SETELAH selesai mengerjakan patung dan relief tugu dua tahun ALRI di Pariaman, saya pindah ke Bukittinggi. Mendirikan sanggar Arca, di mana bergabung beberapa seniman—terutama pelukis. Sanggar kami banyak mendapat order. Membuat lukisan dan juga patung Soekarno Hatta. Juga merencanakan tugu tiga tahun Komandemen Sumatera. Tapi tugu itu tak jadi dibuat karena masyarakat keberatan kalau lapangan sepak bola diubah fungsinya jadi Taman Tugu tersebut. Mungkin karena batal, beberapa teman termasuk kasir kami minggat. Mereka pergi ke Aceh melalui jalan laut. Uang sanggar ikut mereka bawa. Tak lama kemudian Agresi Belanda II pun terjadi.
Di kota itu saya mendirikan organisasi seniman Muda Indonesia, dengan singkatan SEMI. Berhimpun dengan lebih banyak ragam seniman. Saya kira waktu itu, sampai awal PRRI, organisasi tersebut sangat bergengsi. Pameran dan teater kami dikunjungi banyak orang.
Saya pun bergabung dengan Sumatera Symphony Orchestra sebagai pemain flute. Musisinya terdiri dari para profesional dan amatir, para pengungsi dari Medan dan Padang, serta di Bukittinggi sendiri. Yang dari Medan saya masih ingat beberapa nama seperti A. Chalik, Lily Suhairy, Saabah dan anaknya Sabni Saabah, Buyung Ramli dan lain-lain. Dari Padang Paman Kandar, Wandin Zahar. Boestanoel Arifin Adam pun ikut sebagai violis satu. Kami mainkan beberapa komposisi dari Beethoven, Bach dan Mozart, karya-karya yang dikenal berat. Itulah “trade mark” konduktor A. Chalik. Dan sehabis memainkan salah satu karya Figaro sepanjang tujuh menit dalam tempo cepat dan nada-nada tinggi, maka kepala saya rasakan terbang!
Orkes Simfoni pernah dipertunjukkan kepada Bung Karno ketika berkunjung ke kota itu akhir tahun 1948. Organisasi SEMI pun mengadakan pameran buat beliau.
***
NAMUN apa saja yang telah dibangun di ibukota propinsi Sumatera itu, bubar ketika Belanda datang menyerbu pada akhir tahun 1948. Ketika Belanda baru menduduki Bukittinggi ayah saya bertanya: “Kita bagaimana? Ikut mengungsi?”
Saya lantas ingat arus pengungsian ketika Belanda menduduki kota Padang. Betapa sengsaranya mereka. Tinggal di gerbong, di emperan, dan semacam itu. Saya bilang pada ayah: “Kita mau mengungsi ke mana? Kita tak punya kampung. Kita orang kota dan 12 orang yang harus makan. Yah, di dalam kota sajalah!”
Saat itu ayah saya amat takut kepada Belanda. Hal itu berkaitan dengan pengalaman di zaman Jepang. Ayah saya bersama para tawanan Belanda disekap di dalam kamp konsentrasi di Bangkinang akibat fitnahan. Nama ayah dikatakan Davis dan memang potongan ayah seperti Indo. Ketika Jepang kalah para tawanan di kamp konsentrasi Bangkinang dibawa ke Padang. Ayah lari dari kamp dan bergabung kembali dengan kami di Padangpanjang. Karena lari dari kamp itulah ayah jadi takut pada Belanda.
Tapi setelah Belanda tiba ayah malah disuruh kerja terus di perusahaan kereta api. Malahan saya yang dimasukkan ke penjara. Tiga malam saya tidur di ubin penjara Bukittinggi. Saya dikeluarkan karena bisa berbahasa Belanda.
