A.A. Navis
Sebelum Pertemuan Dimulai
DI alam barzakh, tempat penantian dosa dan pahala ditimbang, para tokoh dunia sering bersua-sua dan berbincang-bincang tentang masa lalu yang mereka alami di dunia, atau tentang konsep kehidupan yang baik dan sempurna bagi anak-cucu mereka yang masih tinggal di dunia. Tetapi tentang masa depan mereka sendiri, tak pernah mereka bicarakan. Tentu saja demikian, setiap orang besar tak pernah membicarakan konsep kehidupan dirinya sendiri.
Sejak Liga Bangsa-Bangsa didirikan dan bermarkas di Versailles, para tokoh abad ke XX membiasakan pula pertemuan sejagad. Memang tidak ada suatu badan resmi, karena kehidupan di alam barzakh tidak memerlukannya, namun pada setiap pertemuan sejagad diperlukan juga seorang ketua. Ya, seorang saja. Tidak diperlukan 3 a 4 wakil sebagai tenaga cadangan. Mungkin juga berpedoman pada fungsi raja, kaisar atau diktator yang tidak pernah berwakil-wakil. Atau mungkin juga mengambil ibarat pada roda kendaraan, empat yang berfungsi penuh dan cuma punya satu cadangan saja. Dan ketua tidak dipilih. Boleh siapa saja yang mau. Yaitu siapa yang pemrakarsa pertemuan, otomatis jadi ketua.
Dan ketika giliran Gandhi, yang Mahatma tentunya, yang jadi ketua, ia memerlukan seorang sekretaris. Memang tidak akan ada pembicaraan yang akan dicatat dan notulen yang akan dibuat, namun menurutnya tak mungkin sambil mengetok-ngetok palu ia akan dapat mencatat nama-nama yang akan berbicara. Lagi pula undangan perlu dibuat, dan tak mungkin ketua yang mengantarkannya ke mana-mana sendirian. Dan dalam hal undangan, sesungguhnya ketua cuma membubuhi tanda-tangannya saja. Lain-lainnya urusan sekretaris.
Di alam barzakh, waktu begitu lapangnya. Tak berlaku perbedaan teori antara Newton dengan Einstein tentang waktu di sana. Matahari terbit dan matahari tenggelam pun tak ada, karena memang tidak ada matahari yang menjadi pusat kegiatan tata surya, disana. Sebuah awal pertemuan ditentukan oleh kehadiran ketua. Artinya, ada ketua ada pertemuan. Dan tempat pertemuan pun ditentukan di mana ketua sedang berada. Karena di alam barzakh tidak ada gedung pertemuan, atau apapun yang dinamakan bangunan yang dibuat manusia. Oleh karena Gandhi yang memprakarsai pertemuan, maka orang-orang yang diundang harus mencari sendiri di mana Gandhi berada, lalu duduk melingkarinya. Dan siapa saja yang tak memperoleh undangan, bermawas diri pergilah menyingkir. Meski tidak ada undang-undang yang melarangnya hadir. Juga tidak ada kewajiban bagi terundang untur hadir. Karena pertemuan tidak memerlukan kuorum.
Di alam barzakh, ramai tidaknya suatu pertemuan dihadiri peserta tidak tergantung pada siapa yang mengundang. Tradisi rasa segan atau ingin menghormati pada pengundang tidak berlaku. Apalagi sifat pengkultusan pada seseorang, sangat bertentangan dengan sifat alam barzakh. Bahkan sejak di dunia sebenarnya, kultus individu itu sudah bertentangan dengan kodrat alam. Maka yang terpenting di alam barzakh ialah topik yang akan dibicarakan, di samping tepatnya tokoh-tokoh yang diundang. Maka adalah tidak mengherankan apabila seringkali yang bernama pertemuan itu tidak dihadiri oleh seorang terundangan pun. Misalnya ketika sidang yang diketuai oleh Al Capone atau yang diketuai oleh Jenderal Tojo. Soalnya, pada waktu Al Capone, para bandit yang diundangnya tidak merasa tertarik untuk hadir, karena menurut mereka di alam barzakh tidak ada suatu benda yang layak untuk dirampoki. Sedangkan ketika Jenderal Tojo, terundang tak hadir karena menduga jenderal itu masih bersifat chauvinistik, sebab topik yang akan dibicarakan tentang bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun karena terlanjur memprakarsai, pertemuan yang diketuai oleh masing-masing tokoh itu, terus juga berlangsung dengan tertib. Ketua terus mengetok-ngetok palu, lalu berpidato pada pembukaan, kemudian mempersilakan para peserta mengemukakan pendapat, dan kemudiannya lagi karena tidak ada peserta yang mengemukakan pendapat, ketua pun meneruskan pertemuan dengan mengucapkan pidato penutup. Terakhir mengetokkan palu tiga kali ketok. Tok tok tok. Sedangkan orang-orang yang hadir, tapi merasa tidak peserta memandangi ketua yang penuh semangat itu dalam pidato pembukaan dan penutupnya, tak obahnya seperti orang-orang yang lalu-lalang di kaki-lima sebuah toko ketika melihat barang-barang yang tak dibutuhkan mereka terpajang dalam etalase.
