ALUR KEBUDAYAAN DALAM TINGKAH LAKU GERAKAN POLITIK DI MINANGKABAU

Oleh: A.A. Navis

(Makalah “Seminar Internasional Kebudayaan, Kesusastraan dan Kemasyarakatan Minangkabau” di Bukittinggi, 4-10 September 1080. Dimuat Dalam Buku “Yang Berjalan Sepanjang Jalan”, Grasindo, 1999)

SEJARAH pergerakan nasional Indonesia sejak awalnya di tandai oleh kehadiran banyak tokoh politik asal Minangkabau. Jauh lebih banyak dari tokoh daerah lain jika dihitung dari prosentase penduduk. Tokoh politik suku itu bukan hanya bergerak di daerahnya saja, tapi juga di mana saja pergerakan nasional itu tumbuh. Bukan sedikit diantara mereka yang dihukum, ditangkap dan dibuang oleh penguasa. Bahkan tidak ada yang mau menjadi serdadu.

Dalam pergerakan politik, mereka tidak mendirikan organisasi kedaerahan sukuya. Mereka mendirikan organisasi yang bersifat Sumatera, seperti Sumatera Thawalib di Minangkabau dan Jong Sumatera di Jakarta. Adalah wajar oleh sikap nasionalismenya yang tinggi, kepada suku Minangkabau dipercayakan untuk menampung pemerintahan Darurat Republik Indonesia ketika pimpinan Negara dapat ditawan Militer Belanda pada tahun 1948. Namun suatu ironi dalam sejarah pergerakan Indonesia, saham suku Minangkabau dalam menantang penjajahan tidak atau sedikit sekali tercatat dalam buku sejarah yang dianggap standar.

Filsafat yang Melahirkan Konflik.

Untuk memahami tingkah laku gerakan politik suku Minangkabau dalam sejarah Indonesia, saya memakai pendekatan sosiologis yang dilahirkan oleh filsafat kebudayaan suku bangsa itu sendiri. Filsafat mereka bersumber dari ajaran alam, seperti yang lazim mereka katakan “Alam takambang jadi guru” (Alam terkembang jadi guru). Ajaran itu memberi tafsiran bahwa kedudukan setiap kelompok orang atau bangsa sama dengan yang lain. Dalam kata lain, tidak ada sesuatu yang lebih tinggi dari siapapun, baik sebagai individu, sebagai kelompok atau bangsa. Seperti api, air, tanah dan angin yang berkedudukan sama dan tak dapat saling menghancurkan. Karena ajaran itu mereka saling berlomba untuk meningkatkan martabat harga diri masing-masing, sebagai individu, sebagai kelompok dan sebagai suku bangsa, agar sama dengan yang lain. Karena naluri berlomba tersebut, aktivitas mereka menjadi menonjol pada pergerakan nasional.

Di samping aspirasi mereka yang ditimbulkan oleh harga dirinya yang mereka pandang sama dengan orang lain, menempatkan mereka sebagai suku bangsa yang paling gigih menentang dogma, kultus individu dan diktatur. Analoginya, mereka menjadi sukar menerima kepemimpinan orang yang bukan suku bangsanya. Sebaliknya, sistem masyarakatnya yang komunal dan kolektif yang senantiasa menentang eksistensi individual, dengan sendirinya menimbulkan konflik yang terus menerus dalam kejiwaan mereka itu. Karena di satu pihak filsafat mereka mengajarkan penempatan harga diri yang tinggi, sedangkan dipihak lain sistem masyarakat yang komunal tidak bisa mentolerir seorang melebihi yang lain. Oleh karena penghulu yang menjadi pimpinan suku sebagai pengendali dari masyarakat komunal, maka dengan sendirinya merekalah yang senantiasa menjadi sasaran penentangan gerakan yang meletakan individu sebagai potensi yang berhak mendapat tempat yang layak. Para penghulu yang menempatkan dirinya sebagai stabilisator kemurnian ajaran, menjadi cenderung konservatif dan otoriter. Dan dengan sendirinya pula, merekalah yang langsung berhadapan dengan gerakan pembaharuan yang dimotori generasi muda yang dinamis.

Konflik yang ditumbuhkan oleh ajaran filsafat mereka, menjadi salah satu pendorong warganya untuk merantau. Di rantau mereka terpengaruh oleh ajaran-ajaran baru. Bentuk pengaruh itu tergantung pada di rantau mana mereka bermukim. Pada umumnya rantau Mekkah senantiasa memberikan aspirasi yang radikal jika dibandingkan dengan rantau Mesir. Sedangkan rantau kota dimana pengaruh kebudayaan barat berkubu menimbulkan kompleks lain, yang dinamakan “minang kompleks”.

Jiwa yang Bergolak.

Pergerakan politik yang berlangsung dalam sejarah suku bangsa Minangkabau pada mulanya merupakan pergolakan terhadap ajaran agama yang telah mapan dan difahami secara dogmatis. Pergolakan tersebut hampir selalu bersifat radikal yang rupanya menjadi ciri dari setiap pergolakan yang bersifat keagamaan. Setiap pergolakan selalu pula bertema pembaharuan.

Perbedaan ajaran selalu menimbulkan pertentangan yang sengit, kadang-kadang juga dengan pertumpahan darah itu bukanlah tentang perbedaan paham yang sangat prinsipil karena pada dasarnya mereka sama-sama penganut Sunni. Motivasi utama rupanya perebutan pengaruh pada jemaah dengan menggunakan dalil-dalil agama yang tak jarang bersifat khilafiah. Umpamanya dalam pergolakan yang dicetuskan kaum Paderi yang radikal itu, yang kemudian berlanjut menjadi peperangan selama 37 tahun terhadap Belanda yang mau menaklukkan Minangkabau, ajaran Syattari belumlah menjadi tujuan yang tuntas. Radikalisme Paderi rupa-rupanya terhadap pimpinan pemerintahan nagari yang berada di tangan kaum penghulu yang bersatu di bawah pimpinan simbolik Kerajaan Pagaruyung. Sehingga kaum penghulu yang menghadapi kekalahan meminta bantuan kepada Belanda yang telah lama bercokol di pesisir menunggu waktu untuk menyerbu.

Demikian juga radikalisme kaum muda dari Sumatera Thawalib yang melahirkan partai politik Permi pada dasarnya bukanlah untuk menghancurkan yang mereka sebut “kaum tua” yang beraliran tarekat Syattari dan tarekat Naksabandi, melainkan untuk menentang pemerintah yang lagi berkuasa. Karena setelah proklamasi, dikala kaum muda menjadi dominan, paham kaum tua tidaklah mereka persoalkan. Pada hal waktu itu adalah momentum yang paling tepat untuk melumpuhkan kaum tua.

