HARI PERESMIAN Pekan Penghijauan Nasional 1982 di desa Aripan, Singkarak, Sumatera Barat.
Presiden Soeharto berhadapan muka dengan para petani. Seorang petani berdiri, dan langsung meminta traktor dan alat- alat pertanian Iain kepada presidennya.
“Kalian sebetulnya mempunyai kekuatan,” jawab Presiden dalam forum temu wicara itu. la mengingatkan hadirin akan besarnya potensi para perantau Minang. Bahwa jika sejuta perantau saja menyumbang Rp 1.000 per kepala, maka terkumpul dana pembangunan Rp 12 milyar untuk Sumatera Barat dalam setahun.
Gagasan spontan Presiden itulah yang mengilhami Gebu Minang. Yaitu Gerakan Seribu Rupiah (Perantau) Minang, semacam konsep alternatif bentuk pembangunan dari bawah, yang diprakarsai masyarakat sendiri. Konsep yang diwarnai keunikan masyarakat Minang yang terkenal sebagai perantau di seluruh Nusantara.
Maka kaum cerdik pandai Minang mendapat tantangan kreatif untuk mewujudkan gagasan murni itu. Terutama para pakar, perencana atau administrator pembangunan dalam pengertian modern.
Gagasan Gebu Minang dinilai realistis, bahkan ideal. Sebab secara tradisional para perantau tak lupa membantu kaum keluarga dan kampungnya dengan kiriman uang atau pos paket. ltulah pertanda ikatan batin perantau dengan daerah asalnya sebab “yang lahir menunjukkan yang batin”. Tiap tahun sampai Rp 41 milyar pos wesel dikirim dari luar Sumatera Barat. Terbanyak menjelang Lebaran, antara Rp 1,5 sampai Rp 3 milyar. Tapi kiriman para perantau itu tidak terkoordinasi dan hanya untuk kaum keluarga, Ialu untuk kepentingan kampung masing-masing: pembangunan masjid, madrasah, lalu proyek-proyek pemerintah seperti SD Inpres, Puskesmas, dan Iain-Iain yang memerlukan partisipasi masyarakat dan konsumsi.
Alangkah baiknya apabila kiriman uang para perantau itu terkoordinasi lalu diarahkan pada proyek-proyek pembangunan ekonomi di Sumatera Barat. Maka diproseslah Gebu Minang, sehingga kiriman para perantau diharapkan dapat dikumpulkan dan digunakan secara berencana sehingga pada gilirannya memberikan dampak perekonomian (multiplier effects) dan kehidupan sosial yang luas di Sumatera Barat.
***
DALAM kenyataannya gagasan itu tergenang saja. Memang ada upaya-upaya dari unsur-unsur Pemda di bawah Gubernur Azwar Anas untuk memobilisasi dana Gebu Minang dari para perantau. Namun hasilnya amat minim. Lagi pula tiadanya program yang jelas ikut menjadi kendalanya. Boleh dikata bahwa praktis tak berhasil.
Saya pikir Pemda tak bisa dibiarkan jalan sendiri. Dan akan rugi bila gagasan itu lenyap di jalan. Padahal kebutuhan akan dana pembangunan terus menjadi keluh kesah. Kebetulan saya terlibat banyak kegiatan LSM. Banyak program mereka berkaitan dengan kehidupan rakyat kecil di pedesaan. Semua membutuhkan dana.
Maka diam-diam dan sendirian saya coba membuat proposal. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosiologi kebudayaan Minangkabau. Saya fotokopi 80 eksemplar. Saya kirim ke tokoh-tokoh urang awak di seluruh Indonesia, misalnya Jakarta, Bandung dan Surabaya. Di Sumatera Barat sendiri saya bagikan antara lain kepada Prof. Djamil Bakar, ketua DPD Golkar.
Ternyata pada mulanya tak ada yang berani memprakarsai penubuhan suatu organisasi untuk mengurus program Gebu Minang. Juga di Jakarta tak ada, kecuali Sjaafruddin Bahar dan Azwan Hamir. Keduanya tertarik akan gagasan saya lalu menyampaikannya pula kepada tokoh-tokoh Minang di Jakarta, seperti Awaluddin Djamin, Harun Zain, Azwar Anas, dan Iain-lain.
