A.A. Navis
Ganti Lapik
SUDAH sepuluh tahun lebih aku tak pulang-pulang ke kampung kelahiranku. Barulah pada masa cutiku tahun ini aku punya kesempatan pulang. Masa sepuluh tahun bagi kampung kelahiranku, bukanlah memberikan arti sesuatu, bahwa perubahan telah terjadi di kampungku itu. Tidak ada perubahan yang telah terjadi di kampungku itu. Tidak ada perubahan sama sekali. Kalaupun ada perubahannya, hanyalah aku merasa diriku orang asing di situ. Orang asing di tempat yang kukenali. Rumah-rumah seperti sepuluh tahun yang lalu juga. Tidak ada perubahan yang berarti, selain wajahnya yang bertambah tua juga kelihatannya. Tak berapa lagi manusia yang kukenal berdiam di situ. Hanya beberapa gelintir sanak keluarga dan beberapa orang tua-tua saja yang mengenal dan kukenali. Dan tak seorang pun lagi kawan sebayaku yang kujumpai, selain Rahman.
Ketika aku mula-mula bertemu, alangkah jauh perubahan yang telah menimpanya. Begitu tuanya kelihatan. Telah banyak kerut-merut mukanya dan uban-uban telah memutih di atas telinganya. Apakah karena susah hidupnya, maka begitu luntur cahaya mukanya yang dulu sangat berseri-seri itu? Ataukah karena pakaiannya yang sedemikian sederhananya, tidak diseterika dan terbikin dari kain yang rendah kualitetnya, maka demikian tuanya ia kelihatan olehku?
Waktu kami bersalaman nampak benar matanya berkaca-kaca. Seolah menggambarkan kesedihan hatinya padaku. Buruk benarkah nasibnya tinggal di kampung bila dibandingkan denganku yang hidup di kota yang mewah itu? Aku tak tahu. Tapi aku tahu benar, bahwa temanku itu dulunya bangsa periang, berwajah tampan dan cukup berada. Dan karena itu ia disukai oleh kawan-kawan sesama besar dan banyak pula perempuan yang jatuh cinta padanya. Gadis-gadis banyak yang mendambakan hati kepadanya dengan diam-diam mengiriminya tanda mata atau surat-surat cinta. Janda-janda banyak yang mencoba mengguyunya. Dan aku tahu benar, karena kami berdua bersahabat karib sekali, bahwa hati Rahman tidak pernah tergoda hingga ia sampai melakukan perbuatan yang memalukan. Imannya kuat sebagai anak seorang haji yang terbilang alim. Kekuatan imannya itu bukan tidak mempunyai sandaran yang kukuh. Sandarannya ialah Dahniar yang cantik molek itu, gadis tercantik di sekolah kami. Perhubungan mereka meskipun bersembunyi-sembunyi, namun setiap orang tahu, bahwa kedua orang itu sedang berkesukaan. Dan tak seorang pun yang mengatakan, bahwa mereka tak sepadan kalau dijodohkan. Dan dalam hal ini, akulah yang satu-satunya yang jadi penghubung, tukang antarkan surat-surat mereka.
“Hallooo, Rahman,” kataku ketika pertama kali kami berjumpa seraya menjabat tangannya erat-erat. “Aku dengar kau sudah kawin, ya? Alangkah bahagianya kalian. Sudah berapa orang anakmu?”
“Tiga,” katanya malu-malu.
“Wah. Aku ingin menggoda Niar,” kataku mengganggu.
Aku tak menyangka, bahwa Rahman akan jadi muram oleh godaanku seperti itu.
“Masa kalau berjumpa dengan sahabat lama, kau jadi muram begini. Mana kerianganmu dulu, kawan?” kataku pula mencoba menimbulkan suasana lama antara kami. Tapi dia masih juga muram bahkan bertambah muram lagi.
“Di mana rumahmu, hah? Nanti aku mau datang. Aku sudah rindu hendak bertemu dengan kau bersama Dahniar. Aku ingin bercerita tentang kisah lama kita selagi masih sekolah dulu. Kau ingat, bukan, aku yang jadi tukang antarkan suratmu?” kataku lagi mencoba sekali lagi membangkitkan keriangan hatinya.
Ternyata aku tak berhasil. Dan aku tak hendak melanjutkan usahaku lagi. Rahman tak kunjung riang oleh senda gurauku. Dan anehnya, ia cepat-cepat pergi tanpa mengajakku mampir ke rumahnya. Aku tidak peduli amat oleh gelagatnya yang seperti itu. Siapa tahu, hatinya sedang susah di saat itu, jadi tidak waktunya untuk beriang-riang. Mungkin juga karena perdagangannya rugi atau sebab lainnya, maka keriangannya yang kukenal telah lenyap begitu saja.
Semenjak aku berjumpa dengan Rahman itu, ia menjadi perhatianku selalu. Ingin aku menanyakan halnya kepada sanak keluargaku, tapi aku enggan menanyakannya, karena aku tak ingin pada saat permulaan aku di kampung lalu mendengar berita yang tak sedap. Karena aku yakin, kemurungan Rahman tentulah ada sesuatu yang sangat tidak menyenangkan telah menimpa dirinya. Perdagangan yang rugi, bukan jadi alasan untuk bermuram diri di kala bertemu sobat lama. Atau mungkin ia sedang bertengkar dengan istrinya? Itu pun bukan alasan untuk bersedih-sedih seperti itu.
Sekali sore, ketika aku hendak pergi ke pancuran mandi, di jalan aku bertemu dengan seorang perempuan yang kukenal, tapi tak ingat siapa orangnya. Aku ragu-ragu hendak menegurnya, tapi perempuan itu sudah dulu menyapaku.
