SISTEM MATRILINI
Oleh: A.A Navis
(Makalah pada Simposium dalam Rangka Lustrum ke-9 Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, 4-5 Maret 1991 di Yogyakarta. Dimuat Dalam Buku “Yang Berjalan Sepanjang Jalan”, Grasindo, 1999)
KEBUDAYAAN dunia dibangun menurut sukanya laki-laki, sesuai menurut konsep “homo homini lupus” yang melahirkan raja-raja dengan panglima perang yang berurat kawat dan bertulang baja. Tuhan dan Dewa-Dewa pun dilukiskan sebagai laki-laki perkasa. Maka posisi perempuan tidak lebih dari “pendamping dari junjungannya”. Bukan sebagai mitra yang sederajat. Dengan posisi demikian ada kalanya perempuan dikorbankan sebagai tumbal untuk dewa, atau dijadikan upeti untuk sang penakluk, bahkan dituding sebagai biang keladi yang sama tengiknya dengan “main, maling, madat, madon dan minum “. Atau Molimo kata orang Jawa.
Kebudayaan Barat yang dikembangkan di Indonesia semenjak satu abad yang lalu, telah merobah wajah kebudayaan kita. Antara lain oleh gerakan emansipasi yang dinilai berhasil itu telah menjamin hak yang sama antara perempuan dengan laki-laki secara hukum. Namun secara kebudayaan apakah emansipasi itu telah betul-betul berhasil?
Matrilini adalah sistem dari pola budaya egaliti. Menurut alam pikiran Minangkabau, egaliti itu disebut samo. Yang artinya persamaan, kesamaan, kebersamaan antara sesama kita manusia. Dengan demikian matrilini merupakan sistem untuk memantapkan kedudukan perempuan agar sederajat dengan laki-laki secara hukum, sosial dan kebudayaan. Untuk itu perempuan diberi kekuatan pengimbang. Yakni dengan pemilikan atas harta dan anak. Sedangkan laki-laki memperoleh hak kepemimpinan. Tak ubahnya seperti perseroan, dimana perempuan menjadi pemegang sero, sedangkan laki-laki menjadi director. Dengan pola demikian perempuan tidak menggantung hidupnya pada laki-laki yang menjadi suaminya. Namun mereka tidak dapat melampaui kodratnya, misalnya ikut menjadi pemimpin formal dalam kaum atau nagari dengan atribut sebagai datuk.
Peluang laki-laki untuk memiliki harta ialah dengan usaha sendiri, misalnya berdagang, bertukang atau jasa. Jika peluang itu sempit di kampung halaman sendiri, mereka dapat berusaha di rantau. Harta itu menjadi milik pribadi sampai matinya. Lalu menjadi warisan bagi kaumnya, sesuai menurut sistem matrilini. Sistem matrilini dikukuhkan oleh nilai-nilai sosial budaya yang lazim disebut adat. Sehingga ego laki-laki yang biologis kuat tidak berpeluang merubah status atau sistem.
Dalam Proses Perobahan Sosial Budaya.
Setelah Minangkabau dikuasai oleh Belanda pada pertengahan abad 19, terutama setelah eksploitasi besar-besaran di bidang ekonomi pada akhir abad itu, dengan membuka tambang batu bara dan jalur jalan kereta api dan pelabuhan samudra banyak lapangan kerja terbuka di kota-kota di sepanjang jalur jalan kereta api. Itu karena diperlukan tenaga kerja terdidik. Sekolah berbahasa Belanda dibuka di seluruh kota kabupaten. Lulusan sekolah berbahasa Belanda bergaji lebih tinggi. Kebijaksanaan “etisch politiek” dengan program “westernisasi” menimbulkan banyak perubahan dalam pandangan hidup dan prilaku serta sikap budaya masyarakat. Antara lain: (a) Pola hidup mulai terlepas dari sistem ekonomi agraris yang komunalistik; (b) Orientasi budaya mengarah ke Barat yang patrilini dan patriarkis.
