MITOS BUNDO KANDUNG DALAM MISTIK ISLAM DI MINANGKABAU

Oleh: A.A. Navis

(Dimuat dalam buku “Yang Berjalan Sepanjang Jalan”, Grasindo, 1999)

DALAM kehidupan yang sulit oleh ketidakpastian masa depan karena tekanan teror mental yang datang bertalu tanpa tempat mengadu meminta keadilan dan perlindungan, maka ajaran agama atau kepercayaan atau idiologi politik yang mampu memberi janji yang dapat berkembang menjadi anutan masyarakat. Ajaran demikian itu bisa saja menjadi gerakan ekstrimis atau teroris, mistik atau spiritual.

Dalam perjalanan sejarah Islam gerakan demikian muncul secara berulang. Gerakan ekstrimis yang paling terkenal dalam sejarah ialah pimpinan Hassan Sabah pada akhir abad ke-V. Para pengikutnya sangat fanatik dan bersedia mati kapan saja disuruh meski hanya untuk bunuh diri. Sedangkan ajaran mistik yang lazim pula disebut tarekat sangat banyak ragamnya semenjak Bani Abbasiyah mulai melakukan penindasan penindasan terhadap lawan-lawan politiknya sampai muncul Imam Gazali. Setiap aliran sufi maupun tarekat dengan berbagai ragam jenis banyak berkembang di Indonesia. Boleh dikatakan aliran mistik itulah yang paling berjasa dalam mengislamkan penduduk seluruh Nusantara.

Islam berkembang di Nusantara pada saat yang tepat. Yakni ketika Kartanegara dari Singosari menyatukan agama Budha dan Hindu demi mengekalkan kekuasaannya. Setelah Kartanegara terbunuh dan kemudian diganti oleh Raden Wijaya, kerajaan Singosari berganti nama dengan Majapahit. Ambisi politik kerajaan Majapahit yang ingin menguasai seluruh Nusantara menjadi tirani dalam kehidupan rakyat taklukannya. Para pendeta Budha dan Hindu tidak lagi mampu memberikan ketenteraman rohani karena mereka telah dikalahkan oleh sinkretisme agama yang belum sempat memberi apa-apa. Pada masa itulah berbagai ajaran tarekat maupun mistik masuk ke Indonesia. Ada aliran yang memberi kesejukan batin kaum sufi, ada yang mengembangkan kekebalan tubuh dan yang mengandung unsur supranormal. Ajaran semacam itu yang selama ini hanya dimiliki para pendeta, lantas dimiliki siapa saja yang mau menuntut pada Sang Imam. Maka Islam begitu cepat diterima oleh penduduk.

Baik oleh cara peribatannya atau oleh kemampuan mistik dan supranormal banyak imam dari aliran tersebut dipandang sebagai kramat. Berikut makamnya pun dipandang kramat. Sehingga pada setiap situasi kemelut pribadi atau masyarakat atau dalam kondisi yang tidak pasti, imam atau makamnya menjadi ramai dikunjungi. Hampir pada setiap zaman senantiasa ada imam yang memiliki kekuatan yang dapat menyembuhkan atau meramalkan sesuatu yang akan terjadi. Orang yang mengaku memiliki kemampuan demikian sangat dibutuhkan masyarakat yang lagi dilanda kemelut.

Oleh karena imam demikian tidak banyak, maka dukun atau paranormal disamakan masyarakat sebagai orang kramat. Tidak jarang pula penipu berlagak punya ngelmu. Oleh karena itu mistik Islam atau tarekat tidak lagi diamalkan sebagai “jalan menemui Tuhan”, melainkan sebagai ngelmu yang dapat menolong kehidupan. Imam tarekat yang memiliki kemampuan paranormal dan pemilik ngelmu yang bisa mengaji menjadi demikian besar pengaruhnya, bahkan pada raja dan keluarga istana. Pada umumnya mereka kaya karena sedekah atau hadiah.