“Oh, kau. Bila kau pulang?” tegurnya dengan riang.
“Baru kemarin, Kak.”
“Hm. Kau panggil aku Kakak. Hm. Sudah tua benar aku kau lihat?” katanya dengan tak kurang gembiranya.
Aku mencoba memeras ingatanku untuk mengenali perempuan yang berdiri di depanku itu. Dan kutaksir-taksir keadaan dirinya, memang ia pasti lebih tua dariku, dan sudah sepatutnya aku menyebutnya dengan panggilan Kakak.
“Istrimu juga pulang?” tanyanya lagi ketika aku masih berdiam lagi.
“Tidak.”
“Kenapa tidak kau bawa? Kami ingin sekali bertemu dengan dia”
“Tak bisa dibawa pulang,” kataku dengan hati-hati agar di ujung kalimatku tak terucapkan kata Kakak itu sekali lagi.
“Kenapa? Baru melahirkan agaknya?”
“Bukan. Bukan baru melahirkan. Tapi baru lahir,” kataku mencoba berkelakar.
“Wah, kau. Masih juga berkepala batu. Dulu si Asni sudah suka padamu, tapi tak kau pedulikan. Rupa-rupanya kau sudah kena santung pilalai. Engkau suka, orang enggan. Orang suka kau pula yang tak mau.”
“Bukan. Bukan karena itu. Tapi karena tak laku saja.”
“Coba kau pikir, sedang si Abas sudah tiga anaknya sekarang. Sedang kau masih lajang juga. Banyak pilih barangkali?”
“O, ya. Di mana rumah si Rahman sekarang?” tanyaku mengelakkan olok-olok itu.
“Engkau sudah bertemu dengan dia, bukan? Tidak dikatakannya padamu di mana rumahnya?”
“Tidak.”
“Masya Allaah. Di rumahku dia tinggal. Kau ingat di mana rumahku, bukan? Tempat kau dulu sering-sering menangkap ikan, menangkap ikan di kolamnya.”
“Oh. Jadi… jadi… kau ini si Rosmali, ya? Allah tobat, sampai lupa aku padamu,” kataku. Dan tanpa sengaja terpukul olehku bahunya hingga ia terhoyong. Dan cepat aku sadar, karena tahu perbuatanku demikian itu demikian tak pantas dilakukan di kampung. Namun demikian kami sama tertawa karena terkenang kembali kehidupan zaman dulu.
Tiba-tiba, terpikirlah olehku, kenapa si Rahman sampai tingal di rumah si Rosmali ini. Bukankah si Rosmali ini istri kakak si Rahman? Dan tidak adat di kampungku, ipar lelaki tinggal di rumah istri kakaknya. Berbagai pertanyaan singgah di kepalaku memikirkan keadaan ini. Kenapa si Rahman tidak tinggal di rumah Dahniar, kenapa di rumah Rosmali? Tapi aku tak hendak menanyakannya waktu itu, aku yakin nantinya aku akan tahu juga.
Rosmali memang agak tua kelihatannya, tapi bekas-bekas kecantikannya dulu masih nyata. Kulitnya yang putih kuning itu menyebabkan ia masuk bilangan gadis yang kami kagumi juga dulunya. Kami sekelas dengan dia. Tapi sekolahnya tak sampai tamat. Karena ia keburu dipertunangkan dengan kakak Rahman. Orangtuanya agak kolot juga di masa itu. Kalau gadis-gadis sudah dipertunangkan, dia harus dikeluarkan dari sekolah untuk selanjutnya dipingit. Tapi kami sering-sering juga bertandang ke rumahnya. Kami yang kumaksud, Rahman dan aku. Kami sering mengganggunya tentang bakal suaminya. Dan alangkah merahnya pipinya oleh gangguan kami itu. Kadang-kadang kami mendapat pembalasan hebat juga kalau sudah terlalu mengganggunya. Kami disiramnya dengan air atau dilemparnya dengan apa saja yang berada di tangannya ketika itu. Pembalasan yang menyenangkan juga waktu itu.
Dua hari berlalu, bertemulah lagi aku dengan Rahman, teman karibku semasa sekolah dulu. Ia baru pulang dari pekan di kampung sebelah utara nampaknya. Dan di bagasi sepedanya bertengger bungkusan barang dagangannya. Besar juga. Ketika kami berselisih jalan, ia terus saja hanya dengan menyapa sekadar saja. Seolah-olah persahabatan kami dulu yang karib itu tak berarti apa-apa lagi baginya. Tapi cepat kupegang bagasi sepedanya, hingga ia terpaksa turun.
“Dari mana kau?” tanyaku. “Kau betul-betul aneh, Rahman. Aku akan datang ke rumahmu nanti sore.”
“Tak usahlah datang,” katanya gugup.
“Eeee, mengapa tak usah? Aku pulang ke kampung ini hanya semata hendak menemui sekalian yang kurindukan, termasuk juga kau. Mengapa pula kau larang aku ke rumahmu?” kataku dengan herannya. Tapi ketika kulihat wajahnya membayangkan keberatan hatinya atas kehendakku, aku hanya mengangkat bahu saja. “Tak mengerti aku pada tingkahmu sekarang, Rahman. Apa kau tidak berbahagia lagi dengan Dahniar?” tanyaku kemudian.
Lalu dia memandang nanap padaku. “Dul,” katanya kemudian. “janganlah kau sebut-sebut nama Dahniar lagi. Lebih-lebih kau datang ke rumahku nanti.”
Aku tambah tak mengerti.
“Aku tak kawin dengan dia. Tapi aku kawin dengan janda kakakku. Ganti lapik, kata orang.”
