MENUMBUHKAN KEBEBASAN KREATIVITAS

DAN MEMBEBASKAN MASYARAKAT

DARI KEJUMUDAN TRADISI

Oleh: A.A. Navis

(Makalah pada “Kongres Kebudayaan Indonesia” tanggal 28 Oktober – 2 November 1993 di Jakarta. Dimuat Dalam Buku “Yang Berjalan Sepanjang Jalan”, Grasindo, 1999)

MENURUT ilmu sosiologi, diidentifikasi bahwa bangsa Indonesia suka beringas, suka mengamuk dan suka mengeroyok. Dalam sejarah politik, Belanda menamakannya amouk partij. Misalnya peristiwa tahun 1918, dimulai dari Solo meruyak ke seluruh Jawa, terjadi pengamukan pribumi atas masyarakat Cina. Peristiwa semacam terus berulang sampai beberapa waktu yang lalu. Dalam skala yang lebih kecil, pengamukan penduduk asal dari suatu kota terhadap perantau atau pendatang atau pengamukan tukang becak terhadap suatu etnik atau golongan atau profesi lain.

Di Sumatera, pengamukan atau pengeroyokan juga sering terjadi. Yang paling terkenal ialah pengamukan barisan revolusi terhadap kaum bangsawan Sumatera Timur pada awal perang Kemerdekaan Indonesia tahun 1946. Puluhan kaum bangsawan terbunuh. Termasuk “raja penyair Amir Hamzah”. Peristiwa pengamukan itu dicatat dengan rasa bangga dalam buku sejarah sebagai revolusi sosial. Di Sumatera Barat pengeroyokan pun bukan barang yang aneh.

Perilaku suka mengamuk atau mengeroyok itu selalu oleh golongan kuat terhadap golongan lemah. Tidak terhadap golongan kuat, apalagi terhadap pemerintah. Menurut kajian Belanda, pemberontakan politik di Indonesia tidak pernah berhasil dan mudah dipadamkan, karena bersifat “amouk partij”. Jika memakai teori Belanda, revolusi Indonesia dimulai bukan oleh suatu pemberontakan, melainkan merupakan pertahanan rakyat atas kedaulatan bangsa dan negara yang mereka ambil-alih selagi pemerintahan sedang vakum.

Akan dapat difahami tentang perilaku tukang becak yang terkenal beringas kalau mengamuk itu, tidak berlaku terhadap kebijaksanaan pemerintah yang melarang becak beroperasi di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya. Mereka pasrah karena pemerintah terlalu kuat.

Dalam perilaku sosial atau pun individual “penyakit” suka mengeroyok itu begitu sering terjadi. Misalnya pengeroyokan sex oleh banyak laki-laki terhadap seorang perempuan; pengeroyokan atas laki-laki pezina yang tertangkap basah; pengeroyokan atas tukang copet sebelum dibawa ke polisi; pengeroyokan dengan senjata tajam atau mengubur hidup-hidup atas tersangka dukun teluh atau santet; atau pengeroyokan oleh polisi atau tentera atas tersangka atau tahanan atau orang-orang yang tidak disukai.

Semua kasus pengamukan atau pengeroyokan itu bukan masalah buta atau melek hukum, bukan masalah mengerti undang-undang dan hukum, melainkan masalah tradisi, masalah budaya. Yaitu budaya bangsa yang menjadi tempat lahir dan berkembangnya kesusastraan Indonesia.

Pengeroyokan Atas Kesusasteraan

Posisi kesusasteraan di Indonesia sama saja dengan posisi golongan lemah yang empuk dikeroyok oleh siapa saja. Oleh pemerintah, oleh masyarakat, oleh individu, oleh kritisi, oleh sarjana sastra, oleh mass media dan juga oleh penerbit.

Ambil saja contohnya semenjak awal kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1947 Parada Harahap mengkritik dalam koran tentang permainan kasar klub sepakbola tentera di Bukittinggi. Dia yang selagi mengenakan celana kolor dan baju singlet, diculik dan dimasukkan ke dalam sel oleh komandan tentera tersebut. Tahun 50-an seorang penulis, Sjafei Sulin, mengkritik sandiwara murid SMA Padang yang eks Tentera Pelajar dalam koran Haluan. Malamnya waktu keluar bioskop dia dikeroyok babak-belur. Parada Harahap dibebaskan Adinegoro. Akan tetapi Sjafei Sulin disalahkan oleh semua orang. Maka hukum dan undang-undang mulai dikubur semenjak itu.