Tokoh-tokoh itu pada prinsipnya setuju tapi ingin agar proposal itu dibahas lebih dulu sehingga lebih mantap. Mereka ingin bertemu saya lebih dulu. Kedatangan saya ditunggu di Jakarta tanpa setahu saya. Mereka nampak enggan mengundang saya. Maunya, seolah-olah pertemuan dengan saya, seperti tidak disengaja.
Suatu hari saya ke Jakarta. Lalu suatu pertemuan dilangsungkan di Hotel Sahid sambil makan malam. Saya hanya diundang agar hadir:
“Jangan pulang dulu. Ada pertemuan nanti malam, datanglah Uda,” bilang Azwan Hamir.
Saya lihat malam itu para pejabat dan orang kaya-kaya urang awak di Jakarta belaka. Sejak Harun Zain, Awaluddin Djamin, Azwar Anas, Aminuzal Amin, Kamardi Arief, Abdulgani Datuk Sidubalang, berbagai direktur dari BNI, BRI, BBD, Hasjim Ning, banyak lagi.
Tahu-tahu saya yang diminta mengemukakan gagasan. Yaitu proposal yang saya tulis.
Saya kutip data-data bagi penyusunan Repelita IV Daerah Sumatera Barat pada periode Gubernur Ir. H. Azwar Anas tentang tingkat kesejahteraan penduduk Sumatera Barat: 20% rakyat miskin, 20% hampir miskin. Kenyataan itu kan gawat meskipun daerah Sumatera Barat pernah mendapat anugerah kenegaraan yaitu penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha atas keberhasilan dalam melaksanaan pembangunan pada Pelita IV. Dan tokoh-tokoh Minang di Jakarta itu pada menolak karena tak percaya—juga Ir. Azwar Anas. Saya bilang itu kan data-data yang dibuat stafnya bagi penyusunan Pelita Sumbar tahun 1984.
Pendek kata, malam itu disepakati untuk mendirikan Lembaga Gebu Minang, yang tujuannya antara lain meningkatkan taraf hidup dan kualitas masyarat dalam bidang ekonomi.
Proses penubuhan organisasi Gebu Minang memakan waktu beberapa kali sidang lagi baik di Jakarta maupun di Sumatera Barat, serta melibatkan tenaga-tenaga profesional. Suatu musyawarah besar urang awak dilangsungkan di kota Bukittinggi yang melibatkan tokoh-tokoh Minang di rantau dan kampung halaman, dengan keynote speaker antara lain Emil Salim. Kemudian tersusun Lembaga Gebu Minang pusat, personalia dan program kerjanya berkedudukan di Jakarta, sedangkan Perwakilan dan Cabangnya di seluruh daerah di Indonesia. Ketua Badan Pengurusnya Emil Salim, sedangkan saya sendiri duduk sebagai anggota Dewan Pembina dan (kemudian) merangkap Kepala Perwakilan Sumatera Barat.
Kini Lembaga Gebu Minang diketuai oleh Emil Salim (Ketua Umum Pusat), Harun Zain Datuk Sinaro (Ketua Eksekutif) dan Saafruddin Bahar (Sekretaris Umum). Lembaga Gebu Minang mempunyai yayasan yaitu Yayasan Gebu Minang yang dipimpin antara Iain oleh Azwar Anas (Ketua Umum), Sjafaruddin Sabar (Ketua Eksekutif) dan Saafruddin Bahar (Sekretaris).
Usaha Lembaga Gebu Minang adalah menggerakkan masyarakat untuk menghimpun dana bagi berdirinya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di tiap kecamatan di Sumatera Barat, dengan modal dasar minimal Rp 100 juta masing-masing.
***
KETERLIBATAN saya memprakarsai pelembagaan Gebu Minang berkaitan dengan kebiasaan saya dan M. Zahar, selalu membahas pembangunan masyarakat desa. Itu sudah kami lakukan sejak di Bukittinggi. Sering di saat masa reses DPRD, kami melihat dan mempelajari permasalahan masyarakat desa. Maka kami tersentuh oleh kondisi kemiskinan mereka, oleh perilaku pejabat terhadap mereka, dan lain sebagainya.
Pada awal dasawarsa 1970-an saya menawarkan gagasan agar pihak bank membuka tabungan atau simpanan emas.