“Dengan Rosmali?” tanyaku terkejut.
Rahman tak menyahut. Dipasangnya standar sepedanya. Setelah sepedanya berdiri kuat, ia pun melanjutkan.
“Kakakku sudah mati. Meninggalkan anak dua orang. Waktu ia mati, hartanya banyak sekali, sedang Rosmali masih muda. Jadi, supaya Rosmali jangan sampai kawin dengan laki-laki lain, supaya anak-anaknya jangan sampai berayah tiri kepada orang lain, aku dipaksa kawin oleh ibuku dengan janda kakakku itu. Tapi yang dituju ibu sebenarnya, ialah supaya harta peninggalan kakakku jangan sampai dikuasai oleh orang lain, kalau Rosmali kawin dengan orang itu. Padahal kakakku sudah berpayah-payah mencari harta, begitu menurut pendapat ibu. Sudah enam tahun kami kawin. Sudah tiga orang anakku dengan dia.”
Aku tak dapat membuka suaraku karena takjub akan peristiwa jalan hidup sahabatku itu, meskipun banyak sekali yang hendak kutanyakan ketika itu.
“Baiklah aku pulang dulu,” kata Rahman sekonyong-konyong.
“Kalau kau akan datang juga ke rumahku, ingatlah nama Dahniar jangan kau sebut-sebut dekat Rosmali.”
“Baiklah,” kataku. “Tapi aku ingin tahu lebih banyak lagi tentang…”
Rahman cepat memotong perkataanku. Katanya, “Nanti apabila kau sudah datang ke rumahku, bilanglah pada Rosmali kau ingin membawaku berjalan-jalan melihat kampung. Di jalan aku katakan segalanya padamu.” Lalu digaitnya standar sepedanya dengan kaki kanan, seraya mendorong sepedanya ke depan.
“Aku sebenarnya tak mau kawin dengan janda kakakku itu,” kata Rahman ketika kami sedang berjalan-jalan mengitari kampung di senja itu. “Karena selain ia janda kakakku, sebagaimana yang kau tahu juga, aku telah bersetuju dengan Dahniar. Tapi bagaimanalah, aku terpaksa kalah oleh kehendak keluargaku. Alasan orangtuaku tak masuk akal olehku. Tapi aku memikirkan yang lain. Memikirkan adik-adikku yang perempuan. Baiklah jadinya kalau mereka dapat memilih jodohnya sendiri yang baik, akan tetapi kalau mereka terpilih yang salah, maka mereka akan sengsara. Kesengsaraan itu tersebab karena aku telah memberi contoh kepadanya. Contoh bagaimana menolak kehendak orangtua dalam mencari jodoh.”
“Ah, Dul, apalagi yang mesti aku lakukan, kalau aku telah menjadi korban ketamakan kaum keluargaku sendiri. Mereka takut harta kakakku jatuh ke tangan orang lain. Mereka tak suka, kakakku yang mencari dengan membanting tulang, orang lain saja yang mendapat buahnya. Dan kini, anak yang dua itu, telah menjadi lima. Apalagi yang harus kulakukan. Tidak ada lagi, Dul. Memang tidak ada lagi, selain menjaga dan memelihara kepentingan darah dagingku, yakni anak-anakku. Berbahagia tidaknya perkawinan kami, bukan soal lagi. Yang soal sekarang ialah anak-anak.”
Dalam pada itu, kami telah keluar masuk lorong-lorong di kampung kami. Lorong yang kotor dan dibului rumput liar. Di beberapa rumah telah terpasang lampu minyak. “Tapi, Dul, meskipun aku tidak merisaukan lagi jalan hidup perkawinan kami, meskipun aku sudah menerima kadarku begini, sebuah yang mengganggu pikiranku selalu semenjak aku meningkat rumah tangga Rosmali sebagai seorang suami,” kata Rahman pula. Lalu berhenti pula, lebih lama dari semula.
Dan napasku tertahan menanti sambungan ceritanya.
“Dahniar selalu mengganggu pikiranku,” sambungnya pula. Dan kemudian ia betul-betul tidak bicara lagi. Di seluruh rumah telah terpasang lampu-lampu minyak. Anak-anak yang tadi masih berlari di pekarangan rumah atau di jalan-jalan, sekarang telah naik ke rumahnya masing-masing. Hiruk-pikuk mereka tak terdengar lagi. Beberapa orang laki-laki tergopoh-gopoh berjalan menuju mesjid. Memang cuaca di masa itu lebih cepat gelapnya. Dan untuk kedua kalinya kami tiba lagi di pasar. Pasar kelihatannya terang benderang karena dibenderangi oleh lampu pijar.
Tapi pikiranku tidak kepada suasana senja di kampung itu. Pikiranku tertumpah pada sambungan cerita Rahman. Tapi ia terus juga berdiam, hingga mulutku sampai gatal bertanya.
“Maksudmu Dahniar mengganggu rumah tanggamu?”
Ia tak segera menyahut. Dan ketika ia berkata lagi, yang diceritakannya lain dari yang kutanyakan. “Ketika aku kawin, Dahniar menggantung diri.”
“Oh,” kataku terkejut.
“Tapi cepat ketahuan,” sambungnya pula.
“Untunglah,” selaku pula.
“Tidak. Tidak untung. Malah lebih baik tidak ketahuan.”
“Apa?” tanyaku. “Kau suka Dahniar mati sesat?”
Rahman terdiam pula.