Dampaknya terhadap perempuan ialah sebagai berikut: (a) Posisi mereka yang tinggal di kota menjadi melorot, karena hidupnya tergantung pada laki-laki yang menjadi kepala keluarga dan sumber nafkah hidup; (b) Perempuan yang tidak bersekolah tidak pantas menjadi istri dari laki-laki yang berpendidikan dan berpangkat tinggi. Kampanye emansipasi dalam memperoleh pendidikan dilancarkan sangat intensif. Namun sebaliknya perempuan yang berpendidikan yang sama atau lebih tinggi dipandang tidak ideal sebagai istri. Nampaknya laki-laki mendua dalam cita-cita dan perbuatan. Mereka ingin perempuan mencapai kemajuan, namun mereka tidak suka beristrikan perempuan yang sama majunya dengan dirinya.
Cendikiawan Minangkabau yang berpendidikan Barat dan juga Islam memiliki pandangan yang mendua terhadap perempuan bangsanya. Disatu sisi, mereka menghendaki emansipasi bukan hanya bagi perempuan seperti budaya Belanda. Namun dalam sikap sosial, posisi perempuan dipandang lebih rendah. Sekolah yang ideal bagi perempuan ialah sekolah guru atau sekolah kepandaian putri yang mengajarkan masak-memasak dan jahit- menjahit. Bagi yang tidak melanjutkan pendidikan, dipujikan ikut kursus masak-memasak dan jahit-menjahit untuk persiapan menjadi istri amtenar.
Arus Perobahan Semenjak Zaman Jepang.
Semenjak pendudukan Jepang terjadi perobahan nilai dan prilaku secara drastis. Feodalisme priayi yang ditanamkan sekolah pada berantakan; kemelaratan hidup memaksa anak gadis atau isteri keluar rumah untuk ikut mencari nafkah. Penderitaan yang sangat mendorong perempuan menjual dirinya, baik dalam rumah bordil Jepang maupun di luarnya. Namun kesederajatan antara laki-laki dengan perempuan mengentara lagi. Bahkan perempuan lebih aktif bekerja untuk menutupi kondisi keuangan rumah tangga. Ketergantungan perempuan kepada laki-laki di kota mulai menipis. Selanjutnya setelah Indonesia merdeka, anak gadis diindoktrinasi oleh ibunya, agar berlomba dengan jejaka untuk mendapat pendidikan yang menjanjikan pekerjaan disegala bidang. Nilai budaya bergeser ke individualisme. Tanpa disadari sesuai dengan sistem hukum yang diterapkan negara, sistem patrilinipun menguat lagi. Masyarakat laki-laki dan perempuan yang semula memakai nama ayahnya dibelakang namanya sebagaimana lazim pada kebudayaan Arab, mulai berobah ke arah peradaban Barat. Perempuan bersuami “bergengsi” dalam sistem birokrasi cendrung memakai nama suami di belakang namanya. Atau menyebut dirinya sebagai Nyonya Badu atau Ibu Polan bila nama suaminya Badu atau Polan. Tidak jarang terjadi memakai nama suami itu salah kaprah. Misalnya apabila suaminya populer dengan gelar Datuk seperti Datuk Putih, maka si istri yang bernama Upik menambahkan gelaran suaminya, Yakni menjadi “Ibu Upik Datuk Putih” atau “Ny. Datuk Putih” saja. Seolah-olah si Upik itulah yang bergelar Datuk.
