RUMAH kami yang dulu ramai dengan anak-anak kini lebih sepi. Untunglah anak kami Gemala Ranti, suami dan anak-anaknya mau bersama kami.
Selama menjadi anggota DPRD Sumatera Barat sedikit sekali saya menghasilkan karya-karya sastra. Namun beberapa buku saya yang sebelumnya diterbitkan PT Nusantara yang sudah gulung tikar dicetak ulang. Baik oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya, PT Jembatan, atau PT Gramedia—semuanya di Jakarta.
Namun saya masih menyimpan beberapa naskah novel, cerpen, artikel dan esei sastra yang belum diterbitkan.
Saya lebih banyak menulis artikel-artikel untuk pelbagai media massa. Juga menulis banyak makalah untuk berbagai seminar di dalam dan luar negeri, kebanyakan bukan tentang sastra.
Saya juga memprotes pengadilan cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Panji Kusmin, dalam hal ini pengadilan terhadap H.B. Jassin selaku redaktur majalah Sastra yang memuatnya. Saya, Chairul Harun, M. Joesfik Helmy, Rusli Marzuki Saria dan Abrar Yusra di sela-sela acara praseminar “Islam di Minangkabau” di gedung Sasana Karya membuat pernyataan: bahwa kalau H.B. Jassin divonis hukuman penjara, maka kami bersedia menggantikan H.B. Jassin masuk sel berganti-ganti. Pernyataan itu dikirim ke koran. Yang diadili biasanya adalah suatu gerakan, tapi bukan pikiran atau ide. Saya memang selalu ingin memberontak terhadap perlakuan kekuasaan yang menindas orang kecil dan hak-hak asasi manusia.
Pada hari-hari sekitar Peristiwa Malari tahun 1974 terjadi banyak aksi-aksi protes, termasuk dalam bentuk acara baca sajak oleh para penyair. Saya ikut membaca sajak dengan para penyair Sumatera Barat di jembatan antara Pelabihan Kayutanam dengan Kapalo Hilalang di tengah malam gara-gara acara mau baca puisi ramai-ramai di kampus INS dilarang pihak berwajib.
***
LAMA setelah saya berhenti sebagai anggota legislatif maka muncul lagi gagasan untuk membentuk Dewan Kesenian Sumatera Barat.
Untuk pribadi saya tak ada gunanya itu dewan. Tapi ini sudah merupakan program pemerintah, berdasarkan SK Bersama Mendagri dan Menteri P dan K sesuai dengan anjuran Presiden tentang perlu dibangunnya Gedung Kesenian di tiap daerah.
Saya sudah bilang pada Dirjen Kebudayaan, Prof. Edi Sedyawati, bahwa saya tak bisa ikut. Sudah lama diketahui bahwa kondisi di Sumbar tak begitu memungkinkan, berhubung para seniman itu sendiri yang tidak siap untuk melaksanakan program bersama. Tak siap untuk bersepakat.
Apa tanggapan Edi Sedyawati?
“Justru karena itu ya Pak Navis tolonglah membina yang muda- muda untuk tahap pertama ini,” katanya. “Kalau sudah terbentuk kan bisa dibimbing lalu dilepaskan. Itulah harapan saya.”
Siapa tahu itikad baik demikian ada gunanya, terutama bagi teman-teman—lebih-lebih generasi yang lebih muda.
Maka saya jumpai Gubernur Hasan Basri Durin. Saya uraikan hasil pertemuan saya dengan Dirjen Kebudayaan Prof. Dr. Edi Sedyawati.
“Baiklah kalau begitu,” kata Gubernur.
Saya bilang saya perlu dana untuk persiapan. Maka Pemda menurunkan dana sebesar Rp 3 juta. Sedangkan untuk menjalankan program-programnya Pemda Sumatera Barat menyediakan dana tahunan sebesar Rp 50 juta.
Maka diselenggarakanlah musyawarah seniman. Saya berpendapat dan ingin bahwa Dewan Kesenian terdiri dari orang muda yang masih aktif produktif serta memiliki kepedulian untuk mengurus orang lain. Formatur yang terdiri dari Chairul Harun, Kabiro Bintali kantor Gubenur, Kabid Kesenian Sumbar, dan Wisran Hadi akhirnya memilih keanggotaan Dewan Kesenian Sumatera Barat.