Pada tahun 1957 cerita pendek saya yang berjudul “Man Rabbuka” dimuat oleh majalah Siasat. Diprotes oleh kelompok pemuda Islam. Pada penerbitan berikutnya redaktur minta maaf dan menyatakan agar cerita pendek itu dianggap tidak ada. Maka selesailah. Tahun 1968, majalah Sastra memuat cerita pendek “Langit Makin Mendung”. Kantor redaksinya diobrak-abrik massa, majalah disita dan dilarang terbit dan HB Jassin selaku penanggung-jawab dihukum oleh pengadilan. Sedangkan pengeroyok bebas dari hukum. Dari peristiwa itu terlihat betapa beda perilaku masyarakat dan lembaga peradilan dalam jarak waktu 10 tahun saja.

Di zaman Orde Lama, ketika kaum komunis lagi di atas angin, semua karya sastra dari sastrawan anti komunis dilarang beredar. Misalnya karya Hamka, St. Takdir, Idrus, Akhdiat, berlanjut dengan karya dari golongan “Manifest Kebudayaan”, seperti Trisno Sumardjo, HB Jassin, dan lain-lainya. Ajaibnya, karya Soewardi Idris “Isteri Seorang Sahabat” dan “Di Luar dugaan” ditarik sendiri oleh penerbit setelah orang PRRI memprotes lisan. Padahal PRRI adalah golongan yang kalah perang. Tapi kemudian setelah pemberontakan PKI dipatahkan, giliran sastra kaum komunis dilarang beredar, tanpa kecuali apakah sastra itu berbau komunis apa tidak.

Sebelum ada penjelasan tentang status dari karya sastrawan yang ikut PKI, pada tahun 1980 Pramudya menerbitkan empat novelnya berturut-turut. Tapi kemudian keempat novel tersebut oleh pemerintah dilarang berdedar. Bahkan 10 tahun kemudian seorang pemuda dihukum penjara di Yogya karena mengedarkan buku-buku tersebut. Pramudya sendiri yang pengarangnya tidak diapa-apakan. Bandingkan kasus Pramudya ini dengan kasus Maisir Thaib di masa penjajahan.

Cermin Perbandingan

Nampaknya di Indonesia terjadi perobahan sikap masyarakat terhadap berbagai kebebasan dan kemerdekaan berpendapat dan berkarya. Perobahan sikap masyarakat itu pun menumbuhkan perobahan sikap pejabat, yang selanjutnya dijadikan sebagai kebijaksanaan politik pemerintah. Akan tetapi dapat juga difahami kebalikkannya. Yaitu oleh kebijaksanaan pemerintah dalam memahami kebebasan dan kemerdekaan berkarya, telah merobah sikap masyarakat dalam menghadapi perbedaan pendapat tersebut. Namun apabila pandangan atau sikap cendikiawan paralel dengan sikap masyarakat yang beringas itu, dapat diartikan bahwa sikap budaya yang sesungguhnya anti kebebasan dan kemerdekaan berkarya.

Perobahan sikap yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau, sebagai contoh. Oleh karena, menurut antropologi, Minangkabau dinilai sebagai masyarakat berbudaya demokratis, yang menganut sistem dikotomi yang toleran terhadap perbedaan dan pertentangan paham, bahkan membutuhkannya untuk untuk menyalakan api kehidupan.

Sekitar 80 sampai 50 tahun yang lalu, yaitu pada masa penjajahan Belanda, di sana sudah sangat biasa orang berpolemik, baik dalam mass media bahkan dengan menerbitkan buku. Polemik antara ulama aliran lama lawan ulama aliran baru, atau antara ulama lawan kaum adat. Seperti halnya orang awam biasa berdebat di lepau-lepau kopi. Akan dirasa sangat ganjil apabila suratkabar tidak memuat polemik.

Tidak terjadi perkelahian atau pengamukan. Padahal belum banyak mereka yang bersekolah, apalagi menjadi sarjana.

Ketika Ahmadiyah demikian aktif berkampanye, Syekh Abdul Karim Amrullah yang ayahanda Hamka, menantang ulama Ahmadiyah itu berdebat di bioskop kota kecil Padang Panjang. Dalam berdebat mereka saling adu agumentasi tentang kebenaran kepercayaan masing-masing. Tidak terjadi pengamukan.

