Mustadjab Warisan

Oleh A.A. Navis

(Dimuat dalam Harian Sriwijaya Post/Minggu, 2 Agustus 1992 dalam rubrik Minggu Usil)

SEPERTI direkayasa saja, sekembali seorang tetangga saya dari menunaikan ibadah haji -yang namanya kini Haji Mukmin- keponakannya seorang akademisi, Mustadjab, memanitiai diskusi panel bertopik “Problem dan Fungsi Warisan dalam Pembangunan”. Dugaan perekayasaan itu karena Mustadjab tidak bersenang hati atas keberangkatan pamannya ke Mekah dengan menjual sehektar tanah pusaka yang diwariskan kakeknya kemudian diturunkan kepada ayah Mukmin bersaudara.

Mukmin sebagai cucu menjual tanpa setahu saudaranya yang berhak lainnya. Ibu Mustadjab sudah berusaha menggagalkan penjualan itu dengan caranya yang sentimental, tapi tidak berhasil. Sedangkan saudara-saudara yang sejak kecil telah hidup dirantau tidak pula tanggap ketika ibu Mustadjab menyurati mereka.

Kata Mustadjab, ketika ikut mencoba mencegah penjualan itu, Mukmin bilang: “Selagi kami yang tua-tua masih hidup, biar pun kalian sudah bersekolah tinggi, kalian belum berhak ikut campur soal warisan. Kalau aku menjualnya hakku bukan untuk foya-foya, melainkan karena aku mau melakukan ibadah rukun Islam kelima. Kalau ibumu mau ke Mekah tahun depan, dia bisa jual rumah pusaka yang bisa didiami itu. Aku takkan larang.”

“Kalu dijual, setelah jadi hajjah ibu tinggal dimana?” Mustadjab menyoal.

“Soal kamulah itu. Kamu kan anaknya.”

Bagaimana mungkin seseorang boleh menjadi miskin setelah menjual tanahnya demi menunaikan ibadah haji, pikir Mustadjab. Kalau umat Islam menjadi orang miskin, bagaimana mereka melanjutkan ibadahnya secara baik dan benar? Bagaimana mereka bisa berzakat, bersedakah, memberi infak dan lain-lainnya? Dengan pikiran itulah dia ikut aktif memanitiai diskusi panel itu.

Para peserta cukup banyak. Mungkin menyangka topik diskusi menyangkut warisan politik yang akan diturunkan kepada generasi penerus kelak di kemudian hari. Panelisnya tiga pakar hukum di bidangnya masing-masing, seperti hukum Islam hukum adat dan formal.

Tapi kemudian, minat para peserta melorot tajam karena topik yang mereka harapkan tidak ketemu, tambahan lagi ketiga panelis bicara secara ilmiah seperti yang terdapat pada buku teks dan dengan cara tradisional pribuminya yang sangat toleran serta tenggang rasa. Sehingga sehabis break minum kopi dan makan kue-kue, hadirin tinggal separonya.

Sebenarnya, Mustadjab mengharapkan diskusi itu akan menemukan konsep bagaimana harta-benda yang diwariskan tidak menjadi biang-keladi malapetaka kepada para ahli waris yang sedarah-sedaging. Umpamanya, tidak terjadi sengketa sehingga patah-arang antara ahli waris dapat dihindarkan; atau terjadi percepatan proses pemiskinan karena bersengketa di pengadilan yang tidak kunjung selesai; atau warisan dijual demi memudahkan membaginya, sehingga kekayaan berpindah ke orang yang tidak dikenal.

Namun harapan Mustadjab tinggal harapan. Diskusi itu tidak melahirkan suatu gagasan pembaharuan yang dapat jadi konsep untuk dipedomani oleh generasi penerus. Dan, saat makan siang, barulah diskusi panel yang sesungguhnya berlangsung, hangat, padat, juga terbuka serta membuahkan pikiran-pikiran baru. Meski diskusi tidak resmi.

Mustadjab risau melihat para pemilik tanah di daerah pinggir kota menjadi orang asing di atas bekas tanahnya sendiri. Malah turunan mereka, anak-cucu mereka menjadi kere di tanah air “indah dan kaya raya”. ltu semua gara-gara tengkulak, tuan-tanah atau investor yang memakai calo untuk pemilik tanah dengan iming-iming pergi ke tanah suci. Tidak ada perlindungan dari negara, apalagi dari para pemimpin atau politisi, agar tanah yang pada umumnya merupakan warisan petani, tidak sampai berpindah tangan, melainkan menjadi share atau saham dari industri yang bakal dibangun di atasnya.

Mengapa para ulama, pemuka adat atau ahli hukum itu, bila berbicara tentang warisan, selalu saja konotasinya, bahwa warisan itu harus dibagi atau diuntukkan kepada ahli-waris yang berhak. Kenapa tidak ada fatwa atau anjuran dari para pemuka dan bahkan pakar, agar para ahli waris jangan berpikir untuk menjual warisannya, melainkan berpikir untuk memperbanyaknya? ltu pikiran seorang peserta ketika sendewanya keluar sehabis makan kenyang. Kata yang Iain lagi, sudah tiba waktunya orang melakukan restorasi budaya, seperti Jepang yang modern tanpa kehilangan identitas budayanya.

Kalau demikian halnya, buat apa seminar macam-macam. “Kan lebih baik para pakar itu diajak makan-makan saja. Sambil makan diskusi berjalan juga. Apa bisa begitu?” pikir Mustadjab setelah seminar itu selesai setahun yang lalu. Nampaknya apa yang dipikirkan Mustadjab belum lagi mustajab sampai saat ini.

000