KANTOR Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK = P & K sekarang) Propinsi Sumatra Tengah, berkedudukan di Bukittinggi. Persisnya di lantai atas gedung Bank Nasional di Jl. Ahmad Yani, di kawasan Kampung Cina, kota Bukittinggi.

Suatu hari Kepala Jawatan Kebudayaan itu datang menemui dan meminta ibu saya agar menyuruh saya jadi pegawai jawatan itu. Itu tahun 1952. Maka jadilah saya pegawai Jawatan Kantor Kebudayaan Sumatra Tengah—dengan wilayah administrasi meliputi propinsi Sumatra Barat, Riau, dan Jambi sekarang.

Tiga tahun saya berdinas di Jawatan Kebudayaan di bawah dua pimpinannya. Yang pertama seorang penilik sekolah yang dialihtugaskan. la seorang anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada periode demokrasi liberal itu solidaritas orang separtai dalam arti sempit memperburuk suasana kerja perkantoran pemerintah. Kalau yang memerintah adalah partai A, maka yang menjadi perhatian utamanya adalah kegiatan partai dan anggota-anggota partai A. Kalau ada dana atau fasilitas yang akan disalurkan kepada masyarakat, maka prioritas adalah untuk kelompok partainya. Juga dalam penerimaan pegawai. Tetapi saya tak berpartai dan tak pernah berpikir seperti itu. Bos saya pertama itu dianggap tidak becus karena memang wawasannya kurang. Maka digantilah ia dengan A. Chalik, masih sama-sama dari PNI.

Kata orang, siapa yang menjadi pegawai negeri zaman itu, statusnya rancak. Pegawai yang berdasi waktu itu,hanya dua orang, yaitu saya dan seorang kawan. Ke mana-mana naik sepeda. Lucu, berdasi naik sepeda!

Dalam masa dinas selama tiga tahun itu saya pula menghadapi suasana kerja yang tak enak. Agaknya karena bukan berbakat pegawai negeri! Ditambah lagi karena pangkat rendah. Tamatan SMP-lah, sama dengan klerk.

Sebagai pegawai negeri kecil yang seniman, celakanya tiap tanggal 15 kantong sudah kosong. Padahal gaji waktu itu lumayan banyak, Rp 225. Dengan gaji sebesar itu bisalah membeli kemeja tiap bulan. Untuk bujangan lebih dari cukup. Malah untuk kawin pun cukup. Tapi gaji itu pada tanggal 15 sudah habis, sebab sewaktu menerima gaji sudah dipotong hutang-hutang.

Saya mengalami suasana tidak enak karena awak sebagai seniman tidak mengerti dengan birokrasi. Misalnya dalam kenyataannya aktivitas kerja di sana bergelombang-gelombang. Ada pasang surut ada pasang naik. Waktu gelombang surut, kawan-kawan hanya mengobrol perkara gaji ke gaji, atau perkara pangkat ke pangkat saja. Misalnya kapan gaji seorang pegawai bisa naik dan bagaimana prosedurnya.

Hal Iainnya suasana kerja yang bersifat kepegawaian (birokratis). Antara autoritas (kewenangan) dengan kapasitas seseorang tak selalu klop. Yang pimpinan karena status dan wewenangnya sepertinya boleh sekehendak hatinya. Asal memenuhi aturan resmi ya sudah. Maksud saya pegawai-pegawai yang statusnya lebih rendah meskipun lebih pintar masa depannya tergantung pada sikap bosnya dan bukan pada kecerdasan dan kemampuannya yang sebenarnya.

Nasib saya di kantor adalah bagian dari nasib pegawai kecil. Kalau kita rajin kawan iri hati. Kalau malas bos pun marah.

***

DI KANTOR jawatan itu, yang banyak aktivitas justru di bagian saya. Misalnya aktivitas pameran, pertunjukan kesenian, dan lain-lain di luar kantor. Maka pegawai-pegawai di bagian lain yang selamanya lapuk di dalam kantor sepertinya kurang pekerjaan dan merasa sepele. Begitulah dunia kepegawaian.