Demikianlah gelombang pembaruan Islam di Minangkabau merupakan motivator dari setiap pergolakan. Semula datang dari golongan yang dinamakan kaum Paderi yang gerakannya memuncak setelah 3 serangkai haji kembali dari rantau Mekkah, seperti Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik. Setelah gerakan kaum Paderi itu kandas karena berhadapan dengan pasukan yang bersenjata dan terorganisasi lebih baik, 50 tahun berikutnya datanglah pula gelombang pembaharu kedua yang juga dari rantau Mekkah membawa ajaran tarekat Naksabandi pimpinan Haji Ismail yang kemudian bergelar Tuanku Simabur. 50 tahun berikutnya muncul pula gerakan pembaharu ketiga yang juga dari rantau Mekkah yang terdiri dari tiga serangkai haji, seperti Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah dan Muhammad Jamil Jambek. Golongan ini menamakan dirinya “kaum muda” yang berusaha membersihkan ajaran Islam dari pengaruh mistik dan tarekat. Namum setip gerakan pembaharu itu tidak pernah mampu melenyapkan ajaran yang telah dianut suku bangsa ini sebelumnya. Pada akhirnya terlihat tiga golongan Islam mazhab Sunni.

Dalam percaturan politik ketiga gerakan tersebut senantiasa memilih pihak luar dalam kerjasama politik. Lazimnya setiap golongan yang ditentang gerakan pembaharu memilih pihak pemerintah yang berkuasa menjadi teman kerjasamanya. Demikian pada mulanya golongan Syattari mendekat kepada pemerintah ketika gerakan kaum muda Naksabandi mulai berkembang. Namun kemudian golongan Syattari menjadi terkucil karena pemerintah lebih mengandalkan golongan Naksabandi yang mayoritas untuk membendung gerakan kaum muda yang muncul pada awal abad 20. Persaingan ketiga golongan ini terhenti pada masa pendudukan Jepang karena pemerintah yang baru ini menyatukan 5 golongan ke dalam Majelis Islam Tinggi (M.I.T) agar lebih mudah di peralat. Akan tetapi setelah Proklamasi persaingan ketiga golongan ini mengambang lagi ke permukaan dalam bentuk gerakan politik. Golongan Naksabandi bersatu dalam Tarbiyah Islamiah (Perti) mendekati pendungkung Soekarno. Golongan kaum muda menyatu ke Masyumi. Sedangkan Syattari condong ke Tan Malaka.

Hasil pemilihan umum 1955 yang dapat dijadikan bahan untuk mengetahui betapa besar pengaruh ketiga golongan ini. Masyumi mendapat tempat teratas dan Perti di tempat kedua dengan perbandingan 2:1. Sedangkan golongan Syattari tidak mendapat satu kursi pun. Padahal pemilihan umum 1971 golongan bekas Masyumi, yaitu Parmusi mempunyai kekuatan 7 berbanding 2 dengan Perti karena lebih separoh dari golongan terakhir ini bergabung pada Golongan Karya bersama golongan Syattari. Penggabungan golongan kedua aliran tarekat itu ke Golongan Karya itu, menunjukan karakternya sebagai pendukung pemerintah tetap konsisten. Sedangkan yang tetap berkukuh dalam Perti ialah golongan pendukung Soekarno.

Motivasi Pergolakan.

Tradisi merantau menyebabkan suku bangsa Minangkabau lebih cepat dapat menimba ajaran-ajaran baru di dunia Islam. Sekembalinya dari rantau mereka menyebarkan ajaran itu di kampung halaman. Setiap ajaran baru begitu cepat meluas. Secepat itu pula terjadilah bentrokan dengan golongan tradisional yang tidak ingin akan perobahan. Umpamanya pada tahun 1802 Haji Miskin cs kembali dari Mekkah, yang waktu itu sudah di kuasai oleh kaum Wahabi yang secara radikal membersihkan ajaran Islam dari faham yang dianggap bid’ah dan khurafat. Haji Miskin cs tidak berhasil membersihkan ajaran Islam di kampung kelahiran mereka sendiri, namun di kampung-kampung lain mereka dapat sambutan. Lalu lahirlah gerakan Paderi yang radikal itu.

Ketika Paderi telah dikalahkan Belanda, muncullah Tuanku Simabur membawa tarekat Naksabandi pada tahun 1850. Ajaran ini cepat pula berkembang, maka terjadilah bentrokan antara kedua pengikut, meski tidak sekeras peristiwa sebelumnya. Selanjutnya pada awal abad ke 20 muncul pula Haji Abdullah Ahmad cs dari Mekkah membawa ajaran non tarekat. Ajaran ini cepat berkembang dan secepat itu pula terjadi pertentangan pada golongan tarekat.

Pertentangan yang timbul di kalangan ummat Islam itu pada dasarnya bukanlah atas dasar paham yang prinsipil. Umpamanya golongan Paderi, yang terpengaruh pada gaya kaum Wahabi yang radikal berusaha mengikis tradisi bid’ah dan khurafat sisa-sisa kepercayaan Hindu dan animisme. Namun gerakan itu tidaklah mengusik golongan Syattari. Demikian pula dengan munculnya tarekat Naksabandi 50 tahun kemudian dan golongan kaum muda setengah abad sesudah itu. Pertentangan timbul adalah karena sikap yang khas Minangkabau. Secara sepintas pertentangan itu disebabkan setiap generasi muda atas nama pembaharuan ingin mendapat tempat yang layak dalam kepemimpinan masyarakat. Akan tetapi rumusan demikian tidaklah memberi jawaban kenapa setiap gerakan pembaruan itu demikian cepat menyebarkan pengaruh.

Sesungguhnya kondisi sosial pisiologis Minangkabau akan selalu bergolak karena setiap ajaran mengandung unsur dielektika yang menalarkan metoda tese, antitese dan sintese, yang mereka sebut sebagai bakarano bakajian (bersebab berakibat). Maka konflik yang ditimbulkan oleh rasa diri berharga sama dengan yang lain, di satu pihak akan dapat melemparkan seseorang dari lingkungannya bila tidak tangguh, umpamanya dengan pergi merantau karena tak tahan harga diri direndahkan, sedangkan di pihak lain setiap orang merasa dirinya layak untuk dihargai akan berjuang mendapat tempat yang sama dengan yang lain. Dalam berjuang untuk mendapat tempat yang layak itu sifatnya tidaklah individual, melainkan kolektif secara kerabat, suku atau kampung. Umpamanya seorang perantau dari kota kiblat umat islam seluruh dunia, Mekkah, yang pulang ke kampung halamannya akan di pandang sebagai potensi yang menaikkan martabatnya, kaumnya atau kampung halamannya. Dia akan didukung dan di bangga-banggakan. Dengan sendirinya ajarannya akan diterima sebaagai suatu pernyataan bahwa mereka mempunyai seseorang yang patut dibanggakan. Analogi dari tuntutan ajaran filsafat yang mereka anut mengandung sikap penentangan terhadap setiap dominasi dari satu golongan terhadap golongan lain, yang lazimnya didominasi golongan tradisional senantiasa diinginkan untuk membongkarnya oleh generasi baru yang selama ini merasa diperlakukan kurang benar. Sebaliknya fihak yang ditentang akan selalu berupaya bertahan.