Baik karena ambisi untuk berpengaruh atau karena ingin memperoleh kekayaan dan kenikmatan, para imam dari aliran tarekat yang berbeda atau pemilik ngelmu, saling suka menghasut jemaahnya untuk saling gontok-gontokan. Mereka bersengketa bukan lagi karena kebenaran, melainkan karena saling berebut pengaruh. Peristiwa paling keras yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, ialah di Aceh setelah masa Sultan Iskandar Muda. Yakni ketika Nuruddin Arraniry diangkat sebagai “mufti kerajaan” , maka dia membasmi tarekat yang dianut oleh Hamzah Fansyuri yang sebelumnya kuat pengaruhnya di istana.

Adalah lumrah bila imam ngelmu atau pengelmu yang bisa mengaji itu mencari landasan kekuatan pada kepercayaan, yang tidak ada sangkut-pautnya dengan agama, bila pengaruhnya berkurang akan menciptakan landasan baru. Misalnya dengan mengklaim dirinya sebagai ahliwaris turunan darah atau turunan ngelmu yang berkubur pada makam tua yang legendaris atau misterius itu. Bahkan tidak jarang pula yang bersandar pada kekuatan politik atau pada aliran tarekat yang berpengaruh secara spiritual. Sebaliknya pada masyarakat yang tidak bisa membedakan imam dengan ngelmu karena tidak faham pada ajaran agama akan lebih mudah terpikat menemui pengelmu dibandingkan kepada ulama. Pengelmu lebih mudah menjanjikan keselamatan sebagaimana yang diharapkan masyarakat yang jiwanya lagi terguncang. Sedangkan ulama hanya memberikan yang dijanjikan Tuhan kepada umatnya yang bertobat dan bertakwa.

Mudah membiaknya pengelmu tumbuh ketika situasi lagi kemelut, yang di satu sisi bisa membentuk suatu kekuatan yang akan menggoncangkan pemerintahan, dengan tangkas pemerintah akan membasminya. Akan tetapi bila pengelmu itu berafliasi dcngan kekuatan pemerintah yang berkuasa, pada umumnya akan dilindungi. Seperti yang lazimnya dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan kedok, bahwa pemerintah tidak campur dalam masalah agama dan kepercayaan penduduk. Namun yang terjadi oleh akibat kebijaksanaan itu ialah citra, kaidah dan kemurnian agama menjadi rusak diamalkan penduduk. Di samping itu dalam masyarakat bisa terjadi perpecahan, disebabkan adalah kewajiban ulama dan umat Islam membasmi ajaran kurafat dan syirik itu, sehingga terjadi konflik dengan kaum yang fanatik membela guru yang ngelmu.

Di Minangkabau Sebagai Contoh Kasus

Akan sulit sekali untuk menentukan Islam dari tarekat mana yang mula pertama datang ke Minangkabau. Terutama di daerah pantai yang lazim disebut “daerah pesisir” masih terlihat ciri dari berbagai tarekat tersebut. Misalnya ada “debus” dari aliran Rifai dan “dzikir indang” dari aliran Samani, bahkan ada “tabut” yang berciri Syiah. Sedangkan di wilayah selatan masih terlihat pengaruh aliran Qadari. Namun ada kesepakatan bahwa tarekat yang paling berpengaruh Naksabandi dan Syattari.

Naksabandi sendiri baru muncul pada tahun 1850 dan dibawa oleh Syekh Ismail yang terkenal dengan Tuanku Simabur. Tarekat ini tidak mengkramatkan imam-imam. Syattari dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin, dikenal dengan nama Tuanku Ulakan. Tarekat ini biasa mengkramatkan para imamnya, baik Tuanku Ulakan yang makamnya diziarahi setiap bulan Safar, maupun imam-imam yang berada di desa-desa.

