SETELAH PRRI kalah, Maninjau diduduki tentara pusat. Maka barulah saya punya banyak aktivitas di tengah masyarakat setempat. Dalam bahasa sekarang saya terlibat dalam kegiatan bagaimana membangun dari bawah, bagaimana memancing Ialu memobilisasi kekuatan-kekuatan yang hidup dalam masyarakat untuk membangun dirinya sendiri.
Aktivitas yang pertama adalah membangun kembali gedung SD yang keadaannya sudah hancur. Kepala SD tersebut meminta pendapat bagaimana caranya bangunan SD itu dapat dibangun kembali. Lalu dibentuklah panitia untuk mencari uang dari rantau. Banyak yang meminta saya jadi ketua, demikianlah jadinya, sedangkan keuangan dipegang orang lain, seorang pedagang. Tapi saya tidak mau jadi ketua di kampung orang. Jabatan itu kalau saya terima, artinya sama dengan melecehkan potensi di kampung itu sendiri. Saya mau jadi sekretaris. Namun jabatan itulah yang paling berat. Karena hampir menguras segalanya.
Manajemen dan keuangan menerapkan sistem terbuka. Pada mulanya banyak orang tidak percaya. Tetapi setelah tiga bulan mulai banyak yang menyumbangkan uang mereka. Meski saya orang terbuka, toh ada saja orang yang mempertanyakan di belakang: ‘Apa mau Navis? Apa pula yang dia cari?’
Orang Minangkabau tidak mudah percaya kepada perbuatan baik orang lain. Mereka selalu curiga. Setiap perbuatan baik, mesti ada “udang di balik batunya”. Tapi kalau sudah beberapa lama kemudian, tidak ada “udangnya”, mereka pun percaya. Mereka akan membantu dan membentengi kita dari fitnahan.
Prosesnya sebagai berikut:
Pertama, setiap minggu orang bergotong royong untuk membuat pondasi. Di samping itu mengumpulkan dana untuk membeli bahan-bahan bangunan.
Dalam masa-masa mencari uang dan membangun SD itu, ada kisah lucu namun mengharukan.
Ada seorang pedagang. la berjualan ke Pakan Akad, sehingga tidak bisa ikut gotong royong yang biasanya dilakukan pada hari Minggu (Akad) pagi hari. Sorenya dia datang.
Dia melapor pada saya: “Angku Navis, kami tidak bisa ikut gotong royong pagi hari. Kami berdagang ke Pakan Akad. Kalau sore ini kami kerja bagaimana?”
Saya jawab, “Tidak apa-apa.”
“Apa yang harus kami kerjakan?” tanyanya.
Saya bilang, kerjakan saja galian pondasi yang belum selesai itu. Akhirnya, mereka bekerja sampai magrib tiba.
Saya sungguh terkesan akan kasus itu. Mungkin karena kita mengurus kampungnya dengan jujur, dia malu. Orang luar saja mau mengurus kampungnya, masa orang kampung sendiri tidak, begitu logika mereka.
Hal lain yang berkesan, ada seorang laki-laki yang punya ladang cengkeh. Dia cukup kaya, tapi terkenal sampilik, pelit. Maka tidak ada orang yang mau meminta apa-apa pada laki-laki itu meskipun kepada penduduk dan bahkan perantau diminta sumbangan.
Sekali waktu, dia datang langsung ke rumah: “Angku Navis, ambo sajo nan alun sato baiyua. Ambo ingin sato, bara ambo kanai? (Engku Navis, saya sendiri yang belum ikut menyumbang. Saya ingin menyumbang, berapa saya dikenakan sumbangan?)”
Saya jawab, “Berapa yang terniat ketika turun dari rumah?”
“Kok sapuluah karuang simin sajo baa? (Bagaimana kalau sepuluh zak semen?)” ia pula yang bertanya.
“Tidak apa, baik sekali!” jawab saya.
Memang, akhirnya dia antarkan 10 karung semen. Kejadian itu membuat orang sekampung tercengang.
“Baa minta pitih ka inyo Angku Navis. Indak pernah dia seperti sekarang, mau membantu pembangunan kampung! (Bagaimana cara meminta uangnya, Eng Navis. Tak pernah ia mau membantu pembangunan kampung seperti sekarang!)” kata orang.
Apa pula yang harus saya katakan, selain ini: “Tidak ada saya minta-minta!”
Sampai saya pindah memang belum selesai semuanya, tapi sudah ada bygunan SD itu empat kelas.
Berdasarkan pengalaman itu saya pikir, orang Minang akan malu dan pasti mau membantu kalau kita ingin dan bersungguh-sungguh membangun kampung mereka.
Hal itu saya bandingkan dengan yang dilakukan Gubernur Ruslan Mulyohardjo dulu. Dia dengan penuh kecintaan mengunjungi seluruh daerah di Sumatera Tengah. Sebagai pemimpin dia jujur, sehingga semua orang mau membantu. Kalau dia perlu tanah untuk membangun sebuah proyek, masyarakat akan langsung menyerahkan milik mereka. Apa kuncinya? Karena Ruslan Mulyohardjo itu orang Jawa dan dia betul-betul ingin membangun Sumatera Tengah sehingga orang Minang mau karena ada perasaan malu kalau tidak ikut membantu.
