EKSISTENSI PEREMPUAN MINANGKABAU

DULU DAN SEKARANG

Oleh: A.A. Navis

(Makalah Seminar Sehari dalam Rangka HUT ke 16 Bundo Kandung tanggal 15 November 1990 di Padang)

 

Dalam kebudayaan dunia yang menganut sistem Patrilineal, posisi dan status perempuan lebih rendah dari laki-laki, maka laki-laki yang menguasai dunia, yang menjadi raja, yang menjadi kepala suku, kepala keluarga atau pemimpin rumah tangga. Posisi perempuan sebagai isteri larut menjadi bagian dari suaminya. Jika laki-laki itu bernama John Kennedy, Ruud Gullit, Said Mubarak atau Kromoloyo, maka isterinya bernama Mrs. Kennedy, Mrs. Gullit, Nyonya Mubarak atau Ibu Kromoloyo.

Pola budaya demikian terbentuk disebabkan kodrat laki-laki yang bertubuh lebih kuat, berotot kawat dan bertulang baja. Maka dalam cerita-cerita rakyat, laki-laki digambarkan sebagai manusia perkasa. Sedangkan perempuan dilukiskan sebagai mahluk yang yang lemah gemulai, berkulit halus bagai beluderu; seindah mawar; seharum melati; langkahnya si ganjo lalai; dari maju surut yang lebih; matanya bersinar bak bintang kejora; rambutnya ikal mayang terurai; pipinya pauh dilayang; dagunya lebah bergantung. Seolah-olah fungsi perempuan hanyalah sebagai objek birahi laki-laki.

Barulah pada awal abad ke 20 timbul gerakan emansipasi wanita, yang diperjuangkan oleh Lady Astor, yang kemudian menjadi anggota Parlemen Inggeris tahun 1919-1945. Yaitu gerakan yang menghendaki kesamaan hak dan derajat antara laki-laki dan perempuan. Meskipun gerakan itu berhasil secara hukum, namun secara sosial budaya status perempuan tidak berobah.

Pada tahun 60-an muncul gerakan baru di kalangan perempuan di Barat. Yaitu gerakan Women’s Lib. Gerakan ini tidak menuntut persamaan hak, melainkan menyatakan persamaan sikap. Sehingga apa saja yang boleh dilakukan laki-laki, mereka pun melakukannya. Misalnya sebagai contoh yang paling ekstrim jika laki-laki boleh menyaksikan tarian perempuan telanjang, atau punya isteri simpanan, maka mereka pergi pula menyaksikan tarian laki-laki telanjang dan juga punya laki-laki simpanan. Gerakan Women’s Lib itu dimungkinkan karena perempuan telah memiliki sumber hidup sendiri, harta kekayaan sendiri, baik karena menerima warisan, karena karir atau bisnisnya sendiri.

Karena perempuan telah memiliki sumber hidup sendiri atau kekayaan sendiri, maka hidupnya tidak lagi tergantung pada hasil pencaharian atau belas kasihan.

***

Kebudayaan Minangkabau yang menganut sistem matrilineal meIetakkan kesamaan derajat antara sesama manusia. Tidak ada orang yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Tak terkecuali derajat perempuan dengan laki-laki. Mochtar Naim menamakan kesederajatan manusia itu sebagai pola budaya egaliter.

Kesamaan derajat perempuan dengan laki-laki itu dikukuhkan oleh sistem budaya yang membagi dua peradaban dunia dengan sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan. Yaitu: laki-laki memperoleh “kekuasaan”, sedangkan perempuan memperoleh “pemilikan”. Pengertiannya “kekuasaan” yang diperoleh laki-laki adalah dalam bentuk organisasi pemerintahan dan kepemimpinan dalam masyarakat dengan segala predikatnya. Misalnya menjadi pemimpin kaum gelar datuk; pemimpin rumah tangga dengan jabatan tungganai; pemimpin keluarga dengan nama mamak. Sedangkan perempuan yang memperoleh “pemilikan” itu pengertiannya ialah, bahwa seluruh harta-benda seperti sawah-ladang dan rumah serta anak-anak menjadi milik perempuan.