Pada pertemuan yang diprakarsai Gandhi, yang terjadi malah sebaliknya. Terlalu banyak peserta yang hadir. Sehingga Gandhi sendiri terheran-heran. Akan tetapi ketika ia ingat bawa topik “damai di dunia damai” yang memang selalu aktual itu, keheranannya hilang. Sungguh pun demikian ia merasa takjub juga demi melihat banyak tokoh perang dan tokoh teroris ikut hadir. Padahal dalam rencananya ia hanya mengundang tokoh-tokoh pemenang dan calon pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, serta beberapa tokoh yang luput dicalonkan karena kurangnya publikasi atau sebab lainnya. Akhirnya ia pikir, banyak di antara mereka itu cuma peninjau saja. Namun bagaimana membedakan peninjau dengan peserta? Ahh, itu tidak sulit, dalam daftar undangan yang dibuat sekretaris akan dapat diketahui juga kelak, simpulnya dalam hati. Tapi sekretaris belum hadir.
Pikirannya itu ia kemukakan ketika menjawab seseorang yang menanyakan kenapa pertemuan masih belum juga dimulai.
“Siapa sekretaris?” tanya seorang yang berkumis tebal membelintang yang kelihatannya tak pernah bisa sabar.
“Chairil Anwar,” jawab Gandhi.
Kumis yang tebal membelintang itu, tiba-tiba melenting-lenting ketika mendengar nama Chairil Anwar. “Mengapa anarkis krempeng itu jadi sekretaris? Orang itu tak mau aturan, tak mau disiplin. Sama dengan orang sekampung asalnya, Tan Malaka yang tidak berpunggung bungkuk waktu jadi anggota komintern. Sehingga aku pecat dia.”
Kening Gandhi mengerenyit ketika tahu siapa yang berbicara. Dirasanya aneh jika orang itu jadi peserta pertemuan dengan topik “damai di dunia damai”. Tapi kemudian ia pikir, mungkin Chairil punya alasan mengundangnya. Kemudian kata Gandhi: “Chairil aku pilih karena dua alasan. Pertama, ia mengaku jadi ahli waris kebudayaan dunia. Kedua, ia beraliran humanisme universal. Jadi dia berjuang bagi kepentingan dunia seluruhnya. Bukan bagi kepentingan bangsanya saja.”
“Kalau itu alasannya, Martin Luther King mestinya kau ambil jadi sekretaris. Ia penganut ajaran kau, kamrad Gandhi,” kata si kumis tebal membelintang itu.
Seorang yang berkumis sebesar lobang hidungnya serta merta berdiri. Setelah mengacungkan lengan kanan ke depan, ia pun berkata dengan suara lantang. “Herr Gandhi, kalau Martin Luther jadi sekretaris, saya setuju. Meski ia orang abad ke XVII, tapi ia bangsa Aria. Tapi yang mengembelkan King di belakangnya, aku tidak setuju. Karena ia Negro. Antara bangsa Aria dengn bangsa Negro jauh sekali bedanya, Herr Gandhi. Bangsa Aria melahirkan tokoh-tokoh seperti, Engels, Marx, Hegel, Steiner, Nietzsche, Kierkegaad, Schopenhauer, Feurbach. Juga Rontgen, Einstein, Rutherford, Von Braun atau Koch, Freud, Frobel, atau Mann dan banyak lagi. Meski beberapa orang beragama Yahudi, tapi orang Jerman, Herr Gandhi. Seorang dari bangsa Aria, tidak seimbang dengan berjuta-juta Negro.”
Si kumis tebal membelintang berdiri lagi seraya berkata: “Revolusi dunia tidak memandang warna kulit, kamrad Gandhi. Jadi tidak ada alasan menolak seseorang karena kulitnya hitam.”
Si kumis pendek yang masih berdiri dengan lengannya terus mengacung ke depan, mendahului Gandhi yang akan berbicara. “Marx tidak membawa-bawa Negro dalam revolusi dunia, Herr Gandhi. Ia bicara tentang revolusi kelas buruh bule melawan kelas majikan bule. Negro tidak punya kelas majikan, maka itu berarti Negro tidak punya kelas buruh. Kalau ada orang bicara tentang Negro harus ikut revolusi, itu artinya dia seorang revisionis dari ajaran Marx. Padahal pada zamannya ia berkuasa dulu, ia menindas setiap orang dengan tuduhan sebagai kaum revisionis. Pantas saja, kuburnya dibongkar orang kemudian, karena pikirannya tidak konsisten.
Si kumis tebal membelintang bukan seorang orator. Ia berbicara lamban dengan suara menggeram seperti buldog yang lagi tidur-tiduran melihat seekor tikus kecil mencuri sisa makanannya. Dia bicara tentang tingkah laku orang-orang kecil mencari popularitas politik setelah seorang pemimpin besar pergi. Karena kecil tidak akan mampu membawa gagasan besar, apalagi membangun suatu tindakan besar, dua hal yang penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin besar. Maka satu-satunya tindakan yang berarti bagi orang kecil yang menggantikan pemimpin besar itu, ialah dengan menghancurkan kuburnya dan menghapus namanya dalam buku-buku sejarah. Sehingga dengan perbuatan itu, orang-orang kecil yang berkuasa itu akan kelihatan besar.
