DALAM proses pemilihan Gubernur Sumatera Barat karena masa jabatan Hasan Basri Durin telah habis (1987—1992), saya ikut main. Kenapa saya berpihak pada Hasan Basri Durin? Alasan pokok, karena ia dicurangi. Lalu tatkala Hasan Basri Durin secara sistematis dirongrong orang, dia seolah ditinggalkan sendirian.
Kalau kita pergi ke kantor gubernur waktu itu, tidak ada seorang pun di ruang kerjanya. Di lapangan golf tidak ada kawannya lagi. Orang-orang menghindar. Ketika ia memerIukan kawan-kawan, tidak ada kawan-kawannya yang mendekat. Saya, dan beberapa rekan, datang menemui Hasan Basri Durin sebagai kawan, minimal untuk menghibur. Seperti menghadapi orang yang sedang kemalangan, kami pergi berkunjung.
Saya memang kenal baik dia. Tetapi antara saya dengannya tidak ada komitmen apa-apa. Saya merasa simpati ketika dia dipencilkan orang-orang.
***
GUBERNUR ialah perangkat pemerintah pusat. Jadi, siapa pun yang ditetapkan pemerintah pusat jadi gubernur, sifatnya definitif. Masyarakat daerah hanya memberi bahan-bahan pertimbangan—yang pada akhirnya itu pun terserah pusat.
Pemilihan Harun Zain sebagai calon Gubernur Sumatera Barat untuk masa jabatan pertama bersih dari intrik-intrik. Sebetulnya ia kalah suara. Pemerintah justru mengangkat Harun Zain. Itu tidak jadi soal. Tetapi demokrasi DPRD jalan.
Ketika Harun Zain akan naik sekali lagi jadi Gubernur Sumatera Barat, DPRD diarahkan untuk memilihnya kembali. Begitu pun sewaktu Harun Zain habis pula masa jabatannya maka DPRD diarahkan juga untuk memilih Ir. H. Azwar Anas.
Selain Azwar Anas, calon pengganti Harun Zain adalah Yanuar Muin. DPD Golkar waktu itu, memerintahkan anggota fraksi memberikan 4 suara kepada Yanuar Muin, 18 suara kepada Azwar Anas. Ketika hal itu dilemparkan ke rapat fraksi, saya bértanya:
“Kenapa mesti begitu?” Karena tak ada jawaban ketua fraksi, saya bilang lagi: “Yanuar Muin kan seorang yang potensial. Kalau pemerintah pusat maunya ABRI, bisa saja Azwar Anas kita pilih. Tetapi kalau pemerintah pusat mau sipil, kan Yanuar Muin yang harus dipilih. Sekarang, coba dihitung jumlah suara. Fraksi ABRI 8 suara pasti memilih Azwar Anas. PPP 10 suara, pasti memilih orang yang akan menang sebab memilih orang kalah risikonya besar. Maka Golkar kalau memang mau menghargai potensi dan prestasi Yanuar Muin, jangan khianati dia. Jangan bunuh dia. Bagi dua, suara fraksi kita. Masing-masing 11 suara.”
Demikian konsensus. Tapi hasilnya 12 suara untuk Yanuar Muin. Saya tidak tahu siapa di antara kami yang menyeleweng.
***
DALAM kasus pemilihan gubernur setelah lima tahun masa jabatan pertama Hasan Basri Durin, yang saya tolak adalah cara, cara orang mengganti gubernur. Secara strategis, saya setuju pada gagasan kebijaksanaan politik Menteri Dalam Negeri Rudini, bahwa sebaiknya seorang gubernur hanya memiliki satu kali masa jabatan. Tapi saya tak suka cara-cara Rudini. Lagi pula Mendagri sebagai pribadi, kan tidak selalu benar. Proses yang seharusnya ditempuh Rudini adalah lebih dulu dia harus mengubah UU Pemerintah Daerah, atau mengganti Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan pengangkatan Gubernur. Rudini kan bisa melakukan itu. Nampaknya yang pemerintah sendiri tak pula kompak. Sebagian menteri ingin yang ini, menteri lain ingin yang itu. Pimpinan Golkar pun tidak kompak.
Dalam kasus pengajuan calon setelah masa jabatan pertama Gubernur Sumatera Barat Drs. H. Hasan Basri Durin habis, prosesnya sebagai berikut:
Pada tingkat pertama pemilihan calon gubernur DPRD mencalonkan tiga orang, yaitu Hasan Basri Durin, Masri MS, dan Anwardin. Mendagri Rudini menolak ketiga calon yang tanpa lebih dulu memusyawarahkan dengan pimpinan Golkar.