Meski laki-laki adalah pemimpin, tapi tidak berkuasa mutlak seperti raja. Oleh karena unsur penting yang diperlukan untuk menopang kekuasaan tersebut, seperti harta-benda yang menjadi sumber hidup dan anak-anak yang menjadi sumber kekuasaan tidak berada pada pemilikan laki-laki. Pemilikan perempuan atas harta-benda, seperti sawah-ladang dan rumah, pun tidak secara mutlak. Sebagai penganut sistem komuniti atau perkauman, harta-benda itu praktis menjadi hak dan sumber hidup rumah tangga kaum, terutama bagi perempuan yang menjadi “limpapeh rumah gadang”. Sedangkan yang menjadi sumber hidup adalah usahanya sendiri, usaha dari “tulang delapan kerat” yang mereka punyai. Misalnya seperti bertani, bertukang atau berdagang. Maka adalah memalukan bagi laki-laki Minangkabau ikut memakan hasil sawah kaum atau minta nasi pada saudara perempuan.

Pemilikan perempuan terhadap anak-anak, lazim juga disebut dengan sistem matrilineal, yaitu bahwa setiap orang adalah menurut turunan darah ibu, tidak menurut turunan darah ayah. Maka seorang ayah tidak campur dalam urusan anak-anaknya. Sebagai laki-laki, si ayah itu, berkewajiban mengurus kepentingan kemenakannya sendiri, anak dari saudaranya yang perempuan.

Dengan sistem tersebut, hubungan ayah dengan anak menjadi longgar. Sedangkan hubungan mamak dengan kemenakan tidak terikat secara emosional, melainkan oleh sistem kekerabatan semata-mata. Dengan demikian peranan perempuan sebagai ibu menjadi bersifat sentral. Laki-laki, sejak kecil lebih dimanjakan oleh perempuan, baik oleh ibu, mande, saudara atau isteri dan mertua perempuan, oleh karena laki-laki befungsi sebagai penggarap sumber hidup atau pencari harta kekayaan. Dengan memberi kemanjaan itu, maka ikatan emosional laki-laki terhadap kaum, ibu dan saudaranya yang perempuan menjadi sangat kuat. Harta benda yang diusahakan laki-laki akan tetap menjadi tumpuan harapan, dan tidak akan dibawa berpindah ke rumah orang lain, meski ke rumah isterinya sendiri. Sebaliknya isteri atau mertua perempuan memanjakan laki-lakinya agar memperoleh bagian dari hasil usahanya.

Dengan membagi dua peradaban dunia itu, maka posisi laki-laki dengan perempuan menjadi seimbang di dalam suatu masyarakat yang menganut sistem “komuniti”, “egality” dan fraternity” seperti yang dianut oleh sistem budaya Minangkabau.

***

Sistem sosial budaya suatu bangsa banyak ditentukan oleh sistem ekonominya. Sistem ekonomi tradisional Minangkabau sinkron dengan sistem hukum dan tata negara serta dengan sistem sosialnya, yang berazas komuniti, egaliti dan fraterniti. Akan tetapi setelah Minangkabau dikuasai Belanda, terjadi pergeseran sosial. Sehingga lambat laun pola budaya Minangkabau pun berubah, mengarah kepada nilai sosial yang paternal.

Belanda membangun ekonomi dengan membuka banyak perusahaan seperti kereta api, tambang ombilin, perkebunan, pelabuhan, dan lainnya, di samping kantor administrasi pemerintahan. Perkembangan ekonomi itu menumbuhkan juga sektor lain, seperti perdagangan dan pertukangan atau industri kerajinan. Semuanya itu memerlukan banyak tenaga, baik sebagai pegawai, buruh atau pengusaha dalam berbagai ukuran. Perkembangan itu membangun pusat kehidupan baru yang bernama kota.