Sebagai pegawai saya punya banyak kesempatan untuk menolong kawan-kawan seniman, baik berbentuk grup maupun perseorangan.

Grup-grup kesenian yang saya nilai potensial, saya usahakan memperoleh bantuan dari jawatan. Yaitu Semi, Okra—lembaga kesenian di bawah partai Murba, dan lain-lain. Okra itu lawan dari Lekra. Saya sendiri tak tahu persis tapi apa aktivitasnya.

Kemudian bantuan kepada pribadi-pribadi, anak-anak muda nan potensial, yaitu bantuan dana untuk melanjutkan studi. Misalnya buat Dirwan Wakidi yang belajar musik di ASMI dan buat Arby Samah yang belajar seni rupa di ASRI, keduanya di Yogya.

Jawatan Kebudayaan juga membantu pelaksanaan suatu program yang diprakasai masyarakat. Waktu itu, tidak perlu pakai izin-izin. Siapa saja boleh mengadakan seminar atau pameran. Dalam kaitan demikian, pada tanggal 28 April 1954 ada- semacam forum diskusi atau simposium di Gedung Pemuda, Padang, tentang peringatan atas kepenyairan Chairil Anwar. Kebetulan saya diminta sebagai salah seorang pembicara. Saya sudah lupa apa pembicaraan saya tapi beberapa peserta masih ingat seperti Rustam Abrus (Sekwilda Riau kini dan Ketua Dewan Kesenian Riau), OK Nizami Djamil (Kakanwil Depdikbud Riau). Saya baru tahu kalau mereka itu pernah mendengar ceramah saya itu beberapa waktu Ialu. Yang di Padang sendiri, salah seorang pendengar adalah Kamardie Rais Datuk P. Simulie, mantan Ketua PWI dan anggota DPRD Sumatra Barat.

***

SEKALI di kota Bukittinggi berlangsung konperensi Jawatan Kebudayaan seluruh Indonesia. Sebelum konperensi saya menulis sebuah artikel di koran Haluan (Padang), bahwa sudah saatnya Sumatra Barat memiliki sebuah sekolah atau akademi musik dan seni rupa.

Artikel itu rupanya menarik bagi Jawatan Kebudayaan dari Yogya. (Tulisan itu bisa menjadi masalah politik, karena pimpinan jawatan kebudayaan umumnya orang-orang PNI.) Saya pun dipanggil untuk diajak bertukar pikiran di hotel penginapannya. Saya jelaskan bahwa artikel saya bertolak kenyataan yang dihadapi Sumatra Barat, begini dan begana. Saya tetap pada ide yang saya tulis di artikel itu.

Pimpinan Jawatan Kebudayaan dari Yogya menyatakan bahwa mustahil gagasan saya diwujudkan. Persyaratannya banyak, begini dan begitu. Antara lain yang tak pernah saya pikirkan, yaitu di mana para tamatannya ditempatkan nanti. Tetapi, saya tetap bersikukuh: perlu.

“Begini,” katanya membujuk, “kalau memang banyak mereka yang berbakat seniman yang harus disekolahkan, biarpun pegawai negeri, maka Jawatan Kebudayaan akan menyediakan beasiswa.”

Gagasan tentang perlunya sekolah atau akademi ditolak namun saya mendapat peluang mengusulkan orang-orang berbakat untuk mendapat bea siswa dari Jawatan Kebudayaan. Maka untuk itu saya ajukan dua orang pelukis dan dua orang pemusik. Antara Iain Arbi Samah untuk pendidikan senirupa di ASRI dan Dirwan Wikidi di ASMI, keduanya di Yogya.