Acara peresmiannya di aula ASKI Padangpanjang. Dihadiri antara lain oleh Menteri P dan K Wardiman Djojonegoro serta Dirjen Kebudayaan Prof.Dr. Edi Sedyawati.
Ketika saya, Chairul Harun dan Wisran Hadi menunaikan ibadah haji ke Mekkah maka mandat penyelenggaraan program dewan saya berikan kepada Edy Utama. Eksistensi Dewan Kesenian ini pada dasarnya terserah yang muda-muda. Saya akan berada di belakang. Tentu saja saya berharap Dewan Kesenian Sumatera Barat berhasil mengembangkan diri untuk mendorong perkembangan kesenian dan kebudayaan di Sumatera Barat.
Berkaitan dengan itu dan berdasarkan pengalaman, saya sebenarnya skeptis terhadap potensi, daya tahan, dan daya gebrak seniman dari Sumatera Barat. Dan sedikit sekali mereka yang sungguh-sungguh. Secara sederhana cukuplah saya simpulkan begini: sekali mereka berkarya lantas mati. Kalau mati seperti Chairil Anwar ya tak apalah. Tapi mana mungkin tiap orang jadi Chairil Anwar?
Hal lainnya kondisi masyarakat yang kurang mendukung. Kebebasan untuk seniman, untuk pikiran yang berbeda, tak dihargai di daerah ini. Juga tak ada penghargaan terhadap prestasi seseorang. Tuntutan sosial amat berat sedangkan penghargaan terhadap seniman rendah:
“O, seniman, o anak randai!” konotasinya demikian.
Yang berjalan di sini adalah kebudayaan Minangkabau, di mana prestasi seseorang tak begitu dihargai, apalagi yang berbentuk nonfinansial. Maka kalau mau berkesenian pergilah ke Jawa. Ada sumber dana selama kita kreatif. Moga-moga saja kesimpulan saya salah. Lahirnya seorang seniman, kata orang, tak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat umum.
Yang jelas Dewan Kesenian Sumatera Barat yang berintikan tenaga-tenaga yang muda daripada saya menghadapi tantangan berat.
***
SOAL LAINNYA adalah tentang dan berkaitan dengan pemasyarakatan karya sastra.
Dewasa ini sastra penting. Mungkin lebih penting. Sebab koran takkan memuat tulisan-tulisan (artikel) yang keras. Tapi mereka memuatnya di dalam karya sastra.
Lewat sastra bisa dilampiaskan penderitaan dan teriakan hati nurani manusia. Tapi apakah ada orang akan membacanya? Saya tidak tahu.
Yang saya lihat buku-buku sastra tidak dibeli orang. Kemungkinan tidak dibeli karena orang kelelahan dan tidak ingin melihat cerita-cerita yang menceritakan kisah mereka sendiri. Orang-orang banyak munafik, lalu pengarang membuat cerita tentang kemunafikan manusia. Cerita seperti itu menjadikan orang tidak senang. Orang menderita, lalu dijadikan karangan. Itu kan sudah gambaran diri mereka. Sekarang orang ingin melupakan kesumpekan kehidupan.
Lagi pula pendidikan apresiasi sangat minim dan rendah. Apresiasi sastra mulai diajarkan sejak sekarang di SMP, SMA dengan cara seadanya. Setelah mereka mendapat mata pencaharian, baru mereka membeli buku. Berarti ada sekitar 6 tahun kemudian. Itu pun dengan catatan: metoda apresiasi sastra di bangku sekolah perlu diberi waktu dan bobot yang banyak. Itulah antara lain faktor-faktor ekstern yang menyuramkan masa depan sastra sepuluh dua puluh tahun ke depan.
***
YANG lebih berat adalah bahwa untuk terbit pun diperlukan kondisi atau atmosfir sosial, sehingga karya-karya sastra dapat dimasyarakatkan.