Beberapa sumber mengatakan bahwa raja Pagaruyung yang pertama menganut agama Islam ialah Sultan Alif yang memerintah tahun 1560-1585. Jadi itu artinya sebelum Syekh Burhanuddin kembali dari Aceh. Setelah Islamnya Pagaruyung itu posisi pendeta Hindu Budha diganti oleh pejabat agama Islam, seperti Tuan Kadhi di Padang Ganting dan Raja Ibadat di Buo. Di pemerintahan nagari yang dipimpin penghulu terdapat aparat agama yang disebut malin (mualim) yang mengurus masalah agama Islam. Tidak ada cacatan yang pasti tentang tarekat dari aliran apa yang dianut pada awal Islam di Minangkabau. Namun pastilah sampai muculnya ajaran Tuanku Ulakan, Syattari yang dominan dan imamnya yang menduduki posisi di pemerintahan.

Boleh jadi oleh pola kemasyarakatan Minangkabau yang berkaum dengan pimpinan penghulu pada masing-masing nagari yang otonom di wilayah Luhak Nan Tigo yang terletak di sekitar Gunung Merapi, serta nagari (desa) naungan raja Pagaruyung di wilayah rantau yang terletak di pesisir, maka pengaruh ulama hanya pada tingkat nagari masing-masing. Tidak ada pimpinan yang menjadi pemersatu.

Aliran Syattari yang ketika berziarah ke makam Tuanku Ulakan pada setiap bulan Safar itu, pada upacara ritualnya tidak pada seorang imam. Masing-masing jemaah dari suatu nagari dipimpin oleh tuanku dari nagari mereka sendiri. Masing-masing tuanku memandang dirinya sama dengan tuanku yang lain dan setiap jemaahnya pun memandang demikian. Dan alat pemersatu antara sesama mereka ialah makam Tuanku Ulakan itu sendiri.

Sikap para tuanku yang senantiasa committed kepada pemerintah yang berkuasa telah mengokohkan status mereka dalam masyarakat. Sebaliknya pemerintah mendapat imbalan dengan alasan agama untuk mengamankan kebijaksanaannya. Sehingga perbuatan maksiat yang ditoleransi pemerintah ditoleransi pula oleh para tuanku. Bahkan perbuatan bid’ah atau syirik dari pantheisme pun dapat diterima apabila berada pada ajaran satu dua orang tuanku. Oleh sikap para tuanku demikianlah yang melahirkan gerakan Paderi pada awal abad ke 19. Yaitu gerakan para tuanku dari generasi muda, yang ingin secara radikal membersihkan agam Islam dari bid’ah, syirik dan maksiat.

Membersihkan ajaran tarekat Syattari agar murni sebagaimana ajaran yang benar. Gerakan Paderi bukan berfaham Wahabi. Gerakan Paderi yang radikal ini, sesungguhnya telah menggoyang sendi-sendi pemerintahan korup pada nagari pada kerajaan Pagaruyung. Bahwa hal tentu saja akan menimbulkan bentrokan. Pola budaya yang memuliakan dan mufakat, pada mulanya dapat menghindari bentrokan fisik antara sesamanya, yakni dengan cara membuat konsesus, yang kemudian dikenal dengan nama “Perjanjian Marapalam” yang bunyinya “Adat basandi syarak, syarak basandi adat”. yang artinya adat manopang agama, agama manopang adat. Meskipun konsesus itu telah menjadi doktrin, namun goncangan politik terus berlangsung terutama diarahkan kepada souverinitas bangsawan Pagaruyung yang menganggap dirinya berada di luar hukum, baik adat maupun agama. Para bangsawan inilah yang menyerahkan Minangkabau kepada Belanda asal Belanda mau menghancurkan Paderi.

