ENGKU NAVIS
SETELAH cerita pendek saya “Perjanjian dengan Maut” dimuat dalam majalah Kisah, dalam ruangan “Giliran Saudara” yang disediakan oleh redaksi untuk memuat segala komentar pembaca atas cerita pendek atau apa pun juga isi majalah itu, muncul sebuah tulisan yang menyebutkan bahwa cerita pendek yang saya tulis itu mirip dengan sebuah cerita pendek karya pengarang Amerika Vincent Bennet yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Saya kebetulan waktu itu menulis cerita pendek tersebut memang belum pernah membaca cerita pendek itu. Hal itu saya kemukakan dalam bantahan saya yang kemudian dimuat juga dalam ruangan “Giliran Saudara” majalah Kisah. Tapi di samping dimuat itu saya menulis sebuah cerita pendek yang lain berupa sebuah fiksi tentang seorang pengarang yang didatangi oleh tokoh ceritanya. Dan dalam kesempatan itu si pengarang memberikan penjelasan atas tuduhan bahwa ia telah mencuri alias memplagiat karya pengarang Iain. Malangnya, terhadap cerita itu muncul pula tulisan yang menuduhnya meniru sebuah cerita karya pengarang Rusia Maxim Gorki. Konon cerita itu pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat di dalam majalah Budaya yang diterbitkan Bagian Kesenian Kementrian PP & K Yogyakarta. Saya juga belum pernah membaca cerita pendek Gorki tersebut, karena saya tidak mengikuti majalah Budaya.
Orang yang menulis komentar tentang cerita pendek “Perjanjian dengan Maut” itu saya masih ingat, adalah A.A. Navis yang ketika itu belum menulis cerita pendek atau sudah menulis tapi belum ada yang Iolos dari tangan redaksi yang memeriksanya. Yang menulis komentar terhadap cerita pendek yang satu lagi (yang sekarang saya sendiri lupa apa judulnya), saya tidak ingat lagi orangnya. Mungkinkah Navis juga?
Mungkin peristiwa itulah yang menyebabkan saya tidak lagi menulis cerita pendek fiktif demikian. Sejak itu saya lebih banyak menulis cerita tentang hal-hal yang berdasarkan pengalaman hidup saya sendiri, karena dengan begitu saya benar-benar yakin bahwa cerita saya itu takkan mirip dengan cerita Iain karya pengarang lain, sehingga orang takkan dapat menuduh yang bukan-bukan.
Anehnya, mengenai hal tersebut tak pernah saya singgung dalam percakapan dengan atau dalam surat kepada Navis. Entah kenapa, saya selalu teringat akan hal itu pada saat saya sedang tidak ada urusan dengan Navis. Saya sendiri sejak tahun 1959 tidak pernah lagi menulis cerita pendek. Cerita pendek saya yang terakhir ditulis tahun 1958 di Sumedang, kalau tak salah judulnya “Berita buat Oding”.
Sedangkan Navis justru tetap tekun menulis cerita pendek. Sejak cerita pendeknya “Robohnya Surau Kami” dimuat dalam majalah Kisah dan mendapat hadiah tahunan majalah tersebut sampai sekarang cerita-cerita pendeknya sering muncul dalam berbagai media, termasuk dalam Horison. Cerita pendeknya “Orde Lama” yang dimuat dalam suratkabar Kompas saya pilih untuk dimuatkan dalam bunga rampai Laut Biru Langit Biru yang saya susun dan sekarang sudah terbit dalam terjemahan Jepang. “Robohnya Surau Kami” sudah terbit lebih dahulu dalam terjemahan Jepang dalam bunga rampai yang disusun oleh orang lain. Sindiran sosialnya menggigit di balik kuluman senyum dalam kedua cerita pendek itu, berubah menjadi allegoris dalam “Bertanya Kerbau pada Pedati” yang menurut hemat saya merupakan salah satu cerita pendek yang paling indah yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
***
SAYA tidak ingat lagi kapan saya pertama kali, berjumpa dengan Navis.