“Perbuatan itu sama dengan munafik. Suatu kejahatan moral yang tak layak diampuni. Akan tetapi jika seorang besar meninggal, lalu digantikan oleh orang besar yang sungguh-sungguh besar, peristiwanya sama dengan estafet kepemimpinan. Kewajiban kepemimpinan pengganti ialah membuat suatu yang lebih baik, lebih besar, yang betul-betul spektakular. Maka pengganti orang besar itu, pada dasarnya adalah tokoh yang lebih besar. Tapi, kalau penggantinya orang kecil, kebesaran orang besar yang digantikannya itu, dihancurkannya. Akibatnya pamor kaum proletar merosot cepat sekali di seluruh dunia. Untung masih ada Mao Tse Tung.”
Seorang yang berwajah klimis, berambut hitam kasar serta bermata sipit menyeletuk di kejauhan: “Tapi penggantiku pun menggeregoti gagasanku setelah aku mati.”
“Dan dia itu, si kumis pendek itu, yang ngaku-ngaku bangsa yang superior itu, malah menyiksa bangsanya sendiri. Sehingga bangsa dan negaranya terbelah dua. Bangsanya tidak perduli di mana kuburya, malah bangsanya itu merasa malu telah melahirkan seorang seperti dia itu, kamrad Gandhi.”
Dengan berteriak-teriak seperti waktu mudanya ketika ia mengerahkan bangsanya memberontak melawan kekuasaan tirani di Afrika Selatan, Gandhi berkata sebelum si kumis pendek bicara lagi: “Nah, saudara-saudara. Sekretaris kita telah datang. Pertemuan sudah bisa dimulai.”
Seketika suara desisan keluar dari seluruh mulut menyuruh setiap orang agar tenang. Tapi seorang yang berambut tipis dan bermata bulat berkata pada teman didekatnya.
“Harry, suasana ini bisa kulukis dengan gaya kubisme. Tapi kalau ku tukar letak kumis Stalin pada bibir Hitler, dan kumis Hitler pada bibir Stalin, lukisan itu menjadi karikatur. Aku tak suka karikatur. Tapi kau, sebagai pemain sunglap terbesar tentu bisa melakukannya, kiraku.”
“Sudahlah, Pablo, kau kan tahu, yang kusunglap kan diriku sendiri. Bukan orang lain. Sama dengan kau, yang kau lukis, kan pikiranmu. Bukan pikiran orang lain,” kata Houdini kepada temannya yang tak, lain dari Picasso.
Chairil Anwar yang sejak datang telah duduk di sebelah kiri Gandhi, lalu beralih ke sebelah kanan selagi si berkumis tebal membelintang berbicara.
“Mengapa pindah?” tanya seorang perempuan berambut pirang, bermata mengantuk dan bemulut kecil yang nyaris membuka.
“Dua alasannya,” kata Chairil sambil menggeser duduknya agar merapat pada perempuan itu. “Pertama, di negeriku yang duduk di sebelah kanan dipandang lebih mulia. Bukan karena alasan etiket, melainkan karena alasan protokoler. Tahu kau apa bedanya itu?”
Perempuan itu menggeleng.
“Yang satu adat dan yang lainnya aturan. Dan kedua, biar aku bisa duduk dekat cewek cantik seperti kau, Tuti.”
“Namaku bukan Tuti. Tapi Marilyn Monroe,” kata perempuan itu.
“Dari mana saja kau, Ril?” tanya Gandhi sekali lagi, setelah bertanya sambil melihat kekiri. Akan tetapi karena Chairil tidak ada, ia menoleh ke kanan di mana dilihatnya Chairil sedang lagi asyik berbicara pada Marilyn Monroe.
“Lama aku di tempat Maria Callas. Asyik melihat dia lagi main melawan Keneddy bersaudara,” jawab Chairil Anwar.
Sambil menggoyang-goyang tangan Chairil, Marilyin bertanya: “Main apa mereka, Ril?”
“Petak umpet.”
“Ah, masih seperti dulu saja mereka. Suka memetak bumi, lalu melompat-lompat di dalamnya,” kata Marilyin memberungut.
Gandhi menoleh lagi pada Chairil setelah ia melihat Stalin belum akan berhenti berbicara, “Daftar undangan mana, Ril?”
“Tak ada.”
“Lho. Bagaimana bisa diketahui orang yang mau bicara, Ril?”
“Biarkan saja siapa yang mau bicara.”
“Oh, kau mau seenak perutmu saja, Ril,” kata Gandhi mengomel. Kemudian ia tanya Marilyn Monroe. “Bagaimana kau tahu ada pertemuan sekarang, Marilyn?”
“Aku lihat Chairil berdiri di pundak Amir Hamzah berteriak-teriak. Halo halo halo. Gandhi mau adakan pertemuan penting. Topiknya ‘adu damai di dunia’. Kunjungilah beramai-ramai. Penuh action, sensasi, horor, sadis, sex. Khusus untuk 21 tahun ke atas. Terkecuali bayi. Aku tertarik. Makanya aku datang. Begitu saja,” kata Marilyn.