Kebenaran tidaklah menjadi sangat penting di sini. Jika yang datang lebih kuat pendukungnya, maka golongan lama akan diam. Tapi kalau pendukung ajaran lama yang kuat perantau yang membawa ajaran baru akan tersingkir, meski dari kampung kelahirannya. Seperti dialami Haji Miskin yang terpaksa pindah dari Pandai Sikat ke Ampat Angkat, Haji Sumanik pindah dari Sumanik ke Lintau. Dalam kasus lain, ketika Abdul Karim Amrullah kembali dari Mekkah membawa paham baru, tidak dapat bebas menyebarkan ajarannya di kampung kelahirannya. Karena di sana ada ayahnya yang menganut faham lama. Lalu dia ke Padangpanjang menyebarkan ajarannya dengan leluasa. Setelah ayahnya meninggal, ajarannya cepat berkembang di kampung kelahirannya, Sungai Batang. Kasus yang sama juga dialami oleh Sirajuddin Abbas pada kurun kedua abad 20. Dia tidak dapat menyebarkan ajaran Naksabandi di kampung kelahirannya. Karena disana telah lebih dahulu Inyik Parabek (Syekh Ibrahim Musa) membuka madrasah yang menganut ajaran kaum muda yang lagi populer. Meski dia membuka madrasah Tarbiyah di atas tanah kerabatnya di Bangkaweh, namun muridnya tak seorang pun yang berasal dari kampung dan sekitarnya. Akhirnya ia sukses di tempat lain, bahkan sempat jadi menteri.

Pencantuman nama-nama kampung (desa) di belakang nama atau pangilan para ulama, juga dapat dilihat sebagai produk kebudayaan mereka. Umpamanya Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Ulakan, Inyik Parabek, Inyik Danau dan Inyik Jaho itu menunjukkan kampung asal atau kedudukan ulama tersebut seperti Bonjol, Ulakan, Parabek dan sebagainya, di samping rasa segan pengikutnya untuk menyebut nama pimpinan. Tapi juga disana terlihat ada unsur rasa kebanggaan dan penonjolan kampung halaman masing-masing.

Motivasi pembaruan demi pembaharuan dalam sejarah pergerakan Islam merupakan gejala yang logis dari bangsa berwatak dinamis karena konflik-konflik yang ditimbulkan oleh sistem kebudayaannya. Bahwa pembaruan dapat juga ditafsirkan sebagai alat untuk menampilkan diri semata-mata. Tentu saja akan dijumpai banyak pengecualian dengan meletakan pembaharuan ajaran itu sebagai suatu yang konsep. Karena jika dilihat dari sejarah berbagai tokoh gerakan politik yang terkenal, kelihatan sekali bahwa ideologi tidaklah masalah penting bagi penampilan untuk menjadi seorang yang berharga. Hal ini kentara pada sikap seorang tokoh Naksabandi yang gigih. Khatib Ali, yang memimpin Syarikat Islam demi menghambat arus gerakan kaum muda. Syarikat Islam di bawah pimpinan Chatib Ali ini kemudian melakukan kerja sama dengan kaum adat dalam usahanya itu, meski pada mulanya para ulama ini sangat mmenentang sistem pewarisan matrilini Minangkabau. Dalam konteks yang lain ialah peranan H.A.Karim Amrullah yang sebagai pelopor kaum muda dengan mendirikan Sumatera Thawalib, lalu meninggalkan lembaga yang didirikannya setelah lembaga itu mulai aktif ke gelanggang politik yang mencetuskan berdirinya partai Persatuan Muslim (Permi). Kecewa akan gerakan itu, dia mendirikan dan merestui kehadiran Muhammadyah, meski dia sendiri tidak menjadi anggota. Kasus yang sama dan mungkin juga sebagai konteks yang lain, Masyumi sebagai wadah satu-satunya golongan Islam pada awal Kemerdekaan Indonesia menjadi terbelah karena pimpinan dari berbagai organisasi sejak semula pada melepaskan diri. Antara lain seperti Perti. Dengan membebaskan diri dari Masyumi yang didominasi oleh golongan Permi dan Muhammadyah menyebabkan H. Sirajuddin Abbas dan kawan-kawannya mendapat tempat dan harga dirinya yang sama dengan tokoh lainnya, meski harus bekerja sama dengan unsur komunis dalam pemerintahan demi eksistensi pribadi dan golongannya.

Kaum muda dari Sumatera Thawalib sesungguhnya telah berjasa besar dalam membangun semangat dan suasana nasionalisme Indonesia sebelum Proklamasi, sehingga dari mereka inilah muncul para politisi yang radikal. Oleh karena generasi tua mendominasi pimpinan partai dan pemerintahan, maka generasi mudanya menjadi pimpinan partai non Islam, seperti PNI, PSI dan Murba, bahkan PKI oleh motivasi ingin tampil dan supaya harga dirinya sama dengan yang lain.

Sumber Konflik.

Ajaran Islam bukan merupakan sumber konflik yang abadi bagi suku bangsa Minangkabau, baik antara aliran atau pun antara agama dan adat Minangkabau sendiri. Meski pun antara adat dengan agama selalu terjadi bertentangan atau dipertentangkan, namun dalam sejarah telah tercatat bahwa pertentangan itu selalu dapat diselesaikan dengan suatu konsensus. Hingga terkenallah motto bersejarah “Adat basandi syarak, syarak basandi Adat” sebagai maklumat politik antara kedua golongan tersebut. Jauh sebelumnya, dalam komposisi pemerintah kerajaan Pagaruyung atau pun dalam pemerintah Nagari, sudah terlihat posisi para ulama lebih rendah. Dengan konsensus tersebut posisi ulama tersendiri dalam masyarakat.

Sumber konflik yang berkepanjangan adalah masalah harta dan warisan. Dalam struktur pemerintahan ditemui wilayah Luhak dan Rantau. Wilayah Luhak kemudian juga disebut darek (darat) sedangkan Rantau disebut juga pesisir. Nagari-Nagari di wilayah Luhak dikuasai oleh penghulu. Sedangkan Nagari-Nagari di rantau oleh Raja. Dalam mamangan disebut Luhak bapanghulu, Rantau barajo. Raja mendapatkan sumber kekayaannya dari bea dan cukai hasil bumi yang diambil dan diperdagangkan di Rantau. Sedangkan penghulu memperolehnya dari hasil wilayah Nagarinya masing-masing. Di masa kerajaan Pagaruyung mulai lemah, para raja muda di pesisir pada membebaskan diri dari Pagaruyung. Dengan dukungan Aceh dan kemudian Belanda, mereka langsung membuat hubungan tanpa halangan Pagaruyung. Dengan pembebasan itu, raja-raja di pesisir dapat menguasai seluruh bea dan cukai. Dan sebagai raja, mereka memakai sistem warisan menurut sistem patriarki untuk pembedaan sistem kekuasaan antara darek dan pesisir. Sejak itu persoalan darek dan pesisir selalu dijadikan isyu pertentangan dalam masalah politik dan sosial.