Akar budaya matrilini yang masih kokoh terlihat pada sistem pewarisan. Secara tradisional harta warisan turun kepada kaum, yang dalam hal ini perempuan. Setelah terjadi perobahan di berbagai sistem pewarisan tradisional masih kukuh dipegang. Misalnya rumah yang dibuat suami atau ayah dan isinya diturunkan sepenuhnya kepada anak perempuan. Sedangkan harta di luar rumah dibagi sama rata kepada semua anak laki-laki dan perempuan. Harta suami diwariskan kepada isteri, sedangkan harta isteri tidak secara otomatis diwariskan kepada suami melainkan kepada anak perempuan. Laki-laki merasa rikuh atau tidak beradab bila berebut harta dengan saudara-saudaranya yang perempuan. Dalam hal pewarisan ini, sistem faraid menurut agama Islam praktis tidak berlaku oleh pandangan bahwa laki-laki tidak beradab bila ingin mengambil hak perempuan.
Seorang peneliti dari Canada, Joanne Prindiville, menemukan persamaan dan perbedaan harkat laki-laki dan perempuan di pedesaan yang berdekatan dengan kota Bukittinggi 15 tahun yang lalu. Yaitu : Laki-laki Perempuan aktif kuat representative mampu bicara memasyarakat bijaksana sifat bertentangan sifat menyesuai sikap mendua sikap menunggal mahir bicara mahir masak gemar berunding gemar bekerja mangawang mantap.
Dalam Masa Orde Baru.
Kebijaksanaan politik orde baru yang dikembangkan secara sentral oleh pemerintah, demikian kuat mempengaruhi pola budaya masyarakat matrilini. Terutama karena kebijaksanaan tersebut diberlakukan kepada aparatur pemerintah yang menjadi pelaksana pembangunan, baik karena jabatannya maupun karena tingkat pendidikannya. Visi dari kebijaksanaan tersebut cendrung menempatkan posisi perempuan sebagai warga masyarakat yang lebih rendah status dan posisinya. Pertama, pemerintah memerlukan Menteri Urusan Peranan Wanita yang berfungsi untuk meningkatkan harkat dan peranan perempuan. Kedua, isteri pegawai diwajibkan menjadi anggota organisasi yang pimpinannya secara otomatis adalah isteri dari pejabat yang tertinggi jabatannya dengan fungsi sebagai pendamping bagi kepentingan karir suaminya. Sebaliknya para suami bebas dari kewajiban menjadi pendamping isteri kalau si isteri menjadi pimpinan instansi pemerintah. Ketiga, pada setiap organisasi profesi laki-laki selalu ada organisasi dari isteri mereka. Sebaliknya organisasi profesi perempuan, tidak didampingi oleh organisasi suaminya. Keempat, perempuan yang betapapun tinggi eselon atau jabatan kepegawaiannya, otomatis berada dibawah status isteri dari pimpinan instansi dalam organisasi isteri pegawai tersebut. Kelima, seorang janda yang menikah kembali dicabut hak pensiun jandanya sebagai analogi bahwa perempuan tersebut telah mempunyai junjungan baru. Sama artinya dengan janda itu dilarang menikah lagi. Keenam, dalam kartu atau formulir resmi status perempuan ialah ikut suami dan tidak pernah diakui sebagai kepala keluarga meski dia menjadi pencari nafkah utama. Ketujuh, dalam berbagai undangan resmi seorang pejabat laki-laki dicantumkan kata “& isteri”. Tidak pernah ada dicantumkan kata “& suami” jika pejabat yang diundang itu adalah perempuan.
Dalam masyarakat matrilini di Minangkabau, kebijaksanaan pemerintah tersebut menimbulkan banyak kerikuhan sosial pada kalangan “elite”. Pada jangka waktu yang pendek, isteri para pejabat yang dipensiunkan atau dialihkan pada tugas yang bukan pimpinan ikut terkena “post power syndrom”, merasa dirinya tidak berharga. Untuk jangka panjang jika kondisi atau situasi ini berjalan satu generasi lagi, pola ini akan membudaya sampai ke desa-desa. Masyarakat akan menjadi yakin, bahwa perempuan yang selama ini merasa harkat dan derajatnya sama dengan laki-laki akan berpendapat, bahwa perempuan betul-betul berstatus dan berposisi lebih rendah. Mereka yang selama ini mandiri, ulet dan berprakarsa akan berubah menjadi perempuan yang tidak berbeda dengan masyarakat dari budaya patrilini, meski mereka itu perempuan karir atau yang memiliki kecerdasan lebih. Sebaliknya dewasa ini ada indikasi bahwa perempuan lebih kuat dan dinamik daripada laki-laki. Pada masa sebelum Perang Dunia II, di samping kuatnya semangat emansipasi peperempuan ditiupkan, namun pada masyarakat umum masih bertahan sikap bahwa anak perempuan tidak perlu bersekolah atau bersekolah lebih tinggi, karena mereka akan tetap jadi orang dapur untuk memasak makanan suaminya.