Paderi dapat dikalahkan Belanda dan Minangkabau pun jadi jajahan. Akibatnya ialah stuktur pemerintahan nagari berubah dengan memisahkan urusan agama dari urusan nagari. Namun pemerintahan Hindia Belanda tidak mengusik para tuanku sebagai imam, bahkan membiarkan apa pun macam ajaran mereka asal tidak menggangu stabilitas pemerintah. Namun gerakan pemurnian kembali agama islam tidak berhenti setelah Paderi dikalahkan. Beberapa tahun kemudian pulanglah Syekh ismail yang bergelar Tuanku Simabur dari Makkah. Tuanku ini membawa ajaran tarekat Naksabandi. Tarekat ini cepat memperoleh banyak pengikut. Tentu saja menimbulkan kegoncangan di kalangan tuanku Syattari. “Perang mulut” dengan saling caci maki tidak terhindarkan. Pengikut Naksabandi menamakan dirinya Kaum Muda, sedangkan pengikut Syattari mereka namakan sebagai Kaum Tua. Pengikut Naksabandi membangun mesjid sendiri karena mereka tidak mau diimami dan dikhobahi oleh tuanku Syattari. Model mesjid mereka dibuat berbeda sebagai lambang identitas dari jemaahnya. Semenjak itu aturan adat yang menetapkan satu mesjid pada satu nagari sudah tidak berlaku lagi.

Pemerintahan Hindia Belanda nampaknya lebih dekat dengan golongan Naksabandi oleh karena ajarannya tidak didukung oleh fanatisme pada imamnya yang pada umumnya bersikap loyal kepada pemerintah. Lain halnya dengan fanatisme jemaah pada tuanku Syattari. Oleh alasan kerja rodi dan pajak, jemaahnya beberapa kali telah melakukan perlawanan atau pemberontakan secara sporadis di berbagai nagari sampai awal abad 20. Pada prinsipnya pemerintah tidak menyoalkan aliran tarekat manapun yang berkembang, karena ajaran mistik dari agama apapun tidak akan pernah menggoncangkan stsbilitas pemerintah. Di sisi lain Naksabandi menetapkan wajib zakat 2,5 % sedangkan Syattari 10%. Bagi pemerintah lebih menguntungkan wajib zakat yang kecil karena memandang beban rakyat menjadi berkurang di luar kewajiban pajak atau rodi dalam sistem pembangunan melalui “cultuur stelsel “. Dalam masa yang singat pengaruh Naksabandi menjadi dominan. Akan tetapi ketika Inyik Rasul cs (H. Karim Amarullah) kembali dari Mekkah pada awal abad 20, dibangkitkannya gerakan Kaum Muda yang baru dengan menamakan kaum tarekat sebagai Kaum Tua. Meskipun pertentangan dengan caci maki tidak terhindarkan, tidak terjadi bentrokan fisik. Gerakan Kaum Muda mengembangkan ajarannya dengan medirikan madrasah di banyak nagari. Pola itu ditiru oleh golongan Naksabandi. Pada waktu pemerintah mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar, yang kedua golongan ini sama memandang peraturan itu sebagai usaha mengembiri umat islam, maka pertentang antara mereka pun mereda.

Golongan Syattari, tidak merobah sistem dan pengajaran agamanya dan tetap bersandar kepada kekuatan mistik para tuanku. Adakalnya mencari dukungan pada pantheisme, sebagaimana yang telah lazim mereka lakukan. Yaitu dengan lebih sering menziarahi makam tuanku yang dikeramatkan. Dan lebih menyemarakkan ziarah ke Ulakan tempat makam Syekh Burhanuddin dengan menggemakan tema kampanye yang cukup ampuhh. Yakni: “Tujuh kali berturut-turut pergi bersafar ke Ulakan sama dengan sekali naik haji ke Mekkah”. Kampanye itu memang berhasil memenuhi kerinduan petani miskin. Kesulitan hidup sejak pendudukan Jepang dan selama perang kemerdekaan, mengakibatkan hasrat berziarah ke makam itu mulai menurun. Namun demikian pada waktu Pemerintah R.I mengumumkan bahwa rakyat boleh mendirikan partai, penganut Syattari seperti mendapat pijakan untuk bangkit. Mereka mendirikan partai yang memitoskan Tan Malaka. Pilihan itu bukan karena faham atau ajaran Tan Malaka, melainkan oleh pengaruh dari kisah-kisah Tan Malaka yang misterius, yang sama dipandangnya sebagai peristiwa gaib dan keramat seperti yang dimiliki oleh tuanku-tuanku mereka. Ketika zaman Orde Baru, dikala partai politik “kehilangan darah”, mereka memilih Golongan Karya sebagai wadah tempat bernaung yang aman. Maka faham yang masih terpengaruh pada pantheisme pun memperoleh naungan pemerintah melalui Golongan Karya.

