KETIKA pemilihan umum pertama di zaman Orde Baru akan dilaksanakan di Sumatera Barat, terdapat apatisme yang hebat terhadap dunia politik. Orang menjadi acuh tak acuh atau sekalian takut terhadap makhluk yang bernama politik dan organisasi politik.
Sumatera Barat baru saja mengalami pukulan dan trauma pemberontakan PRRI (1958-1961), Ialu dilanda gelombang aksi-aksi pengganyangan G-30-S/PKI tahun 1966. Maka militer (Kodam III/17 Agustus) adalah satu-satunya kekuatan sosial politik yang riel dan dominan.
Situasinya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sejak PRRI praktis yang dominan di Sumatera Barat adalah pihak militer, lalu PKI. Sedangkan dua partai yang dominan sebelumnya, yaitu Masyumi dan PSI dibubarkan. Lalu G30S meletus dan gagal. PKI dilarang, sedangkan partai Perti dan PNI dianggap Nasakom atau bermental Orde Lama. Maka secara psiko politik tak satu partai pun yang bisa diandalkan. Semua sudah cacat. Sedangkan tekad Pak Harto harus ada pemilihan umum untuk memenangkan Orde Baru. Pendukung utamanya sudah tentu bukan partai-partai melainkan Golongan Karya. Lalu dalam kondisi demikian, apakah akan dibiarkan saja militer menggerakkan keadaan politik sendirian tanpa mengikutsertakan kekuatan-kekuatan sosial politik Iainnya?
Oleh karena itu, secara intelektual, kita memandang bahwa kondisi seperti ini perlu diantisipasi. Yaitu bahwa pemilu seharusnya membawa suatu perubahan, yaitu proses demokratisasi politik. Rakyat harus ikut atau diikutkan dalam aktivitas mendorong perubahan ke arah demokratisasi politik—yang menjadi bagian modernisasi sosial. Militer tak harus dibiarkan berjalan sendiri. Sedapat mungkin harus diusahakan agar kekuatan masyarakat berjalin dalam semacam kerja sama atau kesejajaran dengan ABRI, sehingga ABRI tidak jalan sendiri, melainkan benar-benar berorientasi kepada kepentingan rakyat.
Hal itu kami diskusikan Idengan M. Zahar. Ya, saya pertama kali bertemu M. Zahar bulan Agustus 1963 di Wisma Warta, Jakarta (Sogo sekarang). Konon ia kader PSI, yang karena wawasan dan tanggung jawab politiknya ia senantiasa kritis terhadap gerak-gerak PKI. Rupanya sekembali saya dari KPAA itu, ia mau tahu apakah saya salah seorang tokoh atau partisan komunis. Namun setelah ngomong-ngomong dengan saya, demikian saya dengar kemudian, ia langsung tak percaya bahwa saya tokoh atau partisan komunis. Saya, katanya, tak punya slogan politik. Tidak juga slogan sastra komunis. Tak sedikit pun mencerminkan pola berpikir komunisme.
Setelah saya pulang dari Konperensi Pengarang Asia Afrika di Bali dan menetap di Bukittinggi, Zahar sering ke rumah untuk ngomong-ngomong. Topik kami biasanya masalah-masalah sosial masyarakat pedesaan.
Berkenaan dengan program Pemilu; diskusi kami memperkirakan bahwa adalah sulit bagi masyarakat Sumatera Barat memilih bendera orpol mana pun. Untuk mendukung Golkar yang diandalkan ABRI belum ada tradisinya. Golkar harus berakar di masyarakat. Karena itu harus mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik masyarakat. Harus ada titik temu. Titik temu adalah kaum ulama sebab masyarakat Sumateva Barat adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Maka peluang yang terbuka adalah melibatkan kaum ulama untuk memenangkan Orde Baru dalam Pemilu.
Hasil pembicaraan dengan M. Zahar kami sampaikan langsung kepada Dan Rem Kol. M. Naszir Asmara. Sayalah yang sebagai juru bicara menyampaikan hasil analisis kami. Bahwa secara intelektual kekuatan-kekuatan Orde Baru bertanggung jawab untuk modernisasi, termasuk modernisasi politik berbasiskan program dan bukan ideologi yang seperti selama ini hanya banyak melahirkan demagogi.
Dukungan masyarakat atau rakyat Sumatera Barat mutlak. Karena itu politik Orde Baru harus berorientasi dan berakar pada aspirasi-aspirasi masyarakat. Sehingga Orde Baru benar-benar dirasakan menyalurkan dan mengejawantahkan kepentingan-kepentingan mereka. Untuk Sumatera Barat, itu berarti bahwa pihak militer sebagai kekuatan Orde Baru yang dominan harus bekerja sama dengan para ulama. Para ulama masih tetap menjadi panutan masyarakat.