Dengan terbukanya lapangan kerja kota-kota, yang umumnya oleh laki-laki, maka secara berangsur sistem sosial Minangkabau bergeser. Peran laki-laki menjadi lebih kuat. Mereka menjadi kepala keluarga dalam sistem rumah tangga di kota. Laki-laki yang menjadi pegawai memilih isteri yang posisinya lebih rendah, misalnya dalam hal pendidikan dan kekayaan. Mengawini perempuan yang bersekolah tinggi atau turunan orang kaya tidak ideal karena akan mengurangkan keperkasaan laki-laki di rumah tangga. Sehingga pada masa penjajahan, masyarakat umum mulai beranggapan, bahwa perempuan tidak perlu sekolah karena toh akan bekerja di dapur.

Maka orang-orang yang memperoleh pendidikan di sekolah menengah, terutama perempuan, memperjuangkan hak-hak kesederajatan mereka melalui “gerakan emansipasi”.  Anehnya sekolah yang jadi favorit bagi anak perempuan pada masa itu ialah sejenis sekolah Kepandaian Puteri dengan kurikulum bagaimana agar anak-anak gadis disiapkan menjadi nyonya rumah. Lain halnya dengan golongan Islam. Mereka mendirikan sekolah khusus puteri, seperti sekolah Diniyah “Kak Amah”, tidak mendidik anak perempuan untuk menjadi calon nyonya rumah yang trampil masak-memasak atau jahit menjahit, melainkan untuk menjadi muslimat yang sederaiat dengan laki-laki, sesuai dengan ajaran alam bahwa manusia itu sama di sisi Allah. Kurikulum masak-memasak dan jahit menjahit menjadi tidak dipentingkan. Oleh karena di rumah mereka sudah belajar dari ibunya masing-masing.

Nampaknya pengaruh kebudayaan Barat menjadi dominan melalui pendidikan serta oleh sistem hukum dan kenegaraan dan ekonomi. Sehingga perempuan di masa itu lebih merasa sebagai perempuan dalam masyarakat patrilini seperti yang berlaku dalam pola budaya Belanda, meski pribadinya menjadi bayang-bayang suaminya. Biarpun perempuan bersekolah bersama akan tetapi dalam status sosial, posisi perempuan menjadi tidak sama dengan laki-laki. Dalam beroganisasi, perempuan terpisah secara eksklusif, atau khusus perempuan. Misalnya kalau ada organisasi para pegawai negeri, tidak termasuk di dalamnya. Maka perempuan yang jadi pegawai negeri mendirikan organisasi misalnya SKIS (Syarikat Kaum Ibu Sumatera); Begitu pula halnya dengan Muhammadiyah, didampingi Aisyah. Hal ini bukan karena Islamnya, melainkan karena organisasi didirikan oleh masyarakat Jawa yang menganut pola budaya patrilinial.

***

Masa pendudukan Jepang yang pendek, menjungkir-balikkan banyak budaya. Kehidupan yang sulit menyebabkan perempuan ikut tampil secara aktif menopang kehidupan rumahtangga mereka dengan macam-macam usaha. Anak-anak perempuan bagai tumpah bekerja pada perusahaan atau pabrik yang didirikan Jepang. Semenjak itu, terutama setelah Indonesia Merdeka, sikap ketergantungan, perempuan pada laki-iaki, mulai melorot. Di samping karena ikatan perkawinan yang merapuh. Dimana laki-laki yang telah sukses sudah terbiasa meninggalkan isterinya yang beranak banyak. Maka banyak perempuan ingin hidup mandiri secara fungsional dan profesional. Sehingga bukan lagi merupakan situasi yang ganjil kalau banyak perempuan menjadi boss dari pegawai laki-laki di kantor atau di berbagai bidang usaha.