50 tahun kemudian sekitar tahun 70-an, Nazwar Syamsu, keluaran Madrasah Thawalib, menerbitkan buku “Isa di Venus “. MUI di Medan ribut. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menyita buku tersebut tanpa dilanjutkan untuk diproses di pengadilan. Di Minangkabau sendiri, tempat pengarang dan penerbit berdomisili, para ulamanya tenang-tenang saja. Ketua MUI Sumatra Barat, H. Harun Ma’ani hanya menyatakan: jika buku itu menyesatkan, terbitkan buku yang membantahnya. Islam tidak melarang umat berijtihad, malah menganjurkan. Pandangan dan sikap ulama itu karena mereka belajar pada madrasah di masa lalu yang mengajarkan kurikulum “ilmu mantik”, ilmu logika.

Akan tetapi 20 tahun kemudian ketika Ulama Darul Arqam menyebarkan ajarannya di Minangkabau, para ulama generasi sekarang yang tidak memperoleh pelajaran “ilmu mantik” seperti terkena sengatan histeria. Mereka tidak mengajak ulama Darul Arqam itu berdebat atau menulis bantahan yang argumentatif, baik pada mass media maupun menulis buku. Melainkan minta MUI mengeluarkan fatwa melarang ajaran tersebut disebarkan di Sumatera Barat. MUI pun mengeluarkan fatwa. Lalu pemerintah mengukuhkannya. Bahkan orang yang menyewakan rumahnya kepada pengikut ajaran itu dihukum oleh pengadilan dengan tuduhan tidak melaporkan ada tamu beberapa bulan telah menompang inap. Maka lembaga ijtihad yang berhasil memekarkan Islam telah mati. Mati bersama ilmu mantik tidak lagi diajarkan dalam pendidikan agama di madrasah dan di sekolah. Pola budaya demokrasi dalam adat Minangkabau seolah hanya tinggal pada cerita kaba atau mitologi.

Dalam sejarah kesusasteraan Indonesia dapat juga terlihat bahwa perilaku dan sikap budaya masyarakat Minangkabau itu pun telah berobah. Pada awal sejarahnya, hampir seluruh karya sastra yang ditulis sastrawan Minangkabau pada memaki adat atau setidak-tidaknya menganjurkan agar adat itu ditinggalkan. Tidak ada reaksi apapun dari masyarakat. Akan tetapi ketika Maisir Thaib menulis novel “Ustazd A. Ma’syuk” dan Hamka menulis novel “Angkatan Baru” yang sama mengisahkan perilaku rendah guru madrasah, para ulama kaum tua mengadakan rapat umum untuk menyatakan protes. Sebaliknya ulama kaum muda pada mendukung kedua novel itu melalui mass media. Saling adu argumentasi. Sedangkan pemerintah kolonial Belanda bersikap netral selama tidak terjadi insiden. Memang tidak terjadi. Namun atas desakan seorang anggota Dewan Minangkabau yang adalah dari golongan tarekat, pemerintah mengeluarkan larangan mengedarkan buku dari Maisir Thaib. Menurut tradisi Minangkabau, perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan, diselesaikan dengan rundingan. Namun apabila masih tidak dapat titik temu, masalahnya diletak dulu sampai keadaan dan waktu yang datang menguji pendapat mana yang paling benar. Akan tetapi ketika novel Maisir Thaib berjudul “Mr. Leider Semangat” terbit, pengarangnya terkena delik. Bukunya disita dan pengarangnya dipenjarakan selama 1,5 tahun di Sukamiskin. Namun penerbit dan percetakan, yang juga ikut berperan dalam proses kehadiran buku tersebut, boleh terus menjalankan usahanya. Karya sastra menjadi tanggung-jawab pengarangnya semata. Jika yang satu kena delik, bukunya yang lain tidak ikut-ikut menanggung dosa.

Perilaku orang Minangkabau, seperti juga pada umumnya bangsa Indonesia, telah berobah banyak dalam berhadapan dengan perbedaan pendapat atau pandangan hidup. Semenjak pemerintahan militer Jepang yang fasistis, perilaku suka mengamuk dan mengeroyok yang semula terbatas karena alasan etika dan norma adat tersinggung, kini berkembang menjadi liar, melampaui pagar-pagar etika kecendikiawan yang seyogianya bersikap rasional itu.