Aku memandang kepadanya tepat-tepat. Akhirnya ia berkata lagi. “Orangtuanya malu. Dahniar lekas dibawa ke kota. Dan di kota ia dipaksa kawin dengan seorang laki-laki. Aku tak tahu apa pikiran Dahniar atas paksaan itu. Barangkali ia berontak dan hendak membunuh diri lagi. Barangkali juga ia tak mempedulikan segala-galanya. Tak peduli kepada siapa ia hendak dikawinkan. Barangkali juga ia tak peduli apa ia akan dipaksa hidup terus atau dibiarkan mati.
“Dalam hatiku, aku selalu mendoakan agar dia berbahagia memperoleh suami. Tapi doaku tidak dikabulkan Tuhan rupanya. Tiga bulan kemudian, dia menulis surat kepadaku, bahwa dia ditinggalkan suaminya. Itu tidak penting baginya, katanya. Tapi hatinya sakit sekali karena setelah laki-laki itu memuaskan nafsunya, lalu menghilang dengan tiba-tiba seraya menggondol segala barang-barang Dahniar. Dia ditipu, itulah yang menyakitkan hatinya. Dalam suratnya itu dia mengumpati aku. Dia menulis, katanya, karena tidak ada orang lain yang dipercayainya untuk mengadukan nasibnya.
“Dan semenjak itu, Dul, aku merasa ikut berdosa apabila Dahniar sampai sengsara hidupnya. Aku jadi gelisah. Kehidupanku jadi murung. Kau lihatlah keadaanku, betapa aku begitu cepatnya menjadi tua, bukan?”
Dia diam lagi. Aku kehilangan bahan untuk bicara. Pikiranku berkacau-balau memikirkan nasib dua orang teman karibku yang semasa dulu begitu berbahagianya dan bangsa periang pula.
“Sekali-sekali aku mendengar juga dari orang-orang yang kembali dari kota tentang kehidupan Dahniar. Tiap mendengar cerita orang itu, aku merasa diriku bertambah celaka. Aku tak mau memekakkan telingaku tentang kehidupan Dahniar. Tapi aku tak berdaya apa-apa untuk ikut campur. Dahniar telah memilih kehidupan yang jauh bedanya daripada apa yang dapat kita pikirkan di kampung ini. Dia memilih hidup di antara laki-laki yang suka menyewanya. Ah, Dul. Dadaku berguncang lagi jika aku mengatakan kehidupan Dahniar itu. Aku tahu ia telah melakukan perbuatan yang dikutuki Tuhan. Dan aku sendiri pun serasa ikut memikul dosa itu. Dahniar tidak dapat memikul dosanya sendirian. Dosa itu aku yang menyebabkannya.”
Rahman diam lagi. Barangkali ia mau menenteramkan dadanya yang menggemuruh itu. Dan memang aku dengar napasnya jadi sesak. Kami terus juga berjalan pelan-pelan. Akhirnya kami tiba di lapangan di depan Kantor Kepala Negeri. Angin waktu itu berembus sepoi-sepoi. Dan kami terus memasuki tanah lapang itu. Persis di tengah-tengahnya, Rahman berhenti. Aku pun berhenti. Lalu tanpa ada yang mengajak, kami merendahkan pantat kami di situ. Kami duduk di situ dengan menaikkan kedua lutut kami, duduk bersisian menghadap ke barat. Rahman memeluk lututnya, sedang aku menopangkan tanganku ke belakang.
“Beberapa hari lagi dia mau pulang,” kata Rahman dengan cara yang tiba-tiba sekali. Dan aku mengerti siapa yang dimaksudkan.
“Aku terima suratnya beberapa hari yang lalu. Aku gembira kalau dia sudah mau pulang. Karena kalau dia di sini, itu berarti dia akan menghentikan cara hidupnya di kota selama ini. Tapi aku sangsi, apa dia tahan tinggal di kampung. Orang kampung sudah pasti akan menghinanya. Orang kampung tidak dapat menerimanya begitu saja. Tak ada pikiran pada orang kampung, bahwa seseorang dapat mengubah hidupnya dan mempunyai hak dan kesempatan untuk bertobat. Orang kampung tidak akan memikirkan dan mengenang Dahniar yang tobat, akan tetapi memikirkan dan mengenang Dahniar yang jahat. Tidak akan ada seorang pun yang akan membelanya di sini. Aku mau, tapi aku tak bisa.”
Pikiranku diliputi berbagai pertanyaan sekarang. Kalau Dahniar hendak pulang, itu bukan soal. Dia memang berhak pulang ke kampung kelahirannya. Tapi setelah sekian tahun berpisah dengan Rahman, lalu dengan secara tiba-tiba ia menulis surat lagi pada Rahman, apakah maksudnya? Kalau dulu, ketika dia ditinggalkan suaminya yang pertama, dia menulis surat mengadukan nasibnya kepada Rahman, itu bisa diterima. Tapi sekarang apa perlunya lagi dia menulis? Dia dapat pulang dengan begitu saja tanpa memberi tahu kepada siapa pun. Kalau dia merasa perlu memberi tahu, itu tak patut kepada Rahman yang notabene telah menjadi ayah dari tiga orang anak. Pendapatku ini tak kukatakan pada Rahman. Dan dalam hatiku kuputuskan menanti Dahniar pulang. Aku ingin tahu apa kelanjutan kisah antara mereka. Mudah-mudahan dalam minggu ini juga Dahniar pulang hingga aku tak usah memperlama masa tinggal di kampung beberapa hari lagi.