Semenjak itu kian banyak makam tuanku yang dikramatkan di berbagai desa. Ada yang dibuatkan bangunan diatasnya, bahkan diberi lagi kelambu yang berlapis-lapis. Pertumbuhan jumlah kuburan keramat yang banyak pada akhir-akhir ini ialah di Kabupaten Sawah Lunto Sinjunjung. Hal ini bisa terjadi bila dikaitkan bahwa di Kabupaten ini pernah menjadi wilayah pusat tarekat Qadari.

Mengeramatkan Mitos Bunda Kandung.

Menurut cerita rakyat Minangkabau, adalah seorang raja perempuan yang bernama Bunda Kandung pernah dipinang raja Ruhum, raja Cina dan Raja Aceh. Akan tetapi setiap raja yang meminang itu mati sertelah pinangan diterima. Pada suatu hari Bunda Kandung menyuruh Bujang Selamat, pesuruh istana, memetik buah kelapa gading yang pohonnya dihuni oleh hewan berbisa, seperti ular, kalajengking dan semut api merah yang besar. Salah sebuah air kelapa itu diminum Bujang Selamat. Sabutnya dimakan oleh seekor kerbau betina, maka lahirlah kerbau keramat yang bernama Si Binuang; separoh lainnya dimakan oleh seekor kuda betina, lahirlah kuda yang bernama Si Gumarang; sedangkan daging kelapa dimakan oleh seekor ayam dan lahirlah anaknya yang bernama Kinantan. Air buah kelapa yang satu lagi diminum oleh Bunda Kandung dan sisanya diminum dayang-dayangnya. Tak lama kemudian Bunda Kandung melahirkan Dang Tuanku dan dayang-dayang itu melahirkan Cindur Mata. Pada suatu ketika terjadilah perang dengan Raja Imbang Jaya, raja dari selatan. Istana Pagaruyung musnah jadi abu. Bunda Kandung dan Dang Tuanku “mikraj”. Setelah mengalahkan Imbang Jaya, Cindur Mato menyusul ke Indrapura. Cerita ini banyak sekali versinya. Dan dari salah satu versinya, digubah cerita sandiwara oleh direktur Sekolah Raja (Kweek School) Bukittinggi. J. Scholte Namanya. Cerita itu dimainkan oleh murid guna merayakan ulang tahun sekolah mereka pada tanggal 23 Maret 1923. Dalam cerita ini dimasukkan unsur-unsur aparatur kerajaan Pagaruyung seperti Raja Dua Sila, Basa Empat Balai dan Tuan Gadang di Batipuh. Semenjak itu cerita rakyat tersebut menduduki tempat yang luar biasa. Sehingga banyak penulis, bahkan ada yang mengidentifikasi bahwa Bunda Kandung itu adalah Dara Jinga, puteri Melayu yang menikah dengan Raden Wijaya, yang melahirkan Adityawarman. Dia ini diidentifikasi sebagai Dang Tuanku. Saking percaya pada mitos itu, Hartini Soekarno pernah akan diberi gelar kehormatan sebagai “Bunda Kandung Agung” oleh Gubernur Sumatera Barat atas nama penduduk. Sehubungan dengan Bunda Kandung yang melahirkan Dang Tuanku tanpa diketahui suaminya, menyebabkan gelar yang akan diberikan itu diganti dengan yang lain. Selanjutnya ada organisasi perempuan golongan elite bernama Bunda Kandung, sebagai mitra organisasi para penghulu LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau). Pakaian tradisionalnya dinamakan baju Bundo Kandung. Apabila masyarakat elite di ibukota Propinsi Sumatera Barat dan masyarakat Minangkabau di rantau sudah demikian kagum kepada tokoh dalam mitos itu, betapa lagi orang awam di pedesaan yang menjadi yakin bahwa tokoh itu betul-betul ada.