Dengan pendekatan demikian, paling tidak, terbuka peluang kuat untuk meng-GoIkar-kan Tarbiyah (Perti). Duduk soalnya sebagai berikut: Lahirnya Tarbiyah di daerah ini adalah sebagai reaksi terhadap lahirnya Permi tahun 1931 di Padang Panjang. Karakter Perti, seperti biasanya organisasi yang disubsidi Belanda, biasanya selalu mendukung penguasa. Belanda menggunakannya untuk mengimbangi Permi yang radikal di Sumatera Barat. Tokoh-tokoh Perti diberi bintang Oranye van Nassau, misalnya Syekh Abbas dan kemudian anaknya Siradjuddin Abbas diangkat jadi anggota Minangkabau Raad dan diberi tanda jasa. Karakter demikian terus dipeliharanya di hadapan Soekarno. H. Siradjuddin Abbas konon menjadi salah seorang ulama yang amat dekat dengan Bung Karno. Diangkat jadi menteri, dan pernah dibawa sebagai anggota rombongan untuk bertetirah ke luar negeri. Di Sumatera Barat partai ini merupakan partai kedua terkuat menurut hasil Pemilihan Umum tahun 1955. Jika Perti bisa di-Golkar-kan, dapat dipastikan bahwa Golkar bakal menang di Sumatera Barat.
Yang menjadi soal bagi ulama-ulama Perti adalah bahwa pada pergantian Orla ke Orba tentunya mereka bimbang. Partai itu dikategorikan amat dekat dengan Soekarno yang memberi ruang gerak yang amat luas kepada PKI. Padahal Orde Baru baru saja menumpas gerakan dan ideologi komunis. Maka kalaulah pihak pemerintah mau melakukan prakarsa pendekatan kepada ulama-ulama Perti, nah, kesempatan untuk meng-GoIkar-kan Perti terbuka lebar! Lagi pula dari sudut politis partai ini tak punya target sendiri sebab sepertinya yang menjadi targetnya sepanjang zaman hanyalah akrab atau mendapat perlindungan pemerintah berkuasa.
Demikian analisis yang saya sampaikan kepada Kolonel M. Naszir Asmara.
“Bagaimana caranya?” tanya Naszir Asmara.
Kami usulkan agar Panglima Kodam III/17 Agustus mengunjungi ulama-ulama Perti, seperti Inyik Candung dan Inyik Bonjol. Lalu ulama-ulama lainnya. Demikianlah yang terjadi. Inyik Bonjol menerima kunjungan Panglima Jenderal Widodo di lapik suraunya yang dikembangkan di lantai, di negeri Bonjol yang jauh di pedalaman. Panglima juga mengunjungi Inyik Candung.
Pada akhirnya Perti menyatakan mendukung Golkar berdasarkan keputusan musyawarah Perti dari Sumatera Barat, Aceh, Sumut, Riau, Jambi, dan Bengkulu.
Dengan cara demikian maka tidak hanya Perti, tetapi juga Satariyah, Kadariah, PPTI, dapat diajak bekerja sama memenangkan Golkar. M. Zahar dan Drs. M. Hasbi yang pergi mengunjungi ulama-ulama itu dengan biaya mereka sendiri. Drs. M. Hasbi ketika itu menjadi dosen APDN di Bukittinggi.
Dalam konteks mendekatkan ulama dengan pemerintah itu teman saya M. Zahar dan M. Hasbi—terakhir Direktur APDN Bukittinggi—juga langsung menemui Datuk Palimo Kayo yang dinilai suatu faktor. Buya ini seorang bekas tokoh Masyumi dan pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Irak.
Dari Pasar Atas M. Zahar dan M. Hasbi naik bendi ke rumah Dt. Palimo Kayo di Jambu Air. Seperti dikisahkannya pada saya, mereka membentangkan peta situasi politik Sumatera Barat kepada abuya.
Bagaimana tanggapan Datuk Palimo Kayo?
Jawaban Datuk Palimo Kayo amat mengharukan:
“Awakden lah tuo. Jadi awakden ndak bapolitik Iai. Aden kini badakwah sajo. Cuma nan dari den ciek, ciek sajo. Tuan-tuanlah nan mudo-mudo ko nan bakarajo, karajolah. Usahokanlah supayo jan takuik rakyaik maliek polisi arawa dipanggia tantara. Anyo itu! (Saya ini sudah tum Jadi osaya tak berpolitik lagi. Saya mau berdakwah saja. Cuma ada satu pesan saya, satu saja, Tuan-tuanlah yang muda-muda ini yang mesti bekerja, kerjakanlah. Usahakan agar rakyat jangan takut melihat polisi atau dipanggil tentara. Itu saja pesan saya!)”
Pada akhirnya/l Golkar, memang menang di Sumatera Bara. Tentu saja banyak faktor yang menjadi sebabnya. Adapun prakarsa kami yang kemudian dikenal sebagai lingkungan Forum Cendekiawan di Bukittinggi tak bisa diukur sejauh mana bia berhasil.