Dahniar pulang lebih cepat daripada dugaanku. Menurut kata-kata orang yang telah berjumpa dengan dia, Dahniar gagah sekali. Tapi orang tak senang dengan kegagahannya itu. Dia memakai perhiasan mas intan dengan mewahnya, dan riasan mukanya tidak dapat diterima orang kampung begitu saja. Terlalu banyak merahnya. Dan rambutnya yang lebat panjang dulu, sekarang sudah dikrol. Dia tidak memakai kain batik dan berbaju kurung lagi, melainkan memakai rok dari mode terakhir. Lebih banyak yang dapat dilihat pada tubuhnya dibandingkan dengan pakaiannya di masa di kampung dulu. Perempuan-perempuan muda gelisah oleh kedatangan Dahniar itu. Mereka takut kalau-kalau suaminya tergila-gila pada perempuan yang telah lama menjadi buah bibir orang tentang perangainya yang tak baik selama di kota. Kaum keluarganya bungkam dan hilang akal oleh berbagai pertanyaan yang dilontarkan orang kepada mereka. Beberapa orang tua-tua telah mulai bermufakat secara diam-diam hendak menghadapi Dahniar, supaya perempuan itu mau meninggalkan kampung secepat mungkin. Tapi tindakan orang tua-tua itu tidak disepakati oleh semua orang. Orang lebih banyak yang berpendapat, lebih baik melihat dulu tindak tanduknya daripada mengusirnya.
Dan semenjak Dahniar pulang, Rahman tak keluar-keluar rumahnya lagi. Aku kira, Rosmali melarangnya keluar rumah. Aku sendiri pun enggan pula keluar rumah, karena aku belum mau bertemu dengan Dahniar sebelum aku memperoleh bahan-bahan yang secukupnya untuk menghadapinya. Meskipun aku tinggal di rumah saja, telingaku selalu kunyaring-nyaringkan untuk mengetahui keadaan Dahniar dan Rahman. Orang-orang yang kutanya heran kutanyai. Tapi apa alasanku dan apa dugaanku tak sepatah pun kukatakan kepada mereka. Aku beranggapan lebih baik melihat lebih dulu, baru mengeluarkan pendapat.
Ketika hari kedua Dahniar pulang, telah tersebar luas kabar-kabar bahwa dia hendak menetap di kampung dan hendak membeli rumah yang agak baik. Pada hari keempat, kudengar bahwa dia berhasrat benar hendak membeli rumah yang berada di sebelah rumah Rosmali. Dugaanku selama ini rupanya tak salah, ada maksud tertentu menulis surat pada Rahman sebelum dia pulang itu. Tujuannya ialah.., ini baru merupakan dugaanku juga. Dan pada hari keenam, Rosmali datang menemuiku ke rumah. Perempuan ini nampaknya demikian gugupnya. Tapi ucapannya demikian bernafsu.
“Apa maksudnya membeli rumah di sebelah rumahku? Kalau dia mau mengambil Rahman, ambillah. Bagiku, bukan Rahman seorang laki-laki. Kalau aku mau, banyak laki-laki yang lebih pantas bisa menjadi lakiku,” katanya. “Tapi dia harus bicara terus-terang kepadaku. Aku kawin dengan tunangannya dulu, bukan kehendakku. Tapi kehendak orangtua Rahman. Sekarang orang tua-tua itu sudah mati, aku sebetulnya sudah bebas dari kewajibanku untuk mematuhi kehendak orang tua-tua itu,” kata perempuan itu dengan penuh nafsu, hingga dia pun tak dapat memilih kata-kata yang patut diucapkannya dan yang tidak patut diucapkannya.
Aku memahami apa yang sedang bergelora dalam dada perempuan itu. Aku pun paham betapa hatinya pada Rahman sebenarnya. Dan aku mengerti apa yang harus kulakukan selanjutnya. Dan aku menduga, sesudah Rosmali datang, tentu Rahman akan mengadukan pula keadaannya padaku. Dugaanku tidak meleset. Esok paginya Rahman datang menemuiku ke rumah.
“Rosmali sudah ribut-ribut terus di rumah. Aku tahu apa sebabnya. Telah kukatakan padanya, bahwa yang terpenting hidup di dunia ini, ialah anak-anakku. Tapi ia tak hendak percaya. Dia mau bercerai dengan aku, kalau aku mau kawin dengan Dahniar. Aku telah bersumpah tidak hendak kawin dengan Dahniar. Tapi dia mengejekku. Puncak keributannya, ialah ketika dia mendapati surat Dahniar di saku bajuku. Cobalah, Dul, cobalah kau tunjuki aku, jalan mana yang harus kutempuh. Perkara bercerai itu tak perlu disebut-sebut, itu soal kecil. Tapi nasib anak-anakku akan apa jadinya kelak? Bagaimana jalan pendidikannya kalau ibu bapaknya seorang di timur dan seorang di barat dengan semangat permusuhan pula? Cobalah tunjuki aku, apa yang harus kuperbuat?” kata Rahman dengan gugup. Kegugupan Rahman tidak seperti Rosmali nadanya, kegugupan Rahman karena hilang akal.
Dan aku tidak pernah mengomentari ucapannya, juga tak kucampuri serta tak kululuskan kehendaknya ketika itu juga. Aku lebih suka diam-diam mendengarkannya, karena dengan cara demikian hasil akan lebih baik, menurut sangkaanku. Persoalannya, sebutlah yang jadi biang keladi atau kambing hitamnya, ialah Dahniar. Penyelesaian yang harus kutempuh bukan bicara pada Rosmali ataupun pada Rahman, melainkan pada Dahniar. Aku merasa perlu menemuinya, berbicara dengan dia dari hati ke hati. Persoalan ini adalah persoalan yang diunsuri oleh masalah psikologis dan aku akan memakai cara-cara itu pula dalam menghadapi Dahniar.
Dan sore harinya kutemui dia di rumah orangtuanya. Aku sengaja berpakaian sebaik-baiknya, tapi tidak berpakaian seperti orang ke pesta. Kupakai pakaian seperti hendak menyatakan bahwa aku orang kota. Wajahku sejak mulai turun dari rumah kupaksakan agar nampak riang dan gembira, meskipun dalam hati dan kepalaku bersimpang-siur pikiran yang berat.