Sidang-sidang DPRD Ialu mengusulkan kembali tiga orang pula. Yaitu Hasan Basri Durin, Syahrul Ujud, dan Drs. H. Sjoerkani.
Rupanya Rudini menolak pencalonan Hasan Basri Durin, karena tidak sesuai dengan kebijaksanaan bahwa seorang gubernur hanya sekali masa jabatan. Entah karena apa, dia bermain di luar aturan yang lazim. Melalui pers ia berkata agar DPRD Sumatera Barat terlebih dahulu mendengar aspirasi masyarakat dalam usaha membentuk dan memancing opini di luar dewan.
Sejauh yang saya dengar, selanjutnya Rudini melalui orang-orangnya meminta tokoh-tokoh masyarakat Sumatera Barat agar mendatanginya di Jakarta. Seperti kita saksikan, dua kelompok utusan menyampaikan hal-hal buruk tentang Hasan Basri Durin. Dan surat kabar dipergunakan untuk menyiarkan pernyataan-pernyataan negatif tentang Hasan Basri Durin.
Selain tak setuju cara-cara itu, saya pun muak pada cara-cara mereka yang mendatangi Rudini. Satu kelompok menggunakan tanda tangan palsu atas nama organisasi dan orang Iain untuk melegalisasi pernyataan-pernyataan ketidakpercayaan terhadap Hasan Basri Durin. Saya pun tak suka sikap politik kelompok yang satu lagi. Meski mereka tidak membawa tanda tangan palsu, tapi waktu mereka ditanya Rudini, “Siapa calon Saudara,” mereka hanya bilang, “Terserah Pak Menteri.” Itu kan mental “yes men”.
Demokrasi bagaimana yang bisa diharapkan pada tokoh-tokoh begini? Saya betul-betul menolak sikap politik tersebut.
Dan masih ada satu hal terkait, yaitu kecurangan yang dilakukan Ismail Hasan S.H. la dua kali menemui Hasan Basri Durin. Dia bilang bahwa dia telah berbicara dengan Presiden. Karena itulah ia datang membawa kabar bahwa tidak mungkin Hasan Basri Durin diangkat lagi jadi gubernur.
“Berkemas-kemas sajalah lagi, siapkan kardus,” demikian nasehatnya. Begitulah Ismail Hasan. Saya tahu siapa dan bagaimana dia. Saya pun berteman dengan dia sejak tahun 1947 di Bukittinggi.
Memang, sejak awal kemerdekaan, urang awak gemar menjatuhkan urang awak. Perjuangannya, hanyalah untuk menjatuhkan siapa saja yang memimpin meski teman sendiri. Saya pikir hal itu sudah menjadi budaya di Indonesia yang antara lain terlihat pada kasus-kasus PDI atau PPP, misalnya bagaimana Soerjadi jatuh dan bagaimana Naro bisa jatuh. Tetapi di Minangkabau watak demikian masih sangat dominan. Kejelekan permainan itulah yang saya tantang. Jadi, bukan karena Hasan Basri Durin-nya.
H. Yahya Ketua PPP diperintah DPP partainya untuk tidak memilih Hasan Basri Durin. Tapi dia tidak mau. Begitu juga dengan Golkar, yang diperintahkan DPP tidak memilih Hasan Basri Durin dan harus memilih Syahrul Udjud.
Toh ternyata orang tidak memilih Syahrul. Kenapa? Karena tokoh-tokoh terkait di Jakarta tidak punya argumen dan pemikiran jernih serta strategis dalam menetapkan suatu kebijaksanaan, dalam hal ini kebijaksanaan untuk tidak memilih Hasan Basri Durin atau kebijaksaan agar memilih Syahrul Udjud. Tidak punya alasan dan bukti bahwa Hasan Basri Durin buruk dibanding Sjoerkani, atau Syahrul Udjud. Semua tidak mampu mereka buktikan selain daripada bukti berbentuk gosip. Kesan saya adalah bahwa bagi mereka seolah tidak penting figur yang akan menjadi gubernur. Apalah arti daerah. Apalah arti gubernur.
Saya kenal baik Januar Muin, seperti saya kenal baik Hasan Basri Durin, Sjoerkani, juga Syahrul Ujud. Masing-masing memanggil ‘Uda’ pada saya.
Buat saya, Sjoerkani, atau Syahrul Ujud itu sama. Juga Januar Muin. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Yanuar Muin berprestasi bagus di jabatannya. Tapi perhatiannya terutama kepada masyarakat menengah ke atas. Sjoerkani administrator yang bagus. Memiliki pengalaman yang luas. Dia cepat mengambil keputusan. Saya suka dengan karakter seperti Sjoerkani itu. Kalau ada kelemahannya, paling-paling hanya dalam kontak-kontak non-formal. Syahrul Udjud pintar memotivasi masyarakat untuk pembangunan. Tapi dia bukan administrator yang memadai. Dia harus memperbaiki kemampuannya. Andaikata Sjoerkani yang didukung pejabat di Jakarta, bukan Syahrul Udjud, amat boleh jadi sejarah akan lain.
