaksi di Bukittinggi terjadi setelah cerpen itu terbit dalam bentuk buku kumpulan cerpen oleh Penerbit Nusantara pada tahun 1956, juga di bawah judul Robohnya Surau Kami.

Reaksi yang sengit di Bukittinggi justru terhadap cerpen saya yang lain, yaitu cerpen ‘Man Rabbuka‘ yang dimuat di dalam Harian Nyata edisi Minggu di Bukittinggi. Juga karena dianggap mengejek agama Islam. Itu akhir tahun 1957, beberapa waktu menjelang meledaknya pemberontakan PRRI.

Buntut selanjutnya Harian Nyata terpaksa mengumumkan kepada publik pembaca agar cerpen itu dianggap tidak ada. Maklumlah situasi mulai panas dan tegang di saat-saat suhu pergolakan daerah sedang meningkat ke titik kulminasinya. Tapi kemudian ‘Man Rabbuka’ dimuat juga dalam majalah mingguan Siasat di Jakarta—yang juga bernasib sama. Majalah Siasat pun merasa perlu menyatakan menarik cerpen itu agar dianggap sebagai tidak ada. Bayangkan kalau cerpen itu terbit dewasa ini. Pasti kantor redaksi diobrak-abrik massa dan saya dipenjarakan. Seperti kita Iihat perilaku massa seperti itu masih muncul kembali dalam kehidupan sosial kita di Indonesia dan entah kapan berakhirnyya.

Saya punya opini tentang reaksi-reaksi massa Islam demikian, yang akan dijelaskan di bagian Iain. Di sini hanya perlu saya kemukakan berkaitan dengan semangat dan kegiatan kreatif bahwa reaksi-reaksi itu tidak membuat saya ciut atau mundur, melainkan lebih arif akan kondisi dan situasi.

Setelah itu, semua jadi ringan. Saya kian asyik mengarang. Dan banyak cerita saya yang dimuat. Ya, nama saya sudah mulai dikenal orang. Tetapi, bukan berarti seluruh cerpen yang saya kirim dimuat media massa. Ada juga yang ditolak. Cerita yang ditolak saya sempurnakan lagi.

Sebuah novel saya, dimuat secara bersambung di dalam harian Nyata, Bukittinggi. Judulnya Pak Kantor. Karena itu Rustam Anwar menjuluki saya “Pak Kantor”.

***

CERPEN ‘Robohnya Surau Kami’ saya tulis tahun 1955. Cerita bertitik tolak dari hanya semacam joke Sjafei ketika bertamu kepada A. Chalik kepala jawatan saya. Sederhananya joke Syafei itu begini:

Nanti di akhirat Tuhan akan bertanya pada beberapa orang, “Kamu orang mana?” Orang Rusia, masuk ke sorga. Orang Amerika, Inggris, Belanda, setelah ditanya Tuhan masuk sorga semua. Lalu, Tuhan bertanya lagi:

‘Kamu orang mana?”

“Indonesia.”

Nasibnya buruk, langsung masuk neraka. Kenapa? Karena orang Indonesia tidak memanfaatkan alam yang diberikan Tuhan.

Begitulah joke Syafei. Saya yang tenang-tenang mencuri dengar tertawa-tawa. (Kemudian tahun 1967, dua tahun sebelum Sjafei meninggal, pada suatu malam saya, Chairul Harun dan Abrar Yusra bertamu ke rumahnya di Padang, di belakang Kantor Gubernur sekarang. Saya katakan bahwa cerita beliau sudah saya jadikan cerpen. Maka sambil tertawa beliau jelaskan bahwa joke itu sebenarnya beliau dengar sendiri dari Syekh H. Ahmad Sjoerkati, seorang ulama turunan Pakistan yang terkenal di Jawa, Ialu “dijual” pula ke mana-mana.)

