FALSAFAH MINANGKABAU
DALAM
PEMBANGUNAN BANGSA DAN AGAMA
Oleh A.A. Navis
Pendahuluan
Apa yang diketahui tentang Minangkabau, baik adatnya atau manusianya? Sejarahnya tidak jelas. Ajaran falsafah atau adatnya disampaikan dengan gaya “bakaba” semacam bertembang. Setiap buku ditulis dengan visi yang tidak sama karena kepentingan yang berbeda-beda. Sekali-sekali Minangkabau dikenal dalam omongan penuh rasa bangga, atau dari ocehan dan gerutu atau dari guyon berskala nasional.
Ada kalanya Minangkabau kelihatan seperti kotak wasiat yang penuh pelekat sebagai penunjuk isinya: “masyarakat bersuku-suku”, “stelsel matriarki”, “perkawinan eksogami”, “pewarisan kepada kemenakan”, “demokrat”, “pedagang”, “perantau”, “galir” dan sebagainya. Bila dibuka kotak itu, lalu terlihat isinya: “Eh kok sama dengan isi kotak lain?” Hubungan antara tulisan dalam pelekat dengan isi kotak, seolah hadirnya suatu “misteri” yang dapat dirasakan tapi sulit dikonkritkan.
Memang sudah banyak dilakukan penelitian akademik, tapi masih dalam tingkat permulaan dan dengan bentuk sepotong-sepotong. Sehingga belum dapat dirangkaikan agar dapat dipahamkan sebagai suatu yang utuh.
Saya pun telah mencoba melakukan observasi dan penelitian selama 30 tahun lebih guna bahan karya sastra atau guna menjawab banyak pertanyaan. Hasilnya hanya satu buku yang berjudul Alam Terkembang Jadi Guru dan beberapa makalah untuk seminar dan konferensi ilmiah. Masih saja saya mendapat kesulitan untuk membicarakan Minangkabau. Banyak teori dan pendekatan disiplin ilmu dapat dipakai untuk menelaah. Tapi itu tidak mungkin dilakukan oleh satu orang.
Kepada saya diminta untuk membicarakan kebudayaan Minangkabau yang telah memproduk tokoh-tokoh besar yang berperan penting di tingkat nasional, tapi kini tengah mengalami pasang surutnya. Hingga timbul banyak penanya yang sama keheranan. Dalam makalah ini saya tidak akan mencari jawabnya. Yang akan saya kemukakan ialah faktor pendorong utama bagi lahirnya nama-nama besar di masa lalu.
Apabila dapat memahami falsafah Minangkabau, mungkin jadi secara teoritis akan dapat ditemui berbagai jawaban yang memuaskan. Pasang naik dan pasang surut kejayaan orang Minangkabau mungkin jadi pula tergantung pula pada kadar penghayatan akan falsafah tradisionalnya. Yaitu falsafah yang menjadi sumber dari sistem serta kultur sosial dan ekonominya. Dan sekaligus membentuk wataknya yang dinamik.
Dalam pembicaraan ini saya tidak akan menguraikan falsafah serta sistem sosial dan ekonomi atau nilai-nilai moral Minangkabau. Saya telah banyak menuliskannya dan Prof. M. Nasrun dalam buku Dasar Falsafah Adat Minangkabau telah menguraikannya dengan panjang lebar dan mendalam. Yang akan saya kemukakan usaha untuk menguraikan berbagai faktor pendorong eksitensi orang Minangkabau dalam kehidupan berbangsa Indonesia dengan analisa yang bertolak dari ajaran falsafahnya dan menurut teori psikologi sosial.
1
Minangkabau mengambil alam sebagai sumber falsafahnya. Alam dipahami terbagi dalam serba empat. Umpamanya: bulan, bintang, matahari dan bumi; air, api, angin dan tanah; utara, selatan, timur dan barat; siang, malam, pagi dan sore. Maka itu masyarakat dibagi dalam empat kelompok pada setiap perkampungan yang bernama nagari. Masing-masing kelompok di sebut suku. Suku artinya seperempat. Aturan atau undang-undang dibagi dalam empat. Demikian juga nilai moral. Sehingga orang Minangkabau yang beradat harus tahu pada “nan ampek” (yang empat).