“Oh, kau memang terlalu, Ril. Pada hal topiknya ‘damai di dunia damai’ bukan ‘adu damai di dunia’. Dan undangan yang aku tandatangani kemana saja?” kata Gandhi sambil melirik ke arah Stalin yang masih terus menggeram.
“Ada teman-temanku yang berhenti menulis setelah namanya terkenal, kini ingin lagi menulis supaya namanya tidak hilang begitu saja. Menulis buku tebal, katanya. Kepadanya aku kasih kertas undangan itu.”
“Sedari kau masih hidup kau sudah brengsek, Ril,” kata Gandhi pula tanpa menghilangkan perasaan marahnya.
“Hopla. Di sini alam barzakh, lho. Penantian dosa dan pahala kita ditimbang. Dan kau harus tahu, yang akan menimbangnya bukan kau, tokh? kata Chairil yang akan pergi, karena merasa ia tidak diperdulikan orang.
“Coba kau pikir, belum-belum mereka sudah bertengkar. Kalau mereka tidak datang, pertemuan sudah bisa dimulai dengan tertib. Coba kalau mereka diundang dengan surat, orang-orang macam itu tidak akan datang. Tahu?”
“Siapa yang kau maksud dengan orang-orang semacam itu?” Chairil bertanya.
Gandhi menyebut serentetan nama-nama.
“Baiklah aku mulai dari Stalin dulu. Ia dan Mao sedang jadi bandar rolet rusia yang dimainkan orang-orang Vietnam. Banyak orang bergerombol di situ. Maka aku sorakkan pertemuan yang kau adakan ini. Rupanya Stalin tertarik. Dan memang dia perlu hadir, pikirku. Karena dia yang paling gigih menganjurkan perdamaian dunia. Di mana-mana kaum proletarnya ia gerakan untuk merebut perdamaian, walau dengan teror dan kekerasan sekalipun. Perdamaian ia ibaratkan seperti merpati putih yang melayang sendirian di langit merah. Lukisan merpati itu dibuat oleh Picasso. Karenanya pula Picasso pun hadir. Kalau Mao Tse Tung, ia lagi kesepian karena kelompok empatnya belum datang. Kemana Stalin tentu kemana dia.”
“Houdini ikut siapa dia?”
“Ia tidak ikut siapa-siapa. Malah negarawan dan politisilah yang ikut dia. Untuk belajar sulap, agar pengertian bisa berobah artinya menurut sukanya pemain.
“Marilyn Monroe?“ tanya Gandhi seraya melirik kepada Stalin yang masih belum selesai berbicara.
“Alasannya ada dua. Pertama, di negeriku perempuan cantik selalu dilambangkan sebagai lambang celaka. Perusak moral, yang sama jahatnya dengan madat, maling, mabok, dan main. Perempuan cantik selalu dijadikan umpan untuk merongrong disiplin pejabat negara. Perempuan cantik selalu dicurigai sebagai perusak kedamaian rumah tangga babe-babe yang isterinya telah setua nenek-nenek. Kedua, Marilyn memang aduhai cantiknya.”
“Hitler?”
“Dialah yang paling kuat alasannya untuk hadir. Jauh lebih kuat dari para Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang puluhan orang itu jumlahnya. Tanpa adanya Hitler, orang takkan pernah yakin pada pentingnya perdamaian dunia itu. Khusus untuk Hitler aku sengaja menemuinya menyampaikan undangan.”
“Tapi aku tidak melihat Jenderal Tojo,” kata Gandhi pula.
“Dua alasannya. Pertama dia ngambek. Karena waktu dia memprakarsai pertemuan, tidak seorang pun yang hadir. Kedua, ia keberatan Jenderal Marshall ikut hadir.”
“Tapi Marshall pemenang Hadiah Nobel Perdamaian.”
“Justeru itu yang dia keberatan. Alasannya, masa seorang jenderal yang memimpin pembantaian ratusan ribu manusia diberi Hadiah Nobel Perdamaian. Amerika kasih duit pada Eropah itu, kan bertujuan politik saja. Supaya Eropah tidak jadi komunis, kan? Begitu alasan Tojo.”
Gandhi melihat lagi pada Stalin. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan segera menyelesaikan bicaranya. Lalu ia edarkan matanya berkeliling. Sungguh luar biasa banyaknya orang yang hadir. Hampir semuanya ia kenal. Beberapa orang memang tidak dikenalnya. Tapi pikirnya, mungkin jadi orang-orang itu kawannya Chairil Anwar. Yaitu orang-orang terkenal di negeri Chairil, tapi menurut dunia belum. Tak apalah, pikir Gandhi selanjutnya, topik “damai di dunia damai” memang aktual sekali.