Joke Sjafei yang sedikit itu baru mendapatkan gagasan bentuknya sebagai cerpen karena ditambah ramuan fakta lain, yaitu setelah saya pulang ke Padangpanjang. Saya lewat sebuah surau tempat belajar mengaji di masa kecil dan saya temui surau itu sudah runtuh. Kepada seorang wanita yang tinggal di dekat surau itu saya tanyakan, kenapa surau itu sampai runtuh. Dikatakan wanita itu, bahwa sejak kakek garinnya meninggal tidak ada lagi yang sudi merawat. Tentang itu saya menulis kepada H.B. Jassin:

Menurut penjelidikan saja, kakek (garin) itu mati karena kelaparan. Di negeri jang kaja ini kalau ada orang jang mati karena lapar, menurut saja pada hakikatnja sama dengan bunuh diri. Surau itu tempat saja mengadji dulunja. Karena kerobohannja hati saja sangat terharu. Kisah surau itu saja buat sebagai introduction sedangkan jang (tokoh) pokoknya ialah Hadji Saleh, jang sudah lama ada di dalam kepala saja.

Saja betul-betul tersentuh karena semasa hidupnja garin itu betul-betul garin dan sehari-hari sering terlihat mengasah-asah pisau. Saja lalu teringat bahwa saja sering minta tolong memangkaskan rambut saja padanja. Begitulah. Nostalgia tentang masa kecil itu, apalagi surau itu sudah runtuh, hanja gara-gara garin jang menjaga surau itu sudah meninggal amat menghentakkan perasaan. ”

Jadi, joke Engku Syafei dan fakta runtuhnya surau tempat saya mengaji dulu, ditambah fakta matinya si garin, saya gabungkan. Maka, jadilah cerita pendek ‘Robohnya Surau Kami’.

***

KUMPULAN cerpen Robohnya Surau Kami itu mendorong kritikus sastra H.B. Jassin menulis kritik. Fokus utama kritiknya adalah tentang cerpen ‘Robohnya Surau Kami’ tapi Jassin juga menyorot cerpen-cerpen lainnya, yang kemudian dimuat dalam bukunya Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei.

Kemudian juga mendorong Bachrum Rangkuti untuk mengambilnya sebagai bahan skripsi doktoralnya di bawah judul “Islam dan Kesusastraan Modern” kemudian dimuat secara bersambung dalam majalah Gema Islam Jakarta, nomor 22 Sd 25, tahun 1962 dan 1963.

Saya kira kedua kritik itu, kritik Jassin dan Bachrum Rangkuti, tidak saja menempatkan cerpen itu sebagai berkualitas sastra, melainkan juga berkualitas Islam—sebab Bachrum melihatnya sebagai ekspresi dan salah satu genre sastra modern Islam yang karakteristik dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern.

Kritik H.B. Jassin atas kumpulan cerpen saya Robohnya Surau Kami pertama kali dimuat di dalam majalah Mimbar Indonesia ketika perang saudara berlangsung dan saya terisolasi di Maninjau. Begitu Maninjau dibebaskan saya mengontak H.B. Jassin dan dikirimi dua nomor Mimbar Indonesia berkaitan. Meskipun berterima kasih namun saya tidak puas terhadap kritik atau kupasan H.B. Jassin. Lalu dari Maninjau, 11 Agustus 1960, saya menulis kepada Jassin, antara lain:

“Dalam tjerpen ‘Robohnja Surau Kami’ memang kematian si garin tidak kena psikologisnja. Itu saja sengadja. Sebagai sugesti bagi orang-orang seperti itu, lebih baik ia memilih mati. Pekerdjaannja mengasah pisau jang ada guna ada fungsinja. Meski ketjil, (tapi) bukan suatu pekerdjaan. Melainkan suatu hobby, pengisi waktu luang. Sebab. kehidupan pokok baginja hanjalah keselamatan dirinja sendiri di achirat. ”

“Dibalik itu, saja dengan tjerita itu ingin memantjing kemarahan para ulama di daerahku. (Dalam map saja, telah selesai saja tulis sebuah tjerpen jang agak pandjang jang tudjuannja hendak memantjing kemarahan ulama.)”