Kalau datang bantuan fasilitas cat untuk senirnan, maka saya bagi-bagikan pada para pelukis, seperti Delsy Sjamsumar, Boesye, Zetka, Djanain. Bahkan untuk Huriah Adam yang waktu itu sudah mulai belajar melukis sebelum dia menikah. Itulah yang dapat saya lakukan di kantor Jawatan Kebudayaan buat kawan-kawan seniman.

***

WAKTU saya masih pegawai kecil Jawatan Kebudayaan Propinsi Sumatera Tengah suatu ketika datanglah kawan-kawan dari Yogya pada tahun 1953, seperti Nasjah Djamin, Kusnadi, Hendrio, dan Rustamadji. Dua tahun sebelumnya saya berkenalan dan berdialog dengan Asrul Sani, Basuki Resobowo, dan Wakijan. Mulai saat, itulah lebih terbuka mata saya tentang visi seni modern secara lebih mantap, meskipun sebelumnya saya sudah mengenalnya lewat bacaan.

Dalam dunia seni lukis saya banyak belajar dan mendiskusikan aliran-aliran dalam sejarah senilukis dengan Baharuddin MS. Baharuddin MS sendiri adalah seorang pelukis sekaligus kritikus yang disegani di Indonesia dan dewasa itu ia baru kembali dari Negeri Belanda setelah mempelajari ilmu dan teknik grafika lalu bekerja di percetakan Sri Dharma, Padang.

Pada waktu itu saya sudah tampil sebagai kritikus seni rupa seperti Agus Dermawan T (kritikus senirupa) untuk Sumatera Barat. Seringkali saya menilai pameran lukisan. Hanya orang yang dengan teliti mengikuti perkembangan seni rupa—antara lain melalui bacaan—yang bisa menulis kritik yang bisa dipertanggungjawabkan. Kritik-kritik saya dimuat di surat kabar terbitan Padang, juga di majalah Budaya terbitan jawatan di Yogya.

Dan saya juga sudah punya visi tentang kesenian dan kebudayaan yang menjadi dasar kriteria baik dalam bidang senilukis, maupun musik dan sastra, karena berkaitan dengan pekerjaan di Jawatan Kebudayaan dan penyelenggaraan pameran dan pertunjukan kesenian.

Untuk diri saya, pilihan karier sebagai pengarang semakin menguat, meskipun waktu itu belum ada jaminan untuk bisa hidup dari penghasilan sebagai pengarang. Dan menurut masyarakat pengarang itu rendah dan konon banyak yang enggan mengambil seorang pengarang menjadi menantu.

Pada periode ini saya pernah diminta suatu panitia penyusun ensiklopedi Indonesia untuk menjadi kontributor mengenai nama-nama pelukis yang bermukim di Sumatera Barat. Saya sampaikan beberapa nama orang, antara lain Wakidi. Nama saya sendiri tidak saya masukkan.

Ensiklopedi itu terbit, nama Wakidi tidak ada. Saya tidak mengerti kenapa nama pelukis yang kondang itu tidak dimuat, sedang yang dalam status “plonco” dimuat. Saya kecewa. Kecewa pada sikap redaktur seni rupa yang meminta nama-nama pelukis di Sumatera Barat kepada saya.

Ternyata mereka pelukis muda yang tengah berjuang menghancurkan dominasi pelukis tua yang beraliran naturalis dan mereka menamakan dirinya pelukis Indonesia Baru yang modern. Mereka mengejek aliran seni lukis naturalis itu dengan nama pelukis “mooi Indie”, yang sekaligus berarti pelukis anak jajahan. Maka dilenyapkanlah nama Wakidi.

PADA tahun 1950 juga datang rombongan pimpinan Jawatan Kebudayaan (dari P & K) dari Yogya. Rombongan itu mampir di sanggar kami, SEMI. SaIah seorang anggota rombongan namanya Syafei Sumardja. Syafei ini seorang pelukis. la menyaksikan saya sedang (demonstrasi) membuat sebuah patung dari tanah liat. Rupanya ia terkesan lalu ia menawarkan kesempatan kepada saya untuk memperdalam pengetahuan senirupa ke Filipina. Tentu saya setuju saja. Apalagi yang namanya pergi ke luar negeri bagi seorang pribumi bekas anak jajahan. Ke luar negeri merupakan peristiwa yang luar biasa di masa itu.