Masyarakat Sumatera Barat terbiasa menabung dalam bentuk perhiasan dan mata uang emas. Biasanya menjadi “uang mati” karena tak diinvestasikan. Apabila pihak bank mengambil alih tabungan atau simpanan emas, maka akan terkumpul dana untuk pembangunan, di samping penabung akan mendapat sekadar bunga. Gagasan itu kemudian didiskusikan di lingkungan Fakultas Ekonomi Universitas Andalas dan pihak perbankan. Bank Nasional kemudian membuka tabungan atau simpanan emas tersebut. Akan tetapi dilarang Bank Indonesia. Saya sendiri tetap berpendapat bahwa membiarkan banyak tabungan masyarakat tersimpan di bawah bantal berbentuk benda atau perhiasan emas adalah suatu kerugian. Tapi saya tak tahu kenapa pihak Bank Indonesia membatalkannya.
Waktu DPRD bersidang untuk membahas Repelita II dan RAPBD Sumatera Barat 1974 dan M. Zahar saya meminta Pemda Sumatera Barat agar menyediakan sebagai pinjaman dana Rp 500.000 tiap negari bagi pembangunan semacam bank desa yang disebut Lumbung Pitih Negari (LPN). Sebab Sumatera Barat terdiri dari kurang lebih 600 negari maka program Lumbung Pitih Negari itu akan berjalan secara bertahap dan memakan waktu beberapa tahun.
Maka untuk tahun pertama saya usulkan untuk 50 desa. Ternyata tak ada yang setuju. Tapi saya karengkang, tak mau mundur. Alasan saya programnya realistis, mesti disediakan dana Rp 25 juta untuk itu, lagi pula sifatnya pinjaman. Program itu akhirnya disetujui setelah menghadap Gubernur Harun Zain. Harun Zain setuju walaupun staf ahlinya tak setuju.
Maka berdirilah Lumbung Pitih Negari (LPN) untuk 50 nagari. Tahun selanjutnya 50 nagari lagi, 50 nagari lagi, dengan target dalam tempo 10 tahun baru menyeluruh di tiap negari.
Setelah tiga tahun berjalan terbukti program pembangunan LPN dinilai bagus prospek dan perkembangannya sehingga turun pinjaman dana Pemerintah Pusat Rp 1 milyar, melalui Departemen Dalam Negeri. Bahkan Bank Dunia bersedia menyediakan kredit sebesar Rp 2 milyar melalui BPD Sumbar dengan bunga yang rendah. Maka diambillah kredit dari Bank Dunia sedangkan kredit dari Mendagri ditarik.
Dalam pelaksanaan selanjutnya pengurusan LPN banyak yang tak beres, baik sistem manajemen, pembinaan, pengeIolaan atau pengawasannya, sehingga banyak yang mati. Saat itu saya sudah berhenti dari keanggotaan DPRD Sumatera Barat. Saya sungguh amat prihatin. Bayangkan di Sumatera Barat pernah berkembang 528 LPN namun dewasa ini yang tetap aktif dan sehat tinggal 73 LPN. Ke 73 LPN itu sekarang sedang dalam proses untuk dijadikan BPR dan karena itu otomatis akan berada di bawah pembinaan Lembaga Gebu Minang dan Bank BPD Sumatera Barat.
Sementara itu, gambaran kondisi desa-desa di daerah ini terus memprihatinkan. Sekitar 1% orang Minang meninggalkan desanya atau sekitar 30.000 tenaga potensial dan hal ini merupakan penyebab pula kenapa kemiskinan masih menetap di desa-desa. Observasi dan angket yang saya lakukan terhadap mahasiswa-mahasiswa “urang awak” di Yogya, Bandung, bahkan di Padang sendiri, semua mengatakan bahwa nagari asal mereka berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Sedangkan data yang dikumpulkan Prof. Hendra Esmara menunjukkan bahwa 179 nagari di Sumbar berada dalam kondisi miskin, 120 nagari dalam kondisi hampir miskin. Miskin dimaksud sebagai kondisi ketidakmampuan negari memberikan kehidupan yang layak kepada masyarakatnya sendiri.