Dengan demikian saya hanya hendak menjelaskan bahwa keterlibatan politik saya, secara langsung atau tidak, pada dasarnya didorong oleh kesadaran dan tanggung jawab intelektual.
Dan hal itu masih ada kelanjutannya.
***
NASZIR ASMARA memiliki hubungan kekeluargaan dengan ulama besar Sumatera Datuk Palimo Kayo itu. Ia adalah kemenakan abuya itu: Suatu ketika. Datuk Palimo Kayo meminta Naszir Asmara supaya merazia anak-anak muda yang bercelan sempit dan rok ketat.
Naszir tak bisa menerima atau menolak permintaan itu. la mengundang kami untuk mendiskusikan hal itu, yaitu Dr. Jakub Isman dari IKIP, Baharudin Sjarif (dekan Ushuluddin IAIN Padang Panjang), Drs. Sunaryaman Mustafa (Kepala SMA), saya dan Let. Kol. A.M. Ridwan—termasuk abuya Datuk Palimo Kayo sendiri.
Dalam kesempatan itu saya tanyakan langsung kepada Datuk Palimo Kayo, apa kriteria (ukuran) untuk melarang anak-anak muda bercelana sempit sehingga dipandang salah dari sudut Islam. Lalu saya bilang, bagaimana dalam rumah tangga kita masing-masing kalau kita ditanya anak-anak kita kenapa amai-amai (ibu-ibu) yang menyeberangi Batang Sianok dibiarkan mengangkat kain sampai terlihat betis_ dan pahanya. Kenapa kita membiarkan juga perempuan mandi di tempat terbuka di Sicincin, Maninjau, Pariaman. Kenapa tak ada ulama semenjak dulu yang menganjurkan dibuatkan jembatan atau kakus?
Datuk Palimo Kayo menyerah, “Kalau begitu, terserahlah bagaimana yang baik!”
Saya jelaskan anak muda bercelana sempit itu tak lebih dari mode. Yang akan hilang sendiri kalau datang mode baru. Lagi pula anak-anak muda tak ada aktivitas. Berilah aktivitas sehingga merasa terganggu bila bercelana sempit. Misalnya olahraga atau mengaji. Akhirnya memang diputuskan demikian.
Namun buya ini masih punya satu permintaan lagi. Bahwa ada seorang pedagang Balingka meminjamkan buku-buku roman, maksudnya buku-buku porno. Jadi supaya dilarang sebab merusak mental anak- anak muda.
Saya katakan bahwa anak-anak yang suka membaca biasanya tak suka macam-macam. Yang macam-macam ialah anak-anak yang tak punya aktivitas. Tak satu pun usul beliau yang diterima. Namun suatu pertukaran pikiran yang sehat benar-benar terjadi.
Untuk masa-masa selanjutnya, buya Datuk Palimo menjadi konco benar dengan saya. Beliau mengerti betul jalan pikiran saya. Ada kasus rumah sakit baptis Immanuel di Bukittinggi yang hangat dibicarakan dan menjadi isyu polik. Buya itu anti dan saya pro RS itu. Semua orang tahu itu. Lalu saya bertemu dengan Pak Natsir di rumah Engku Sjafei. Pak Natsir langsung bertanya:
“Apa Navis memang pro Baptis?”
“Saya kan orang Islam, bukan orang Baptis. Tapi kalau RS-nya saya pro. Sebab kalau tidak ada RS Baptis yang bagus maka tidak akan ada RS Yarsi. Menurut saya umat Islam harus dilampang (ditampar, ditempeleng) bukan dimanja-manjakan. RS Baptis kan melampang umat Islam di daerah ini dalam kualitas perjuangan, meskipun kalah dalam jumlah. Karena ada RS Baptis itu maka RS Yarsi maju dan umat Islam berbondong-bondong ke sana! Ini pikiran saya,” demikian saya tekankan pada Pak Natsir. “Harus ada kompetisi untuk kemajuan. Bukan aksi-aksi pressure group melalui demonstrasi protes massa dan demagogi politik saja!”
“Oh, begitu,” kata Pak Natsir.
Sejak itu hampir setiap saya ke Jakarta saya menemui beliau di mesjidnya di Kramat.
***
MASIH berkaitan dengan prakarsa, untuk memenangkan Pemilu 1971, Danrem Wirabraja Kolonel Naszir Asmara setelah berdiskusi dengan kami akhirnya merasa bijaksana untuk juga merangkul tokoh militer yang dulu berontak mendukung PRRI.
Rangkulan terhadap para mantan pemberontak PRRI itu menyatukan dan menyegarkan masyarakat dan daerah Sumatra Barat menyongsong era pemerintahan Orde Baru. Mereka merasa telah diterima sepenuhnya sebagai warga negara yang sah. Baik secara politis maupun secara psikologis. Orang-orang yang tidak pernah merasa dianggap sebagai musuh Republik Indonesia, mungkin tidak dapat merasakan hal tersebut.
000
Leave A Comment