INILAH CERITA BAGAIMANA LAHIRNYA CERPEN
“ROBOHNYA SURAU KAMI”
Oleh: A.A. Navis
(Dimuat dalam majalah Kakilangit, 5 Maret 1997)
Sebagai orang yang lahir di pusat gerakan reformasi Islam dan berpendidikan di Perguruan INS Kayutanam, sejak di bangku akhir sekolah dasar saya terobsesi demi melihat terbelakangnya bangsa Indonesia yang muslim. Dari membaca majalah Pedoman Masjarakat pimpinan Hamka dan Pandji Islam pimpinan Z.A. Ahmad, saya mengenal sejarah Islam yang besar, yang pernah melahirkan ilmuwan terkemuka pada zamannya, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Omar Khayyam dan lainnya.
Saya selalu bertanya: “Mengapa bangsa Indonesia terbelakang? Mengapa umat Islam sekarang terbelakang?” Pertanyaan itu selalu menjadi buah pikiran dan selalu menjadi bahan diskusi dengan banyak orang. Tidak ada jawaban yang memuaskan.
Sekali waktu saya pulang ke kota kelahiran. Saya mendapati surau tempat saya dulu belajar membaca Al-Quran dan berenang di kolamnya dan main sepak bola di lapangannya, telah roboh karena garin yang memeliharanya telah lama meninggal. Saya terenyuh. Pada waktu yang lain saya bersama beberapa orang teman bertamu ke guru saya, Engku Muhammad Syafei. Beliau berkisah tentang Tuhan mengadili orang-orang di akhirat. Orang Eropa dan Amerika dimasukkan Tuhan ke sorga karena telah memanfaatkan alam pemberianNya bagi kesejahteraan manusia. Ketika tiba giliran orang Indonesia diadili, Tuhan langsung memasukkan mereka ke neraka karena pemalas, sehingga anak cucu mereka hidup sengsara.
Dari kedua bahan itulah saya menulis cerita pendek “Robohnya Surau Kami”. Dalam menulis saya berteguh mempertimbangkan aqidah dan sifatNya yang tidak dapat dirupakan sebagai makhluk. Tapi Tuhan memang dapat bicara seperti firmanNya dalam Al-Quran melalui Jibril kepada Rasul Muhammad s.a.w.
Dalam cerpen itu saya menuangkan pandangan hidup saya melalui simbol-simbol. Misalnya: surau yang roboh adalah simbol dari pelaksanaan agama yang rusak karena tidak lagi dipelihara. Garin adalah simbol dari manusia yang hatinya baik dan taat melaksanakan rukun Islam, namun meninggalkan kewajibannya bermasyarakat. Kematian baginya merupakan simbol adalah lebih baik apabila manusia seperti itu. Haji Saleh merupakan simbol seorang imam yang mementingkan dirinya sendiri, yang melakukan ibadah berlebihan tanpa memperdulikan umatnya. Ajo Sidi adalah simbol kaum reformis yang aktif dalam kehidupan. Demonstrasi di neraka untuk mengajukan tuntutan pada Tuhan adalah simbol bangsa Indonesia yang pandainya berteriak-teriak begitu tanpa menggunakan otak dan hati nurani.
Cerpen itu merupakan sikap dan pandangan hidup saya yang mengkristal semenjak duduk di kelas terakhir pendidikan rendah, sekitar usia 14 tahun. Ketika cerpen itu dimuat di tahun 1955 dalam majalah Kisah pimpinan H.B. Jassin, banyak sambutan yang memuji. Akan tetapi ketika diterbitkan dalam buku, timbullah reaksi dari masyarakat Islam. Tapi keberatan masyarakat Islam waktu itu didiskusikan, sebagai lazimnya intelektual Islam menjadikan ijtihad sebagai tradisi.
Dari tradisi berdiskusi itu masyarakat menerima baik gagasan dalam cerpen tersebut.
***
Leave A Comment