***
SEJAK proposal saya mendapatkan tanah tempat hidup pertama di Jakarta, maka saya pun sering bolak balik ke sana. Pembentukan lembaga diiringi dengan proses persiapan dan pembentukan BPR di tiap kecamatan, sesuai dengan program teknis perbankan di Indonesia. Bank Duta melakukan program pelatihan, maka beberapa tenaga direkrut untuk persiapan tujuh BPR Gebu Minang masing-masing empat orang. Maka ada tujuh BPR tahap pertama.
Kini sudah berdiri 18 BPR, dengan total aset Rp 6 milyar lebih, terdiri saham yang disetor oleh masyarakat, tabungan/deposito dan penyaluran dana enam BUMN.
Sebenarnya tahun 1990 baru tujuh BPR (percontohan), yaitu BPR Gajahtongga Kp, BPR Surya Katialo, BPR Carano Nagari, BPR Sungai Puar, BPR Rangkiang Nagari, BPR Piala Makmur dan BPR Salido Empati. Tahun 1993 berdiri enam BPR, yaitu BPR Sago Luhak 50, BPR KBPR Sungai Limau, MOS Muara Panas, Gebu Makmurbersama, Sungai Rumbai dan Gebu Minsi Utama, sedang tahun 1994 berdiri Gema Ampek Koto. Lima BUMN yang ikut memegang saham dan menunjang pengembangan BPR-BPR itu adalah Perum Husada Bhakti (PT Askes Indonesia), PT Perum Angkasa Pura, PT Pelni, PT Bahtera Adhiguna dan PT Pupuk Sriwijaya. Total kredit yang sudah diberikan adalah Rp 4,6 milyar.
***
KENAPA perlu sesegera mungkin mewujudkan Gebu Minang didorong oleh kesadaran atas masa depan yang merisaukan, antara lain:
- Kondisi kesejahteraan sosial masyarakat yang bisa mematikan. Hal itu tercermin dari kecilnya angka pemilikan lahan pertanian rata-rata per keluarga (ada yang hanya seperempat hektar di kabupaten Agam dan Tanah Datar), tingginya angka tingkat kematian bayi. Sekitar 300 dari 500 negeri (satuan wilayah hukum adat) di Sumatera Barat rakyatnya hidup dalam kategori negeri miskin, cukup luasnya tenaga kerja putus sekolah yang tak siap pakai baik untuk lapangan pertanian di desa maupun untuk merantau, cukup lumayannya jumlah wanita tuna susila di kota-kota.
- Terbatasnya potensi pertanian untuk dikembangkan menjadi usaha pertanian besar-besaran, apalagi kalau hanya diolah secara tradisional maupun intensif. Sumatera Barat memerlukan diversifikasi ke perekonomian agroindustri. Industri kerajinan (yang berkembang luas dan spontan dewasa ini dari poros Padangpanjang—Ampek Angkek, atau dari poros Sungai Puar—Koto Gadang, dan lain-lain), bahkan kalau mungkin industri elektronika. Namun program pendidikan dinilai kurang siap untuk itu. Didirikannya Fakultas Teknik di Unand sedikit mengobati apalagi dengan jurusan Politekniknya. Namun dikhawatirkan akan menambah tenaga kerja “kerah putih” belaka. Potensi pertanian semakin menciut berhubung penambahan bangunan perumahan berkembang pesat pula.
- Pembangunan jalan raya Lintas Sumatra akan menggeser pusat perekonomian Pulau Sumatra ke timur, dengan usaha-usaha industri pertambangan, perkebunan, dan industri pendukung dan pengembangannya. Sumatera Barat akan berada di pinggiran.
- Kian langkanya para pemimpin masyarakat yang berwibawa, baik kalangan ulama (seperti disinyalir Ir. H. Azwar Anas ketika jadi gubernur) maupun di kalangan intelektual (seperti dikemukakan sastrawan/budayawan Chairul Harun).
Sumatera Barat memerlukan antisipasi atau terobosan yang jitu ke masa depan yang suram, terutama untuk menyiapkan generasi anak cucu untuk melayani dan mengatasi problematik-problematik masa depan. Dilihat begitu maka Gebu Minang merupakan suatu terobosan.
