TAWAF

Oleh: A.A. Navis

 

Mengitari Kaabah empat belas keliling

tak henti-henti sambil berdoa

di tengah arus umat yang khusuk

tersenggol ke kiri

ke kanan

juga ke depan

entah apa bangsanya, pangkatnya, derajatnya

tak jadi pikiran

tak jadi perasaan.

 

Pada keliling ketujuh

mata dan otakku keluar dari ibadah

demi melihat laki-laki dan perempuan

menggapai-gapai dinding batu Kaabah terbuka

meraung-raung menghempaskan badan

seperti Hamid dalam roman Hamka

dua pertiga abad silam karena

putus asa oleh pacarnya akan menikah.

 

Itulah mukjizat Kaabah, kata orang

bisa menenteramkan segala durja hati

yang remuk

yang gundah

yang duka

yang loba

bahkan yang dosa.

Pada keliling kesepuluh

terpusat mataku pada umat

saling desak saling sikut agar dapat

mencium Hajar Aswad,

yang kata Umar bin Khatab:

– Engkau hanyalah batu. Tiada lain.

Kalau aku menciummu hanyalah karena

junjunganku, Muhammad,

melakukannya. –

 

Habis tawaf di tangga sejajar

tanya demi tanya menjalar

– Kenapa Muhammad mencium Hajar Aswad

sehingga ditiru umat sebagai sunnah

meski berdesakan tanpa etika.—

– Kenapa orang tawaf mengitari Kaabah

tanpa memahami makna

ke arah kiri sebagai ibadah? –

 

Tak ada tanya

– Mengapa orang meraung membanting diri

pada dinding batu Kaabah

meski di terik matahari? –

 

Karena hati ini berteriak

– Masa bodoh. Kalau maunya mereka

yang taklid buta pada imam. –

 

Lama aku merenung mencari jawab rasional

mengiringi tanya beruntun-runtun

– Mengapa Muhammad mencium Hajar Aswad.

Mengapa, Mengapa, Mengapa. –

 

Lama waktu berlalu jawab aku temu

– Batu itulah awal isyarat kenabian Muhammad

ketika dinobatkan sebagai “al Amin”

pada masa masih belia. –

 

Maka malam sudah kian larut

bintang di langit kentara kerlipannya

banyak sekali

semuanya

bumi ini

aku

adalah makhluk-Nya

seru sekalian alam

yang menurut agamaku, sunnatullah

yang menurut filsafat, hukum alam,

yang tak terbantah.

 

Semua beredar pada edarannya

ke arah kiri

seperti bumi berputar pada sumbunya

seperti bumi mengedari matahari

seperti bulan mengitari bumi

maka tawaf pun beredar menurut hukum

seru sekalian alam.

 

Setelah tahu maknanya

aku berdiri

mengulangi tawaf sekhusyuk sanubari.

 

Mekah, 25. 04. 94