Ketika ia melihat Stalin masih belum henti-hentinya menggeram, kerisauan timbul dalam hatinya. Karena sebelum pertemuan dimulai, Stalin sudah omong sepanjang entah berentah. Barangkali, pikir Gandhi pula, bagi Stalin itu semua kesempatan hanya miliknya seorang, yang resmi atau tidak resmi, yang sah atau tidak sah. Kemudian kata hatinya untuk melupakan kerisauannya, ah, di alam barzakh tokh waktu begitu lapang. Selama panggilan untuk antri pemeriksaan belum dibunyikan.
“Omong-omong, Ril, apa kau pernah mandi?” tanya Marilyn Monroe .
Chairil yang sedang mengalaikan kepalanya ke pangkuan Marilyn tersentak duduk. Ia baui seluruh lekuk badannya sendiri sambil berkata: “Kau menghina, ya?”
“Ah, aku cuma tanya saja. Tidak ada yang bau di sini, kok. Aku cuma tanya saja,” kata Marilyn seperti minta maaf.
Ketika tahu Marilyn cuma sekadar mencari bahan untuk berbicara, Chairil mengalaikan lagi kepalanya ke pangkuan Marilyn. Kemudian katanya: “Di negeriku, Marilyn, mandilah yang paling gampang karena laut kami luas, sungai kami banyak, danau kami besar-besar dan hujan kami lebat. Ketika kecilku di kampung dengan telanjang bulat kami berlari-lari di hujan lebat. Nikmat. Setidak-tidaknya orang biasa basah karena mandi keringat, tahu? Tapi yang paling ideal di negeriku, bagaimana orang bisa hidup yang basah terus. Bukan karena air, apalagi karena keringat. Tapi karena, jabatan.”
“Semacam teka-teki bagiku.”
“Memang kau tidak kan bisa memahami, karena kau balum pernah datang secara fisik dan mental ke negeriku, selain hanya lewat layar putih,” kata Chairil pula. “Tapi omong-omong, Marilyn, bangunkan aku bila Stalin telah selesai omong.”
Dan Stalin pun selesailah berbicara.
Gandhi mengambil palu untuk memulai membuka pertemuan itu. Akan tetapi ketika ia hendak mengetok-ngetokkan palu, seseorang mengacungkan tangannya, sehingga palu tergantung di dalam genggaman Gandhi. “Saudara ketua, izinkan saya bicara sebelum acara dimulai. Nanti apabila acara dimulai, lalu usul saya ini dibicarakan, ketua akan repot sendiri. Usul saya begini, saudara ketua. Di negeri kami, bila sidang yang dihadiri oleh banyak orang, seperti sekarang ini, kami biasa menyusun rencana tata tertib lebih dahulu dan rencana-rencana keputusan yang akan diambil. Sehingga dalam suatu pertemuan besar, para anggota akan lebih mudah diarahkan, saudara ketua. Boleh saya sampaikan usul saya sebelum rapat dimulai, ketua? Boleh, kan?” Tanpa menunggu persetujuan Gandhi, ia meneruskan pembicaraan nya. “Begini, ketua. Jika sebanyak ini hadirin, apa tidak sebaiknya sebelum sidang dimulai, peserta ini dikelompok-kelompokkan lebih dahulu. Umpamanya satu kelompok terdiri dari orang-orang yang mengangankan perdamaian dunia, tapi tidak pernah merealisasinya secara konkrit. Kelompok ini, sebagai misal, yaitu penyair, pelukis, artis atau orang-orang sebangsanya. Kelompok kedua, orang-orang yang selalu mencari dan mengusahakan perdamaian, tapi tak pernah berhasil. Misalnya orang-orang seperti saudara ketua sendiri, Martin Luther King, para Paus dan atau pemenang Hadiah Nobel Perdamaian atau orang-orang sebangsanya. Kelompok ketiga, orang-orang yang melaksanakannya dengan spontan. Misalnya seperti orang yang berani mengibarkan bendera putih waktu peperangan sedang berkecamuk, pelarian politik yang memilih menyingkirkan diri dari pada terus bentrokan dengan cara kekerasan. Misalnya orang-orang seperti Trotsky, Petain, Wang Chink Wei, Ciano, Faruk atau tokoh sebangsanya. Sedangkan yang lain, yang tak tergolong kepada ketiga kelompok itu tadi, disuruh minggir saja. Misalnya orang-orang yang jadi diktator, apakah dia diktaktor militer, diktator fasis atau diktator proletar.”
Serta merta kegaduhan pun seolah hendak memecah alam barzakh yang selama ini adem ayem saja. Dan Gandhi tiba-tiba ingat bahwa tangannya teracung terus ke atas dengan palu di genggamannya. Ia turunkan tangannya itu pelan-pelan. Sedangkan Marilyn Monroe berkata pelan-pelan pada Chairil yang seperti betul-betul lagi tidur. Menanyakan, apakah orang yang baru bicara itu orang seasal dengan Chairil. Chairil hanya menjawab lemah: “Ngkali, ya. Kalau dengar gaya omongannya. Kenapa?”
“Nggak, aku mau tahu saja, kok.”