Haruslah diakui bahwa Gebu Minang jelas suatu percobaan atau upaya mencari konsep alternatif pembangunan Indonesia dari bawah, yang tumbuh dan digerakkan masyarakat. Tapi ia pun sesuatu yang baru bagi orang Minang. Gebu Minang adalah suatu mobilisasi atau ajakan pengumpulan dana dari orang di kampung dan orang di rantau untuk kegiatan ekonomis yang dikelola secara modern. Pertumbuhan BPR di seluruh Sumatera Barat diharapkan nantinya akan memancing tumbuhnya kegiatan dan tenaga bisnis yang relatif profesional dan pada gilirannya memancing dinamika perekonomian dan sosial dalam arti luas.
Kini Gebu Minang bersifat aktif dan berpusat di Jakarta, dikelola oleh Yayasan Gebu Minang dan digerakkan Oleh Lembaga Gebu Minang. Konsep-konsep kerja di atas kertas selesai dibuat dengan berbagai modifikasi sehingga cocok dengan keunikan orang Minang. Gebu Minang misalnya, adalah wadah kerja sama para perantau dan saudara-saudaranya di kampung halaman sehingga yang satu tak merasa terhimpit oleh yang Iain. Orang Minang yang merdeka amat sensitif terhadap hal-hal semacam itu.
Maka masalah utama Gebu Minang adalah masalah lain, justru terdapat di dalam tubuh para pendukung gerakan Gebu Minang ini. Memang mereka sama-sama orang Minang, namun sebagai perantau setidaknya mereka memiliki perbedaan dalam keterikatan atau kecintaannya terhadap Minang:
Pertama, orang Minang kota karena lahir di kota. Minang bagi mereka cenderung hanya satu, yaitu suatu lingkungan masyarakat etnis yang luas dan pendukung kebudayaan Minangkabau. Misalnya Awaluddin Djamin, Hasyim Ning, atau Azwar Anas, Bustanil Arifin.
Kedua, orang Minang tradisional, perantau yang hanya memikirkan kampungnya sendiri. Yang berpikir kenapa memikirkan kampung yang Iain? Kampung saya sendiri kan susah. Bergebu Minang bagi mereka merupakan bagian dari cara mengangkat kampungnya sendiri dengan “mengalahkan” kampung-kampung lainnya.
Ketiga, Minang kota sekaligus tradisional. Biasanya yang lahir di kampung, besar di rantau (kota). Mereka memiliki sikap orang Minang kota, tapi juga memiliki rasa hidup orang Minang tradisional di kampung-kampung, yang dulunya satu sama Iain tak jarang berkelahi atau berperang. Bagi mereka, misalnya Aminuzal Amin, Is Anwar atau Kamardi Arief. Solidaritas Minang ya, tapi solidaritas kampungnya tak bisa ditinggalkan.
Namun masalah-masalah umum yang dihadapi masyarakat dan daerah di masa depan, tantangan-tantangan yang makin sulit mudah-mudahan akan lebih menyatukan mereka.
Cita-cita umum orang Minang adalah ingin menjadi orang berpangkat, kaya dan ternama. Kalau tidak ia sendiri, kaum keluarganya, atau tokoh-tokoh urang awaknya. Banyak orang Minang yang berhasil mencapai pangkat tinggi atau menjadi kaya raya. Namun yang yang memiliki nama besar atau tuah, kian sedikit.
Pengalaman-pengalaman saya mengurus koperasi di Maninjau meyakinkan saya, bahwa kalau pengelolaan Lembaga Gebu Minang dengan BPR-BPRnya berjalan secara terbuka, bersih dan efisien maka akan sukses. Moga-moga saja demikian sebab pengalaman LPN-LPN yang ada bisa dijadikan pelajaran.
Kalau Gebu Minang tidaklah sukses secara manajerial dan ekonomis barangkali bisa untuk mendatangkan tuah urang awak secara keseluruhan. Sebab ada yang konon sudah puas sebab urang awak merupakan pelopor yang melaksanakan pembangunan dari bawah secara murni!
Urang awak memang terkenal aktif dalam berbagai aktivitas dan gerakan kepeloporan akan tetapi biasanya juga gagal dalam memelihara dan mengembangkannya. Dan paling celakanya, mereka tak pandai berorganisasi.
***
GEBU Minang jelas suatu percobaan atau upaya mencari konsep alternatif pembangunan Indonesia dari bawah, yang tumbuh dan digerakkan masyarakat. Tapi ia pun sesuatu yang baru bagi orang Minang. Gebu Minang adalah suatu mobilisasi atau ajakan pengumpulan dana dari orang di kampung dan orang di rantau untuk kegiatan ekonomi yang dikelola secara modern.