Ketika saya di Maninjau, hal itu pulalah yang saya temui. Sungguh pengalaman tak terlupakan. Lalu, datang pula panitia pembangunan gedung SMA yang kondisinya sudah parah pula. Saya pun terpaksa menerima menjadi ketua, yang lingkungan kerjanya bersifat kecamatan. Dengan memakai pola sama, pembangunan SMA itu dapat pula dilaksanakan.
Aktivitas saya lainnya adalah dalam koperasi primer, yakni Koperasi Tanjung Raya, pengurusnya mendatangi saya. Sebelumnya koperasi itu punya anggota 58 orang. Karena diurus orang-orang tua, koperasi itu tidak begitu maju.
Para pengurus dan anggota koperasi itu meminta saya jadi ketua. Saya tidak mau. Jadi sekretaris saya bersedia. Sebab saya rasa terus-terusan menjadi orang nomor satu di kampung orang yah tak enak juga.
Setelah jadi sekretaris, saya buatlah aturan main. Jatah-jatah gula biasanya tidak dibagi adil. Ada yang dapat dua kilo, tiga kilo per anggota. Saya ubah sistem pembagian itu. Pokoknya gula dibagi sama banyak pada anggota. Begitu juga barang kebutuhan lain seperti minyak tanah dan tepung terigu. Selanjutnya tidak ada jatah anggota yang dinyatakan hangus atau batal. Kalau ada anggota yang tidak sempat mengambil jatah pada kesempatan pertama, ia boleh mengambil kapan saja. Terkecuali minyak tanah, karena terjadi penguapan.
Bagaimana reaksi masyarakat? Akhirnya, seluruh masyarakat berusia di atas 17 tahun, laki-laki perempuan, menjadi anggota koperasi. Mereka jadi anggota koperasi supaya dapat jatah. Tidak apa-apa. Akibat selanjutnya bahkan Camat dan Buterpra (Babinsa sekarang) yang bagi orang kampung dipandang sebagai urang bagak (orang berkuasa), tidak berani minta gratis pada koperasi. Kalau Pak Camat atau Pak Buter bilang dia perlu minyak sekian liter, maka diberikan oleh koperasi, tapi bayar. Dan kebijaksanaan saya didukung masyarakat.
Akhir tahun perjalanan koperasi dievaluasi, dihitung perkembangan usaha dan banyak uang tersisa sebagai laba. Lalu, diputuskan untuk membuat usaha simpan-pinjam. Karena cukup besarnya uang koperasi dan tidak juga bisa diputar habis dengan cara simpan-pinjam, ada pengurus yang usul membuat koperasi angkutan. Kalau uang tersimpan sebagai uang mati pada kasir atau tak diinvestasikan, tentulah kurang ideal, padahal banyak yang bisa diusahakan.
***
SEWAKTU kami pengurus koperasi sedang memproses negosiasi pembelian oto, Camat Tanjung Raya membawa pesan dari Bupati Agam Kapten Taswar Akib untuk saya. Bahwa bupati meminta saya datang menemuinya ke Bukittinggi. Maka saya ke Bukittinggi.
Ketika berhadapan dengan Bupati, saya tanyakan kenapa ia memanggil saya.
Dia berkata Iain: “Maninjau kan bukan kampung Navis,” katanya.
“Memang tidak,” jawab saya.
“Berhenti sajalah. Tidak usahlah ikut koperasi itu!” katanya.
Saya tentu saja penasaran. Tetapi akhirnya Bupati bilang: “Pengaruh Navis banyak betul. Jadi, ada orang yang merasa tidak senang!”
“Apakah orang PKI yang tidak senang, Pak Bupati,” tanya saya.
“Ee, tidak sebut siapa orangnya. Tetapi ada pengaduan pada saya. Jadi sebaiknya mundur sajalah,” kata Bupati.
Saya memilih mundur dari koperasi bertepatan dengan pengangkatan Aksari sebagai Kepala Bidan Pengawas Kabupaten Agam. Kalau saya tetap jadi pengurus koperasi tentu popularitas orang PKI akan hilang. Tidak berapa lama kemudian saya dan keluarga pindah ke Bukittinggi.
***
SUATU hari pada tahun 1963 ketika saya masih di Maninjau datang berita bahwa ayah saya sakit di Padang, tidak ada yang merawat. Lalu, saya bawa ke Maninjau. Hanya satu setengah bulan bersama, sakit beliau pun bertambah. Kemudian dibawa lagi ke Padang, ke rumah sakit. Lima belas hari di rumah sakit, akhirnya meninggal di sana.
Saya tidak dapat melepasnya ke pusara karena mobil yang saya carter mogok terus di jalan. Saya sangat trenyuh karena tak mampu mengurus ayah di hari tuanya. Padahal usianya baru 62 tahun.
Saya sering bermimpi ketemu ibu dan ayah saya yang telah meninggal itu. Rasa rindu saya pun lepas. Paginya dunia ini terasa aman damai. Namun saya tidak pernah ziarah ke kubur mereka. Karena menghindari perasaan sentimental. Kalau saya rindu, saya kenang keduanya waktu akan tidur. Biasanya saya dapat mimpi bertemu lagi dengan kedua beliau.
000
Leave A Comment