Suara-suara pro kontra saling mengatasi. Tapi Gandhi tidak bermaksud mengetok-ngetokkan palu untuk melerai kegaduhan itu. Karena fungsi palu memang tidak ada sebelum sidang dimulai. Gandhi menoleh pada Chairil yang nampaknya betul-betul tertidur di pangkuan Marilyn. Dan Marilyn mengedipkan matanya pada Gandhi. Dan Gandhi ingat masa mudanya ketika di London. Lalu katanya, “Bagaimana pendapatmu, Marilyn?”
“Tentang laki-laki ini?”
“Oh, tidak. Tentang suasana ini.”
“Einstein yang bisa mengulangnya pada seleloid barangkali. Tapi kata de Mille, malah seluruh angan-angan manusia dapat dipindahkan kepada seleloid,” kata Marilyn Monroe.
“Kau Pablo, apa pikiranmu?” tanya Gandhi pada Picasso yang sedang mengias-ngiaskan jarinya di alas duduknya.
“Ini namanya penyakit. Penyakit menahun yang takkan lenyap-lenyapnya sampai ke akhir zaman,” kata Picasso pula.
Suara yang hiruk pikuk itu secara berangsur memperdengarkan dua jenis suara dalam suatu ritme yang berselang-seling antara pro dengan kontra. Tapi lambat laun kentara pula suara pro mulai menghilang dikalahkan oleh suara kontra yang serempak dengan gaya yang menyentak-nyentak. Gandhi pun mengangkat kedua belah tangannya dan mengembangkannya ke kiri dan ke kanan seperti orang menyetop mobil waktu minta pertolongan. Dan dengan suara yang parau tapi cukup jelas, berulang-ulang ia memaklumkan bahwa mereka sedang berada di alam barzakh. Cukup lama suasana bisa kembali tenang. Dan Chairil melepaskan kepalanya dari pangkuan Marilyn. Dan matanya mengedari setiap orang yang hadir. Begitu sepinya terasa. Apabila masih ada penjahit di alam barzakh itu, pikir Chairil, suara jatuhnya mungkin akan kedengaran seperti granat meledak.
“Kegaduhan mulai, karena ada usul untuk membagi hadirin dalam tiga kelompok. Sebenarnya ada empat kelompok yang dimaksudkannya. Nampaknya saudara saudara tidak setuju dengan pengelompokan itu, bukan?” kata Gandhi.
“Bukaaaan,” suara menjawab dengan serempak.
Gandhi bingung juga memahami makna jawaban itu. Tapi kemudian ia pikir, mungkin pertanyaannya yang salah. Lalu dirobahnya pertanyaannya dengan mengatakan siapa yang setuju pengelompokan agar mengacungkan tangan. Tapi tidak seorangpun yang mengacungkan tangan. Ia bertanya lagi. “Apa sebenarnya yang tidak saudara setujui?”
Stalin segera berdiri untuk berbicara. Menyusul pula Mussolini. Tapi Mussolini segera duduk lagi setelah tangannya ditarik oleh Hitler. “Saya tidak suka. Betul-betul tidak suka kalau Trotsky dan cecunguk sebangsanya digolongkan sebagai pendekar perdamaian. Dialah pengacau terbesar, melakukan tindakan kontra revolusi. Menantang kebijaksanaanku. Karena itu aku menyesalkan kalau antek-antek Trotsky, yang bego itu ikut menyelusup dalam pertemuan ini. Usir dia, kamrad Gandhi.”
Mussolini pun berdiri setelah Stalin berhenti berbicara. “Senor Gandhi,” katanya memulai. “Tadi ada yang bilang; diktator harus minggir. Aku ini El Duce, diktator dari bangsa Romawi baru. Aku ini muncul karena cita-cita suci. Di negeri dimana chaos terjadi, kedamaian tidak ada. Harta benda, bahkan nyawa tidak terjamin aman. Bukan hanya oleh karena Mafia saja, tapi juga oleh karena pejabat negara korup. Bersekongkol dengan Mafia. Malah takut pada Mafia. Pada hal di negeriku ada raja, bahkan ada Paus bertahta. Semua orang masa bodoh. Tidak tahu pada kehormatan diri dari bangsa Romawi yang agung, dimana umat Nasrani di seluruh dunia telah mempercayakan Paus untuk bersemayam semenjak berabad-abad yang lalu. Maka itulah aku tampil sebagai diktator yang mendiktekan kemauan-kemauanku untuk memulihkan kehormatan bangsa Romawi.”
Mussolini bicara panjang dan meledak-ledak dengan segala argumentasinya dalam mengatasi krisis yang dihadapi bangsanya dan dalam mengangkat martabat bangsa dan negaranya. Tak masuk akalnya bila suatu negara dan bangsa yang dipercayai dunia sebagai tempat bersemayamnya Paus itu, tetap menjadi negara kecil yang tak berarti. Untuk itulah ia mencaplok Ethiopia agar jajahan Italia secara berangsur bisa seluas jajahan Perancis dan Inggeris. Albania dicaplok agar Eropah bebas dari kekuasaan Islam, katanya.
“Tidak semua diktator berkadar murni. Misalnya Jenderal Tojo. Dia itu diktator militer. Tujuannya tidak lain selain dari berperang, berperang dan berperang. Seperti wataknya orang militer profesional, yang punya logika: tidak ada arti militer kalau tidak ada perang. Penaklukan mereka atas negeri orang lain, adalah analogi dari semangat perangnya,” kata Mussolini melanjutkan.
