SEBELUM pindah ada dua kenang-kenangan yang sangat berkesan. Pertama, selama di Maninjau anak saya sudah lahir lima orang. Adik-adik Dini Akbari adalah Lusi Bebasari (lahir 29 Juni 1959), Dedi Andika (22 Desember 1960), Lenggogeni (1 Agustus 1962), dan Gemala Ranti (14 Desember 1963.). Sudah lama mertua saya ingin melakukan aqeqah anak yang menurut hukum agama termasuk ibadah sunat (tidak wajib tapi berpahala).

Kata mertua saya, selama ini keluarga saya yang selalu diundang orang menghadiri pesta atau kenduri. Supaya imbang kapan kami sendiri mengadakan semacam kenduri aqeqah anak-anak?

Waktu itu saya katakan, kami mengaqiqahkan anak sesaat akan pindah dari Maninjau nanti. Jadi ada alasan yang tepat.

Sebulan sebelum pindah ke Bukittinggi, kami undang para tetua kampung. Kami sampaikan bahwa kami akan mengadakan kenduri aqeqah itu sekaligus merupakan acara perpisahan kami karena akan pindah ke Bukittinggi. Karena itu kami minta meraka menjadi sipangka, tuan rumah, atau semacam panitia: “Maklumlah, kami hanya berdua, karena itu kami menyerahkan kepada angku-angku bagaimana cara mengurus alek (helat kenduri),” kata saya.

“0o itu, tahu bereslah Angku Navis,” kata para tetua masyarakat Maninjau.

Sebuah panitia dibentuk. Kami tinggal menyediakan bahan yang dibutuhkan seperti beras dan seekor sapi untuk dipotong. Piring dan segala macam peralatan sampai kayu tidak dibeli. Sudah disediakan masyarakat. Bahkan, halaman rumah yang kotor ditolong orang kampung membersihkannya. Saya betul-betul terharu.

Pagi harinya seekor jawi disembelih untuk jamuan. Lalu, mereka memasak. Setelah hari sore, mereka melapor. Bahwa semua anak yatim sudah diberi makan, tidak ada lagi yang ketinggalan. Baik yang di kampung itu sendiri, maupun kampung tetangga sudah dapat makan. Karena tamu masih banyak, nasi terus dimasak. Malah dua ekor kambing disembelih lagi. Maklum tamu begitu banyak, sekecamatan.

Namun, akhirnya gulai pun hampir habis. Tentu saya cemas. Ketika saya sampaikan pada panitia, mereka bilang: “Beres itu, Angku Navis. Kami sudah sediakan kambing, kalau perlu disembelih lagi. Beras masih banyak. Jangan Angku Navis pikirkan, kami yang bertanggung jawab!”

Menghadapi hal itu, saya betul-betul terharu.

Akhir dari alek itu, nasi berlebih sekancah besar beserta gulai kambing. Bagaimana baiknya nasi itu, tanya mereka.

“Terserahlah. Ke mana akan diberikan, berikanlah,” kata saya, “kewajiban sipangka menghabiskan.”

Demikianlah yang terjadi. Semua anggota sipangka ramai-ramai menyerbu makanan yang tersisa.

Itulah kenang-kenangan yang sangat berkesan di tengah masyarakat Maninjau. Itu semua mungkin karena istri saya yang bidan dan tidak membedakan orang yang dibantu.

Selama di Maninjau, Insya Allah, tidak ada orang yang menganggu saya dan keluarga.

***

KEMUDIAN pada hari kepindahan kami ada saja acara yang diselenggarakan oleh panitia perpisahan sekecamatan. Maka berpesta lagi dengan memotong kambing. Ada jamuan besar lagi.

Dengan diantar oleh pidato atas nama orang banyak, kepada saya diserahkan sebuah lukisan danau Maninjau karya Djanain untuk kenang-kenangan. Tidak itu saja. Urusan transportasi kepindahan kami, barang-barang dan keluarga, itu seluruhnya urusan orang kampung. Mobil mereka sediakan. Pokoknya kami tak keluar uang serupiah pun. Sungguh mengharukan karena semua kami rasakan bersumber dari rasa cinta yang penuh keikhlasan.

Lama saya merenungkan pengalaman indah dan spontan itu. Saya berkesimpulan, bahwa orang kampung itu sebenarnya memiliki budi mulia dan sifat kekeluargaan yang kuat. Itu kalau terbukti bahwa kita bekerja dengan benar dan konsisten dengan aturan. Kita tidak saja di-support dan dihormati melainkan juga dicintai. Sebaliknya kalau mereka mencium bahwa kita melakukan pekerjaan yang mementingkan diri sendiri atau curang maka mereka pun bersicepat pula melakukannya. Bahwa pada hakikatnya mereka tak suka penyelewengan dan tak menghormati para penyeleweng.