Tentang kritiknya yang lain:

“Tentang tjerpen ‘Datang dan Perginja’ saudara bilang saja telah membuat suatu kealpaan, karena tidak menerangkan kenapa Masri dan Arni bisa kawin. Saja dapat mengatakan, saja tidak alpa menerangkannja. Saja tak perlu menerangkan sedjelas-djelasnja, karena situasi sedjak mula saja kira sudah tjukup terang. Sudah saja tjeritakan sedjak mula, bahwa si ibu ditjeraikannja selagi mengandung. Itu artinja mereka tjuma bergaul sebentar sadja. Masri lari dari ajahnja selagi ketjil. Mula tjerita terdjadi di Minangkabau, achir tjerita disuatu jang djauh. Bisa di Medan. Bisa di Palembang. Djuga bisa di Jakarta. Sebab si ajah ketika dari stasiun pergi ke rumah Masri memakai betjak. Di Minangkabau sampai hari ini tak ada betjak. Memang saja tidak menerangkan kedjadian itu di Minangkabau, akan tetapi antara tempat si ajah dan si anak sudah terang bisa mentjapai djarak ratusan kilometer. Kalau djarak tempat mereka dibawah 200 kilometer menurut logikanja, sianak dapat mengundjungi ajahnja dalam masa 10 hari pulang pergi. Tapi sianak tjuma bisa berkirim surat saja kira dalam hal ini saja tidak alpa.

Lalu tentang tjerpen ‘Pembotakan Terachir’ stijl jang saja gunakan hanjalah bertjerita dan mengemukakan refleksi diri saja terhadap tjerita itu. Tjerita itu memang kurang lebih 70% (fakta jang) terjadi di waktu saja masih ketjil. Dan si anak memang mati oleh keganasan Mak Pasah itu. Dan matinja achirnja setelah mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnja, kalau menurut pengetahuan saja sekarang karena geger otak. Saudara tentu bertanja apakah keganasan itu tak ditjegah orang. Sampai sekarang memang saja tak djuga mengerti. Dalam hidup jang dilingkungi adat kekeluargaan ada djuga nafsi-nafsinja. Kalau saudara heran, saja tak heran, tapi saja sungguh-sungguh heran tentang kenafsian itu. Dan kisah hidup Maria memang seperti itu, paling kurang 70% benarnja. Setelah kurang lebih 20 tahun terdjadi, peristiwa itu memang tak/belum mampu memanggil keharuan saja. Keharuan saja terpanggil baru di achir tjerita, jakni (fakta) Mak Pasah jang djahat achirnja kaja. Mak Pasah itu memang kaja di achir hidupnja. Salah seorang anaknja bersekolah di Universitas Gadjah Mada sekarang. Dan suatu realiteit lagi, berapa orang-orang djahat di Indonesia sekarang jang mewah hidupnja. Tjuma sadja undang-undang tak mampu menangkapnja.

Achirnja ingin pula saja menjatakan pendapat saja tentang tulisan saudara itu. Saja tidak merasa puas membatjanja. Saja tak puas, karena pembitjaraan saudara terlalu kerdil ke udjung. Seolah-olah saudara tergesa-gesa atau kehabisan ausdauer sadja. Ini dapat djuga saja kemukakan di waktu membitjarakan (karya-karya) Ajip Rosidi dan Utuy. Nampak sekali saudara kehabisan nafas.

Dalam membitjarakan tjerpen saja, saja sangat tak puas. Bukan karena saja dikritik, tidak. Tapi karena saja ingin penelaahan jang lebar pandjang pada semua tjerpen saja. Tentu sadja ini tjuma buat kepentingan saja seorang jang ingin lebih madju dan teliti dalam menulis tjerpen di masa jang akan datang.

Tapi H.B Jassin dalam surat balasannya tertanggal 29 Agustus 1960 berkata antara lain:

“…Tapi demikianlah kesan jang saja peroleh dalam membatja karangan-karangan saudara.” Lalu, “Saja kira di sini ada persoalan apakah ide jang terniat tjukup terdukung oleh hasil tjiptaan sebagai bentuk?”

Saya jadi terkejut membaca surat itu. Nampaknya, apa yang ingin kita sampaikan, bisa orang lain tidak mengerti. (Tapi kesulitan demikian tak dialami Bachrum Rangkuti dalam hal kenapa tokoh si garin harus bunuh diri. Interpretasinya pas dengan interpretasi yang saya inginkan). Sejak membaca surat H.B. Jassin itu, saya belajar menulis dan memikirkan, apakah orang bisa mengerti apa yang saya tulis. Apakah orang bisa mengerti atau tidak dengan karya saya. Pengarang lain bisa saja menulis dan tidak peduli apakah orang lain akan mengerti atau tidak. Tapi saya menulis supaya orang mengerti. Bukan berarti mengajari orang.