“Bukan itu saja. Motivasinya ingin menjajah, merampok,” Chiang Kai Shek menyela. “Jepang itu bangsa yang serakah. Ekspansionist. Dan karenanya tak malu-malu menjarahi negeri orang lain untuk merampok hasil negeri orang untuk kepentingan bangsanya sendiri. Jika dibiarkan mereka terus, besok-besok akan dibangkrutkannya seluruh dunia dengan menghancurkan bangsa lain melalui perang ekonomi.”
“Terserah kaulah,” kata Mussolini memotong kata-kata Chiang. Tapi yang jelas Jenderal Tojo bukan type diktator murni. Yang murni, selain aku, adalah Hitler. Ia seorang negarawan yang ingin membalaskan hinaan bangsa lain terhadap bangsanya. Negerinya dipreteli negara-negara kecil. Jajahan nya dibagi-bagi. Siapa yang mau dihina begitu? Padahal bangsanya superior seperti bangsa Romawi. Ketika ia minta kembali tanahnya dan jajahannya dengan cara baik-baik, tidak diperdulikan orang, tentu saja ia ambil dengan kekuatan sendiri. Itu bedanya dengan Jenderal Tojo yang bersemangat perang dan serakah lagi. Sedang diktator lainnya, seperti Stalin yang mengaku sebagai diktator proletar itu, dia cuma mau menggantikan kedudukan tsar saja. Marxisme hanya alat yang lagi mode di masa itu.”
“Stop. Stop. Stop. Aku tidak suka dihina begitu,” kata Stalin menyela sambil memplintir-plintir kumisnya yang tebal.
Gandhi segera menengahi dengan mengucapkan berulang-ulang bahwa mereka sedang di alam barzakh, bukan di alam fana.
Mussolini duduk. Tapi Stalin yang terbiasa tidak suka disanggah, apalagi dihina, tidak memperdulikan peringatan Gandhi itu. “Aku tidak sama dengan, tsar. Aku kamrad, bukan paduka yang mulia. Aku ingin memerintah menurut konsep komunis, demokrasi rakyat. Tapi rakyat Rusia yang sudah terbiasa dengan sistem totaliterisme di bawah tsar sejak ratusan tahun, tidak paham dengan demokrasi rakyat. Yang mereka tahu, seorang pemimpin harus kuat secara mutlak. Dengan pimpinan yang kuat itulah mereka merasa terlindung dan mau mematuhi perintah. Hasilnya lihatlah, betapa besarnya Rusia sekarang. Malah ditakuti dunia segala. Jadinya, kamrad Gandhi, orang bego yang mengusulkan agar para diktator minggir, patut dijewer kepalanya.”
Setelah Stalin duduk, John Lennon pun berdiri sambil mengacungkng jarinya tinggi-tinggi. “Gandhi, aku tidak mewakili siapa-siapa. Cuma bicara atas nama sendiri sebagai seniman. Seniman memang biasa bekerja sendiri-sendiri. Meski pun begitu naluri seniman tentang buruk dengan baik, adalah sama dengan siapa saja. Bedanya, naluri seniman lebih peka dan selalu cenderung pada berbuat baik. Beribu judul buku telah ditulis. Ribuan karya digelarkan atau dipajangkan, moralnya tetap. Yaitu kemanusiaan yang agung. Pengertian kemanusiaan tidak berarti membedakannya dengan nilai-nilai moral siapa pun, tapi berada di atas segalanya. Karena seniman tidak bekerja bagi suatu golongan, apalagi terikat pada golongan tertentu, yaitu golongan yang menilai dirinya superior. Nah, Gandhi, apabila ada orang yang mengatakan seniman hanya mengkhayalkan perdamaian, tidak melaksanakannya, rasanya pandangan itu sumbernya dari masyarakat yang primitif. Dan orang-orang primitif tidak sepatutnya hadir di sini.”
Marilyn yang sambil mengelus-elus pipi Chairil yang cekung ketika mendengar John Lennon lagi bicara, bertanya pada laki-laki yang bergolek di pangkuannya itu. “Sebagian aku setuju dengan Lennon. Kau sendiri, Ril?”
Karena Chairil nampaknya tertidur, Marilyn menjepit hidung Chairil kuat-kuat. “Apa?” tanya Chairil sambil duduk dan melihat-lihat keadaan di sekelilingnya. “Aku tertidur. Dalam tidurku, aku berkhayal. Jika semua perempuan secantik kau dan sebahenol kau, akan masih adakah definisi cantik dan jelek?”
“Artinya, jika semua laki-laki sama jelek dan sama jalangnya dengan kau, akan masih adakah artinya engkau?” kata Marilyn pula.
Lalu terdengar lagi suara Gandhi. Ia mengharapkan apabila pertemuan sudah dimulai nanti, tidak ada lagi suara-suara yang serba menyalahkan orang lain. Dengan saling menyalahkan, pada hakekatnya manusia di alam barzakh tetap sama saja dengan manusia di dunia. Lalu Gandhi memegang palu yang sedari tadi tergeletak di ujung kakinya.