Tetapi saya ingat betul ketika dia datang di Jakarta sehubungan dengan Pertemuan Sastrawan Indonesia yang pertama yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (Desember 1972), secara khusus Navis datang menemui saya di Kantor Pustaka Jaya yang ketika itu masih menumpang di salah satu ruangan di lantai yang sama dengan kantor Dewan Kesenian Jakarta. Ketika itu masa jabatan keanggotaan dan kepengurusan Dewan Kesenian Jakarta yang kedua (1971—1972) akan berakhir dan nama saya sudah disebut-sebut sebagai salah seorang calon ketua Dewan Pekerja Harian (DPH). Navis memberi saya nasihat supaya saya berhati-hati karena di antara para peserta Pertemuan Sastrawan beredar isu bahwa, “Pustaka Jaya oleh Ajip dijadikan Pustaka Sunda karena hanya orang Sunda saja yang diangkat sebagai pegawai.”
Mendengar hal itu saya tertegun sejenak. Tapi ketika saya tanyakan apakah dia tahu dari siapa kira-kiranya isu itu bersumber, dia bilang: “Saya tahu, tapi tidak usahlah aku sampaikan sama kau. Yang penting kau harus hati-hati.”
Tapi itu tidak benar. Ada juga orang Jawa yang menjadi pegawai di sini, tapi kebetulan sekarang sedang cuti karena dia beragama Katolik. Tapi saya kira lebih penting dari pegawai yang diangkat di sini adalah apakah buku-buku yang kami terbitkan mementingkan buah tangan pengarang Sunda? Mari kita lihat, siapa saja pengarang yang bukunya sudah kami terbitkan.
Navis setuju. Dan setelah didaftarkan dan diteliti, ternyata yang terbanyak buku yang telah diterbitkan oleh Pustaka Jaya sampai waktu itu adalah karya para sastrawan dari Jawa: Rendra, Harijadi S. Hartowadodjo, Soekanto S.A., Toha Muchtar, Trisnoyuwono, Subagio Sastrowardojo, Surtiningsih, Sri Ms., Djoko Lelono, Trim Sutedja, Suyono H.R., Satyagraha Hoerip Seoprobo (yang menulis cerita kanak-kanak dengan memakai nama samaran Pak Oyik), dan Iain-lain. Menyusul para pengarang Batak: Sanusi Pane, Mochtar Lubis, Gayus Siagian, Ras Siregar. Dan ternyata belum ada pengarang Sunda yang bukunya terbit. Hal itu tidak aneh, karena tatkala memilih naskah atau buku untuk diterbitkan atau dicetak ulang saya tak pernah memikirkan pengarangnya berasal dari mana atau termasuk suku apa.
***
KUNJUNGAN lain dari Navis yang saya ingat terus terjadi pada akhir tahun 1979 atau awal 1980. Ketika itu saya sudah beberapa kali terpilih sebagai salah seorang Ketua DPH DKJ dan sudah menyatakan bahwa saya tidak mau lagi dipilih lagi untuk periode berikutnya karena mau memenuhi undangan The Japan Foundation yang secara lisan sudah disampaikan oleh Komijama, direkturnya yang pertama di kantor Jakarta, tetapi tak dapat saya penuhi karena kedudukan saya sebagai salah seorang Ketua DPH DKJ di samping menjadi pula Ketua IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) dan anggota Staf Ahli Menteri P & K. Saya sudah mengundurkan diri sebagai Ketua IKAPI dalam kongres yang diselenggarakan Mei 1979 di Hotel Sahid yang diresmikan oleh Presiden (kongkres pertama IKAPI yang diresmikan Kepala Negara) dengan menyatakan sejak awal bahwa saya tak bersedia lagi dipilih sebagai ketua dan sudah pula memilih calon pengganti yang ternyata juga dapat diterima oleh peserta kongres, ialah Ismid Hadad yang ketika itu menjadi Direktur LP3S. Masa jabatan sebagai anggota Staf Ahli Menteri P & K juga akan berakhir tahun 1979. Maka saya sudah menyatakan kepada The Japan Foundation, bahwa saya akan dapat memenuhi undangannya sebagai fellow ke Jepang pada tahun 1980. Karena itu, saya pun bersedia memamerkan koleksi lukisan saya diselenggarakan oleh DKJ pada akhir tahun 1979 sebagai semacam acara perpisahan sebagai ketua maupun anggota DKJ.