Maka saya tunggu-tunggulah sambil memperdalam bahasa Inggeris saya. Saya stop seluruh program lain, karena awak akan ke Filipina. Tapi tunggu punya tunggu, dasar kampungan, rupanya hanya menunggu yang saya peroleh. Kenapa? Seharusnya saya segera menghubungi Sjafei Sumardja agar tidak lupa. Namun saya pikir saya tinggal menunggu undangan resmi!

Walhasil, tak jadilah ke luar negeri. Gara-gara tak tahu masalah prosedur saja!

Tawaran ke luar negeri berikutnya datang pula dari guru saya, Engku Syafei. Kali ini tawaran ke Negeri Belanda selama satu tahun. Sebelumnya beberapa kawan sudah dikirim Syafei, misalnya pelukis Baharuddin M.S. untuk mempelajari teknik grafika, Noerdin B.S. untuk mempelajari ilustrasi buku dan Sabaruddin untuk musik.

Bersemangat mau ke Negeri Belanda, maka saya langsung mempersiapkan diri. Saya kembali mengulang belajar bahasa Belanda. Pun membatalkan program lain.

Sudah susah payah begitu, eee, ternyata yang ditunjuk orang Iain—meskipun teman saya juga! Yang terjadi adalah bahwa saya sebenarnya dikerjain teman sendiri, seperti kata orang Betawi. Ada seorang kawan, seorang alumnus INS. Tapi Engku Sjafei, entah kenapa, sedang marah-marah padanya.

Karena Engku Sjafei marah-marah konon ia berbaik-baik dengan Andung Chalidjah, ibu Engku Syafei itu. Dengan berbagai cara ia berhasil mengambil hati Andung Chalidjah sehingga nenek yang penyayang itu mendesak agar dialah yang lebih dulu dikirim ke Belanda. Seperti pada anak atau cucunya, Engku Sjafei memanggil saya: “Indak jadi waang, kini Datuak dikirim. Tahun datang waang! (Tak jadi kamu, tapi Datuk. Kamu tahun depan saja!)”

Tapi tahun depannya hubungan Indonesia—Belanda rusak gara-gara kasus Irian Barat. Batal lagi keberangkatan yang saya siapkan. Berarti sudah dua kali saya kehilangan waktu untuk membuka usaha kerajinan dan pertukangan bersama teman-teman.

***

DI BAWAH Kepala Jawatan Kebudayaan yang baru, terjadi beberapa kali konflik. Sekali kantor kami membuat semacam Pameran Seni Lukis Bersama mengikutkan semua pelukis di Sumatera Barat. Tempatnya di Balai Pemuda Padang (dekat Hotel Femina, Jalan Bagindo Aziz Chan, Padang sekarang).

Yang mengerjakan desain prospektus pameran itu Baharuddin MS yang waktu itu bekerja di Percetakan Sri Dharma. Saya membuat kata pengantarnya atas nama bos saya.

Setelah dicetak saya dapat teguran keras: “Kenapa saya tidak diberitahu,” katanya.

Saya bilang, “Ada!”

“Mana fiat saya,” katanya dengan nada menuduh.

Memang pada naskah sebelum dicetak tidak ada fiatnya. Barangkali itu kesalahan saya menurut sistem birokrasi. Tapi karena merasa benar lagi pula tak ada kesalahan apa pun dalam naskah prospektus yang sudah dicetak itu, saya tidak mau terima diperlakukan demikian. Apalagi saya sudah bekerja berat mempersiapkan pameran itu.

Kesudahannya, karena ia terlalu banyak omelan maka saya bilang, “Kalau begitu benar biarlah saya berhenti saja jadi pegawai!”