“Tunggu dulu. Tunggu dulu,” kata orang yang tadi, yang menurut Marilyn Monroe orang seasal dengan Chairil Anwar. “Kalau semua orang tidak setuju dengan komentarku tentang kelompok-kelompok orang, okelah. Secara musyawarah untuk mufakat aku terima semua argumentasi mereka. Tapi menurut setahuku, tidak seorang pun yang menolak pengelompokan mereka. Karena itu, sebaiknya mereka berkelompok-kelompok dulu. Masing-masing kelompok memilih ketua. Dan nantinya, ketua-ketua kelompok itulah yang otomatis jadi juru bicara dan saling berunding atas nama kelompoknya. Dengan demikian, pak Sugandhi, pembicaraan tidak bertele-tele. Bisa ringkas dan hasilnya optimal, sesuai dengan targetnya.”
“Usul itu sebaiknya disampaikan dalam sidang. Bukan di luar sidang,” kata seorang laki-laki yang bulat potongan tubuhnya, mirip seperti Winston Churchil.
Seorang berkulit hitam dengan tubuhnya yang kokoh pun berdiri. “Aku Martin Luther King. Tapi itu tidak penting. Sebagai pendeta, aku keberatan bila orang-orang dikelompok-kelompokkan. Umat manusia itu sama di sisi Tuhan. Mengapa kita mengelompok-ngelompokkan, justeru di alam barzakh ini lagi.”
Hitler berdiri pula. Setelah ia mengacungkan lengannya, ia pun berkata: “Pengelompokan perlu. Karena orang hitam tidak bisa sama dengan orang putih. Orang hitam, meski ratusan tahun sudah tinggal di Amerika atau di Eropah, tetap hitam. Demikian pula orang putih yang ratusan tahun tinggal di Afrika Selatan, tetap putih. Orang Cina, meski kemana mereka tinggal, setelah ratusan tahun tetap Cina. Kulitnya tetap kuning dan matanya tetap sipit. Karena itu pengelompokan perlu.”
“Pengelompokan itu mutlak, saudara Gandhi. Tapi alasannya bukan ras atau profesi, melainkan kedudukannya dalam Kerajaan Tuhan. Kami, orang-orang Israel, adalah pejuang-pejuang Tuhan. Dan kami tidak bisa disamakan dengan yang lain. Sebelum lupa, aku Weizmann, pendiri Zionisme,” kata seseorang yang berhidung bengkok.
Setelah Weizman berbicara, banyak tangan mengacung ke atas. Dan Gandhi menggenggam palu kembali. Hendak diketok-ketoknya supaya hadirin tenang. Tapi kemudian dia ingat, bahwa palu baru berfungsi dalam sidang. Dan sekarang sidang belum dimulai. Ia letakkan lagi palu itu ke ujung kakinya. Kini ia mengembangkan kedua belah tangannya yang jirus itu sambil berkata dengan suara yang parau mersik.
“Saudara saudara. Jangan lupa, kita ini di alam barzakh.” Ia bicara berulang-ulang. Tapi suaranya begitu halus dibandingkan dengan hiruk-pikuk orang-orang yang ingin bicara sambil mengacung-acungkan tangan.
Laki-laki pengusul itu, entah dengan cara bagaimana, telah tersembul saja di hadapan Gandhi. Ia tidak duduk. Melainkan berdiri. Sehingga terpaksa Gandhi menengadah memandang padanya, ketika ia melihat sesosok telah menghambat pandangannya.
“Mas Sugandhi, aku ingin membantu. Bagini. Sebaiknya dibentuk saja satu komisi atau panitia ad hoc untuk membicarakan rencana pertemuan ini dengan lebih matang. Supaya pertemuan-pertemuan bisa terarah, tidak kacau balau seperti yang biasa terjadi negara-negara liberal, yang sampai ke alam barzakh pun masih berjangkit. Kalau mas Sugandhi setuju, dan saya harapkan setuju saja, aku mengusulkan jumlah anggota itu tujuh belas orang. Termasuk mas Sugandhi dan Chairil Anwar sebagai anggota eks ofisio. Tapi mas Sugandhi jangan lupa menyiapkan suatu pidato pengarahan, agar kepemimpinan mas Sugandhi mantap,” kata laki-laki itu seperti tergesa-gesa harus menyelesaikan pembicaraannya.
“Sudah?” tanya Gandhi.
“Sudah, mas Sugandhi.”
“Namaku Gandhi. Bukan Sugandhi, lho mas,” kata Gandhi pula meniru gaya bahasa tamunya. Dan ketika tamunya itu pergi, Gandhi menoleh ke arah Chairil Anwar untuk menanyakan bagaimana caranya orang itu bisa sampai datang ke pertemuan. Tapi Chairil tidak berada lagi di tempatnya. Marilyn Monroe pun tidak.
Ini tidak mengenakkan Gandhi. Karena tanpa sekretaris pertemuan tidak mungkin dapat dimulai.
Padang, 1990
000
Leave A Comment