Di darek bentuk perpecahan lebih parah lagi tersebab perebutan harta warisan. Wilayah darek yang terdiri dari ratusan nagari yang berotonomi luas bagai republik kecil itu, dikuasai oleh para penghulu menurut tingkatnya masing-masing. Masing-masing penghulu memperoleh hak atas cukai hasil hutan dan tambang serta hak memperoleh sawah kegadangan. Jabatan penghulu diwariskan kepada kemenakan yang dipilih oleh seluruh kaum. Pemilihan itu ada kalanya cukup sengit juga dengan menggunakan segala muslihat oleh kelompok yang menginginkan calonnya yang menang. Disusul dengan isyu harga diri (prestise) kelompok dapat menimbulkan pertentangan tajam, yang kadang-kadang menimbulkan dendam yang abadi. Masing-masing pihak akan menggunakan muslihat apa saja yang dapat dipakai untuk mengalahkan lawan, kalau tidak sekarang tentulah kemudian. Perbedaan ajaran agama pun dipakai mereka. Kalau pebedaan itu tidak ada pada mulanya, didatangkan perbedaan itu.

Biang persengketaan itu menjadi sebab lainnya mempercepat berkembang ajaran baru. Yang kemudian dipandang sebagai pertentangan golongan adat dengan golongan agama. Pada ajaran Islam dengan adat memang terlihat hal-hal yang dapat dipertentangkan, sebagaimana antara ajaran Syattari dengan Naksabandi dan juga antara kaum muda dengan kaum tua. Namun pertentangan antara golongan adat dengan golongan agama bukan karena perbedaan pendapat, melainkan oleh ambisi kekuasaan dan prestise sosial yang memakai atau berlindung padanya. Sekali waktu kaum adat bersatu dengan golongan Syattari aliran Cangking menghadapi kaum Paderi, di waktu lain dalam menghadapi golongan Naksabandi. Dan pada giliran lain golongan Naksabandi bersama-sama golongan adat menghadapi kaum muda. Dan pada giliran yang lain lagi, baik pada zaman Paderi, atau pun pada awal zaman modern, kaum adat berkerja sama dengan Belanda dalam menentang golongan agama yang radikal. Dan kemudian pada gilirannya pula kaum adat ikut dengan golongan dan non agama dan non adat sama melakukan kampanye “Indonesia Berparlemen” yang disponsori GAPI pada tahun 1939 di Jakarta. Dalam masyarakat sendiri, konflik karena warisan harta dan warisan jabatan penghulu antara kemenakan atau antara kaum, yang pada ujungnya merembes kepada pertentang politik partai. Karena masing-masing mereka yang bertentangan itu pada memasuki partai yang berlawanan. Oleh perobahan pola ekonomi dari pertanian ke jasa, individualisme mendesak sistem komunalisme. Kekuasaan atas sawah dan ladang beralih ke tangan orang seorang melalui sistem pagang gadai. Pelaksanaan pagang gadai yang salah tapi dilegalisir oleh penghulu yang berwenang menimbulkan pertentangan di antara kerabat atau kaum. Di fihak lainnya lagi, para ulama yang memperoleh harta melalui zakat, tentu saja mewariskan hartanya menurut sistem faraid, yaitu kepada anak. Meski pun hal ini bertentangan dengan ajaran adat, tidaklah menimbulkan persengketaan, karena sebagai orang Islam mereka pun harus menerimanya. Namun secara formal hukum faraid demikian berat untuk diterima begitu saja.

Maka ditemuilah suatu kompromi dengan menghidupkan sistem hibah. Akan tetapi terhadap pedagang yang pegawai, konsensus mewariskan harta kepada anak-anaknya dipakai istilah harta pencaharian. Pada tingkat pertama sistem hibah dan harta pencaharian dapat berjalan dengan lancar, akan tetapi setelah warisan tersebut diwariskan lagi ke generasi berikut sengketa tradisional pun timbul lagi. Yang berwenang menyelesaikan sengketa ialah mamak atau penghulu. Putusannya cendrung pada sistem hukum adat yang dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Sedangkan hukum faraid berada di luar hukum formal pemerintah. Namun hukum faraid tidak sepenuhnya menurut fiqih oleh karena harta itu diwariskan kepada anak dengan nilai sama banyak antara laki-laki dan perempuan. Maka hal ini pun menjadi biang yang menambah tajam pertentangan dalam masyarakat.

Penentangan yang sangat tajam terhadap hukum warisan adat, seperti yang dilancarkan oleh Syekh Akhmad Khatib ulama Minangkabau yang berpengaruh di Mekkah, menyatakan warisan yang tidak susuai dengan hukum fiqih sebagai haram dan siapa yang melaksanakannya sama dengan telah berbuat haram. Pernyataan itu tidaklah disenangi oleh umum, bahkan oleh muridnya yang paling radikal seperti Abdul Karim Amrullah pun tidak. Puluhan tahun kemudian, 1968 suatu seminar hukum waris yang dihadiri oleh para ahli yang terdiri dari penghulu, ulama dan ahli hukum tetap tidak hendak menggubris hukum warisan menurut sistem adat.

Formalitas antara adat dan agama dapat hidup berdampingan dalam masalah warisan. Akan tetapi dalam kehidupan masyarakat sendiri selalu menjadi biang sengketa, sehingga perkara yang paling tinggi volumenya di pengadilan negeri di Sumatera Barat adalah soal sengketa warisan. Sengketa oleh kasus tersebut berpengaruh juga pada gerakan politik. Sengketa warisan yang paling banyak ialah pada wilayah agraris yang mempunyai sawah ladang yang luas. Penghulu selalu terlibat dalam sengketa itu karena peranannya dalam melegalisir perjanjian pagang gadai. Oleh karena jabatan penghulu tidak diwariskan secara langsung ke kemenakan, tapi dengan cara pemilihan, maka lembaga penghulu selamat dari persengketaan kaum. Sedangkan di samping itu ulama tidak dapat berperan apa-apa dalam persengketaan itu. Maka mereka mencari lembaga lain untuk memperoleh dukungan. Lembaga itu ialah partai politik. Karena musuh yang umumnya jadi pemenang adalah golongan kaya dan berkuasa, maka mereka yang dikalahkan mencari perlingdungan kepada partai yang peling radikal, yakni PKI. Sehingga di mana daerah persawahan luas, PKI menjadi subur. Diperkirakan jumlah pengikut komunis di Sumatera Barat jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan di Jawa Tengah, kalau dihitung berdasarkan prosentase penduduk, yakni sampai 2,5% dari jumlah penduduk.

Peranan Etnis.

Meski pun suku bangsa Minangkabau terbelah-belah secara tradisional dengan hidup bersuku-suku dan berkampung-kampung yang masing-masingnya otonom, di samping kehidupan yang penuh konflik, namun mereka mempunyai rasa kebanggaan etnis yang fanatik. Suku bangsa dan bangsa lain mereka pandang lebih rendah, dengan ungkapan bangsa yang tidak beradat. Maka dalam menerima ajaran atau mengikuti gerakan politik mereka akan melihat suku bangsa dari tokoh pemimpinnya.

Dalam sejarah yang cukup panjang terlihat rasa kebanggaan etnis yang berlebih-lebihan itu. Fakta sejarah mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau pernah menjadi besar berkat Aditiawarman, namun mereka tidak menerima kehadiran raja tersebut, biarpun dari sudut sistem matrilini dia adalah Minangkabau. Penolakan tersebut tidak kunjung padam hingga masa ini, jika dilihat dari usaha Muh. Yamin selaku Menteri PP&K hendak memberi nama Universitas Aditiawarman untuk universitas baru di Padang, ditolak masyarakat dengan menggantinya menjadi Universitas Andalas pada tahun 1956. Demikian pula ketika Direktorat Permuseuman hendak memberikan nama Aditiawarman pada Museum yang didirikan tahun 1975 di Padang telah ditolak melalui wewenang Gubernur, lalu memberi nama Museum Sumatera Barat.