Namun apakah kesedarajatan perempuan dengan laki-laki dalam hukum dan kesempatan telah terbentuk dalam realitas kehidupan sosial budaya masa kini?

Dalam berbagai peneiitian dan studi yang dilakukan ilmuwan asing, ditemukan bahwa perempuan di dalam kehidupan sosial di pedesaan ternyata cukup kokoh. Perempuan tetap menjadi pengendali kehidupan rumah tangga secara aktif dan kreatif. Misalnya dalam menentukan masa depan kehidupan anak-anak mereka atau apa saja yang ada hubungannya dengan harta benda yang menjadi milik bersama. Meski orang tidak lagi membangun rumah gadang untuk tempat tinggal bersama, melainkan untuk tempat tinggal keluarga batih, namun rumah itu dibangun untuk perempuan atau diwariskan kepada anak-anak perempuan.

Di kota pun rumah diwariskan kepada anak perempuan. Perusahaan atau pabrik dibangun oleh seorang ayah, memang diwariskan kepada anak, namun pembagiannya sama banyak antara anak laki-laki dengan anak perempuan, hanya jabatan kepemimpinannya jatuh ke tangan anak laki-laki. Di sini timbullah masalah lain. Yaitu oleh karena perusahaan atau pabrik itu dibangun oleh ayah, maka pewarisannya tidak langgeng dari anak ke cucu. Anak laki-laki mewariskan warisan ayahnya itu kepada anak kandungnya, sedangkan anak perempuan mewariskannya kepada anak-anaknya pula. Dan oleh karena anak dari anak laki-laki dengan anak dari anak perempuan bukan berasal dari satu kaum atau suku, lazimnya harta warisan itu pecah pada generasi kedua. Sistem pewarisan tradisional Minangkabau tidak dilanjutkan pada perusahaan baru.

Akan tetapi dalam pengorganisasian yang dikembangkan oleh sistem kenegaraan, posisi perempuan menurut sistem patrilineal. Organisasi dan kegiatan perempuan bersifat eksklusif. Misalnya ada Golkar, ada organisasi wanita Karya. Ada Korpri, maka ada pula organisasi isteri Korpri, yang namanya Darma Wanita. Ada IDI, maka ada pula IIDI. Sedangkan organisasi para suami Korpri, atau suami dokter tidak ada. Di satu sisi terlihat bahwa Golkar merupakan organisasi khusus laki-laki. Dengan demikian perempuan tidak boleh menjadi, Ketua Golkar. Sama halnya perempuan tidak boleh menjadi Ketua Muhammadiyah.

Lalu patut dipertanyakan apabila nanti ada jabatan bupati, Kakanwil dijabat oleh perempuan, siapakah yang akan menjadi Ketua Darma Wanita?

Di sini terlihat bangsa kita tengah hidup dalam dua pola budaya. Budaya yang berkembang dalam masyarakat swasta, peranan perempuan dapat menjadi perempuan sama dengan laki-laki. Perempuan dapat menjadi dokter, pengacara, direktur atau apa saja yang dapat mereka capai. Akan tetapi dalam sistem kenegaraan, meski perempuan dapat menjabat kepemimpinan instansi atau organisasi pemerintahan, seperti menteri, gubernur, kakanwil dan sebagainya, namun posisi perempuan tidaklah sama sederajat dengan laki-laki, sepanjang negara masih menghendaki adanya organisasi wanita sebagai pendamping organisasi formal. Misalnya di samping organisasi Golkar mesti ada organisasi Wanita Golkar; di samping IDI mesti ada IIDI, Muhammadiyah dengan Aisyah, Kopri dengan Darma Wanita dan seterusnya.

Kesimpulannya, meski peranan perempuan kian meluas dan kokoh di satu sisi, namun dalam pola kenegaraan status atau derajat perempuan belumlah sama dengan laki-laki.

 

000