Pada dasarnya H.B. Jassin itu, tingkat pikirannya sama dengan saya. Karena dia tidak paham latar belakang Minangkabau yang ada dalam karya saya, dia katakan cerita saya tidak informatif. Tetapi setidaknya, H.B. Jassin punya alasan mengatakan hal itu.

Saya berpikir dengan struktur bahasa Minangkabau. Bahasa Minang kalau dialihkan ke bahasa Indonesia secara langsung, tidak pas. Bisa tidak mengerti orang. Kesan saya, H.B. Jassin langsung menerjemahkan bahasa Minangkabau ke bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia itu sendiri tidak pula dikuasai Jassin dengan baik.

Karena masalah itu, saya dalam mengarang jadi lamban. Sebab, harus diperbaiki berulang-ulang, agar bahasanya baik. Ada juga, memang, cerita saya yang tidak banyak perbaikan bahasanya. Dalam menulis, kalau ada ide, saya tidak membuat patron. Tetapi langsung diketik. Kadang-kadang melenceng dari konsep awal. Kadang-kadang yang melenceng itu yang bagus. Kalau idenya matang dalam pikiran saya, cerita itu bisa selesai sehari.

Saya mengalami, dalam menulis ada beberapa masalah. Kalau menyusun cerita direkayasa, biasanya cerita itu macet. Kalau macet, saya simpan. Suatu waktu nanti, saya akan baca-baca lagi. Bisa saja nanti diketahui di mana sumber kemacetannya, sehingga bisa ditulis kembali atau justru sekadar merangsang inspirasi baru untuk cerita yang lain. Saya tidak pernah membuang karangan yang belum diselesaikan.

***

CATATAN kaki saya yang lain tentang lahirnya cerpen ‘Robohnya Surau Kami’ dan mendasar karena merupakan motif pokok kegiatan intelektual saya adalah berkaitan dengan kesadaran intelektual saya yang memiliki semacam “obsesi Islam”, tapi juga komitmen Islam.

Saya amat mengenal dunia pemikiran dan masyarakat Islam seperti yang tercermin di Sumatera Barat dan karena itu menginginkan semacam pembaruan di dalamnya. Banyak sedikitnya pengenalan saya diwarnai oleh semangat pembaruan Islam di masa remaja saya di Padangpanjang. Namun kenyataan sejarah lebih banyak menunjukkan hal yang sebaliknya: pemikiran dan gerakan Islam di Sumatera Barat tidak berkembang, kadangkala malah menghambat iklim kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat—sehingga seolah-olah justru anti pembaruan.

Sikap agama dan budaya Islam di Indonesia mulanya amat dipengaruhi oleh tarikat. Orang-orang tarikat berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan, bahkan menyatukan diri. Di situ amalannya, hanya itu. Maka tak ada pilihan lain. Karena itu orang Islam di Indonesia tak berkembang pemikirannya. Orang hanya menghabiskan waktu untuk zikir, takbir, dan lain-lain. Kepedulian sosial jadi tumpul. Dinamika hilang. Tak mengherankan jika kondisi mereka miskin. Kalau ada orang yang berbeda, yang berbuat lain, maka dipandang bersifat duniawi.

Berkaitan dengan itu ada kelompok tarikat tertentu di Sumatra Barat yang bersimpati dengan Partai Murba. Yang dihormati mereka bukan ideologi Murba melainkan tokoh buruan legendaris Tan Malaka yang konon suka menghilang dan menyamar sebagai Pacar Merah Indonesia yang gaib. Pegangan kelompok tarikat ini begini: Suok, Muhammad ko ha, kiri Tan Malaka! (Di kanan Nabi Muhammad, di kiri Tan Malaka!). Artinya secara religius pengikut Nabi Muhammad tapi secara politis pengikut Tan Malaka. Saya sudah banyak mendengar ini sejak masa remaja.