Gebu Minang mengisyaratkan bergerak atau digerakkan oleh suatu proses pembaruan masyarakat Minang, menampilkan kaum intelektual, wiraswasta yang profesional di depan; juga mereka yang berpengalaman sebagai pakar, teknokrat atau administrator di garda depan pembangunan Indonesia. Sejak dari Emil Salim, Harun Zain, Azwar Anas, Bustanil Arifin, Awaluddiin Djamin, para pengusaha berpengalaman seperti Hasjim Ning, Fahmi Idris, Aminuzal Dt. Rajo Batuah, Azwan Hamir, dan lain-lain, seraya menyertakan para bankir dan tenaga profesional lainnya. Gebu Minang mencerminkan atau mengisyaratkan pertama kalinya proses menyatunya orang Minang di kampung halaman dan di rantau dalam bidang sosial ekonomi. Tantangan zaman menempatkan mereka pada posisi yang sama, yaitu bahumembahu menghadapi dan memikul beban sejarah demi anak kemenakan dan masa depan bangsa Indonesia, dengan tidak mengabaikan malahan melibatkan nilai-nilai dan kepemimpinan agama dan adat. Seakan orang Minang memasuki era baru.
Hal ini secara kultural membawa konsekuensi yang jauh, terutama bagi para perantau Minang. Para perantau biasanya dibiarkan mencari sesuap nasi di rantau—tentunya mendingan jika sesekali sempat berkirim pos wesel atau pos paket—dan dibanggakan bila bernama harum karena berhasil menelungkup-telentangkan dunia di tapak tangan. Tapi kini ia bisa ditagih agar turun tangan mengurus kampung dan anak kernenakan di sana. Masa transisi yang mengandung dinamik tapi sensitif ini harus dijalani.
***
SAYA sendiri ditunjuk merangkap ketua Perwakilan Lembaga Gebu Minang untuk Sumatera Barat. Saya mengusahakan agar nama pengurusnya terpercaya, ulama atau tokoh masyarakat, lalu ada yang mau bekerja sebagai pelaksana teknis yang trampil. Susunan pengurus daerah Lembaga Gebu Minang Sumatra Barat adalah saya sendiri sebagai Ketua Umum, Anwardin (Wakil Ketua/Pengawasan), Prof.Dr.Ir. Fahri Ahmad M.Sc. (Wakil Ketua/PeneIitian dan Perencanaan), Prof.Dr.Ir. Syofyan Asnawi MADE (Wakil Ketua/Pembina), Prof.Dr. Mansyur (Ketua/Sosial dan Keagamaan), Zainal Bakar SH (Sekretaris), Ir. Dedi Andika (Wakil Sekretaris), Drs. Arifin Kasirp (Keuangan), dengan anggota-anggota Prof.Dr. Alfian Lains S.E., Herman S.E., Prof.Dr. A. Aziz Saleh, Chairul Harun, K. Dt. P. Simulie, Drs. A. Saidani dan Ir. Indra Chatri.
Kesulitan saya adalah tenaga-tenaga yang saya pilih tak bisa bertahan. Zainal Bakar (sekretaris) diangkat jadi Bupati Padang Pariaman lalu Sekwilda Sumatera Barat, Drs. Saidani (mantan Wako Solok) diangkat jadi Kadinas Pertambangan, Ir. Indra Chatri, tidak lama balik pula ke Bandung lagi mengikuti program S2, sedangkan yang lain terpaksa juga tak bisa karena dibebani jabatan pula seperti Prof.Dr. Fachri CAhmad menjadi Rektor Unand, Ir. Syofyan Asnawi Rektor Universitas Bung Hatta, lalu Dr. Azmi dari IKIP diangkat jadi Purek I, sedangkan Dr. Mansur Malik pun dipilih menjadi Rektor IAIN. Orang-orang pilihan saya rupanya memang orang-orang potensial sehingga dimanfaatkan oleh pemerintah dengan jabatan yang lebih besar tanggung jawabnya. Akhirnya yang bisa kerja sebagai Ketua, praktis saya seorang.
