PENDIDIKAN DALAM MEMBENTUK WATAK BANGSA
Oleh: A.A. Navis
(Makalah ini disampaikan pada Seminar “Pendidikan Untuk Masa Depan Yang Lebih Baik” oleh Yayasan Fase Baru Indonesia tanggal 25 Oktober 1999 di Balai Sudirman Jakarta)
Pengantar
Judul yang diberikan Panitia Pendidikan Dalam Membentuk Kebudayaan Indonesia, saya ganti. Karena pengertian Indonesia bernuansa politik sebagai alat pemersatu dari bangsa yang multi etnik dan kultural. Sedangkan pengertian kebudayaan cenderung tradisional. Padahal fungsi pendidikan menyiapkan anak bangsa memasuki masa depan. Apabila pendidikan difungsikan untuk membentuk kebudayaan Indonesia, harus lebih dulu disepakati kebudayaan macam mana yang akan dibentuk. Dalam UUD-45 diterakan bahwa “Kebudayaan Indonesia terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah.” Apa yang tertera dalam UUD-45 itu, masih tidak jelas maksud dari “puncak Kebudayaan” itu. Menjadi tambah tidak jelas apa yang dimaksud dengan “daerah”. Apakah yang dimaksud dengan daerah administratif atau etnik. Apa yang dimaksud dengan “puncak-puncak kebudayaan daerah yang dijadikan “kebudayaan Indonesia” itu merupakan konsep sinkretisme kebudayaan? Atau kita berpegang kepada motto “Bhinneka Tunggal Ika” saja, seperti yang tercantum pada lambang negara?
Kebudayaan terbentuk oleh faktor kondisi alam. Ajaran filsafat dan agama serta sistem kekuasaan dan ekonomi yang terpadu secara kental, bisa membentuk kebudayaan suatu bangsa melalui program pendidikan seperti yang dibuktikan oleh sejarah. Misalnya bangsa Sparta. Dari suatu suku yang kecil di Balkan melalui sistem pendidikan keras sejak kanak-kanak, kemudian mampu menjadi bangsa perkasa yang menyatukan bangsa-bangsa seluruh Balkan. Bangsa yang menempati jazirah Arab yang tandus yang hidup berkabilah-kabilah dan saling bermusuhan, namun oleh suatu keyakinan yang kuat dapat menyebarkan agama Islam ke Spanyol di barat sampai Pakistan di Timur dalam masa 100 tahun. Tidak ada satu agama pun yang bisa sepesat itu berkembang. Yang terjadi pada kedua bangsa itu melalui pendidikan, ialah perubahan watak bangsanya. Atas dasar itulah judul diganti menjadi “Pendidikan Dalam Membentuk Watak Bangsa”.
Pendidikan Watak Bangsa
Kalau dirujuk pendapat Prof. Slamet Imam Santoso dalam buku “Pembinaan Watak, Tugas Utama Pendidikan”, yang dimaksud dengan watak bangsa ialah: pandai, jujur, berdisiplin, tahu atas kemampuan diri serta punya rasa kehormatan diri.
Kondisi alam tempat manusia hidup tidak sama. Perbedaan kondisi alam itulah yang membentuk watak manusianya. Alam subtropis yang bermusim salju memaksa manusia memiliki tradisi bekerja dan berpikir keras untuk mempertahankan hidupnya. Mereka menjadi manusia berwatak dinamis, aktif dan kreatif. Norma dan kebudayaannya tumbuh berikutnya.
Sedangkan bangsa yang hidup di daerah tropis khatulistiwa yang tidak bermusim kontras dengan buminya yang subur memanjakan manusia yang mendiaminya. Seperti bangsa Indonesia yang hidupnya boleh bersantai-santai dan berleha-leha. Maka norma dan kebudayaannya pun terbentuk sendiri menurut pola hidup santai tersebut. Sehingga pada dasarnya mereka tidak menuntut perubahan hidup untuk lebih baik dari yang sudah ada. Dalam kondisi alam serta watak budaya demikian, bagaimana bangsa Indonesia bisa mencapai harkat yang sama dengan bangsa dari bumi subtropis itu?