Namun ketika Gubernur tersebut telah diganti, nama Museum Aditiawarman pun dipakai lagi.

Mereka pun tidak suka belajar pada orang luar di kampung halamannya sendiri. Mereka akan belajar pada orang luar di perantauan. Maka itu dalam sejarahnya tidak pernah dikenal ulama luar, meski pun Arab di kampung halamannya. Islam di Minangkabau dikembangkan oleh suku bangsa itu sendiri yang pulang dari rantau. Demikianlah Raja Pagaruyung, Raja Alif, menjadi Islam karena Syekh Burhanuddin yang “orang awak”. Paderi diikuti karena haji orang awak yang pulang dari Mekkah. Demikian ajaran Syattari, ajaran Naksabandi dan modernisme Islam dan sebagainya itu berkembang karena dibawa ulama yang orang awak dari rantau Mekkah dan rantau Mesir.

Meski egonya demikian besar, dalam perantauan politik mereka tidak pernah mendirikan gerakan kedaerahan yang bersifat etnis atau lokal, sebagaimana yang dilakukan suku bangsa lain dalam masa permulaan gerakan Nasional Indonesia. Hal ini mungkin jadi dapat diuraikan secara logis sebagai suatu sikap dari kebudayaan merantaunya. Organisasi yang eksklusif dinilai akan merugikan bagi kerabatnya yang hidup di rantau. Memang di rantau banyak didirikan organisasi sosial yang eksklusif, tapi tidak memakai nama Minangkabau, melainkan memakai nama asal nagari masing-masing. Demikian pula mereka tidak memakai nama yang etnis bagi penamaan provinsinya, meski hal itu dapat mereka lakukan karena penduduk provinsi itu betul-betul bersifat homogen.

Oleh karena sifat mereka tidak mau terasing di tengah-tengah bangsa Indonesia lain yang digaulinya di rantau, mereka tidak eksklusif, meski egonya demikian besar untuk melenyapkan diri di tengah masyarakat yang lebih besar dan luas. Dengan pola pemikiran demikian, maka mereka dapat menerima kehadiran berbagai partai politik nasional di kampung halamannya. Namun yang mereka terima partai politik yang orang awaknya ikut menjadi pemimpin. Demikianlah Syarikat Islam mereka terima karena ada Tan Malaka dan Abdul Muis yang orang awak pada pimpinannya. Ketika Syarikat Islam terbelah dengan berdirinya Syarikat Rakyat, maka komunisme pun mulai menjejakkan kakinya di Sumatera Barat karena adanya Tan Malaka yang orang awak. PNI diterima karena adanya Moh. Hatta. Demikian pula Muhammadiyah tumbuh dengan pesat karena orang awak di perantauan telah banyak yang ikut menjadi pengurusnya. Kalau terjadi perpecahan dikalangan pimpinan partai tersebut, maka pilihan mereka jatuh ke pihak ada orang awaknya. Di kala terjadi perpecahan pengurus PSII antara Abikusno dengan H. Agus Salim, anggota PSII di Minangkabau berpihak pada Haji Agus Salim. Di kala terjadi perpecahan pimpinan PNI, maka mereka memilih PNI Hatta. Demikian juga halnya ketika terjadi perpecahan antara Amir Sjarifuddin dengan St. Syahrir dalam Partai Sosialis, maka kaum sosialis Minangkabau berpihak kepada PSI-nya St. Sjahrir.

Mulanya Syarikat Islam lahir di Minangkabau pada tahun 1916 karena ulama kaum tua di Padang perlu mempunyai wadah untuk mengimbangi Syarikat Usaha yang dipimpin oleh Abdulah Ahmad. Syarikat Islam di Padang itu berbeda dengan Syarikat Islam yang berada di Solo. Demikian pula halnya dengan kehadirannya PNI sebagai wadah dari kalangan terpelajar pendidikan Barat yang tak mau kalah dari “orang surau” yang telah menonjol dalam gerakan politik. Namun tidak satu pun dari gerakan politik impor itu yang dapat hidup subur. Syarikat Islam dipandang oleh orang surau bukan sebagai wadah yang tepat, karena orang yang memimpin bukanlah dari kalangan mereka. Dari itu kehadiran Muhammadiyah mereka terima dengan meriah.

Ketidaksuburan organisasi impor itu ada kaitannya dengan rasa kebanggaan etnis mereka, sebagaimana yang diungkapkan H. Abdul Karim Amrullah dikala dia menolak menjadi anggota Muhammadiyah dengan pendapat, bahwa dalam hal agama tidaklah dapat orang Minangkabau mencontoh ke tanah Jawa. Bahkan ia sangat kesal melihat anggota Muhammadiyah yang taqlid kepada cara-cara Yogya dalam melakukan dakwah. Pendapat umum dalam menghadapi perbedaan pendapat antara Abdul Karim Amrullah dengan pengurus Muhammadiyah di Minangkabau, jika terjadi keharusan melakukan pilihan, maka pastilah mereka akan memilih pihak ulamanya sendiri yakni Abdul Karim Amarullah.

Kontak yang terjadi antara anak-anak muda dalam Sumatra Thawalib dengan gerakan radikal di Jawa seperti Syarikat Islam dan Syarikat Rakyat memberikan pengaruh politik yang juga radikal sifatnya. Bahkan sebagian mereka terpengaruh kepada aliran Syarikat Rakyat, sehingga banyak diantaranya memilih jadi komunis. Dari Syarikat Islam mereka hanya terpengaruh pada radikalisme HOS Cokrominoto, tapi tidak hendak memasukinya. Sebabnya bisa dikaji karena dua hal. Pertama karena Syarikat Islam telah lebih dulu didirikan cabangnya di Padang oleh para penghulu dan ulama yang menentang pembaharuan Islam. Kedua mereka lebih yakin pada keulamaan ulama bangsa mereka sendiri. Bagaimana pun dalam tubuh Sumatra Thawalib telah terjadi perpecahan juga antara H. Dt. Batuah cs yang komunisme dengan Mukhtar Luthfi cs yang nasionalis. Tapi kemudian H. Dt. Batuah ditangkap dan dibuang dan Mukhtar Luthfi terpaksa lari ke luar negeri karena menerbitkan buku yang tidak disukai pemerintah. Sedangkan tokoh-tokoh yang agak lunak seperti A.R. St. Mansur merantau ke Jawa bersamaan waktunya dengan meninggalnya Zainuddin Labai El Yunusi di tahun 1924.

Dalam situasi demikian muncullah Muhammadiyah yang dibawa sendiri oleh A.R.St.Mansur ke Minangkabau. Akan tetapi oraganisasi ini tidak cepat berpengaruh karena sikapnya yang terlalu lembek dan bersifat banci. Tapi setelah PKI dibubarkan dan Sumatera Thawalib betul-betul telah kehilangan militansi karena berbagai larangan, namun ketika pemerintah hendak menjalankan “Ordonansi Guru” dan “Ordonantie Sekolah Liar” yang dipandang sebagai peraturan yang membatasi kebebasan guru agama atau ulama Islam untuk melakukan tugasnya, maka kaum muda dan kaum tua bersatu menantang ordonansi tersebut. Dan mereka berhasil karena peraturan tersebut ditangguhkan pelaksanaannya.