Untuk hidup, saya dan adik saya Anas berdagang kelapa di pasar. Kelapa kami beli di Padangpanjang. Dengan sepeda kami dorong ke Bukittinggi yang berjarak 20 kilometer itu. Tak cukup dua bulan saya berjualan. Saya berhenti karena hati saya berteriak menyesali diri. Soalnya, sekali waktu datang seorang perempuan tua terbungkuk-bungkuk menawar sepotong belahan kelapa yang saya jual. Tapi saya tak mau menjualnya karena belum ada untungnya. Perempuan tua itu pergi tertatih-tatih, entah ke mana. Hati saya tersentuh dan bertanya diri kenapa tidak saya jual saja pada perempuan itu? Dengan harga tawarannya saya belum berlaba tapi sebenarnya tidak rugi. Kasian orang tua itu, mungkin pengungsi, kata saya di dalam hati.
Entah kenapa saya seperti merasa bersalah karena itu. Saya tinggalkan jualan kelapa pada Anas sambil berkata: “Kau sajalah berjualan!”
Kemudian saya bertemu Rusli Halil, teman saya di INS Kayutanam. Pada masa awal Orde Baru ia Ketua Umum partai Islam Perti di Jakarta. Dan ketika partai itu digabungkan ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Rusli Halil mengajak saya menemui Mayor Joesaf Ali yang bergelar Black Cat, seorang komandan TNI di negeri Sungai Puar di kaki Gunung Marapi. Pada waktu itu Rusli Halil menjadi kurir Gubernur Militer, Mr. Sutan Mohammad Rasjid. Mayor itu juga teman sekolah di INS.
Waktu saya tanya apa urusan, Rusli Halil menyatakan bahwa suami saudaranya ditawan anak buah Mayor Joesaf Black Cat. la ingin membebaskannya. Maka pergilah kami dan hari itu juga ipar Rusli Halil dibebaskan. Tapi Joesaf Black Cat meminta kami mengantarkan istri tawanan itu pada keluarga di Padangpanjang. Maka kami antarkanlah perempuan itu bersama seorang gadis adiknya ke sana.
Kami mampir dulu ke rumah Emzita di Batagak, menyampaikan pesan Gubernur Militer kepada Mr. M. Siddik yang isinya agar beliau bergabung dengan Gubernur Militer di Situjuh. Waktu kami kembali ke Bukittinggi kami mampir lagi di rumah Emzita untuk langsung menyerahkan surat Mr. Rasyid kepada Mr. M. Siddik. Emzita memberitahu kami bahwa Mr. M. Siddik sudah dibawa tentara Belanda ke Bukittinggi sehari setelah kami menyampaikan pesan tersebut.
Suatu hari yang lain bersama Rusli Halil saya pergi menemui guru kami Engku Sjafei. Ia menetap di kaki Gunung Singgalang. Untuk menemuinya alangkah sulitnya. Banyak lapisan penduduk yang mengawalnya. Saya tidak punya surat keterangan apa-apa. Rusli Halil tidak mau memberikan surat-suratnya. Tapi bisa juga lewat karena ketemu teman saya Agus Mulia yang sering membawa perbekalan untuk Engku Sjafei. Engku Sjafei bersama ibunya Andung Chalidjah yang sudah tua renta tinggal di sebuah pondok di lekuk gunung itu. Pondok dibuatkan penduduk dari daun-daun tebu, baik dinding maupun atapnya. Tidak bisa berdiri tegak di dalamnya. Selama Agresi II itu, dua kali kami mengunjungi Engku Sjafei, guru kami itu.
***
SEKALI waktu saya didatangi seorang teman, Lalub Ilyas. Ia membawa pesan bahwa Letnan Nurdin Djain minta saya menemuinya ke Lawang, sebuah desa 25 kilometer dari Bukittinggi. Kini ia kolonel purnawirawan, mantan anggota DPR. la sepupu Bustanil Arifin dan sama siswa INS juga.
“Untuk apa?” tanya saya.
“Ia punya candu, mau dijual. Tapi kalau Bung yang urus,” Lalub menjelaskan.
Berangkatlah saya bersama Lalub melewati desa seperti Lambah, Jambak, Panta, terus ke Matur. Sejak dari Lambah kami sering bertemu anggota TNI bersenjata tapi kami tak pernah ditanyai apalagi diperiksa. Begitu juga setiap keluar masuk kota Bukittinggi melewati pos penjagaan Belanda. Saya pikir mungkin karena kami berpakaian rapi dan bersepatu. Seperti pejabat kantoranlah.