Demikianlah di desa Lunang, di kecamatan paling selatan Kobupaten Pesisir Selatan, didapati makam tua dengan nisan yang lazim di jumpai di Aceh. Diduga makam itu berasal dari bangsawan Indrapura atau bangsawan Aceh yang pernah menguasai wilayah itu sebelum masa kolonial Belanda. Indrapura sendiri adalah bagian dari kerajaan Pagaruyung dan di perintah oleh kerabat kerajaan dengan sebutan Raja Muda. Selama dibawah kerajaan Aceh dan Belanda yang demikian lama hubungan Indrapura dengan Pagaruyung terputus. Nampaknya oleh kehadiran cerita rakyat yang memitoskan Bunda Kandung itu sebagai raja Pagaruyung dan hubungannya dengan Indrapura, penduduk negeri Lunang dan sekitarnya mengklaim makam itu sebagai kuburan Bunda Kandung, Dang Tuanku dan isterinya Puti Bungsu, sedangkan di tempat yang agak terpisah dikatakan sebagai kuburan Cindur Mato. Di samping adanya mitos itu, muncul pula kisah yang disebut Tambo Indrapura, yang isinya sama dengan Tambo Alam Minangkabau yang bersifat Indrapura sentris.

Berdasarkan itu pada tahun 1954 tokoh masyarakat Indrapura dengan dukungan bupati telah mengusulkan kepada Jawatan Kebudayaan agar makam itu dipugar sebagai benda peninggalan sejarah yang sama nilainya dengan komplek makam di Pagaruyung, yang peninggalan Aditiawarman.

25 Tahun kemudian pada sebuah rumah dekat makam tersebut ditemui seorang gadis kecil yang memiliki gejala seperti kemasukan roh halus Bunda Kandung. Maka orang pun percaya bahwa gadis kecil itu adalah titisan Bunda Kandung sendiri. Kepercayaan itu dikuatkan oleh beberapa benda tua milik kerajaan.

Sampai saat ini belum dapat atau tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, bahwa makam itu betul-betul kuburnya Bunda Kandung atau kuburan siapa. Namun naluri komersial pemerintahan memandang komplek tersebut layak jual sebagai objek pariwisata yang bisa dijual. Oleh perhatian berbagai instansi pemerintah yang sering berkunjung ke sana mengukuhkan kepercayaan penduduk di sekitar bahwa kuburan dan gadis kecil itu sebagai kramat.

Kepercayaan Campur Aduk

Penduduk Lunang menganut tarikat Syattari yang lama terisolasi dibandingkan dengan yang terdapat di berbagai nagari yang telah menjadi daerah lalu-lintas umum. Kepercayaan penduduk sekitarnya menjadi kian kental terhadap kekeramatan makam dan gadis kecil, yang kini telah menjadi nenek itu.

Seorang guru besar antropologi dari University of Pensylvania, Dr. Peggy R.Sanday, telah beberapa kali melakukan penelitian sejak tahun 1981 disana. Dalam laporannya (serangkap diberikan kepada penulis) perempuan tua seusia kurang lebih 70 tahun, salah seorang daripadanya janda pemuka agama, Labai Raka yang tahun 1967 dalam usia 80 tahun, tidak tahu siapa yang berkubur di makam itu. Namun penduduk yang lebih muda menyangka dan yakin bahwa Bunda Kandung sekeluarga yang berkubur di sana. Keyakinan itu kian kuat setelah pemerintah memberi dana restorasi tahun 1954. Semenjak itu banyak orang yang mengaku telah “tirakatan” di kuburan itu untuk memperoleh wangsit dari Bunda Kandung dan Cindur Mato supaya mendapat ilmu kedukunan dan keselamatan.

