KARYA-KARYA A.A. NAVIS:

PENCARIAN ETHOS SOSIAL BARU*

 

SALAH satu kekuatan dari karya-karya fiksi A.A. Navis setting sosial karya-karya itu sendiri: kehidupan manusia di tanah Minang. Walaupun masalah-masalah yang ditampilkan adalah sosok umum dari kemanusiaan sebagaimana sering dilihat dalam pengalaman semua suku bangsa di negeri kita, bahkan umat manusia di mana pun mereka berada, nafas kedaerahan dalam karya-karya A.A. Navis terasa sangat menonjol. Dalam hal ini dapat dikemukakan contoh berupa cerita pendeknya yang terkenal ‘Robohnya Surau Kami’. Krisis keyakinan keagamaan yang dikemukakannya adalah suatu hal yang universal, seperti halnya yang dikemukakan oleh Chaim Potok dalam The Chosen, umpamanya. Tetapi jelas bahwa problem tokoh Kakek dalam cerpen tersebut adalah sesuatu yang ‘khas Minang’: fungsi surau dalam kehidupan masyarakat, status kaum agamawan yang semakin marjinal, dan dialog intensif tentang kedudukan agama di kalangan elite masyarakat.

Unsur kuatnya setting sosial ini memberikan warna aktualitas yang hidup kepada karya-karya A.A. Navis, yang membedakannya dari penulis-penulis kontemporer lain yang berasal dari tanah Minang seperti Mochtar Lubis. Pergumulan tokoh-tokoh cerita dalam karya-karya Mochtar Lubis hampir-hampir tidak pernah menampilan ‘sosok keminangan’, melainkan yang tampil adalah pergumulan anak manusia Indonesia. Bahkan dalam setting geografis yang muncul adalah ke-lndonesia-an. Sutan Takdir Alisjahbana justru sudah kehilangan setting geografis Minang itu, karena karya-karya fiksinya cenderung menjadi diskursus filsafat tentang masalah-masalah umum kemanusiaan. Dalam hal ini, pewaris tradisi kedaerahan tanah Minang dari karya-karya klasik seperti Salah Asuhan dan Siti Nurbaya adalah karya-karya Navis.

Bertolak dari warna kedaerahan dan setting sosial yang khas Minang itu, Navis memunculkan sejumlah masalah yang dihadapi masyarakat Minangkabau di saat karya-karya itu ditulis. Masalah tanggung jawab sosial kepada anak keturunan yang menjadi melarat di kemudian hari dalam ‘Robohnya Surau Kami’, tanggung jawab sosial kepada masyarakat di masa kini dalam novel Kemarau, bahkan sampai kepada impian dalam ketinggian status sosial bagi warga masyarakat Minang dalam cerpen ‘Anak Kebanggaan’. Seluruh harta kekayaan, dan semua harapan dicurahkan kepada upaya menjadikan anak tokoh cerita dalam cerpen tersebut seorang dokter atau insinyur. Walaupun masalah yang dikemukakan dapat dilihat juga pada masyarakat daerah-daerah Iain di negeri kita, bahkan di seluruh dunia sekalipun, tapi bahwa masalahnya adalah yang dihadapi oleh masyarakat Minang tampak sangat jelas. Kegundahan tokoh Kakek dalam ‘Robohnya Surau Kami’, yang harus menghadapi gugatan sosial yang intensif, menampilkan pertarungan orang Minang tentang pengertian akan ‘kewajaran’ pola beribadat yang masih umum diikuti orang waktu itu.

Masalah orang Minang ini lebih menonjol lagi tampak dalam novel Navis Kemarau. Pergumulan orang pendatang di sebuah dusun di tepian sebuah danau, untuk meyakinkan pengertian yang benar tentang fungsi kerja yang seharusnya diikuti masyarakat, nyata sekali menampilkan pergumulan sosial orang Minang: penerimaan gagasan tokohnya hampir seiring dengan penerimaannya sebagai orang sumendo yang kemudian ternyata urung. Hal itu juga tercermin dalam subtema orang rantau yang hampir selalu ‘membayangi’ masalah utama yang digumuli oleh fiksi-fiksi Navis. Gambaran umum dari kekeringan otak (brain drain) di tanah Minang, akibat hijrahnya kaum rantau ke daerah-daerah lain, adalah sub-tema yang selalu mewarnai fiksi-fiksi Navis.

Dialog sosial yang tampil dalam karya-karya Navis dalam setting sosial dan masalah orang Minang itu menunjukkan sebuah sisi sangat penting dari karya-karya tersebut. Sisi itu adalah pergulatan mati-hidup antara inersia sosial yang umum berlaku dan tuntutan kuat akan perubahan pola kehidupan masyarakat Minang sendiri.

Hal itu tampak sangat jelas dalam kerasnya ajakan untuk berusaha keras dalam memenuhi kebutuhan hidup, penggunaan akal dan ilmu pengetahuan dalam ikhtiar memperbaiki nasib dan meningkatkan taraf kehidupan. Cemoohan kepada tradisi superstisi/takhayul, rendahnya kedudukan wanita, kesenangan menghamburkan uang untuk perhelatan dan kenduri sebagai ‘keharusan sosial’. Semuanya itu merupakan sisi-sisi kehidupan yang dikembangkan oleh Navis untuk mendorong masyarakatnya sendiri memahami kehidupan secara lebih baik.

Gugatan sosial yang diajukannya itulah yang membuat karya-karya fiksi Navis menjadi bahan ‘dokumentasi sosial’ yang sangat berharga dalam perkembangan sastra kita, seperti apa yang dihasilkan oleh Linus Suryadi untuk masyarakat Jawa dengan Pengakuan Pariyem-nya. Karya-karya besar dalam sastra dunia senantiasa memiliki unsur Iokalitas masalah seperti ini, seperti dapat dilihat dari karya Willian Faulkner (Amerika Serikat bagian Selatan) dan Naguib Mahfous (Kampung Kumuh Kota Cairo). Hal inilah kiranya yang perlu memperoleh perhatian dari kalangan penulis muda kita di masa kini dan masa datang.

*Disampaikan pada Forum Diskusi Sastra tentang Karya-karya A.A. Navis di Taman Ismail Mazuki, Jakarta, 6 Oktober 1992.