Dia mengalah. Saya dibawa makan ke restoran. Rupanya sebelum itu pernah Rivai Yogi mentransliterasi kaba “Rancak di Labuah”, dari tulisan Arab melayu ke tulisan Latin. Susunan baris yang biasanya horisontal dijadikannya vertikal. Maka seolah berbentuk puisi jadinya. Rivai Yogi yang membuat kata pengantar atas nama Kepala Jawatan Kebudayaan Sumatera Tengah, A. Chalik menyebut tipografi buku itu sebagai puisi baru. Buku kaba yang disalin Yogi ke huruf Latin itu dikritik dengan galaknya oleh Soewardi Idris. Bahwa pengertian puisi lama dan puisi baru menyangkut masalah visi, bukan masalah bentuk. Karena itu mengubah susunan prosa liris ke bentuk puisi sama sekali tak bisa dipertanggungjawabkan. Rupanya Yogi yang penyair angkatan Pujangga Baru itu, tidak memahami apa itu puisi baru, apa puisi lama.

Kritik pedas Soewardi Idris lewat koran Haluan di Padang itu rupanya menjadi suatu trauma bagi A. Chalik. Dan ada efeknya terhadap pembuatan prospektus pameran yang kami adakan kemudian.

Saya memang tak langsung memberhentikan diri namun suasana di kantor sama sekali tidak enak lagi. Kesal saya. Sejak itu hubungan saya dengan kepala jawatan tak pernah baik lagi. Kolega saya pun membuat jarak dengan saya. Padahal sebelumnya kepada sayalah mereka sering mengadukan segala kesulitan.

Posisi saya di kantor digeser-gesernya. Apa yang menjadi tugas saya diambilnya. Atau diserahkannya kepada pegawai yang lain, teman saya juga yang sama sekali tidak kenal pada kesenian. Karena itu praktis saya tak punya kerja apa pun. Kalau saya keluyuran kena marah. Kalau duduk saja apa yang harus dikerjakan? Saya benar-benar tersiksa.

Setelah tidak diberi tugas lagi oleh kantor, saya mulai menulis cerpen dengan memanfaatkan mesin tik kantor. Kesibukan Iain adalah membuat cerita dan main sandiwara untuk radio RRI Bukittinggi. Malah RRI semakin banyak memberi pekerjaan pada saya. Setiap ada acara baru, saya yang duluan diberi kesempatan mengisinya.

Begitu masuk kantor pagi hari, daripada saya sakit jiwa, saya ambillah mesin ketik. Saya mengetik sejak pagi sampai petang. Ee, marah-marah pula induk semang! Marah karena saya mengarang bukan untuk tugas dinas. Padahal saya kan dikucilkannya, tak diberi pekerjaan!

Dalam periode ini, Bung Hatta datang ke Bukittinggi dan disambut meriah di mana-mana. Diadakan aubade, anak-anak menyanyikan lagu yang aransemennya dibuat A. Chalik Kepala Jawatan Kebudayaan Sumatera Tengah dan liriknya oleh Rivai Yogi.

Menurut saya teks lagu yang dikarang Yogi itu jelek, sepertinya semacam persembahan kepada seorang raja, bukan bagi seorang pimpinan nasional. Teks lagu itu saya kritik di suratkabar Haluan yang terbit di Padang. Karena orang Haluan konon banyak simpatisan PSI, mereka senang sekali memuat kritik saya itu. Maklumlah yang saya kritik itu orang PNI. Saat itu lagi hangat-hangatnya situasi politik menjelang Pemilihan Umum. Saya sendiri tak tahu apa-apa tentang masalah politik. Pokoknya, bagi saya, ada yang tidak saya sukai, saya kritik. Semua orang yang saya kenal menyatakan setuju dengan kritik saya itu.