Sastra membutuhkan iklim politik dan sosial yang bukan saja memungkinkan akan tetapi menghormati hak-hak menyatakan pendapat secara terbuka. Yakni yang memungkinkan dikomunikasikannya pikiran-pikiran independen, meskipun berbeda bahkan bertentangan dengan pendapat umum.
Apakah sekarang ada koran independen di Indonesia ini? Yang bersedia menyalurkan pikiran-pikiran dan gagasan independen? Independensi memerlukan iklim yang mendukung.
Ki Panji Kusmin mengarang ‘Langit Makin Mendung’. Orang marah. Dicari orang siapa itu Ki Panji Kusmin, diobrak-abrik kantor redaksi majalah yang menerbitkannya. Kalau sikap masyarakat seperti itu, bagaimana mungkin ada penerbit yang mau menerbitkan karya sastra yang baik. Bisa jadi Ki Panji Kusmin melecehkan nabi. Tetapi kalau dia melecehkan seorang ulama, bagaimana? Apakah ulama itu sama dengan nabi. Tidak ‘kan? Tetapi dalam pikiran orang-orang yang berkuasa di kalangan agama, siapa saja yang menentang Tuhan, sama dengan menentang Pancasila, menentang Islam sama dengan menentang Pancasila, menentang nabi sama menentang Pancasila, dan menentang ulama sudah sama pula dengan menentang Pancasila. Mereka urut seperti itu, sehingga ulama-ulama pun tidak boleh dikritik. Kalau ulama dikritik, mereka akan menghasut massanya.
Pengarang memerlukan iklim dan sarana untuk itu. Namun bagaimana iklim di Indonesia? Iklim dan sarana justru tak diperoleh karya-karya pengarang seperti Pramoedya Ananta Toer. Kita hanya dapat mengatakan bahwa kondisi dan atmosfir Indonesia tak memungkinkan masyarakat, bahkan peminat sastra, untuk membaca karya-karya Pram.
Saya setuju kalau sastrawan harus diminta pertanggungjawaban seandainya ada karya mereka yang dianggap tidak beres. Malah saya setuju, bahwa jika perlu si pengarang ditangkap dan diadili.
Saya tak dapat membenarkan reaksi-reaksi secara fisik. Jika tidak suka terhadap cara berpikir Arswendo Atmowiloto, misalnya, kenapa diobrak-abrik kantornya. Kantor majalah Sastra yang memuat cerpen Ki Panji Kusmin ‘Langit Makin Mendung’ dulu kenapa dirusak? Sikap itu sama sekali tak beralasan dan merendahkan martabat bangsa sendiri.
***
MASIH dalam konteks itu saya juga melihat kaitannya dengan sistem dan perilaku kekuasaan.
Saya melihat, kekuasaan di Indonesia tidak dekat dengan sastrawan. Kekuasaan seperti menjadi musuh para sastrawan, dan sastra menjadi musuh oleh kekuasaan.
Misalnya berkenaan dengan sebuah peristiwa besar di Indonesia yakni peristiwa G30S/PKI. Pada waktu itu para jenderal berperan menumpas PKI, dan ada yang ikut G30S. Tetapi sampai sekarang tidak ada karya sastra yang ditulis tentang itu. Hal itu disebabkan, cara berpikir militer dengan sastrawan berbeda. Tidak bisa seorang sastrawan menulis masalah yang sangat “complicated”; tentara lawan tentara di satu pihak, Orde Lama lawan Orde Baru di lain pihak. Pokoknya sangat kompleks, rumit. Bagaimana menuliskan peristiwa itu. Tidak bisa, karena ada jarak antara pengarang, sastrawan atau seniman dengan kekuasaan.
Apakah memang tidak ada karya sastra yang lahir dari adanya peristiwa yang begitu hebat di negeri ini?
Ada memang lahir sajak-sajak Taufik Ismail dalam kumpulan sajaknya Tirani dan Benteng. Namun hanya satu sisi, yakni dari sudut mahasiswanya. Tetapi sisi-sisi lain bagaimananya? Dari sudut kualitas, sayangnya sajak-sajak dan kedua kumpulan itu dinilai sebagai genre karya sastra yang kurang bermutu dibandingkan dengan karya Taufiq Ismail lainnya.