Nurdin Djain berterus terang pada saya: “Saya mau kawin. Tapi uang tidak ada. Saya punya candu setengah kilo lebih. Tolong jualkan!”
Itulah pertama kali saya berurusan dengan candu milik tentara RI. Selanjutnya Letkol A. Halim (Aleng), komandan resimen di Matur, juga minta bantuan menjualkan candu milik pasukannya. Kenapa mereka mempercayakan pada saya, Lalub menjelaskan barangkali karena diharapkan harganya akan lebih tinggi.
Persenan atau komisi dari Letkol A. Halim saya gunakan untuk modal membuka sebuah kios buku dan majalah. Lokasinya di tepi persimpangan Kampung Cina atau dekat Toko Tjoa, dekat Jam Gadang. Nama kios itu ‘Toko Buku Djelita’. Buku dan majalah yang dijual adalah kiriman Mara Karma teman sekolah di INS, yang waktu itu anggota redaksi surat kabar Indonesia Raya di Jakarta. Kini ia anggota Dewan Kesenian Jakarta.
Dalam kenyataannya kios buku saya itu otomatis menjadi salah satu tempat rendezvous para kurir Republik yang menyusup ke dalam kota. Di antaranya beberapa cewek menurut istilah sekarang, antara lain Halimah yang sehabis revolusi menikah dengan Orang Kayo Ganto Suaro yang kemudian menjadi residen di kantor gubernur Sumatera Barat. Ganto Suaro meninggal pada awal Orde Baru dan dimakamkan di Taman Pahlawan. Halimah minta tolong kepada kami untuk mencarikan senjata buat para gerilya.
Cerita bahwa saya bisa melego candu rupanya sampai di Padang. Siapa yang menceritakan saya tak tahu. Sebab suatu hari muncullah Jan Liem ke rumah kami di Jalan Nawawi, Bukittinggi. la membawakan oleh-oleh sekaleng rokok 555. Dia bilang, bahwa dia komandan Poh An Tui kota Padang yang saat itu sudah dibubarkan. la mau melakukan barter senjata dengan candu. la menjelaskan bahwa ia punya sejumlah senjata seperti senapan pendek (sten), granat dan pistol. la mau menukar senjata-senjata itu dengan candu.
“Percayalah sama saya. Saya sobat baik Habib Idroes. la yang bilang Angku Navis punya candu,” katanya.
Habib Idroes itu adalah ayah tiri Hasjim Ning. Sedangkan ibu Hasjim Ning adalah kakak ayah saya. Maka saya yakin takkan dikhianati.
Seusai pembicaraan dengan Jan Liem maka saya dan Lalub Ilyas menemui Letkol A. Halim di Matur. Dengan Rusli Halil saya menemui Joesaf Black Cat di Sungai Puar. Dengan Hasnal Nain saya menemui Mayor Djohan di seberang ngarai Palupuh. Hasnal Nain adalah kakak kameraman film Lukman Hakim Nain. Ternyata tak seorang pun lagi punya candu untuk dibarter dengan senjata.
Tiba-tiba datang Taher, teman yang membantu saya melakukan ‘bisnis” candu itu. Ia bekerja di Hotel Muslim. Ia berkata bahwa Kepala Mobrig di Palupuh, Komisaris Amir Mahmud mau membanter candu dengan senjata. Karena itu dipertemukanlah Jan Liem dengan Inspektur Damanik yang mewakili Komisaris Amir Mahmud. Tempat di rumah orang tua Hasnal Naim di kawasan Aur Tajungkang.
Saya tidak ikut dalam perundingan itu. Rupanya sejumlah senjata sudah dititipkan Jan Liem di Hotel Grand. Saya dan Jan Liem naik bendi membawa 3 sumpit—semacam karung dari daun mensiang—berisi senjata. Ada juga rasa ngeri kalau sampai diperiksa tentara Belanda. Saya pasrah saja pada Tuhan. Que sera sera, terjadilah apa yang terjadi.