Apa yang dialami oleh Parada Harahap di Bukittinggi tahun 1947 atau Sjafei Sulin di Padang tahun 1950, menunjukkan pengaruh superioritas militer fasis Jepang kepada perilaku pemuda bersenjata semenjak perang Kemerdekaan Indonesia. Perilaku menguat sejak orde lama, sehingga seluruh kekuatan dalam masyarakat pada menganut sikap yang sama sampai ke pemerintahan Orde Baru. Setiap perbedaan pendapat, apalagi kritik, dilibas dengan kekerasan. Perilaku beringas bukan lagi milik orang tak berakal saja, tapi juga sudah menjadi milik bangsa.

Oleh gelagat yang kronis itu, maka orang berpendapat, bahwa bangsa Indonesia tidak suka pada kritik. Demikian pendapat umumnya para sosiolog. Sehingga demi memelihara stabilitas pemerintah melarang masyarakat berpolemik, menulis artikel yang bertema slogan SARA. Kebijaksanaan itu sering ditafsirkan sesuka hati oleh pejabat, antara lain pelarangan atas perbedaan pendapat secara terbuka sampai kepada pelarangan untuk berkumpul. Sehingga banyak orang lebih suka tutup mulut, meski suatu kesalahan fatal sedang terjadi di hadapan mata mereka. Eufemisme menjadi alat komunikasi terpakai, meski tidak difahami atau tidak diperdulikan sama sekali.

Pada hal jika dilihat pada apa yang berlaku di zaman penjajahan Belanda, polemik antara Soekarno dengan Natsir, Soekarno dengan Hatta, antara A.Hassan dengan para ulama tradisional, antara golongan Islam dengan nasionalis, tidak menjadikannya sebagai alasan melakukan keributan fisik. Malah masyarakat umum mendapat manfaatnya untuk mengasah akal-budi. Meski dalam polemik itu adakalanya menggunakan bahasa yang kasar.

Dalam kondisi masyarakat yang tidak lagi menghormati akal-budi, apa yang dapat dilakukan oleh sastrawan atas karya-karya karena pengarang yang digolongkan ” gestapu” atau karena pengarangnya “orang yang tidak disukai”. Dampak dari berbagai macam larangan itu bukan hanya bagi perkembangan kesusastraan, juga bagi pengamalan demokrasi dan kelayakan hidup.

Namun proses untuk mencapai iklim yang favorable bagi kebebasan berkarya tidak mudah memang. la masih memerlukan perjuangan. Tidak hanya oleh sastrawan semata, tetapi juga oleh semua fihak yang berkepentingan secara moral dan idiologis, secara strategis dan filosofis. Perjuangan yang sama dengan perjuangan konglomerat dalam kebebasan mengembangkan usaha dengan fasilitas negara dengan motto “Demi pembangunan ekonomi nasional “.

Penyempitan atau pemasungan kreativitas pengarang tersebab dari beberapa hal, sudah waktunya dilawan melalui kampanye budaya yang terus menerus. Penyempitan dan pemasungan kreativitas itu antara lain: Pertama oleh tradisi “amouk partij” yang pada hakekatnya sama dampaknya dengan pemerintah meletakkan kepentingan politik untuk stabilitas hukum. Yang satu bersifat liar, sedangkan yang lain terorganisasi. Kedua, kurikulum dan sistem pendidikan bahasa dan sastra yang mandul.

Sebagai penutup disarankan agar Kongres ini mengusulkan kepada pemerintah, Pertama: mengganti kurikulum bahasa dan sastra dengan sistem aktif-kreatif agar menjadi apresiasif dan fungsional bagi mengembangkan budidaya manusia. Kedua: Mengganti kebijaksanaan pelarangan atau mengebirian karya sastra sesuai dengan tuntutan hukum, bukan lagi tuntutan kepentingan politik. Ketiga: agar dilakukan himbauan kepada semua partai politik dan organisasi massa serta golongan lain agar menganjurkan anggotanya supaya toleran terhadap perbedaan pendapat dan kebebasan bertijtihad guna menemukan nilai-nilai yang benar. Keempat: agar para pejabat pemerintah, sipil atau militer, jangan lagi melihat kesastraan dan sastrawan sebagai musuh dalam selimut.

000