Dahniar keluar menemuiku yang telah duduk di kursi seenaknya saja. Aku melompat dengan segala hasrat kegembiraan yang dapat kuperlihatkan kepada kawan lama yang sudah sepuluh tahun tak berjumpa. Kugenggam tangannya erat-erat serta kugoncang dengan sesuka hatiku. Aku tahu ia menyengir kesakitan, tapi aku pura-pura tak sadar. Dia memandang kepadaku keheranan, tapi aku tahu dia senang oleh gelagatku yang tak disangkanya akan sehangat itu.
“Kau, sudah sepuluh tahun tak berjumpa, bertambah manis kulihat,” kataku sambil menatap matanya ketika aku melepaskan tangannya. Lalu aku tepuk bahunya kuat-kuat, hingga dia terjajar.
“Kau tak berubah-ubahnya sesudah sepuluh tahun,” katanya seraya tertawa kegirangan. “Kau kira aku ini apa, maka kau pukul demikian?”
“Tak dapat kukatakan kepadamu betapa hatiku bertemu dengan kau. Aku serasa kembali ke bangku sekolah,” kataku pula.
“Mana istrimu, kenapa tak kau bawa kemari?”
“Aku sedang mencari seorang istri yang tepat buatku, yang tahan pukulanku, seperti yang kau rasakan tadi.”
Dan dia memandang nanap-nanap kepadaku. “Hm. Kau hanya laki-laki seperti semua laki-laki lainnya.”
Ketika duduk, aku memilih kursi yang berhadapan dengannya, maksudku supaya aku bisa melihat matanya tepat-tepat. Aku tidak langsung berkata tentang maksudku, aku alihkan pikirannya kepada hal-hal yang tak ada sangkut-pautnya dengan kedatanganku itu.
Dan aku tahu, takkan banyak yang dapat dia ceritakan apa pengalamannya selama kami berpisah dan yang akan kuceritakan juga tak banyak tentang diriku. Tapi aku menjaga mulutku, supaya aku tak menyinggung-nyinggung kelakuannya selama di kota. Sedapat-dapatnya kujaga pula, bahwa aku memandang sebagai teman akrabku yang tidak jelek perjalanan hidupnya. Akulah yang selalu melakukan pertanyaan dan memulai pengalihan pokok cerita dengan maksud mencoba menggali apa yang paling disukainya. Dan kalau dia bercerita tentang kegembiraan hidupnya, aku ikutkan kegembiraannya dengan karenah yang mungkin menyenangkan hatinya. Dan apabila ceritanya melantur kepada soal-soal yang sentimental, cepat-cepat kualihkan pokok pembicaraan dengan tiada mengesan.
Pada waktunya yang kurasa tepat, lalu kumulai maksudku. Dan kataku, “Apa rencanamu di kampung selanjutnya?”
Dia jadi gugup mendengar pertanyaanku itu. Tapi cepat dia menekur. Sedihlah yang terbayang di wajahnya. Dan dengan cepat pula, dia mengubah air mukanya seperti sedia kala. “Aku ingin jadi orang kampung kembali.”
Aku tertawa terbahak-bahak tanpa mempedulikan sopan-santun seorang lelaki di hadapan seorang wanita.
“Setiap orang kampung ingin jadi orang kota, tapi seorang kota dengan tiba-tiba ingin jadi orang kampung, tentu punya alasan yang paling tepat. Apa alasanmu?” tanyaku. Dalam melancarkan serangan pertama ini, aku tak memandang kepadanya. Aku sengaja berbuat demikian.
Lama baru dia menjawab. “Asalku orang kampung, maka panggilan jadi orang kampung kembali bukan mustahil.”
Aku tertawa terbahak-bahak kembali. “Omong kosong,” kataku.
“Mengapa kau tak percaya?”
“Kesanku melihat kau pertama kalilah yang tak bisa mempercayainya.”
“Bagaimana kesanmu tentang aku?” tanyanya seraya memandang tajam-tajam padaku.
“Pertama, kau sudah sekian lama hidup di kota. Kedua, ketika kulihat cara kau berpakaian, kau lebih suka berpakaian selera kota dari pada secara kampung. Kau tak lupa meriasi mukamu seperti orang kota. Dan rumah yang mau kau beli itu bersuasana kota pula. Kenapa kau berkeras benar hendak membeli rumah itu, meskipun harganya terlalu tinggi, sedang rumah orangtuamu ada dan masih baik?”
Dia tak menjawab. Wajahnya keruh lagi.
“Nah, tak ada sesuatu alasan bagiku untuk mempercayai seorang yang senang hidupnya di kota akan sudi jadi orang kampung kembali.” Kini aku pula yang memandang tepat-tepat kepadanya.
“Kau tak bisa meyakiniku. Apa alasanmu hendak membeli rumah itu benar?” kataku pula tanpa mengalihkan pandanganku kepadanya.
Lambat-lambat dia mengangkat matanya memandang kepadaku. Lalu katanya, “Kau tahu maksudku?”
Kini, setelah mendengar pertanyaannya itu, kurasa saatnya untuk melakukan selungan kedua. Dan kataku, “Tahu. Kau bermaksud untuk mengharu-birukan rumah tangga Rahman.”
Mestinya dia akan melompat dan marah kepadaku apabila tuduhanku itu tidak benar. Tapi tidak demikian halnya. Dia malah terus menatap mataku. Pandangan kesayuannya tak kelihatan di situ. Tapi dia tak bicara juga.