Menjelang berlangsungnya Hari Penyerahan Kedaulatan, saya mengumpulkan beberapa pelukis antara lain Zetka, J.T. Man dan Djanain. Kami membuat beberapa poster “Selamat Datang” pada tentara Republik yang akan memasuki kota. Dana untuk itu diusahakan oleh Hasnal Nain. Poster-poster itu kami pasang pada setiap jalan masuk.
Beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan saya didatangi seorang teman. Dia mengajak saya ikut organisasi bekas pejuang.
“Buat apa?” tanya saya.
“Bung bisa dapat jatah rokok, gula dan terigu,” katanya.
Masya Allah! Hadiah perjuangan yang pertama ditawarkan pada saya ialah jatah-jatahan. Seperti saya, semua teman yang membantu saya, tak seorang pun yang masuk menjadi anggota organisasi bekas pejuang.
***
TAK lama setelah Penyerahan Kedaulatan, setelah Konperensi Meja Bundar ditandatangani dan Ratu Juliana menyerahkan kedaulatan pemerintahan kepada Bung Hatta ketua delegasi RI (di Den Haag) saya bertemu dengan Patiah. Ia sama-sama eks siswa INS namun anggota intel Belanda di zaman Revolusi Kemerdekaan. Kami berjumpa saat ia tidak lagi anggota intel Belanda.
Ia berkata bahwa sebagai anggota intel, ia seringkali mencuri percakapan para pejuang Republik di dalam Toko Buku Djelita.
“Saya tahu apa yang kalian percakapkan, apa yang kalian rencanakan!” katanya. “Dari balik dinding bahkan sebenarnya saya dapat membunuh kamu, tapi itu tidak saya lakukan!”
Itulah uniknya, karena Patiah barangkali berjiwa Republik atau lebih mencintai teman-temannya daripada tugasnya sebagai anggota intel Belanda.
Saya dapat mengatakan bahwa dilihat dari sudut politik sebenarnya Patiah berjiwa Republik. Namun ia justru bergabung dengan satuan ID, aparat NICA yang hendak melikuidasi RI. Kenapa?
Sebabnya sederhana dan unik, begini:
Istri Patiah menetap di kampung selama Agresi Il. Patiah tinggal di kota mengelola usaha percetakannya. Istrinya pun digaet seorang tentara Republik. Kesadaran politik Patiah tidaklah begitu mendalam, maka kelakuan letnan TNI ini cukuplah menjadi alasan bagi Patiah untuk berpihak kepada musuh RI. Maka bergabunglah ia dengan kesatuan intel Belanda di kota Bukittinggi. Bagi orang lain mungkin lebih mudah bercerai dengan istri daripada bercerai dengan Republik. Tapi tidak demikian Patiah: ia lebih merasa terhina atau dihina. Dendam kesumatnya terhadap letnan penggaet istrinya saja, yang kalau berjumpa pasti dibunuhnya karena untuk itulah ia jadi intel Belanda. la selalu ikut patroli tentara Belanda ke kampung istrinya. Ia sama sekali tidak membenci Republik dan para pejuangnya. Setidak-tidaknya demikianlah yang saya dengar tentang teman saya Patiah ini.
***
SESUDAH Penyerahan Kedaulatan saya kembali aktif di SEMI. Kawan-kawan seangkatan pada organisasi SEMI itu, ada pelukis Djafri, Jurnalis (yang terakhir bekerja di percetakan negara dengan tugas membuat desain uang kertas dan desain perangko), Mahyudin, Djanain, J. T. Man, dramawan M. Taher Harahap, A. Muis H., Raja Sahar, Rasjidin Rasjid, Asni Rasjid, Hasan Hasibuan, Betty Lukman, Astalina R dan Sjamsinar. Kemudian masuk juga Delsy Sjamsumar dan Motinggo Boesje—yang masih anak sekolah.
Uang untuk keperluan hidup saya sehari-hari diperoleh dari mengarang pidato dan cerita radio untuk RRI Bukittinggi. Waktu itu, untuk mengarang, saya tak punya mesin tik sendiri. Mesin tik numpang-numpang di sembarang tempat. Kadang-kadang di rumah kawan, kadang-kadang di RRI sehabis jam kantor. Saat orang-orang pada pulang ke rumah awak mangetiklah. Begitulah pada waktu itu. Dari hasil mengarang itulah saya mendapatkan uang.