Dan tentang serta berkaitan dengan peristiwa G30S, sastrawan jadi malas menulisnya menjadi sebuah karya sastra, karena asing dengan pelaku-pelaku dan penumpas-penumpasnya. Itulah contoh, bagaimana jauhnya jarak antara sastrawan dengan kekuasaan.
***
KREATIVITAS lebih terkebiri sekarang. Dulu hanya ancaman datang dari umat Islam. Kini dari pemegang otoritas. Bisa kejaksaan atau polisi. Ruang gerak lebih sempit. Jadi dinamika belum bisa bertambah baik. Tentu saya harap hal ini sebagai kondisi sementara.
Kondisi di daerah atau di Jakarta, sama saja. Cuma dulu lebih nampak petanya. Misalnya di Yogya ada Sanggar Bambu, majalah Minggu Pagi, Budaya, lalu muncullah nama-nama Kirdjomuljo, Rendra, Nasjah Djamin, banyak lagi. Tapi semua pindah ke Jakarta kecuali Nasjah. Saya juga tahu style masing-masing pengarang, misalnya ada style Yogya. Di Sumbar ada Penerbit Nusantara. Kini penerbit yang besar tetap Jakarta.
Bagaimana potensi daerah dewasa ini? Saya tak cukup data untuk menilai. Lagi pula ada pasang naik dan pasang surut. Misalnya pasang naik Medan waktu ada Zakaria M. Passe. Riau, kini ada BM Sjamsuddin, Taufik Ikram Djamil dan yang muda-muda—dalam pasang naik, karena ada motor penggerak seperti Tabrani Rab dan Hasan Junus—yang pindah dari Bandung ke Riau. Yogya yang mengalami pasang surut terangkat kembali karena adanya Emha, Mangunwijaya dan Kayam, dan beberapa lainnya.
Di bidang pemikiran intelektual, komitmen sosial mereka yang di Yogya, saya nilai lebih kuat. Seperti Mangunwidjaja, Lukman Sutrisno, Mubyarto, Arief Budiman, dan lain-lainnya.
Orang-orang di Jakarta cenderung ke arah gaya hidup flamboyant, dengan target hanya memelihara ketokohan atau kejagoan masa lalunya. Kalau ia ditangkap, maka terpeliharalah ketokohannya. Tapi itu tak ada faedahnya untuk masyarakat—termasuk masyarakat seniman sendiri.
Ia katanya pejuang, tapi hidupnya sehari-hari dari hotel ke hotel. Bingung saya kalau ke Jakarta, cerita hanya tentang pengalaman luar negeri. Kapan ia bisa bercerita tentang masyarakatnya sendiri? Rapat di hotel baiklah, tidak mengapa. Tapi fasilitas yang mereka perlukan untuk kenikmatan pribadi dan standar nilai privacy-nya sama sekali tidak mencerminkan komitmennya terhadap nasib umum bangsanya.
***
SETELAH kembali dari Mekkah dan berada di kamar kerja saya, saya dirangsang layar komputer untuk merampungkan beberapa naskah buku lagi.
Tentu saya masih ingin menulis karya sastra. Sastra penting dan akan tetap penting di masa depan karena perannya tak bisa digantikan oleh yang lain. Tapi saya lebih suka menunjukkan naskah daripada bicara tentang rencana karya sastra.
Pada suatu panel diskusi sastra bersama Prof. Umar Junus, Prof. Taufik Abdullah, dan Prof. Mursal Esten di Universitas Bunga Hatta Padang baru-baru ini, saya mendapat giliran pertama untuk bicara tentang topik seputar Masalah Karya Besar dalam sastra.
Antara lain saya sampaikan bahwa karya besar dilahirkan oleh bangsa yang punya tradisi sastra. Seperti Rusia melahirkan Pushkin, Tolstoy, Dostoyevski, Gogol, Chekov dan Boris Parternak sampai Slozhenitsin. Inggris melahirkan Shakespeare, Somerset Maugham dan Perancis melahirkan Victor Hugo, Maupassant; Camus dan lain-lainnya.