Ulama-ulama (tarikat) tak pernah kritis, terutama terhadap ajaran-ajaran agamanya sendiri yang dipenuhi dogma bahkan tahyul. Ini salah satu sebab pokok kenapa umat Islam takkan maju.

Pendidikan Belanda membuat orang dinamis. Membuka minat terhadap berbagai kemajuan duniawi. Juga terhadap kepedulian sosial. Kaum terpelajar ala Barat ini mula-mula dikafirkan. Toh akhirnya para ulama terpaksa ikut juga. Ikut berdasi, berdrum band, dan lain-lain, itulah yang disebut ulama kaum muda.

Generasi pertama ulama kaum muda di Sumatra Barat ini adalah Syekh Ahmad Chatib, orang Koto Gadang yang kemudian menjadi imam dan guru Mazhab Syafii terkemuka di Mekkah. Ia tamatan Sekolah Raja, pandai bahasa Belanda. Wawasannya lebih luas, lebih rasional. Pokoknya ia sudah mengenal wawasan Barat, bukan hanya wawasan madrasah saja. Seperti H. Agus Salim dan Natsir sebagai contoh, Ahmad Chatib memandang ajaran Islam di Minangkabau dengan kritis. Maka pembaruan ajaran dan sosial dimungkinkan. Ahmad Chatib antara lain menolak sistem pewarisan harta berdasarkan hukum adat Minang sebab bertentangan dengan hukum Islam. Murid-muridnya antara lain Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, Kiayi Achmad Dachlan, H. Agus Salim, Abdullah Ahmad, Djamil Djambek, dan lain-lain.

Saya sendiri berpendapat bahwa Islam maju lebih dipacu oleh tokoh yang berpendidikan non-madrasah seperti Ahmad Chatib, Agus Salim, Natsir atau Sukiman. Ajaran Islam diperdalam dengan perbandingan dan sikap kritis dalam tradisi Mohammad Abduh. Lapisan ulama kaum muda berhasil merombak tradisi ibadah yang penuh dogma dan takhayul di Sumatera Barat di satu pihak, lalu bahu-membahu secara politis dengan kaum pergerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di lain pihak.

Meskipun demikian, saya berpendapat, pemikiran dasar tak berubah. Memahami ilmu pengetahuan, misalnya, tidaklah sampai tuntas—termasuk pengetahuan politik. Seperti saya singgung sebelumnya, modernisasi Islam di Sumatera Barat juga mencakup bidang politik. Kurang mendalamnya wawasan tentang itu, misalnya, mengakibatkan digabungkannya ideologi komunisme dengan Islam seperti terbentuknya partai PKI Lokal Islami.

Ulama-ulama Islam, misalnya, senantiasa curiga terhadap kaum terpelajar yang menaruh minat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Maka keluarlah tuduhan, “Ha, itu sekuler!” Itu bukan Islam. Dalam keadaan tertentu malahan ditolak secara sistematis sehingga menjadi kampanye pressure group yang bisa menghambat kebebasan berpikir dan sikap kritis. Faktor itulah yang membuat Islam sulit maju. Padahal Islam itu rasional dan toleran. Kasus-kasus demikian masih berlangsung sampai dewasa ini.

***

DALAM sejarah, sekali 50 tahun di Minangkabau terjadi pembaruan sosial. Diawali tahun 1800-an yang meledakkan Perang Padri, dan ketika Padri kalah, ajaran tarikat Naqsabandi berkembang sekitar tahun 1850. Lima puluh tahun kemudian muncul kalangan modernis Islam yang dipelopori Inyiak Rasul (Syekh H.Dr. Abdul Karim Amrullah, ayah dari Hamka).

Terjadi lagi perubahan mendasar pada tahun 1945 atau 1950, yaitu Revolusi Kemerdekaan. Tetapi lahirnya perubahan itu bukanlah dari pemikiran kalangan intelektual Islam, melainkan dari gagasan orang-orang yang berpendidikan Barat. Selanjutnya kian luas kalangan intelektual yang semula hanya berwawasan Barat yang kemudian juga berwawasan Islam—tapi biasanya dalam soal-soal keagamaan mereka tak bersikap kritis. Maka pembaruan pemikiran keagamaan masih tetap jauh.