Suasana anti Islam yang ditumbuhkan oleh pemerintah dengan kedua ordonantie itu, menimbulkan motivasi baru untuk gerakan politik yang telah terhenti beberapa masa. Pengikut H. Dt. Batuah mulai aktif ke dalam PSII yang belum kehilangan radikalisme. Sedangkan kaum muda lainnya terpecah dua antara Muhammadiyah dan Sumatera Thawalib. Dan ketika Muhammadiyah mengadakan kongres di Bukittinggi tahun 1930, sangat berbau politik yang radikal. Dan ini mencemaskan Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogya dan mendesak agar Muhammadiyah cabang Minangkabau memecat anggotanya yang bermain politik. Akibatnya Sumatera Thawalib bersama kaum muda yang dipecat dari Muhammadiyah itu mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Namun pada tahun 1937 banyak pimpinan PERMI dan PSII Minangkabau ditangkap dan dibuang karena sifatnya yang radikal. Maka tinggallah Muhammadiyah sebagai wadah satu-satunya dari golongan kaum muda untuk bergerak dalam batas-batas aktivitas sosialnya.

Setelah proklamasi seluruh golongan Islam bersatu ke dalam Partai Masyumi. Tapi kemudian unsur PSII dan Perti memisahkan diri. Lalu tinggallah Masyumi dengan dukungan unsur Muhammadiyah dengan Sumatera Thawalib. Secara organisatoris bersatu, tapi dalam suasananya mereka tetap merasa berbeda dengan inisial M satu (Masyumi) dan M dua (Masyumi Muhammadiyah). Namun akibat sejarah dan komunikasi yang lancar telah mempercepat perobahan dalam tingkah laku gerakan politik Minangkabau, dimana peranan etnis yang semula menjadi salah satu motivasi yang kuat, sudah tidak begitu keras arusnya sebagaimana yang masih dirasakan kuat setelah 20 tahun Proklamasi.

Peranan Tokoh Karismatik.

Gerakan politik di Minangkabau sangat tergantung pada karisma pemimpin suku bangsanya dalam ukuran yang bertingkat-tingkat serta dalam kotak-kotaknya masing-masing, yang mereka sebut dengan “babiliak ketek, babiliak gadang” (berbilik kecil, berbilik besar). Dan struktur kebudayaannya pun bertingkatan dan masing-masing tingkatan mempunyai otonomi terhadap kaum yang dipimpinnya. Pimpinan yang paling bawah ialah tungganai, selanjutnya ke atas ialah mamak kaum, penghulu kaum dan andiko nagari. Pimpinan sentral ialah raja di Pagaruyung. Tapi oleh karena posisinya yang lemah dalam sejarah yang panjang, kepemimpinannya tidak dirasakan lagi. Minangkabau disatukan hanyalah oleh adat atau kebudayaannya yang berbeda dengan suku bangsa lain. Sedangkan kekuasaan kepemimpinan itu tebatas kepada teritorial nagari masing-masing secara otonom pula. Dan penduduk terbagi dalam suku-suku. Setiap suku tidak dapat merobah suku atau merobah nagari menurut sukanya.

Masyarakat Minangkabau yang menganut ajaran dialektika senantiasa membangkitkan konflik, tapi mengatur hingga individu tidak dapat mengubah suku atau nagarinya yang sekaligus tidak bisa mengubah ke pemimpinnya, telah mendorong mereka pergi merantau untuk sementara atau selamanya. Kelihatannya pola kepemimpinan Minangkabau demikian kuat, tapi yang sebenarnya yang kuat adalah kesetiaan mereka itu kepada pola kebudayaannya. Seorang pimpinan seperti mamak atau pun penghulu sesungguhnya adalah simbol, sedangkan yang menentukan segalanya ialah mufakat. Karena itu dari kepemimpinan demikian tidaklah diperlukan suatu karisma.

Pimpinan yang memiliki karisma ialah para ulama. Karena mereka mempunyai banyak kelebihan yang sulit dimiliki oleh penghulu, apalagi oleh orang banyak. Terutama karena mereka merantau jauh seperti ke Mekkah merupakan suatu yang luar biasa, lainnya karena ilmunya yang luas dan selanjutnya cara hidupnya yang sederhana serta jiwanya yang saleh. Semuanya menimbulkan pesona dan kepercayaan pada semua orang. Akan tetapi pola kebudayaan mereka yang hidup berkampung-kampung, berluhak-luhak serta bergolong-golongan dengan ketebalan egonya pula yang membanggakan miliknya sendiri-sendiri yang akan dipandangnya tidak akan kalah dari yang dimiliki orang lain, menyebabkan karisma masing-masing ulama terbatas pada lingkungan sendiri-sendiri. Hal itu terlihat dengan penamaan akan kampung halaman masing-masing ulama, seperti Inyik Parabek, Inyik Jaho, Inyik Padang Japang dan sebagainya.

Pengaruh karisma itu tidak pernah berubah menjadi pemujaan atau pengkultusan. Bahkan pimpinan yang telah berjasa sekali pun bila telah memperlihatkan sikap ingin berkuasa atau otoriter, akan mendapat perlawanan dari pengikutnya atau setidak-tidaknya akan dijauhi atau ditinggalkan. Karena sifat otoriter sangat bertentangan dengan filsafat mereka yang “tegak sama tinggi, duduk sama rendah”. Sikap Abdul Karim Amrullah yang terlalu keras pada pendiriannya tanpa mau mentoleransi sikap orang lain, agaknya dapat dijadikan contoh betapa tidak sukanya orang terhadap sikap yang otoriter itu. Sehingga dari jabatannya jadi kepala perguruan Thawalib dia diberhentikan. Zainuddin Labai yang diasuhnya telah menjauhkan diri dan menantunya A.R. St. Mansyur dan bahkan anaknya A. Malik (kemudian terkenal dengan nama Hamka) pergi meninggalkannya. Bahkan Adam BB seorang murid yang secara emosional selalu membelanya memisahkan diri dengan mendirikan perguruan sendiri. Bagaimana pun juga sikap otoriter ulama ini, memberikan banyak hal dalam sejarah pergerakan politik diMinangkabau. Pertentangan dan perpecahan yang terjadi di kalangan politisi atau partai politik nasional, terutama karena pada pimpinannya ikut suku bangsa Minangkabau. Jika dilihat sepintas lalu, atau setidak-tidaknya menurut apa yang ditulis oleh banyak pengamat sejarah politik, perpecahan tersebut karena perbedaan taktik dan strategi. Akan tetapi jika dilihat dari watak Minangkabau, perpecahan tersebut adalah karena pola budaya mereka. Soekarno ditantang oleh Moh. Hatta dan Sjahrir pada dasarnya karena sikap Soekarno yang cendrung otoriter seperti dalam kasus pembubaran PNI, sehingga Moh. Hatta dan Sjahrir mendirikan PNI Merdeka, yang kemudian menjadi Pendidikan Nasional Indonesia, suatu sikap yang secara psikologis memberi makna perbedaan pandangan kedua tokoh tentang prinsip arti merdeka dan menunjukan panangan mereka bahwa bangsa Indonesia masih perlu mendapat pendidikan arti demokrasi, bebas dari sikap mendikte. Perbedaan sikap itu terlihat pula pada tulisan Moh. Hatta dalam tulisan yang berjudul “Demokrasi Kita” yang menentang arah politik Soekarno yang ingin berkuasa secara absolut. Demikian juga atas sikap Abikusno yang mau menang sendiri, menyebabkab Agus Salim keluar dari PSSI, lalu mendirikan PSII Penyadar. Bahkan Tan Malaka yang komunis, yang tahu persis akan ajaran totaliterisme komunis itu, jiwanya tidak mau ditaklukan Stalin, sehingga ia keluar dari Komunis International (Kamintern), lalu mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) sebagai wadah kaum Marxist yang cocok bagi bangsanya.