Setiap unsur alam dengan eksistensinya masing-masing. Kedudukannya sederajat, tapi berbeda posisi atau perannya. Maka nagari, suku serta individu pun hidup dengan eksistensinya, tapi sebagai bagian dari keseluruhan. Yang satu tidak mengalahkan yang lain, karena yang satu sederjat dengan yang lain. “Duduk sama rendah, tegak sama tinggi”. Oleh karena sederajat dan tidak mengalahkan yang lain, maka dalam sejarah Minangkabau, tidak ada suatu nagari mencaplok nagari lain. Jika penduduk suatu nagari telah padat, mereka melakukan transmigrasi atau jika suatu suku telah terlalu besar sehingga tidak seimbang dengan suku lain, suku yang besar dibelah seperti “menggunting sibak baju”.
Hubungan antara unsur alam berjalan dalam harmoni “menurut alurnya yang patut”. Jika terjadi perbenturan, perbenturan itu bagai api dengan air. Bisa menimbulkan uap bila seimbang. Tapi bisa mematikan api atau mengeringkan air kalau tidak seimbang. Suatu dialektika alam. Yang disebut oleh Prof. M. Nasrun sebagai “bakarano bakajian”, bersebab dan berakibat. Tese, antitese dan sintese, kata Hegel.
Tesenya kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai manusia adalah sama. Antitesenya, kodrat laki-laki yang lebih kuat. Agar tidak terjadi penindasan terhadap perempuan hukum adat menyusun sintesenya. Antara kedua jenis manusia itu memperoleh bagian, kewenangan, sehingga posisinya seimbang. Perempuan memiliki turunan (matriarki) dan memiliki harta atas nama kaum. Laki-laki memiliki hak duniawi atau permainan dan kepemimpinan. Dengan demikian, kemungkinan “homo homini lupus” terhalangi. Akan tetapi dialektika itu tidak berhenti sampai disitu. Laki-laki yang kuat dengan naluri ingin berkuasa tapi telah kehilangan hak-haknya, selalu mencari kemungkinan untuk memperlihatkan kekuasaannya. “Hidup berakal, mati berkira” yang dijalaninya. Yang artinya ketika ia mau hidup berharga, ia harus menggunakan akalnya, hidupnya harus “galir”, kalau tidak, ia akan direndahkan terus. Kalau ia akan bekerja “mati-matian”, ia harus berhitung agar jangan terkena. Kalau segala-galanya tidak mungkin, ia akan merajuk atau pergi merantau.
Aturan adat Minangkabau tidak normal jika dilihat dari sudut psikologi laki-laki. Laki-laki “dipaksa bekerja keras untuk menjaga martabat nagari, martabat kaum dan martabat dirinya sendiri, akan tetapi baginya tidak diberikan apa yang diperlukannya. Yang menurut Hamka, laki-laki Minangknbau adalah yang paling sengsara di dunia. Ada tiga masalah yang dianggap tidak normal menurut pandangan itu. Pertama, laki-laki tidak memiliki tanah dan rumah, yaitu sesuatu yang vital dalam masyarakat agraris. Hasil jerih payahnya mengelola tanah kaumnya, tidak menjadi hak miliknya. Kalau ia hendak memakainya untuk keperluan sendiri, harus memperoleh persetujuan mamak dan ibunya serta saudara-saudara perempuannya. Kedua, laki-laki tidak memperoleh kasih sayang dari siapapun, selain ibunya…. (a) Ayahnya adalah “orang asing” yang datang malam dan pergi subuh di rumah ibunya sehingga antara ayah dan anak tidak ada komunikasi yang wajar seperti di masyarakat patriarki. (b) Mamaknya bertingkah laku sangat formal ; sebagai guru bersikap indoktriner ; sebagai pemimpin bersikap seperti mandor ; sebagai pelindung bersikap seperti pengacara. (c) Isterinya adalah “teman asing” yang tidak dapat membantu di waktu susah dan merawatnya diwaktu sakit. Kalau sakit ia dirawat di rumah ibunya. (d) Ibunya adalah