Indonesia sendiri belum punya tradisi sastra, atau tradisi sastranya belum kuat, karena sastra kita mengambil oper sastra Barat. Tidak berangkat dari tradisi sendiri.
Ukuran karya besar atau tidak, sangat relatif. Namun, menurut saya, karya sastra yang besar tergantung pada seberapa jauh karya itu mampu mengubah visi masyarakatnya. Jangan menilainya dengan ukuran teknis. Karya Pramoedya Ananta Toer memang luar biasa. Saya suka sekali dibandingkan dengan karya sastra sastrawan lain. Namun saya tidak tahu sampai seberapa jauh karyanya mengubah atau membentuk visi bangsa kita. Pemerintah ketakutan pada karya itu, bukan karena isinya, melainkan (karena) pengarangnya adalah Pramoedya Ananta Toer.
***
ADA yang menanyakan pandangan saya tentang gambaran sastra kita di masa depan.
Untuk masa sepuluh tahun ke depan, saya melihat sastra Indonesia akan suram. Pengarang memerlukan motivasi untuk mendorongnya menulis. Kalau tidak kuat dorongan untuk menulis, karena berbagai faktor ekstern, pengarang bisa saja tidak punya keinginan menulis. Apalagi, kalau beban sosial pengarang sangat tinggi, dan lingkungan tidak mendukung.
Berkaitan dengan itu sekarang memang sedang terjadi stagnasi dunia sastra Indonesia dalam hal melahirkan karya-karya kreatif. Tetapi saya tidak tahu, apakah sekarang ada kawan yang sedang menulis. Mungkin Pramoedya terus menulis meskipun sampai sekarang tidak ada informasi yang saya terima mengenai itu.
Ketika Pramoedya Ananta Toer di penjara, ia tetap produktif. Itu karena di sana pikirannya tidak terganggu untuk menyalurkan potensi-potensi kreatif. Penjara memang bukan tempat yang layak untuk masyarakat yang menginginkan kehidupan yang normal dan bebas. Tapi dewasa ini atau dalam situasi dunia di luar penjara seperti dewasa ini, penjara mungkin tempat yang baik dari sudut pertimbangan dan kebutuhan kreatif. Kehidupan dalam penjara sudah “definitive” maka nara pidana bebas dari tanggung jawab moral untuk memikirkan kehidupan dan tanggung jawab sosialnya secara harfiah. Maka praktis tak ada gangguan apa pun untuk memikirkan karya kreatif. Dan tidak ada orang yang akan mengganggu dia. Dia diberi rangsum setiap hari. Meskipun ada kerja fisik lain toh pikirannya bisa berkonsentrasi pada gagasan. Begitu tidak ada kerja fisik, dia tinggal mengarang secara total. Sekali lagi, itu semata-mata dilihat dari pertimbangan dan kebutuhan kreatif.
Tetapi kalau di luar, di dunia “bebas” banyak gangguan untuk bisa menunaikan tanggung jawab kreatif. Apalagi kalau beban rumahtangga, beban sosial si pengarang berat. Perangkat mengarang, sekarang, mungkin sudah semakin baik seperti komputer. Tapi Umar Kayam misalnya, kalau masih di Yogya dia, tidak akan bisa tenang atau berkonstrasi untuk menulis. Tamu dan urusannya banyak. Dia menulis Para Priyayi di Amerika. Enam bulan saja di Amerika maka selesai karangannya. Jadi masalah ketenangan, berpengaruh langsung terhadap masalah kreatif seorang pengarang. Tak ada ketenangan untuk berkonsentrasi menjadi salah satu sebab kenapa pengarang tidak produktif.
Dan saya sendiri memang tidak sempat menulis. Saya ingin mencampakkan semua beban kerja yang ada di pundak saya saat ini. Seperti INS Kayutanam, pernah saya buang tapi sekarang kembali lagi ke pundak saya. Untuk menghindarinya, tidak dapat. Saya sendiri menderita ketidaktenangan. Tidak ada waktu untuk tenang. Banyak karangan saya yang terbengkalai. Kalau ada waktu saya agak dua tahun, tanpa ada urusan lain-lain, saya yakin semua karangan yang terbengkalai akan rampung. Tidak ada urusan-urusan lain? Bagaimana duduk-soalnya? Tergantung di mana saya tinggal. Kalau masih di Indonesia ini, pasti ada-ada saja urusan yang bakal mengganggu.