Waktu itu honor naskah dan penyelenggaraan sandiwara radio dibayar Rp 75. Ada pembagiannya. Jumlah honor tersebut dibagi untuk pengarang dan para pemain. 50% dari penerimaan masuk kas organisasi.
Suatu ketika berhubung dua orang anggota SEMI pindah ke Lirik, Riau, maka SEMI diundang untuk mengadakan pameran dan sandiwara di Rengat sampai ke Tembilahan. Buahnya ialah kawan bertambah, juga kecapekan dan pengalaman. Di satu ruas jalan kami harus jalan kaki, karena jalan rusak berat. Waktu malam dan rombongan kami kepergok harimau yang lagi berterang bulan.
***
SEMI juga pernah melakukan pameran lukisan di pasar malam di Padang dan Padangpanjang. Itu murni inisiatif sendiri. Biasanya tak satu pun lukisan yang terjual. Cuma sekadar pameran, untuk kesenangan hati semata-mata. Tentunya rugi, tapi tak apa. Dananya kan dana organisasi—dikumpulkan dari sumber dana RRI.
Suatu kali, grup sandiwara SEMI main di Gedung Nasional Bukittinggi. Cerita yang diangkat “Bunga Rumah Makan” Utuy Tatang Sontani dan “Puputan Bali” Rasjidin Rasjid. Kami mengalami rugi. Bahkan sewa gedung tak terbayar. SEMI terutang, bertentangan dengan perkiraan sebelumnya. Celakanya, saya waktu itu jadi ketua peraksana.
Begitu diketahui pertunjukan terutang alias rugi, kawan-kawan malahan pada menghilang. Gara-gara jadi ketua maka terpaksa saya menyelesaikan sendiri. Pengurus Gedung Nasional tahu bahwa saya takkan bisa bayar sewa gedung. Maka sebagai gantinya saya diminta menggambari pentas Gedung Nasional. Awak kan ketua, mesti bertanggung jawablah.
***
BERDASARKAN pengalaman saya memang agak skeptis tentang mentalitas dan dedikasi “urang awak” di dalam berorganisasi. Banyak benar nan galia, atau mau enaknya saja. Artinya sedikit sekali yang mau bekerja sungguh-sungguh. Keadaan seperti ini saya alami dalam berbagai kerja sama dengan kawan-kawan seniman. Urang awak, galia tu banyak. Maambaiak cikarau indak baluluak tu nan banyak. (Orang Minang, banyak yang mau enaknya saja. Maunya mengambil tuah tanpa bekerja.) Tapi begitulah, saya tidak jera-jeranya juga sampai sekarang!
Di waktu zaman Jepang, sudah saya alami di Barisan Seni Bangsa pimpinan Sofian Naan. Kita sudah bekerja keras sampai pakaian sobek-sobek karena memanjat-manjat, sebagian kawan justru seperti datang untuk melagak-lagak saja! Awak karajo kareh, sanlpai cabiak-cabiak baju dek ma manjek-manjek, nan kawan manakah-nakah sajo.
Kalau jadi pengurus organisasi atau pelaksana program maka sejauh mungkin saya pantangkan benar membuat utang. Utang berleak-leak sehabis program amat memalukan. Memang, malunya itu yang saya tak tahan.
Tetapi, untuk saya pribadi kekecewaan terhadap banyak urang awak nan galia (galir, mau enaknya sendiri) ada hikmahnya juga. Terutama dalam menyusun program kerja. Bahwa kalau mengajak orang lain bekerja, maka harus tegas program mana yang digarap bersama-sama dan program mana yang harus dirampungkan sendirian tanpa bantuan siapa pun.
Saya paling tidak suka tergantung pada orang lain. Bekerja sama artinya sama-sama bekerja, bukan tergantung pada orang lain. Maka harus berpahit-pahit: Kalau mau, terus; kalau tidak, sudahlah. Tapi setiap pekerjaan harus dirampungkan. Jangan terbengkalai sia-sia.
000
Leave A Comment