Saya tak ingat lagi dalam hubungan apa Navis ada di Jakarta. Mungkin datang dalam rangka membawa rombongan randai yang dipentaskan di TIM atas undangan DKJ, tapi mungkin juga bukan, karena Navis sering ada urusan entah apa ke Jakarta dan begitu saja muncul di ruang kerja saya di DKJ.
“Kau kan sudah punya cucu saya dengar,” Navis bilang tiba-tiba.
Segera saya benarkan.
“Sebagai orang yang sudah punya cucu bertindaklah sebagai seorang kakek.”
Saya mengerutkan kening karena kurang memahami arah perkataannya.
“Seorang kakek harus pandai mengasuh cucu,” katanya memberi keterangan. “Di lingkungan TIM juga banyak cucu yang harus kau asuh. Sering-seringlah kau ladeni mereka ngobrol-ngobrol sambil minum kopi di warung. Seperti… lantas dia sebut nama seorang seniman terkemuka. “Dia ladeni anak-anak muda minum kopi, ngobrol-ngobrol, puji-puji sedikit supaya hatinya senang.”
“Saya bukan tidak mau duduk-duduk ngobrol di warung sambil minum kopi,” jawab saya. “Dahulu kerja saya juga begitu. Tapi kalau sekarang saya melakukannya, lantas siapa yang menggarap pekerjaan di sini?”
“Itulah soalnya,” sahut Navis pula. “Tapi kau harus hati-hati kalau tak pandai-pandai mengambil hati anak-anak muda.”
Ketika beberapa bulan kemudian timbul keributan di dalam surat-surat kabar dimulai oleh ditebangnya beberapa pohon karena di tempatnya akan dibangun gedung teater utama, kemudian merembet ke berbagai soal lain, termasuk serangan-serangan terhadap saya pribadi—saya teringat kepada nasihat Navis itu. Dia rupanya sudah mengendus soal tersebut dan menganggapnya disebabkan oleh sikap saya yang sebagai salah seorang Ketua DPH DKJ kurang melakukan pendekatan pribadi terutama kepada para seniman muda. Tapi saya sendiri melihat bahwa peristiwa itu tak kurang pula campur tangannya para seniman senior dan kekuatan-kekuatan, lain di luar TIM. Namun barangkali betul juga bahwa kalau saya mau mendekati para seniman muda, mereka takkan begitu mudah dipengaruhi para seniman senior yang masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri dalam peristiwa tersebut.
***
TATKALA pada tahun 1979 saya berkesempatan ke Sumatera Barat, saya tidak membuang peluang untuk bertemu dengan Navis. Navis sendiri setelah membawa saya melihat-Iihat Perguruan Kayutanam, lalu mengajak saya berkeliling Sumatera Barat dengan mobil. Dengan cermat dia membawa saya ke tempat-tempat yang dalam imajinasi sudah saya kenal sejak masih duduk di SR karena saya baca dalam buku-buku roman karya pengarang Minangkabau seperti Abdul Muis, Hamka, Tulis Sutan Sati, Marah Rusli, dan Iain-lain. Navis menunjukkan di mana Hanafi bermain tenis dengan Corrie, di mana tempat bertemunya Zainuddin dengan kekasihnya terakhir kali, dan lain-lain. Pendeknya tempat-tempat yang termasyhur dalam karya-karya sastera Indonesia ditunjukkannya semua dalam sehari kami berkeliling dengan mobil sedangkan saya selama berkeliling itu tak henti-hentinya mengunyah durian yang kami beli di Padang Panjang ketika mulai berangkat.