Pertanyaan pun timbul, apakah dengan watak yang menurut Prof. Slamet demikian bangsa Indonesia mampu berdiri sama tegak dengan bangsa-bangsa lain?
Strategi pendidikan kolonial ialah untuk mengukuhkan kekuasaan pemerintah dan memantapkan program ekonomi negaranya yang di Eropa sana. Pada pendidikan tingkat rendah terdapat dua jenis sekolah. Pertama, Sekolah Desa 3 dan 5 tahun untuk mendidik pribumi agar mampu meningkatkan produk dan mutu pertanian untuk keperluan hidup sendiri. Lanjutan pendidikan ke sekolah pertukangan untuk mengisi kebutuhan perusahaan milik pemerintah dan swasta Belanda. Kedua, Sekolah Rendah berbahasa Belanda untuk menyiapkan pegawai kantoran yang tekun, teliti, setia dan patuh. Lanjutan pendidikan sampai ke perguruan tinggi yang berfungsi untuk mengisi lowongan pegawai pada kantor pemerintah dan swasta Belanda. Di samping itu program pendidikan juga berfungsi untuk membentuk golongan elite yang tercerabut dari akar budaya serta meremehkan tradisi budaya pribumi. Strategi dan program pendidikan kolonial itu sangat efektif karena terencana dan terlaksana dengan baik dalam sistem, metoda dan kurikulum.
Ditambah dengan pandangan budaya masyarakat priyayi yang feodal, strategi dan program pendidikan kolonial itu menjadi klop. Karena menjadi golongan ningrat atau priyayi atau pegawai negeri sangat didambakan. Karena status yang prestisius, gaji besar serta jaminan hari tua yang aman oleh uang pensiun. Sedangkan bekerja sebagai petani, tukang dan pedagang tidak bermartabat menurut pandangan tradisional golongan elite. Watak golongan elite ini cenderung konsumtif. Demi kepentingan yang prestisius berbagai pesta meriah diadakan. Kalau biaya kurang, pinjam pada bank atau rentenir. Atau jual sebidang tanah.
Sistem dan metoda pendidikan yang dikembangkan pemerintah kolonial memang dapat mencerdaskan bangsa. Namun tidak merubah sikap mental bangsa alam tropis agar menjadi bangsa yang memiliki harkat yang setara dengan bangsa subtropis. Konsumerisme yang individualisme mengental. Cinta kepada bangsa atau sayang kepada sesama manusia menipis. Kalau pun masih ada, tidak lain daripada oleh jalur pendidikan agama atau tradisi budaya sendiri. Jika tertutup lowongan kerja di kantor, mereka menjadi penganggur. Tidak mampu berinisiatif untuk menolong diri sendiri.
Jika ditilik hasil pendidikan sekolah yang dikembangkan pemerintah Indonesia, tidak menjadikan watak budaya bangsa ini mampu mencapai harkat yang sama dengan bangsa-bangsa maju. Tidak akan mungkin menjadi bangsa seperti yang didambakan 3 penyair angkatan 45, yaitu Chairil Anwar, Rivai Apin dan Asrul Sani, bahwa “Kami Bangsa Indonesia adalah Warga Dunia”. Karena ada yang salah pada strategi, program, metoda dan kurikulum pendidikan. Maka kita memerlukan seminar ini.
Konsep Pendidikan Sjafei
Untuk perbandingan rasanya perlu dikemukakan konsep pendidikan Institut Nasional Sjafei atau INS Kayutanam yang didirikan 31 Oktober 1926. Konsepnya berangkat dari filsafat alam. Yang kemudian alam itu disebut sebagai “Sunnatullah, Ciptaan Tuhan.” Alam dan manusia sebagai ciptaan-Nya adalah substansi yang berharga serta bernilai sama. Penalarannya ialah bahwa manusia yang sederajat dengan alam harus saling menyayangi dan menghormati sesamanya, lingkungannya dan alamnya.