“Takkan ada gunanya kau berbuat demikian. Takkan seorang pun yang akan beruntung,” kataku.
“Kau tahu bagaimana keadaanku selama ini?” tanyanya.
“Tahu?”
“Apa pendapatmu, kalau kau di pihakku dalam menempuh hidup yang seperti itu?”
“Aku takkan melakukannya.”
“Kalau tak ada jalan lain?”
“Tidak ada hanya satu jalan dalam menempuh hidup. Jalan itu banyak, banyak sekali. Sekurang-kurangnya ada dua jalan.”
“Kau tidak memahami keadaanku.”
“Mungkin.”
“Kau pernah patah cinta, lalu hendak menggantung diri karenanya? Kau pernah kawin, lalu ditipu oleh jodohmu? Kau pernah dihina oleh orang yang merebut cintanya? Kau pernah dilagak orang dengan harta bendanya, dan dengan harta benda itu dia membeli dengan paksa harta yang paling disayanginya di atas dunia? Kau pernah tenggelam di dalam kehidupan, dan ketika kau beteriak-teriak minta tolong, tak seorang pun yang mau menolongnya, padahal permintaan itu kau minta pada orang yang bersumpah setia padamu.”
“Tidak sebuah pun yang pernah kualami.”
“Karena itu kau tidak memahami keadaanku,” katanya pula.
Aku hendak mengatakan kepadanya, bahwa jalan yang hendak ditempuhnya salah. Taroklah Rahman dan Rosmali bercerai-berai rumah tangganya karena pembalasan itu, sudah akan puaskah hatinya? Paling beruntungkah dia atas keruntuhan orang lain? Dan sesudah orang lain itu runtuh, apa yang hendak dibuatnya lagi? Hendak menempuh hidup yang lama jugakah dia, padahal hidup yang lama itu pun dikutukinya? Hendak hidup secara barukah dia, padahal masyarakat kampung telah menyisihkannya dengan perasaan benci dan curiga? Tapi itu tak jadi kukatakan. Aku yakin ucapan itu bisa menyentuh hatinya, tapi juga bisa menambah nafsunya, lalu dengan keras kepala dia terus menempuh hidupnya yang lama. Ini tak kukehendaki.
“Kau sudah bertemu dengan Rahman?” kataku tiba-tiba.
“Apa perlunya?”
“Karena itu kau tidak pernah mengetahui apa isi hatinya yang sebenarnya.”
“Apa perlunya aku ketahui lagi? Dia sudah beranak tiga dengan perempuan itu,” katanya.
“Tukarlah bajumu, kita pergi ke rumahnya.”
“Apa perlunya?”
“Mengapa kau takut berhadapan dengannya, sedangkan kau sudah mempunyai persiapan untuk menghancurkannya?” kataku pula.
Dia terpukul sekarang. Dia bimbang.
“Tukar bajumu. Kita pergi berdua,” kataku mendesak.
Dia masih bimbang.
“Menghadapi hidup yang sangat pahit telah pernah kau coba. Mengapa untuk menghadapi suatu penyelesaiannya kau bimbang?” kataku pula.
Dia menarik napasnya. Lama juga rasanya, baru dia berdiri dengan pelan-pelan. Juga dengan pelan-pelan ia ke kamarnya. Untuk menjaga jangan sampai ia berppaling lagi selama ia berpakaian di kamarnya, aku temui orangtuanya ke belakang. Dan aku bicara keras-keras agar didengar Dahniar juga.
“Mak,” kataku, “kami mau makan angin ke luar sebentar.”
Ibunya kelihatan kurang menyetujui, kalau aku dan Dahniar keluar berdua-duaan, padahal hari sudah senja. Tapi aku tak memberi kesempatan kepada orangtua itu untuk bersuara agar pendapatnya jangan sampai mengubah pikiran Dahniar. “Aku gembira sekali telah berjumpa dengan teman lama. Coba, Mak, pikir, sepuluh tahun tak bertemu. Wah, kami ingat kembali perangai kami jaman sekolah.”
Sampai Dahniar keluar dari kamarnya, aku bicara terus keras-keras. Dan rencanaku berhasil. Dan di luar dugaanku sama sekali, Dahniar datang dengan pakaian yang sederhana sekali, tak memakai riasan muka yang sangat berlebih-lebihan. Ini permulaan yang baik, kata hatiku.
Kami sampai di rumah Rahman disongsong oleh tangisan dua orang anak-anak dan suara Rosmali memarahi anak-anaknya itu. Itu permulaan yang kurang baik, kata hatiku pula.
Disambut oleh tangisan dan kemarahan.
Aku tidak mengetok pintunya lebih dahulu. Pintu yang terbuka kumasuki terus sambil berteriak dengan gembira, “Hoi, ada ribut-ribut? Kalian betul-betul aneh, di rumah ribut-ribut, tapi kedatangan kami ke kampung tidak diributkan. Hingga kami orang jauh yang datang ke rumah kalian. Betul-betul kalian ini orang kampung.”
“Oh, itu, Dul?” kedengaran Suara Rosmali dari dalam.
“Mana kakandamu?” kataku berteriak lagi.
Bersamaan kepala Rahman dan Rosmali tersembul menjenguk kami. Rahman dari kamarnya, sedang Rosmali dari ruang tengah. Tapi, demi mereka melihat Dahniar, maka mereka sama-sama pucat. Dan kepala itu sama-sama tertarik ke belakang kembali.
“Ayolah. Keluarlah kalian. Tidakkah kalian hendak menyambut kami yang sudah bersusah payah untuk sekadar melihat kalian? Keluarlah?” kataku tanpa mengubah suara kegembiraanku.
Tangisan anak-anak itu berhenti.