Dengan pola budaya yang selalu menantang sikap otoriter demikian, dengan sendirinya tidak memungkinkan pengaruh kharisma dari para pimpinan atau ulama sekali pun untuk dipandang sebagai “pimpinan besar” atau kiayi keramat sebagai yang lazim di berbagai daerah atau negara lainnya.

Penutup.

Tingkah laku gerakan politik di Minangkabau bagi kepentingan suku bangsanya atau tingkah laku mereka dalam gerakan nasional Indonesia, bahkan di dunia dalam kedudukannya yang sangat kecil, bagaimana pun mencerminkan eksistensi mereka itu sebagai produk suatu kebudayaan rasa kebersamaan dan persamaan bagi setiap sikap demokratis kepada semua pihak. Yakni bentuk-bentuk demokrasi yang mungkin jadi dapat dikatakan sebagai demokrasi pancasila, tapi mungkin juga tidak. Jika tata kehidupan yang terlahir pada mereka itu dapat dipandang sebagai suatu tata demokrasi, maka pada suku bangsa itu posisi pimpinan bukanlah sebagai penguasa yang dapat menentukan suatu keputusan atas nama sekalian demi.

Terhadap pemimpin yang telah bertindak sebagai penguasa yang banyak terjadi, maka sikap penentangannya bukanlah dengan meruntuhnya atau menggantinya, melainkan dengan meninggalkannya. Sikap demikian menjadi pola kebudayaan merantau, yang hampir mirip dengan sikap suka ngacir. Andaikata jalan merantau pun terhambat mereka akan mencari pemimpin lain dengan mendirikan organisasi tandingan, yang bertujuan bukan untuk menghancurkan struktur kampung halamannya. Demikianlah mereka mencari kepemimpinan kepada ulama untuk menandingi penghulunya sendiri, seperti yang dilakukan kaum Padri atau kaum Naksabandi atau pun kaum muda dalam menantang tindakan kaum penghulunya sendiri.

Dalam berbagai pertentangan yang terjadi, meski sampai merupakan peperangan, kelihatannya tujuannya bukan untuk menyimpang dari pola budaya nenek moyangnya sendiri, yaitu adatnya. Penghulu yang tidak disukai, tidak disingkirkan dengan menukarnya dengan ulama. Kalau pun ada ulama yang menjadi penghulu, seperti Hamka menjadi Datuk Indomo sebagai contoh, senantiasa menggunakan prosedur tradisinya, bukan karena Hamka ulama besar, tapi karena Hamka adalah mamak kaum mereka.

Boleh jadi pula pola pergolakan daerah yang melahirkan PRRI itu, mungkin dapat dilihat sebagai tingkah laku pola budaya tradisional mereka yang menuntut persamaan dalam kebersamaan dengan antara suku-suku bangsa dan atau antara pusat dan daerah, namun tidak diberikan oleh Soekarno. Secara politik nasional tindakan tersebut mungkin salah, akan tetapi rasa ketidak puasan terhadap sikap politik Soekarno yang cendrung otoriter itu ternyata kemudian merugikan bangsa Indonesia sendiri.