Dalam menulis kritik itu, saya tidak memakai nama samaran. Langsung nama asli. Saya tidak mau memakai nama samaran, apalagi menulis kritik kecuali pada beberapa karangan di luar masalah kebudayaan dan kesenian. Tetapi, karangan dengan nama samaran itu tidak banyak jumlahnya.

Sekali waktu; datang ke Bukittinggi atase kebudayaan negara-negara Arab. Rombongan atase itu dibawa ke sekolah Diniyah Putri Padangpanjang dan dipertunjukkanlah kesenian berupa tari-tari yang digarap Sofjan Naan. Dikatakan, bahwa tari-tari itu adalah tari Minangkabau; tari Islam Minangkabau. Lagunya lagu Amerika Latin. Alat musiknya musik Barat, pakai terompet, klarinet, saxsofon, biola. Hanya baju saja yang menunjukkan Minangnya. Penampilan tari itu, saya kritik berupa surat terbuka yang saya tujukan pada Gubernur, waktu itu dijabat Roeslan Moeljohardjo.

Saya tulis kira-kira begini: Bapak sebagai orang Jawa, bagaimana perasaan kalau tari Jawa diiringi dengan instrumen Barat, lagunya lagu Amerika Latin? Hanya baju pemain saja yang Jawa. Lalu tari seperti itu dikatakan tari Jawa. Apakah Bapak Gubenur bisa menerima hal itu? Saya mengritik karena tarian itu disuguhkan bagi atase kebudayaan, kalau untuk yang lain-lain tidak ada soal.

Buntut dari surat itu A. Chalik dimarahi Gubernur. Dan saya sendiri ditemui seorang pejabat staf Kantor Gubernur, namanya Ahmad Chatib, yang kebetulan kawan saya. Lalu, saya sampaikan pikiran saya tentang masalah kesenian itu.

“Kalau kesenian semacam itu yang dipertunjukkan pada atase kebudayaan, saya memang keberatan. Tetapi untuk yang lain saya tidak keberatan. Begitulah bahayanya, kalau orang yang tidak mengerti kesenian Minangkabau diberi kepercayaan.”

Ketika saya bertemu dengan A. Chalik di kantor, dia marah-marah. la senewen karena kebandelan saya, terutama oleh surat terbuka saya kepada Gubernur. A. Chalik mendatangi meja saya. Kompleks rasa tertekan saya sebagai pegawai rendah seperti kompleks anak bertubuh kecil diperlakukan sewenang-wenang oleh yang bertubuh besar pun meledak. Tubuhnya memang lebih besar tapi saya lawan dia!

Saya renggutkan rol bulat di atas meja, saya amang-amangkan pentungan itu di depannya, seraya berteriak menggertak:

“Hayo, kalau berani!”

Mangkus juga gertak saya. la tidak berani. Saya tentunya pada hari-hari selanjutnya merasa bebas mengarang. Tetapi datanglah akibat lain: kenaikan pangkat saya ditunda dan saya dipindahkan ke Palembang! Saya sudah pernah ke Palembang, ketemu Kepala Jawatan Kebudayaan Sumatera Selatan. Menurut saya, kualitasnya brengsek.

Karena saya tak ingin dipindahkan ke Palembang, maka saya pecat bos saya itu: saya keluar begitu saja, tak masuk-masuk kantor lagi!

Sebelumnya sudah saya perhitungkan, pendapatan saya setelah bukan pegawai negeri bisa tiga kali lebih banyak asal mau kerja keras. Bekerja lebih dari tiga tahun pada satu tempat, akan sulit keluar dari suasana psikologisnya. Apalagi kalau sudah kawin dan beranak pinak.

Dulunya saya mau jadi pegawai negeri karena ibu saya ketika akan meninggal berkata, agar saya segera kawin. la ingin punya menantu perempuan. Agar saya bisa diterima jadi menantu, harus jadi pegawai. Setelah pegawai malah pacar saya dikawinkan orang tuanya dengan pemuda lain, dengan alasan saya bukan orang Minang asli.

000