Saya sudah meminta PT Semen Padang memberi saya tempat untuk mengarang. Dan dapat. Tidak hanya tempat, makan saya pun ditanggung. Tetapi karena masih di Padang, apakah mungkin tidak ada gangguan? Orang Semen Padang bisa saja tidak mengganggu saya, tapi yang lain?
Kadangkala saya ingin berdialog dengan sesama sastrawan. Ingin menulis surat juga. Sepucuk surat saya tulis buat Gerson Poyk. Sebenarnya juga buat yang lain, hanya saja saat itu ditulis tangan dan yang baru tertulis satu, sedangkan seharusnya “Kepada rekan-rekan sastrawan”, begini:
….setiap saya ke Jakarta, yang tidak pernah luput sekali dalam setahun, saya kumpul dengan para seniman dan menyaksikan karya-karyanya yang mutakhir. Hal yang paling mendera saya ialah “hingar bingar” sekitar seniman dan perilakunya. Teriakan perang para seniman muda yang membawa “kampak” dalam menghancurkan benteng seniman yang dituding sebagai “mapan ” tapi terus menyalak menangkis serbuan. Saya menjadi muak pada iklim itu.
Di udik tempat saya tinggal, sering saya merenung-renung sendiri setiap gema perang “berkampak” itu terbaca dalam berbagai media. Suaranya tentu tidak begitu sehingar-bingar seperti ketika hadir di Jakarta. Maka saya mencoba merenung peristiwa demi peristiwa kesenimanan dalam sejarah. Rupa-rupanya peristiwa “perang berkampak” itu ulangan sejarah seperti: Pujangga Baru memaki generasi “pulut-pulut” (Marasutan); Angkatan 45 menguak Takdir; Angkatan 45 dikuak- kuak oleh seniman muda dan seterusnya. Ya, seperti perkelahian singa jantan untuk merebut tahta “raja singa”.
Kritikus dan ahli pun tampil meniup “terompet” masing-masing yang mengkilap karena baru keluaran pabrik di Eropa atau Amerika yang paling canggih. Sehingga buku-buku diterjemahkan, nama-nama dengan huruf besar, huruf miring dan huruf tebal ditampilkan. Ribuan banyaknya nama. Ya, sastrawan, ya pelukis, ya dramawan. Lalu sejarah pun berulang. “Sekali ternama, kemudian tak berarti”
Dengan pikiran demikian, saya dapat menentramkan diri tinggal di udik lagi. Dan saya bisa tersenyum bila terdengar lagi teriakan perang dengan mengangkat kampak baru. Ini mungkin karena saya telah tua juga.
Kalau sekali-kali saya ke Jakarta lagi pada akhir-akhir ini, saya masih ketemu “Kucing piaraan” Popo masih termangu tanpa beban meski di sekitarnya “tikus besar” berkeliaran seenaknya; ketemu Ikra yang yang masih memaki Negara di panggung sandiwara; ketemu Abdul Hadi WM yang mau jadi sufi agar bersenang-senang di sorga karena api neraka di dunianya tak lagi bisa dipadamkan; ketemu bertonton Horison yang enggan diloakkan; ke TIM seperti ke Timtim ditinggalkan Fretelin, di mana Leon Agusta menyikat gigi palsu. Ketika saya ditampilkan untuk bicara di podium Pertemuan Kritikus dan Sastrawan Indonesia baru lalu, saya seperti tukang obat ditonton oleh “kwakzalfer” yang menanti giliran naik podium, sedangkan orang sakit berbondong-bondong mencari “terkun”, yang modern sekaligus tradisional.
Ironi? Tidak. Cuma bakat alam tanah airku Indonesia. Di mana orang digelari pahlawan besar setelah ikut perang kecil-kecilan; di mana orang jadi multimilyuner sambil bersantai-santaian; di mana hukum dibuat untuk hukuman; di sana seni dicipta untuk ketenaran.
000
Leave A Comment