***
SAMPAI sejauh ini masalah pokok yang dihadapi BPR-BPR itu adalah modal yang umumnya kecil. Minimal harusnya Rp 500 juta. Kini baru sekitar Rp 150 juta per kecamatan. Karena itu kredit yang bisa dikeluarkan hanya kredit berjangka pendek.
Mestinya ada usaha mobilisasi dana masyarakat. Misalnya seperti pengumpulan dana model PMI tapi harus ada izin pemerintah. Untuk itu perlu tempat yang permanen tapi biaya pembangunannya besar, sedangkan dana untuk itu dari Pusat tak tersedia.
Program Gebu Minang adalah program pertama kalinya orang Minang di rantau dan di kampung halaman bekerja sama bahu-membahu. Berkaitan dengan ini maka setidak-tidaknya untuk tahap pertama terdapat masalah psikologis berkaitan dengan sistem dan tanggung jawab, Ialu kaitannya efisiensi dan efektivitas organisasi, yang semuanya merupakan hal-hal yang baru.
Saya memberikan sekadar contoh kasus permasalahan. Saya mendapat kesan bahwa Pengurus Lembaga Gebu Minang Pusat lebih banyak bekerja dengan ber-gaya birokrasi pemerintah pusat, yang pejabat-pejabatnya kalau datang di daerah minta disambut dan dilayani oleh pengurus daerah. Sekali datang faksimil lewat Kantor Gubernur dari Pengurus Pusat dari Jakarta. Isinya berita bahwa akan datang seorang pengurus mempelajari perkembangan Gebu Minang di Sumbar dan minta kepada saya agar selama di Sumatera Barat “didampingi”.
Saya tak menjemputnya ke lapangan udara. Maka ia memesan sendiri hotel lalu ke Kantor Gubernur, seraya berkata bahwa ia sudah kirim fax tapi Navis tak datang menjemputnya.
Saya diminta datang ke Kantor Gubernur. Sebuah mobil dikirim ke rumah saya. Lalu sebuah lagi agar cepat datang.
la bertanya, apakah fax yang dikirimnya ada saya terima. Saya bilang tentu saja ada.
la bertanya kenapa ia tak dijemput dan didampingi.
Maka langsung saja jawab: “Itu yang tak bisa saya kerjakan. Kerja saya bukan mendampingi tokoh Jakarta.”
Menurut saya, bukan bawahan siapa-siapa, juga dalam Lembaga Gebu Minang. Lagi pula saya tidak tahu apa program orang-orang Jakarta di kampung. Menurut saya seharusnya program mereka ke kampung harus dibahas dengan saya. Malahan tak perlu orang Jakarta ke Padang, minta dijemput dan didampingi lagi. Kalau ada program yang jelas kan bisa Perwakilan sendiri yang menjalankan. Kalau tidak untuk apa dibentuk Perwakilan Lembaga Gebu Minang di Sumatera Barat. Apa Perwakilan hanya travel biro bagi tamu-tamu dari Jakarta? Belum pernah dalam sejarah, orang Minang di kampung halaman mau diatur oleh saudara-saudara mereka yang ada di rantau, apalagi menjadi pelayan mereka. Ini masalah psikologis!
“Bukan begitu, Pak Navis! Kan bisa staf yang lain!”
“Yang akan disuruh itu yang tak ada. Staf saya kan semua profesor. Mana bisa saya perintahkan mereka jadi tukang damping orang pusat”.
Itu pengaruh dari sentralisme birokrasi pemerintahan yang merasuki pula organisasi dan lembaga-lembaga swasta di Indonesia. orang Jakarta memandang daerah sebagai bawahannya seperti seorang menteri atau ketua parpol bersikap. Dan kita yang di daerah hanya pelaksana atau pelayan mereka. suatu hal yang terjadi sejak zaman penjajahan bahwa daerah seberang hanya dipandang sebagai daerah binaan yang statusnya lebih rendah. Kalau dipindahkan ke daerah dengan pangkat yang sama berarti semacam hukuman jabatan. Kalau naik pangkat sebagai promosi. Di zaman republik ini orang daerah sepantasnya merasa sama dengan pusat.
Coba kalau kita ke Jakarta. Maka kita yang harus mendatangi mereka ke kantor atau ke rumahnya. la selalu menempatkan diri sebagai tokoh yang lebih tinggi dari orang daerah. Itulah semacam feodalisme baru. Dan saya tidak suka itu.
000
Leave A Comment