Seorang tokoh lain yang menyebabkan desa Lunang mendapat pehatian penduduk sekitarnya, yakni seorang dukun yang bernama Labai Raka. Selain pandai mengobati orang sakit, dia pun dinamakan dukun padi yang dapat meramalkan kapan sebaiknya orang turun ke sawah agar padinya tidak kena bala serangan hama. Konon dia mendapat ilmu itu dari ibunya, yang bernama Upik Kicik. Oleh ilmunya itu Labai Raka berpengaruh kuat dan dipandang kramat oleh penduduk sekitarnya. Sesuai dengan gelarnya, labai, dia sering memimpin doa pada waktu ada kenduri. Dia penghuni rumah gadang dan pemelihara makam tua itu. Ketika rumah gadang dan makam tua itu memperoleh dana restorasi dari pemerintah, pamornya kian bertambah. Ketika dia meninggal tahun 1967, seorang gadis kecil, Rakinah, yang cucunya menurut sistim matrilini, memperlihatkan tingkah laku dan ucapan di luar kemampuan orang biasa, yakni seperti kemasukan roh Bunda Kandung.

Ada orang yang mengaku mendapat “wahyu” semenjak dia lahir dari Tuanku Ibadat, dukun padi pertama dari kerajaan Indrapura. Sutan Maruhum namanya. Seorang lagi, Maridun, mengaku meperoleh “wahyu” dari Bunda Kandung setelah dia tirakatan berulang kali di makam keramat itu. Rupanya gelar dukun padi itu banyak peminatnya oleh karena mendapat imbalan dari pemilik sawah bila panen tiba. Yang dipercaya penduduk Lunang, ialah Sutan Maruhun. Dia berasil karena mengakui Rakinah, cucu Labai Raka yang kemasukan roh itu, sebagai Mande Rubiah. (Terambil dari nama Rabiah yang amat terkenal di dalam sejarah mistik Islam, sebagai perempuan suci yang membaktikan diri kepada zuhud dan taqwa semata).

Dalam Tambo Indrapura kisah Rabiah yang terkenal dalam sejarah mistik Islam barcampur-baur dengan mitos Bunda Kandung. Maka gadis Rakinah karena dipandang keramat dianggap sebagai reinkarnasi Rabiah, lalu diapun digelari pula sebagai Madeh Rubiah, sesuai dengan lafas setempat.

Untuk membuktikan keabsahannya disusun pula ranji asal-usul mereka sejak Aditiawarman, pendiri kerajaan Pagaruyung itu. Bermula dari puteri Jamilan dan Adityawarman. Melahirkan tiga orang anak. Yang Sulung Renosuri, yang kemudian bergelar Bundo Kandung: yang tengah adalah Raja Muda dari Indrapura: yang bungsu Kambang Bendahari. Bundo Kandung melahirkan Dang Tuanku: Raja Muda mempunyai dua orang anak, yakni Tuanku Ibadat dan Puti Bungsu: sédangkan Kambang Bendahari merupakan asal usul Rakinah yang bergelar Mande Rubiah IX. St. Maruhum sendiri turunan dari Tuanku Ibadat dengan jabatan Dukun Padi VII.

Guna membuktikan keabsahan mereka sebagai turunan Bunda Kandung, rumah gadang (model pesisir yang sebenarnya model Aceh) tempat mereka tinggal dilengkapi dengan benda-benda “kuno” seperti tombak, pedang, jambangan keramik Cina dll, serta sebuah gong keramat. Tidak semua dan sembarang orang dapat melihat benda-benda itu, terkecuali izin Mandeh Rubiah. Mandeh Rubiah sendiri tidak pernah dapat ditanyai tentang benda kuno dan sejarah nenek moyangnya. Hanya St. Maruhun yang boleh tampil sebagai pemandu. Keterangannya sering tidak sama dengan keterangan penghuni rumah itu sendiri.

Penganut tarekat di Lunang mempercayai makam tua itu sebagai makam Bundo Kandung dan sekaligus mempercayainya sebagai kuburan keramat. Apabila mereka mendapat kesulitan, baik fisik atau mental pergilah ke kuburan itu untuk berdoa, berzikir dan bahkan bersujud untuk meminta pertolongan. “Pada lahirnya meminta kepada Bundo Kandung, pada batinnya kepada Tuhan”, kata mereka.