Catatan

  1. Di ujung kekuasaan Hindia Belanda pernah didirikan organisasi pemuda Minangkabau dengan nama JOM (Jeugd Organisatie Minangkabau) oleh anak-anak pegawai yang bersekolah di Jakarta dan kehadiran organisasi ini sejalan dengan politik pelajaran bahasa daerah di Sekolah Rendah guna memecah belah kesatuan Indonesia. Sama halnya dengan mendirikan Negara Bagian pada perang kemerdekaan yang di Minangkabau tidak berhasil.
  2. Penelitian tentang merantau telah dilakukan Oleh Mochtar Naim, yang kemudian hasil penelitiannya itu dijadikannya sehagai bahan disertai Doktor yang diperolehnya pada University of Singapore tahun 1975. Disertasinya itu kemudian diterbitkan oleh Gajah Mada University Press. Yogyakarta tahun 1979.
  3. Dalam buku kumpulan karangannya yang berjuduI Bunga Rampai yang diterbitkan di Medan tahun 1938, dr. M. Amir membicarakan tokoh nasional dr. A. Rivai dan H. Agus Salim yang merupakan dua diantara orang Minangkabau yang telah bertekat takkan menjejakkan kakinya ke kampung halamannya selama Minangkabau mempertahankan hukum adat dalam hal warisan dan perkawinan. Kemarahan kedua tokoh itu dipandang akibat dari kecintaannya yang tak berbalas, sebagai hal yang dikatogorikan sebagai minang kompleks.
  4. D.Mansur dalam “Sejarah Minangkabau” hlm. 117 mengemukakan asal kata Paderi dari bahasa Portugis Padre. Pendapat lain menyebutnya berasal dari Pedir, sebuah bandar di Pesisir Utara Aceh. Menurut pengamat lain, M. Rajab dalam keterangan di Seminar Sejarah Minangkabau menyebutkan bahwa kata itu berasal dari Pidie di Aceh, yang ditulis dengan huruf Arab, sebagai Pidir, yang kemudian disalin kedalam huruf Latin oleh penulis sejarah menjadi Padri. Istilah Padri pada zaman itu belum ada. Golongan ini dikenal sebagai golongan putih karena identitas pakaiannya yang serba putih sebagai kontras dari golongan kaum penghulu yang memakai pakaian serba hitam. Sesuai dengan pendapat B.J. O. Schrieke dalam Pergolakan Agama di Sumatera Barat halaman 18, bahwa gerakan Padri ini telah ada sebelum H. Miskin cs pergi ke Mekkah. Pendiri gerakan ini mungkin jadi para perantau yang menuntut pelajaran agama di Pidie.
  5. Sama statusnya dengan Majlis Syura Muslimin Indonesia di Jawa.
  6. Kisah Tan Malaka yang selalu mesterius sangat mudah mempengaruhi alam pikiran kaum mistik seperti golongan Syattari. Propagnadis pengikut Tan Malaka selalu memberi salam pada rapat-rapat golongan ini dengan merapatkan jarinya seperti salam meliter tapi dengan meletakkanya sejajar dengan batang hidungnya, lalu berpaling ke arah kanan dengan mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad, dan kemudian berpaling ke kiri dengan mengucapkan salam kepada Tan Malaka. Golongan ini pun sering juga menyebutkan dirinya sebagai PKI lokal Islami dan kemudian menjadi Murba Islami.
  7. Setidak-tidaknya golongan Perti ini telah pecah 3 pada pemerintahan Soekarno. Satu pihak pro Nasakom, pihak lain anti Nasakom, sedangkan pihak ketiga memilih kegiatan di luar politik di bawah ulama besarnya Syekh Sulaiman Arrasuli yang terkenal dengan gelar Inyik Candung. Golongan yang terakhir kini kemudian memasuki Golongan Karya, sedangkab golongan lainnya tetap pada Partai Islam Perti. Meski pun bagi segolongan tokoh pro Nasakom merasa lebih aman bila bergabung kepada Golongan Karya.
  8. Banyak pengamat sejarah berpendapat bahwa kaum Padri menganut ajaran Wahabi, berdasarkan menghebatnya gerakan Padri ini telah kembalinya H.Miskin cs dari Mekkah yang dikuasai kaum Wahabi. B.J.O.Schrieke dalam bukunya (halaman 17) menyatakan Padri bukan menganut Wahabi. la memberi alasan bahwa kaum Padri yang radikal itu tidak melakukan pembasmian terhadap orang dan kuburan keramat seperti yang dilakukan kaum Wahabi di Mekkah. Kaum Padri hanya membasmi kebiasaan mengisap candu, adu ayam dan sebagainya yang sudah umum dilakukan penduduk, terutama oleh kaum penghulu.
  9. Para penulis Barat umumnya selalu melihat pertentangan antara adat dan Islam karena perbedaan ajaran adat dengan agama. Pertentangan itu pada masanya hanyalah merupakan perbedaan penggunaan aturan semata-mata bila masing-masingnya ingin pelaksanaan hukum secara murni. Biasanya mereka ini bisa menemukan konsensus agar masing-masing tidak kehilangan muka. Konsensus terpenting dalam sejarah mereka yaitu yang lazim mereka namakan Perjanjian Marapalam, yang berlangsung di nagari Marapalam. Yang bunyinya sebagai berikut : Adat basandi syarak, syarak basandi adat. Perjanjian ini telah ada sebelum gerakan Paderi.
  10. Hamka. “Ayahku”
  11. Pimpinan kerajaan di Pagaruyung yang disebut Basa IV Balai telah menempatkan seorang kadhi, seorang hakim Islam, yang terkenal dengan sebutan Tuan Kadhi di Padang Ganting. Kedudukan tersebut mungkin jadi sejak abad ke 16, setelah raja Pagaruyung menjadi Islam tahun 1560.
  12. Semacam tanah bengkok di Jawa.
  13. Golongan adat yang bergabung dalam MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang diketuai oleh Dt.Simarajo.
  14. Ketidaksepakatan menggadai atau menebus gadaian antara ahli waris menjadi sumber persengketaan yang hampir boleh dikatakan abadi, sehingga ikatan kekerabatan manjadi pecah belah, bahkan suku-suku pun ikut pecah belah dengan menegakkan penghulu baru yang terpisah dari penghulu lama.
  15. Keterangan Kolonel Nazsir Asmara, Dan Rem Wirabraja Bukittinggi pada penulis.
  16. Ibu Aditiawarman ialah Dara Jingga yang bersama-sama Dara Petak pergi ke kerajaan Singosari. Dara Petak kemudian menikah dengan Kartanegara, dan melahirkan Raden Wijaya raja Majapahit. Penolakan terhadap Aditiawarman mungkin jadi kerena struktur yang bertentangan dengan pola kebudayaan Minangkabau dan juga mungkin ditambah dengan kampanye Islam karena Aditiawarman beragama Hindu.
  17. Istilah orang awak lazim dipakai sebagai nama-ganti dari orang Minangkabau, disamping orang Padang.
  18. Syarikat Islam memasuki Minangkabau, khususnya kota Padang pada tahun 1916. Disponsori oleh kaum ulama yang beraliran kolot yang memerlukan suatu wadah bagi kegiatannya yang takkan kalah radikalnya dengan gerakan kaum muda. (Schrieke, 1973 : 70-71).
  19. Orang Surau penamaan bagi golongan yang mendapat pendidikan agama cara lama, yaitu murid duduk di lantai tanpa klas atau tingkat pendidikan. Murid yang pandai dan rajin akan lebih cepat maju tanpa dihalangi oleh suatu daftar mata pelajaran. Kemudiannya murid yang pandai itu memberi pelajaran kepada murid yang baru belajar sebagai guru bantu. Penamaan orang surau ini pun berlanjut diberikan kepada murid-murid sekolah agama yang telah dimodernisasi dengan pemakaian klas dan bangku sekolah. Golongan ini sangat dominan dalam gerakan politik sampai pada permulaan tahun 1950-an, sehingga orang-orang yang berpendidikan sekolah non agama, tidak mungkin mendapat tempat dalam organisasi politik Islam. Seperti dalam GPII (gerakan Pemuda Islam Indonesia), yang umumnya didominir oleh orang surau, pemuda yang mendapat pendidikan non Islam mendirikn organisasi sampingan dengan nama GPII Istimewa. Sedangkan para mahasiswa dari Perguruan Tinggi formal memasuki HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Identitas orang surau ini sangat baik sekali diceritakan Hamka dalam roman Tenggelamnya Kapal v.d. Wijck.
  20. Hamka, “Ayahku” hlm.
  21. Pemimpin S.I seperti A.Muis, H. Agus Salim dan Tan Malaka adalah orang-orang yang mendapat pendidikan dari sekolah Belanda.
  22. MD Mansoer cs “Sejarah Minangkabau” hlm. 183.
  23. Hamka, “Ayahku” hlm.
  24. Alfian hlm. 136-139.

Bacaan :

Alfian, “Tan Malaka : Pejuang Revolusioner yang Kesepian” , dalam Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3ES, Jakarta, 1979.

Hamka, “Ayahku”, Jayamurni, Jakarta. 1967.

Hamka, TenggelamnyaKapal v/d Wijck, Nusantara Bukittinggi, 1063.

Mansoer.M.D dan kawan-kawan, “Sejarah Minangkabau” , Bharata, Jakarta, 1978.

Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, Centre for Minangkabau Studies Press, Padang, 1968.

Mochtar Naim, Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yokyakarta, Gajah Mada University Press, 1979.

Mohamad Roem, Memimpin adalah Menderita : Kesaksian Haji Agus Salim, dalam “Manusia Dalam Kemelut sejarah“, LP3ES Jakarta, 1977.

Mohammad Hatta, Demokrasi Kita dalam Panji Masyarakat No, 22, Th, 1961.

Mohammad Hatta, Memoir, Tintamas, Jakarta, 1979.

Muh, Nasroen. Dasar Falsafah Adat Minangkabau CV Pasaman, Jakarta.

Pringgodigdo. A.K, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977.

Radjab. M. Perang Padri, Balai Pustaka, Jakarta, 1854.

SchriekeB.J .0. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Bharata, Jakarta, 1973.

000