Berdasar observasi yang saya lakukan, ternyata perempuan lebih ulet dan gesit daripada laki- laki. Misalnya dalam memasuki perguruan tinggi favorit seperti Fakultas Kedokteran di Padang, 65% mahasiswanya adalah perempuan. Perempuan pun lebih cepat menamatkan kuliahnya dibandingkan dengan laki-laki pada seluruh Perguruan Tinggi di Padang.
Sesungguhnya ada faktor sosial budaya yang menyebabkan. Yakni: (a) Oleh pola budaya egaliti, yang membuahkan pandangan, kalau laki-laki bisa perempuan pun bisa; (b) Ketidakpercayaan atas kesetiaan laki-laki pada lembaga perkawinan, sehingga perempuan harus siap untuk memelihara anak-anak bila suaminya pergi; (c) Tradisi perempuan sebagai ibu rumah tangga telah melatih perempuan sejak kecilnya untuk tidak senang diam atau bekerja membantu ibunya. Sedangkan anak-laki dibiarkan berada di luar rumah bebas berbuat apa saja, hingga mereka menjadi terbiasa santai dan kurang bertanggung-jawab terhadap lingkungan.
Kesimpulan.
Dalam masyarakat matrilini, kebijaksanaan yang dikembangkan negara adalah menurut visi kebudayaan laki-laki, seperti tidak memberi peluang kepada perempuan untuk berlaku sebagai manusia yang sederajat seperti yang dimilikinya pada tradisi budaya masa lalunya. Mungkin jadi kekuatan perempuan yang ditopang oleh kekayaan milik komunal, akan berganti dengan kekuatan yang ditopang oleh kekayaan milik individual, baik yang bersumber dari usaha sendiri atau warisan suaminya, karena rata-rata laki-laki berumur lebih pendek dari rata-rata perempuan. Akan tetapi kekuatan demikian akan bersifat semu sepanjang pola “homo homini lupus” yang menjadi ciri kebudayaan laki-laki itu tetap lebih dominan.
Boleh jadi sistem matrilini akan berubah atau tidak lagi efektif untuk memelihara kesamaan harkat dan derajat perempuan dengan laki-laki. Namun apabila sistem pewarisan kekayaan lebih diutamakan kepada anak perempuan, oleh alasan untuk menopang kodrat biologisnya yang lemah dan oleh fungsinya yang melahirkan dan mengemban kewajiban, maka posisi dan status perempuan akan dapat sama terhormat dengan laki-laki. Hal ini tentu saja merupakan salah satu atau bahagian dari alternatif yang banyak.
Perkembangan dan perobahan sosial budaya dalam masyarakat Minangkabau akan tarik-menarik dengan yang berlaku di Indonesia dan dunia umumnya. Reaksi perempuan terdidik dalam masyarakat patrilini cendrung terpengaruh kepada gerakan feminisme, yang bisa menjadi ekstrim sifatnya. Dalam masyarakat matrilini Minangkabau gejala feminisme itu tidak akan berbentuk ekstrimitas sosial. Oleh karena keunggulan peran perempuan di rumahtangga atau di luarnya, bisa diterima atau dipandang biasa saja. Bahkan masyarakat pun merasa bangga apabila perempuan mendapat posisi puncak dalam berbagai instansi.
00000
Leave A Comment