Strategi pendidikan yang dikembangkan M SJafei demi mencapai harkat yang sama dengan bangsa yang maju. lalah dengan merubah mental bangsa agar menjadi bangsa yang berwatak dinamik, aktif, kreatif dan produktif. Menjadi bangsa yang tidak senang diam, yang bergerak terus menerus, seperti kodrat alam yang bergerak terus menerus. Apabila gerak salah satu substansi cedera atau berhenti, cacatlah dia.
Untuk menjadi manusia yang berwatak aktif, kreatif dan produktif, ada tiga komponen utama dalam diri manusia yang harus dididik atau dikembangkan secara seimbang. Komponen utama itu ialah otak, jiwa dan tangan. Setiap jenis kurikulum pada dasarnya alat latihan untuk meningkatkan masing-masing komponen. Kurikulum pendidikan akademik seperti ilmu eksata atau ilmu sosial bukan bertujuan memiliki ilmu pengetahuan untuk dihafal, melainkan merupakan alat melatih nalar dan kecerdasan otak. Ilmu pengetahuan apapun yang diajarkan pada seluruh tingkat sekolah hampir tidak terpakai dalam kehidupan selanjutnya. Apalagi setiap teori dan ilmu pengetahuan senatiasa akan menjadi usang dari waktu ke waktu.
Kurikulum pendidikan kesenian seperti musik, teater dan tari serta olah raga berfungsi meningkatkan sikap mental yang diperlukan bagi hidup dalam pergaulan antara manusia. Padanya terdapat prinsip keharmonisan perilaku, toleransi terhadap perbedaan, sportif dan kesadaran pada perlunya kerja sama tanpa memandang seseorang atau golongan yang berbeda-beda peran dan kualitasnya. Pendidikan seni rupa berbeda dengan menggambar. Pada kurikulum menggambar lebih mengutamakan ketelitian meniru objek. Sedangkan pada seni rupa lebih mengutamakan kreativitas. Pendidikan kreatif itu sendiri merupakan alat latihan untuk mencari alternatif. Kesamaan lain dari tujuan pendidikan seni rupa dan musik ialah untuk latihan daya kritis otak melalui mata dan telinga. Mata dilatih untuk mampu secara cermat dan kritis membedakan garis, bentuk dan warna yang tepat dan salah. Melalui pendidikan musik dan nyanyi, telinga dilatih agar mampu secara cermat dan kritis membedakan suara yang harmonis dan disharmonis, halus dan keras. Suatu bangsa yang tidak kritis atau tidak boleh kritis wataknya bukan bangsa yang dari manusia beradab. Disamping itu pendidikan kesenian dan olah raga memotivasi anak bangsa untuk berprestasi dan rasa bangga bersama dan pribadi menurut bakat masing-masing. Oleh karena kesenian bersifat universal, maka alat dan materi serta jenisnya boleh apa saja yang ada.
Pendidikan pekerjaan tangan tidak sama dengan pendidikan ketrampilan. Kurikulum ketrampilan cocok bagi sekolah kejuruan yang mendidik anak bangsa agar ahli pada bidangnya sehingga bisa siap pakai pada lapangan kerjanya. Pada sekolah umum seperti sekarang pendidikan ketrampilan lebih berfungsi untuk latihan ketelitian dan ketekunan. Pendidikan pekerjaan tangan pada Perguruan INS ialah alat untuk melatih kemauan kerja agar menjadi manusia yang tidak senang diam agar selalu aktif dan produktif sebagaimana bangsa-bangsa yang mendiami bumi subtropis. Materi bahan dan alat serta tempatnya boleh apa dan di mana saja. Karena yang terutama dalam pendidikan pekerjaan tangan bukanlah hasilnya, melainkan prosesnya, serta kemauan memulai dan menyelesaikannya.