“Mana anak-anak kalian? Kami mau melihat betapa gembur-gemburnya mereka,” kataku pula.
Mula-mula Rahman yang muncul. Tapi dia sangat bimbangnya. Ketika melihat Dahniar, ia tertegun lagi di ambang pintu. Mukanya yang pucat, kini jadi sayu. Tak lama-lama ia berani memandang Dahniar dan seluruh persendiannya kelihatan bergempa. Lalu muncul pula Rosmali. Dia memaksakan senyumnya menyambut kami. Aku pura-pura tak mengetahui penerimaan yang semacam itu. Lalu kukatakan, “Di mana kami harus duduk. Di lantai kami tak biasa, tuan rumah terpaksa menyajikan kami minum pula,” kataku.
“Di lantai saja,” kata Rosmali seraya memperbaiki senyumnya. “Kalau di lantai kan boleh dapat nasi.”
“Perkara makan nasi itu, itulah yang kami kehendaki. Kami ingin makan bersama-sama kalian. Tapi tidak sekarang. Kalian harus bersedia dengan panggang ayam dulu untuk menghormati kedatangan kawan lama. Maka itu, baik di kursi saja kita duduk. Lagi pula maksud kami tidak akan lama-lama. Kedatangan kami di sini, cuma hendak mencolok kapan kalian mengundang kami makan ayam panggang. Bukankah begitu, Dahniar?” kataku pula.
Dahniar tersenyum dan mengangguk.
Lalu aku mendorong pinggang Dahniar supaya bersalaman kepada kedua tuan rumah. Dan tuan rumah memandang canggung kepada caraku mendorong Dahniar itu. Mereka orang kampung dan takkan bisa menerima begitu saja, bahwa seorang laki-laki berbuat demikian terhadap seorang perempuan, meskipun perempuan itu istrinya. Tapi cara demikian memang aku sengaja, supaya dapat menimbulkan kesan yang lebih baik atas kedatangan kami itu.
Mereka bersalaman. Yang paling kikuk ketika bersalaman itu ialah Rahman. Itu sudah kuduga juga. Dalam pembicaraan, aku menjaga agar hal-hal yang menyinggung dapat dihindarkan. Dahniar lebih banyak diam daripada ikut bicara. Dia baru ikut bicara kalau ada sesuatu pertanyaan yang kuajukan kepadanya. Rahman lebih lagi. Hingga mengangkat kepala pun ia tak berani.
Dan tiba-tiba Rosmali berkata, “Coba lihat ke belakang, Man, apa si Eda telah mengambilkan minuman buat kita.”
Dahniar terkejut mendengarnya. Dia memandang tajam pada Rosmali. Rahman cepat berdiri. Ada dua kemungkinan Rosmali tiba-tiba berkata begitu. Pertama, dia hendak menunjukkan betapa besar kuasanya terhadap lelaki itu. Dan yang kedua, dia tak ingin mengerjakan sendiri karena tak mau memberikan kesempatan Rahman tinggal seorang diri bersama kami. Berat dugaanku karena yang kedua.
Lambat baru Rahman kembali. Ketika ia telah kembali, maka ia sendirilah yang menentengi baki. Kucoba menahani perasaanku sedapat-dapatnya. Dengan sudut mataku kutoleh tangan Dahniar di pangkuannya, tangan itu dengan keras memiuh saputangannya. Aku paham bagaimana perasaannya.
Kami omong-omong lagi tentang berbagai soal. Tapi yang paling banyak omongannya ialah aku sendiri. Aku cari pokok percakapan yang tak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan kami masing-masing. Tak aku pedulikan, apakah pokok percakapan itu disukai atau tidak oleh pendengarnya. Malah sampai aku ceritakan bagaimana pendapat baru zaman sekarang tentang kereta api yang mempunyai hanya sebuah. Sedang aku tahu, bahwa kereta api biasa takkan ada sangkut-pautnya dengan mereka, sebab, kereta api itu takkan pernah datang ke kampung mereka.
Ketika Saat pertemuan itu sudah waktunya untuk disudahi menurut perasaanku, aku mulailah hendak minta diri. Tapi sekali lagi Rosmali membuat sesuatu yang mencolok dengan perkataannya. Katanya, “Ada sesuatu yang ingin kutanya. Kalian pulang pada waktu yang sama. Apa ini sudah direncanakan sebelumnya? Aku akan gembira sekali kalau benar. Karena kalian kulihat sejodoh benar. Kalau kalian bermaksud hendak kawin, jangan lupa memberitahukan kepada kami. Betulkah kalian mau kawin?”
Kenapa perempuan ini selancang ini? Padahal dia tahu bahwa antara aku dan Dahniar tak ada sangkut-pautnya. Selintas terpikirlah olehku, alangkah cerdiknya perempuan ini, cerdik dalam artian yang buruk. Dengan perkataan yang demikian, dia mendesak aku pada tempat yang serba salah, lalu dia menarik keuntungannya. Dengan demikian Rahman akan terbendung daripada rebutan Dahniar. Tapi kecerdikannya sungguh tak bisa kumaafkan.
Rasa sombongku menyuruh aku berkata, “Bahwa soal itu adalah soal kami berdua saja.”
Aku sangat terpengaruh oleh ucapan Rosmali itu. Maka itu ketika kami pergi, aku tak bersalaman pun kepada kedua tuan rumah itu. Mungkin jadi karena itu pula Dahniar tidak juga bersalam. Padahal maksudku semula agar mereka itu bertemu sebagai sahabat dan berpisah sebagai sahabat yang baik pula.
Hari sudah gelap. Kami berjalan pulang tanpa bicara suatu….
Bukittinggi, 1955
000
Leave A Comment