Di kalangan intelektual Islam, pemikiran-pemikiran baru tidak ada. Apalagi di lingkungan Islam di Minangkabau yang hanya belajar di Tsanawiyah, Aliyah, atau IAIN di kampung sendiri. Kalaupun ada studi perbandingan, hanya perbandingan agama Kristen dengan Islam, Hindu dan Islam, ya namanya perbandingan agama. Studi-studi demikian tidak banyak gunanya untuk pembaruan umat, paling-paling untuk sekadar mengetahui kenapa orang Kristen itu bisa maju, kenapa orang Islam tidak. Atau apakah orang Barat itu maju karena mereka Kristen atau karena mereka orang Barat.

Namun perbandingan orang Islam di suatu tempat dengan tempat lain yang sangat penting justru tidak dilakukan. Yang belajar dan pernah hidup di luar negeri, mereka akan tahu perbedaan-perbedaan perkembangan pemikiran Islam.

Suatu gerakan pembaruan, dalam bentuk atau potensi wawasan biasanya datang dari orang luar, misalnya dari Arab atau Mesir yang mendorong modernisme Islam pada awal abad ini. Seorang Iqbal dan Syed Amir Ali dari Pakistan, justru alumnus perguruan tinggi Barat di luar negeri. Mereka jadi pemikir Islam yang hebat, karena mereka meIihat ada perbandingan. Untuk Minangkabau, itu tidak ada.

Tidaklah mengherankan jika umat Islam di Sumatera Barat hanya bisa bersikap reaktif juga, meskipun tidak sekonyol di daerah-daerah lain.

Pada dekade 1980-an, misalnya, Nazwar Sjamsu menerbitkan buku Isa di Venus. Lalu buku itu dilarang pihak kejaksaan di Medan, Sumatera Utara. Namun ulama Sumatera Barat, Buya Harun Maani dari Payakumbuh, berpendapat lain seperti dinyatakannya dalam suatu wawancara suratkabar Singgalang:

“Kenapa buku orang harus dilarang-larang?” abuya balik bertanya. “Kalau tak setuju terhadap isi buku orang ya buatlah buku bantahan. Lagi pula, kata Buya Maani, kalau buku dilarang-larang maka tertutup pintu ijtihad.

Namun baru-baru ini sikap reaktif juga dilakukan terhadap jemaah Darul Arqam. Gayanya tidak lagi toleran. Tapi itu soal lain.

Kita memerlukan orang-orang yang mampu merombak pemikiran dan keadaan.

Orang menjadi besar, menjadi tokoh, juga karena pengalaman pribadi yang mendalam yang membentuk motivasinya untuk berpikir lain dan melakukan perlawanan. Baik Soekarno, Hatta, atau Tan Malaka. Trauma atau obsesi bahwa ia pernah mengalami atau melihat perlakuan yang buruk dan menghina dirinya sebagai bangsa justru memotivasi dirinya menjadi pejuang. Juga Cokroaminoto, ia pun pedagang batik yang terhambat oleh pedagang Cina dan lain-lain. Begitu pun orang Muhammadiyah di Yogya dan Pekalongan. Juga di Padangpanjang. Padangpanjang dulu menjadi pusat pendidikan agama karena dorongan para pedagang juga.

Saya sendiri sedapat saya, tak jemu-jemu dan kapok-kapoknya, berusaha untuk itu. “Obsesi-obsesi” Islam saya menghasilkan sejumlah karya sastra seperti cerpen-cerpen ‘Robohnya Surau Kami’, ‘Man Rabbuka’, ‘Sebuah Wawancara’, novel Kemarau, dan lain-lain.

Tapi saya tidak selesai pada sastra. Saya juga menulis artikel, makalah, lalu berbicara dan berdebat mengenai soal-soal ini di dalam berbagai forum atau seminar, termasuk di kalangan ulama—tapi juga dalam ceramah atau wirid para mahasiswa. Dan tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang bersifat sastra dan Islam, tetapi lebih luas seperti juga di lapangan pemikiran sosial—ekonomi, pendidikan, kebudayaan, politik, dan lain-lainnya.

000