Untuk memenuhi semua program pendidikan, waktu belajar dan mengajar di perguruan menjadi lebih panjang, yaitu pagi, sore dan malam. Kurikulum wajib pada pagi dan sore. Malam lebih mengutamakan pengembangan bakat dan atau minat masing-masing. Pada awalnya program tersebut memang dirasakan berat. Tetapi lama-lama menjadi kebiasaan. Untuk mencapai kualitas kurikulum wajib, terutama pada bidang pendidikan akademik, perguruan memakai kelas kecil dengan maksimum 25 siswa.
Sebagai ilustrasi, seorang golongan elite yang pintar pada bidang pekerjaan di kantoran mempunyai hobi pertamanan, umpamanya. Oleh karena tangannya tidak bisa bekerja dia tergantung pada tangan orang lain. Hobi itu menjadi semacam kesenangan memiliki seperti memiliki hewan piaraan. Pada hal hobi itu suatu kegiatan yang dikerjakan sendiri sebagai pemenuhan kepuasan batin dan pengisi waktu luang yang bernilai tambah. Golongan elite yang tangannya tidak bisa aktif, mengisi waktu luangnya pada objek yang konsumtif di tempat rekreasi, olah raga individual atau kelap malam.
Contoh lain, pada fakultas kedokteran yang favorit di Padang, 60% mahasiswanya perempuan. Pada seluruh perguruan tinggi, mahasiswa perempuan lebih pendek masa studinya. Analisisnya, karena anak perempuan terlatih tidak senang diam dan berdisiplin sejak kecil membantu ibunya dalam pekerjaan rumahtangga. Rumahtangga adalah suatu masyarakat kecil yang membutuhkan kerja sama, toleransi dan kontak sosial dengan lingkungan. Maka itu anak perempuan lebih bersikap sosial. Sedangkan anak laki-laki dibiarkan bermain di luar rumah yang kondisi dan situasinya tidak karuan. Terutama di kota besar. Oleh berbagai sebab dan alasan, orangtua mereka tidak mampu memberi pendidikan yang baik dan benar di rumah. Apalagi pada umumnya golongan elite yang menyerahkan pendidikan watak dan kasih sayang kepada para pembantu yang rata-rata tidak berpendidikan yang baik. Di sekolah pun anak bangsa itu mendapat pendidikan yang salah konsep pula. Maka jadilah anak bangsa ini seperti manusia berwatak destruktif.
Kritik Atas Program Pendidikan Nasional
Merujuk pada UU Pendidikan Nasional fungsi perguruan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia gang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan, ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Nampaknya UU itu menuntut setiap perguruan menghasilkan insan kamil. Minimal bertujuan untuk mencapai anak bangsa yang berperilaku baik-baik seperti yang dikehendaki oleh semua ibu-bapa yang mulai bingung ketika menyerahkan anaknya ke sekolah pertama kali.
Pertanyaan pertama yang muncul ialah: apakah dengan strategi seperti yang tercantum pada UU pendidikan Nasional dengan metoda verbal pula bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang berwatak dinamik, aktif dan kreatif sampai bisa berharkat sejajar dengan bangsa dari bumi subtropik? Pertanyaan selanjutnya ialah, apakah secara teknis perguruan mampu memikul beban sebanyak itu dalam waktu lima jam sehari, sedangkan di luar perguruan mereka “dididik” di tengah masyarakat yang tidak karuan selama 19 jam dalam sehari dan masa 12 tahun masa sekolahnya? Apakah perguruan mampu mendidik anak bangsa agar menjadi insan kamil seperti yang tertuang dalam UU Pendidikan Nasional itu? Mengapa perguruan berkewajiban memikul semua beban yang sesungguhnya menjadi kewajiban dan tanggung jawab ibu bapa, lembaga masyarakat dan instansi Iain? Apakah para guru mampu memberikan kurikulum dengan intensif dan mantap pada 40-45 murid/siswa dalam satu kelas? Apakah pantas para orang tua hanya wajib membayar murah/bebas uang sekolah untuk pendidikan seberat itu bagi anaknya sendiri, sedangkan gaji guru demikian rendahnya?