Karena agaknya Navis sendiri tak begitu doyan durian, maka peristiwa itu selalu jadi pokok yang tak pernah dia lupa dalam surat-surat atau dalam pembicaraan kalau bertemu. Untuk mengganggu saya, dia memberitahu bahwa durian sedang musim dan bahwa harganya murah sekali, karena pernah saya katakan bahwa di Jepang pun kadang-kadang ada durian yang didatangkan dari Thailand dan harganya sekitar 10.000 yen sebutir.
***
DALAM Konferensi Para Sastrawan negara-negara ASEAN di Kuala Lumpur tahun 1978, ternyata saya bersama-sama dengan Navis mewakili Indonesia menandatangani piagam pembentukan organisasi sastrawan ASEAN. Saya sendiri tidak pernah lagi terlibat dalam kegiatan-kegiatannya karena sejak 1981 tinggal di Jepang, tapi Navis saya Iihat tetap aktif. Dia saya perhatikan kian aktif dalam pertemuan-pertemuan sastrawan Asia Tenggara. Dia pun pernah mendapat SEA Award yang diprakarsai oleh sebuah hotel di Bangkok.
***
NAVIS 14 tahun lebih tua dari saya. Dia lahir tahun 1924, saya tahun 1938. Meskipun kalau bercakap-cakap kami sering beraku-engkau, paling-paling menyebut ‘saudara’, namun dalam surat saya sering menyebutnya ‘engku’; Engku Navis. Semasa saya di SMP,kami murid-murid harus memanggil guru laki-laki dengan sebutan itu. Melihat usianya yang lebih tua, dan merasakan kebijaksanaannya serta sikapnya yang selalu hendak memberi nasihat yang ikhlas, saya kira sebutan itu tepat.
Sementara para seniman yang lain umumnya meninggalkan kampung kelahirannya pindah ke Jakarta, Navis tetap tak bergeming di Sumatera Barat. Dahulu dia memang tinggal di Bukittinggi, sekarang di Padang. Agak ganjil sebenarnya bagi orang Minangkabau yang mempunyai adat merantau. Atau rantau bagi Navis hanya sejauh dari Bukittinggi ke Padang?
Namun betapa pun dengan tetap tinggal di daerah kelahirannya, Navis tumbuh menjadi seorang sesepuh, entah bagi para sastrawan dan seniman muda di Sumatera Barat sendiri, entah bagi orang-orang di luar Sumatera Barat baik di Jakarta maupun di Kuala Lumpur. Bukunya Alam Terkembang Jadi Guru membuktikan, bahwa ia memang salah seorang yang mengetahui dan memahami betul adat Minangkabau yang konon tak lekang di panas tak lapuk di hujan itu.
Pernah beberapa tahun yang lalu ketika berkunjung ke rumah saya di Jakarta (ketika itu saya sendiri sedang berIiburan ke tanah air), Navis berkata: “Setelah umur lewat 60, hilang segala rasa takut untuk menyampaikan apa saja yang menurut pertimbangan hati nurani benar dan harus dikatakan.”
Dalam usia 70 tahun, apalagi setelah menunaikan rukun Islam yang kelima, niscaya bukan saja rasa takutnya kian lenyap, melainkan dorongan untuk menyampaikan kebenarannya pun kian besar. Tentu saja disertai dengan kearifan seorang sesepuh yang bijaksana. Meskipun Navis pernah menjadi politikus dan duduk sebagai anggota DPRD Sumatera Barat, tetapi saya mengharapkan kebenaran yang hendak disampaikannya itu lahir bukan dalam jargon politik, melainkan dalam bentuk cerita pendek yang indah dan matang.
Selamat berusia 70 tahun, Engku Haji Navis!
Mino, 17 Mei 1994
Leave A Comment