Lalu saya katakan pada Sjoerkani, itulah yang namanya “ratak tangan”. Hasan Basri Durin itu memiliki perhatian besar pada masyarakat pedesaan, cocok dengan kondisi dan permasalahan masyarakat Sumatera Barat. Cara berpikir Hasan seperti itu yang saya suka. la pun administrator bagus yang sudah teruji. Dilihat dari kriteria intelektual orang meletakkan Hasan Basri Durin dalam kualitas yang lebih tinggi. Dia mendirikan Universitas Bung Hatta. Punya perhatian kuat pada pertemuan atau diskusi ilmiah, sosial politik dan kebudayaan.
Pengamatan dan penilaian saya bisa saja keliru. Tapi jelas bahwa motivasi pokok yang mendorong saya untuk berpihak kepada Hasan Basri adalah karena ia mau dikalahkan orang dengan curang. Bukan karena saya memiliki kepentingan pribadi atau karena konco-koncoan. Calon-calon lain pun kawan saya juga! Sekali lagi, karena Hasan Basri Durin dicurangi. Saya bersimpati pada pihak yang dikalahkan dengan cara yang curang, cara yang tidak fair.
Orang awak di Jakarta yang diharapkan mendukung Hasan Basri Durin memperlihatkan sikap yang galau. Ada yang pro ini, pro itu. Di kalangan masyarakat sendiri dukungan terhadap seorang calon ada yang berdasarkan interest bisnis. Ada pengusaha-pengusaha tanggung yang usahanya sedang macet. Mereka ini menyatakan dukungan pada seorang calon supaya mendapat angin. Ada pula yang mendukung seorang calon berdasarkan kebanggaan-kebanggaan saja. Lalu ada pula yang punya alasan begini: kalau anak buah awak yang jadi gubernur kan awak yang hebat.
Dalam proses mendukung pencalonan Hasan Basri Durin, dan membentuk opini masyarakat menjelang dan pemilihan Gubernur Sumatera Barat, saya tidak melakukan kontak khusus dengan Hasan Basri Durin.
Saya tidak tahu apa dan bagaimana upaya Hasan Basri Durin sendiri agar bisa dipilih lagi. Itu urusan dialah.
Berkaitan dengan masalah pemilihan Gubernur Sumatera Barat itu, semua kawan saya, berperan di bidang masing-masing. H. Basril Djabar berperan dengan korannya Singgalang dan membuat kontak dengan banyak tokoh di Jakarta untuk meyakinkan mereka. Chairul Harun dengan tulisan-tulisannya. B. Yonda Djabar berusaha mempengaruhi DPRD dan keluarga besar ABRI, di tengah situasi menegangkan, penuh intrik, tapi juga diplomasi. Saya sendiri berperan dalam diskusi-diskusi dan tulisan yang membahas persoalan pemilihan Hasan Basri Durin. Begitulah. Setiap kami berperan sesuai posisi kami masing-masing. Jadi, tidak ada seseorang yang memiliki peran menyeluruh. Dalam mendukung Hasan Basri Durin kami malah sering mendapat ancaman telepon gelap.
Waktu itu kami telah berhitung-hitung. Kalau Hasan Basri Durin kalah, bagaimana? Basril Djabar bilang, dia akan berangkat saja ke Jakarta. Sebab, tidak akan kuat lagi tinggal di Sumatera Barat. Biar surat kabar Singgalang diurus oleh siapa saja. Saya dan Chairul Harun bilang tidak akan ke mana-mana. Akan tetap seperti sebelumnya, rakyat biasa. Kami bukan anak buah siapa-siapa. Meskipun kami berpihak pada Hasan Basri Durin, maka siapa pun akhirnya yang akan terpilih jadi gubernur tidak jadi soal—sepanjang gubernur baru lebih mementingkan orang banyak daripada kepentingan lain.
Dan ternyata yang memenangkan suara di DPRD adalah Hasan Basri Durin, lalu ia pula yang ditetapkan Presiden menjadi Gubernur Sumatera Barat untuk masa jabatan kedua (1992-1997).
Sebagai bukti orang pada salah “kaprah”, Presiden memberi anugerah Prayojana kepada Propinsi Sumatera Barat selama pimpinan Hasan Basri Durin.
000
Leave A Comment