Kebijaksanaan pemerintah mendirikan banyak universitas dengan berbagai fakultas dan masing-masing fakultas membuka beragam jurusan, menampung puluhan mahasiswa setiap tahun, dilihat dari kepentingan sosial politik memang baik bagi pemerintah. Karena di satu sisi “cita-cita menjadi golongan elite” anak bangsa melalui jenjang perguruan tinggi terbuka luas. Di sisi lain, perguruan tinggi tersebut memang dapat dijadikan “sangkar” untuk menjinakkan “masa puber” anak bangsa. Hal tersebut mengakibatkan sikap mental ketergantungan yang panjang bagi anak bangsa pada ibu bapa atau orang yang memberinya biaya hidup dan pendidikan.
Namun secara rasional kebijaksanaan pemerintah itu disatu sisi dapat dinilai sebagai program pendidikan massal yang input dan outputnya asal jadi. Di sisi lain, keberadaan banyak fakultas dan jurusannya tidak menurut tuntutan lapangan kerja yang tersedia, berakibat banyak pengangguran intelektual. Secara kritis, kebijaksanaan pemerintah cenderung seperti ibu yang menyodorkan buah dadanya yang hampa asi untuk mendiamkan tangis bayi.
Pembebasan uang sekolah yang merupakan kebijaksanaan pemerintah demi memperoleh popularitas atau simpati politik dari masyarakat, sesungguhnya merupakan jiplakan dari politik pemerintahan diktator komunis yang berslogan “sama rata”. Bertentangan dengan sistem sosial dari masyarakat demokrasi, dimana orang kaya harus membayar lebih banyak daripada orang miskin. Anak jenderal wajib membayar uang sekolah lebih banyak dari anak prajurit dan seterusnya.
Menyerahkan pembiayaan suatu perguruan kepada BPS sangat bersifat asosial di bidang pendidikan. Oleh perguruan di lingkungan masyarakat elite akan menjadi “terlampau” baik dibandingkan dengan perguruan yang tingkatnya sama tapi berada di Iokasi miskin atau pedesaan. Sehingga kualitas outputnya pun akan berbeda banyak.
Kebijaksanaan pemerintah yang sangat sentralistis terhadap pengembangan pendidikan secara massal, menyeragamkan jenis program dan kurikulum pendidikan adalah sebagian sebab jatuh merosotnya SOM generasi muda Indonesia. Terutama pada penetapan jenis sekolah kejuruan yang sejenis pada setiap propinsi, sedangkan propinsi tersebut sangat berbeda-beda kondisi dan situasinya, baik dalam perkembangan ekonomi dan sosial yang dibutuhkan masing-masing.
Semua masalah pendidikan yang menjadi kebijaksanaan pemerintah menimbulkan banyak cacat dari strategi, program dan pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Solusi mengatasinya saya akan kembali kepada arah pendidikan yang digagaskan M. Sjafei, seperti yang telah diuraikan secara ringkas tadi.
Maka itu perlu berbagai reformasi pada berbagai strategi, program, dan organisasi serta pelaksanaan pendidikan.
Mengubah strategi pendidikan dari bertujuan membentuk insan kamil kepada membentuk anak bangsa agar berwatak dinamik, aktif, kreatif dan produktif.
Mengganti kurikulum hafalan yang mengebabkan anak bangsa menjadi pasif, menunggu perintah baru bekerja itu, dengan program kesenian kreatif, olah raga beregu dan pekerjaan tangan.
