TRAM TAM TAM
BUNYI GENDERANG
Oleh: A.A. Navis
Tram tam tam tam tam tam bunyi genderang
tret tet tet tret tet tet bunyi trompet
menyemangati pawai perayaan nasional
yang lewat depan patung dua orang proklamator.
Seorang laki-laki bertubuh seperti busur
akan melepas anak panah, berdiri
di sela patung perunggu pegangsaan timur
yang berganti nama jadi jalan proklamasi.
Pasukan demi pasukan lewat sambil bernyanyi
guna mengukuhkan semangat juang pahlawan
semasa orang tua itu dalam putaran
roda perjuangan revolusi empat lima.
Paling depan sepasukan prajurit perkasa
dengan langkah tegap bangga beryanyi
“Maju tak Gentar …. “ seperti bertekad
demi tanah air dan bangsa.
Pasukan kedua para perwira muda
berlagu secerah kesatria
“Padamu Negeri Aku Berbakti.”
sebagai janji yang tak termungkiri.
Ketiga depan yang berwajah girang
dengan suka ria menyanyikan riang
“Sorak Sorak Bergembira”sebagai pernyataan
perjuangan yang gemilang telah tergapai.
Pasukan keempat mereka yang mulai tambun
menyanyikan lagu “Nyiur Melambai….”
seolah harapan pasti tercapai
menjadi panglima kesuma negara.
Kelompok kelima berambut cepak demi
menyamarkan uban membawa lagu lama teridam
“Di Sini Senang, Di Sana Senang…”
sebagai pernyataan puncak cita telah tercapai.
Barisan keenam berdiri tegap di atas jip terbuka
bernyanyi dengan suara parau tapi berwibawa
“Kemesraan ini janganlah cepat berlalu….”
menyatakan seperti tak terbaca oleh yang lain.
Sambil memegang erat kedua telapak tangan,
pada setiap pasukan itu lewat
laki-laki tua berkata kepada kedua patung:
“Bukan main anak-anak kita itu, bung
masih mau bernyanyi di sepanjang jalan
seperti revolusi tak pernah berhenti”.
Patung yang Soekarno langsung menimpal
“Benar kataku, Bung, revolusi belum selesai.”
Patung yang Hatta mendehem seperti kesengakan
“Mereka tak lagi menyanyikan lagu yang sama, toh.”
Ke dalam telinga laki-laki tua terus mengiang
perdebatan kedua proklamator
seperti di masa tiga perempat abad lalu
yang meski dalam bentuk patung masih beseteru.
Laki-laki tua turun dari undakan
tempat patung kekal berdiri
sampai di bawah dia memandang menengadah
ke patung perunggu yang besarnya berganda-ganda.
Lalu katanya: “Bung, sejak proklamasi sampai kini
kalian terus berdiri seperti ini. Berjauhan.
Kapan kalian mau berdiri rapat bersisian
berpegangan tangan, apalagi berangkulan?”
Seorang bocah jalanan yang kumal berlepotan wajah
menyela kata: “Kakek, disainnya sudah begitu, kok…
Tiang-tiang latar belakangnya pun berpencaran.”
Laki-laki tua menatap lagi ke arah kedua patung
Kemudian katanya: “Kalian dengar itu, bung.
Anak kecil saja tahu.”
Padang 25. 07. 98
Leave A Comment