Itu nampaknya semacam kiat sukses mengurus kampung atau masyarakat pedesaan. Tapi itu payah melakukannya. Banyak godaannya, apalagi mengurus koperasi. Mengurus koperasi memang berat. Apalagi di masa korupsi lagi berjadi-jadi.

***

TINGGAL di desa Maninjau selama 7 tahun, dan selama 5 tahun terkurung karena tidak bisa ke mana-mana oleh situasi perang saudara itu, sesungguhnya sangat memperkaya pribadi saya dalam mengenal manusia, terutama manusia Minangkabau. Saya menjadi sangat memahami alam pikiran dan etika sosial mereka, bahkan etika seksualnya pun.

Masyarakat Maninjau, bukanlah penduduk kampung dalam arti murninya. Pada umumnya mereka memiliki mobilitas yang tinggi dan pernah tinggal dan hidup di berbagai kota besar si Sumatera atau Jawa untuk suatu masa atau sekadar bertandang saja menemui famili.

Pengaruh kehidupan kota berbenturan dengan tradisi yang mapan. Sikap hidup mereka ganda, sehingga terbenam dalam berbagai dilema, “memakan buah si malakama”‘ kata peribahasa. Namun mereka terus bekerja dan berjuang untuk hidup, setidak-tidaknya untuk terlihat tetap “survive”. Mereka terus menggeliat meski seperti “cacing yang terinjak” sekalipun. Hampir tidak ada yang mengeluh berputus asa, apalagi bunuh diri dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Mereka mengerti dialektika hidup. Tapi mereka tidak rasional. Apalagi dalam menghadapi sistem tradisi mereka.

Karena kami terkurung sekian tahun di suatu desa kecil, hubungan persahabatan dengan banyak orang menjadi akrab. Sehingga banyak masalah yang dapat kami bicarakan secara terbuka tentang situasi yang “complicated” dan gagasan yang perlu diusahakan dalam masyarakat. Dari antara mereka saya kenal tiga orang pedagang atau importir tekstil. H. Zainal, Abdullah Umar dan M. Nasir Samad. Setiap tahun ketiganya membayar zakat dengan setia, sebagaimana yang telah menjadi tradisi para pedagang Minangkabau. Sebagian zakat mereka berikan kepada orang kampungnya. Dan bila tiba masanya, maka antrilah orang yang merasa berhak menerima ke rumahnya. Besar sedikitnya zakat itu diberikan kepada masing-masing mereka, tergantung pada jauh-dekat hubungan kekerabatan antara pemberi dan penerima dan juga berdasarkan pengamatan kondisi hidup dari mereka yang berhak menerima.

Saya melihat cara itu tidak efektif. Pemberian zakat tak ubahnya seperti membagi-bagikan hadiah. Habis menerima mereka pergi ke restoran ingin menikmati makanan yang telah lama diidam-idamkan. Maka mereka yang miskin tetap saja miskin. Pikir saya, mengapa mereka itu tidak diberi zakat sebanyak modal usaha yang sanggup mereka kelola?

Sehingga tahun depan mereka akan menjadi golongan pemberi zakat pula. Dengan cara demikian, orang miskin akan kian berkurang setiap tahun di desa itu.

Pikiran itu saya kemukakan kepada ketiga pengusaha itu pada waktu dan tempat yang berbeda. Rupanya pikiran saya diterima mereka. Tahun berikutnya dan berikutnya, mereka mengubah sistem pemberian zakat. H. Zainal menginventarisir kerabatnya yang usahanya jatuh atau tidak maju-maju karena kekurangan modal. Kepada merekalah zakat lebih banyak diberikan. Sedangkan Abdullah Umar dan M. Nasir Samad secara bersama memodali suatu koperasi kaum. Anggota kaum yang perlu modal boleh meminjam dengan cicilan kecil dan dengan biaya administrasi yang rendah. Setelah kami pindah dari Maninjau, saya tidak tahu persis kelangsungan sistem tersebut.

***

BANYAK kenangan manis yang mengikat batin kami di desa itu, selain dari rasa hutang budi. Teman isteri saya sering berandai-andai agar kami besanan dengan mereka, bila anak-anak kami tiba saatnya dijodohkan. Andai-andai itu tak jadi kenyataan. Yang jadi kenyataan, ialah adik saya nomor empat, Adel Nafis, mendapat jodoh dengan gadis Maninjau. Elly Thaher namanya. Kami yang jadi mak comblangya. Dengan demikian ikatan batin kami dengan warga Maninjau dipererat oleh hubungan kekerabatan tersebut.

000