Memeperpanjang waktu belajar keseharian di sekolah, baik untuk memenuhi program-program pendidikan maupun untuk menghindarkan pengaruh buruk dari masyarakat yang tak karuan di luar perguruan.
Memaksimalkan jumlah murid dan siswa sampai 30 orang per kelas agar efektivitas pendidikan lebih intensif agar tercapai kualitas secara maksimal.
Menutup fakultas dan jurusan yang tidak jelas faedahnya pada beberapa perguruan tinggi untuk menghindarkan pembiusan massal dengan kedok pendidikan kesarjanaan.
Mengganti kebijaksaan membebaskan atau menyamaratakan jumlah uang sekolah dengan mewajibkan anak orang kaya membayar lebih banyak daripada orang miskin.
Memfungsikan lembaga masyarakat dan instansi terkait secara efektif untuk mengisi materi kurikulum yang tidak lagi diajarkan di perguruan.
Menyeleksi secara tegas antara guru dengan “guru”. Terutama pada tingkat SD dan SLPT.
Membayar gaji guru sampai ke tingkat manusia berbudaya.
000
BUTIR-BUTIR TANGGAPAN TERHADAP MAKALAH A.A. NAVIS
“Pendidikan dalam Membentuk Watak Bangsa”
Oleh : Franz Magnis-Suseno
(Dosen Filsafat STF Driyarkara Jakarta)
Pertimbangan-pertimbangan dan butir-butir sebuah strategi reformasi pendidikan pada akhir makalah ang bersangkutan sangat tepat dan pantas diajukan dalam rangka reformasi pendidikan.
Khususnya perlu digarisbawahi tekanan pada “dinamik, aktif, kreatif dan produktif”.
Di situ masih dapat ditambah: rasional (mampu bertindak secara rasional, tidak berdasarkan prasangka atau emosi), kritis (terdorong untuk memeriksa klaim-klaim berbagai pihak atas dasar/legitimasinya), berani (mempertahankan apa gang memang digakini).
Di sini diajukan beberapa kemampuan sosial yang diperlukan dan yang perlu dipikirkan strategi untuk menumbuhkannya:
- Kematangan emosional, kemampuan menangani frustasi;
- Kepekaan sosial dan empati;
- Managemen konflik yang wajar dan dewasa;
- Tahan konflik;
Kemampuan untuk membedakan antara keterikatan primordial dengan kelompok (“right or wrong my country”) dengan kewajaran moral (mampu melihat bahwa kelompok sendiri bertindak tidak adil dan seperlunya berpihak pada pihak di luar kelompok);
Kemampuan untuk menerima pluralisme, untuk menanganinya dengan wajar, untuk tidak tertekan olehnya.
Berikut ini beberapa sugesti yang masih sangat umum (dan untuk dibikin operasional dalam pendidikan perlu disertakan psikolog dan pedagog) tentang bagaimana kemampuan-kemampuan itu dipelajari.
Orang harus diantar untuk percaga diri.
Ubahlah pola pendidikan yang menekankan penyesuaian dengan pola kelakuan orang Iain, berdasarkan pembikinan malu, kepada polaygang menghargai keyakinan asal bersedia mempertanggungjawabkannya;
Exposure terhadap situasi/pengalaman yang relevan bagi kemampuan komunikatif serta nilai itu;
Pendidikan ke arah rasionalitas; Murid dipuji apabila ia dapat mempertahankan pendapatnya terhadap guru, dipuji oleh guru itu (yang mengandaikan kematangan emosional sang guru);
Mengarahkan ke perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi; kalau ikut tawuran, tanya apakah karena memang mau ikut, atau hanya karena ikut-ikutan; kalau yang terakhir, diajak untuk tidak mengikuti yang tidak diyakini.
Sangat penting contoh panutan di mana anak didik dapat melihat kehebatan sikap-sikap yang diharapkan daripadanya.
000
Leave A Comment