Menurut laporan Dr. Peggy S Sanday yang hadir pada waktu Idulfitri, rumah gadang kediaman Mande Rubiah menjadi pusat kegiatan acara disamping mesjid sebagai pelengkap.

Penganut tarekat Syattari di Minangkabau berpegang teguh pada sistem Ru’yah dalam menentukan waktu mula puasa dan Idulfitri. Adakalanya mereka dua hari sampai seminggu terlambat dari yang dilakukan umat Islam umumnya, karena bulan tak kunjung kelihatan oleh para tuankunya karena tertutup awan. Mereka mendapat julukan “orang tang puasa kemudian”. Keterlambatan itu seolah disengaja oleh para tuanku demi memelihara kredibilitasnya yang berbeda dengan golongan lain. Maka pada hari raya yang terlambat dua hari seperti yang disaksikan oleh Dr. Peggy S. Sanday pada tahun 1985, upacara telah dilakukan malam sebelumnya, yaitu pada malam takbir seperti yang dilakukan umat Islam umumnya pada malam sebelum hari raya. Dengan memakai sorban, haji tidak haji, sambil berzikir mereka menuju rumah Mandeh Rubiah untuk minta izin melakukan takbir. “Alhamdulillah”, seru mereka keras-keras hampir serempak setelah memperoleh persetujuan Mandeh Rubiah. Lalu mereka melakukan takbir di rumah. Orang-orang tua di atas rumah, yang muda di halaman.

Besok pagi mereka berkumpul lagi sambil membacakan takbir. Seorang demi seorang masuk kamar tempat benda-benda kuno tersimpan. Sambil takbir mereka memukul gong yang tergantung di kamar itu dengan tangan dan terus menuju ke mesjid. Selesai sembahyang mereka berzikir dibawah pimpinan seorang yang memakai sorban merah. Mereka berzikir selama lebih kurang satu jam. Habis itu mereka bersalam-salaman untuk saling minta dan memberi maaf. Acara ditutup dengan makan bersama.

Tarekat Syattari adalah aliran mistik yang tertua yang hanya di Indonesia masih ada dan diakui kehadirannya. Berbeda dengan Naksabandi yang mengembangkan serta memelihara jemaah melalui madrasah agar kemurnian ajaran terpelihara. Tapi para Tuanku Syattari memberi pelajaran secara tradisional di suraunya dengan mengandalkan pola primordial. Oleh karena pilihan atas seorang tuanku (imam) berdasarkan turunan darah bukan kualitas ilmu, menjadi lazim terjadi perobahan, pendangkalan atau penyimpangan seperti yang ditemui pada pengikut di Lunang itu.

Bahwa fungsionaris organisasi politik seperti Golongan Karya berupaya agar penganut Sayttari berfihak kepadanya, hal itu wajar dalam “permainan politik”. Akan tetapi memberi toleransi kepada kepercayaan menyimpang, yang membaurkan mistik dengan mitos, sesungguhnya sangat tidak membantu proses modernisasi. Memang mencampuri urusan kepercayaan bisa membakar tangan sendiri, namun ada banyak upaya yang dapat digunakan oleh organisasi atau instansi manapun untuk meluruskan “tingkah laku” golongan masyarakat seperti di Lunang itu. Seperti yang pernah penulis kemukakan beberapa tahun lalu kepada seorang fungsionaris Golongan Karya, agar sebagai seorang intelektual dia lebih baik memandang kepentingan strategi nasional bagi bangsa daripada kepentingan politik pragmatis. Sebaliknya, secara beragama, membiarkan masyarakat di dalam kegelapan akan sama saja dengan tindakan yang tidak mementingkan agama.

Tentu saja kita hanya bisa mengharapkan keadaan akan selalu menjadi lebih baik daripada masa lalu.

000