satu-satunya orang yang mengasihinya secara wajar. Akan tetapi ketika baru saja jadi akil balig, ia sudah harus berpisah dari ibunya dengan tinggal di surau. (e) Saudara perempuan memanjakannya karena alasan-alasan praktis, yakni karena mengharapkan perlindungan dari mamak apalagi suaminya ia takkan memperolehnya. Ketiga, ia tidak memperoleh kebutuhan rohaninya seperti penghormatan yang atas jasa prestasinya dalam menaikkan martabat nagari, martabat kaum ataupun sukunya. Karena prestasi atau jasa itu adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Yang tersisa bagi laki-laki di dalam hidupnya hanyalah malu. Kata mamangan “jika tanah sebingkah telah terbintalak, rumput sehelai telah bermilik, hanya malu yang tak dapat dibagi”. Untuk menghapus rasa malu yang tak dapat dibagi itulah pada dasarnya semua usaha dan kewajiban laki-laki dilakukannya dalam seluruh kehidupannya. Maka adalah logis apabila laki-laki selalu berpedoman pada gagasan “hidup berakal, mati berkira” itu.
Oleh karena tekanan sosial demikian rupa terhadap laki-laki Minangkabau dengan sendirinya menimbulkan tiga sifat yang menonjol. Pertama: pelagak, yaitu sikap yang suka memamerkan kelebihan yang dimilikinya yakni dengan cara, (a) pesolek dengan pakaian yang mahal-mahal, (b) royal dalam bentuk suka mengadakan perjamuan dan memberi sumbangan di depan orang banyak, (c) suka tampil di depan umum sebagai orang terkemuka dan orang penting.
Oleh sikap “pelagak” inilah mungkin lahirnya peribahasa lama yang berbunyi “Tipu Aceh, gurindam Barus, lagak Padang, omong Betawi”. Kedua: melankolik, yang dalam hal ini ditandai dengan sifat pehiba hati, ada kalanya perajuk. Untuk melepaskan hati yang risau mereka menyukai pantun dan melodi yang sedih dalam bernyanyi. Atau mereka mencari perintang hati dengan bermain di gelanggang atau lepau kopi. Seolah-olah lepau kopi merupakan bagian dari hidup mereka. Ketiga: tinggi hati, yang ditandai dengan sifat-sifat (a) pantang mengeluh atau menangis di hadapan orang lain betapapun sulitnya hidup yang dialaminya, (b) pantang meminta belas kasihan walau pun kepada saudara kandung. (c) pantang menjadi buruh untuk selama-lamanya. Ketiga sikap ini sangat tepat dilukiskan oleh M. Rajab di dalam bukunya.
Ketiga sifat yang menonjol itu merupakan akibat kejiwaan dari sistem sosial Minangkabau yang berpegang teguh pada falsafah samo, yang melahirkan harga diri yang ingin sama dengan orang lain dalam situasi bagaimanapun. Ketiga-tiganya juga merupakan salah satu alasan yang mendorong orang Minangkabau pergi merantau. Suatu dorongan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Yaitu alasan-alasan sosial seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Naim dari penelitimnya. Sifat pahibo hati, perajuk sesungguhnya merupakan bagian dari sifat tinggi hati tapi dari orang yang lemah posisinya. Namun bagi pribadi yang kuat reaksinya ialah kemarahan, kebencian kepada sistem adat. Hal inilah yang dikatakan dr. M. Amir sebagai “minang complex” terhadap sikap H. Agus Salim dan dr. A. Rivai yang sama-sama bersumpah takkan pulang ke kampung halamannya selama adat masih di pakai. Menurut saya, Hamka pun terkena “minang complex”. Bedanya dengan kedua tokoh itu, Hamka menulis serangkaian tulisan yang menyerang adat Minangkabau, bahkan dengan novelnya pun ia menyerang. Mungkin karena Hamka sering pulang dan banyak bergaul dengan “orang awak” di rantau , serangannya kian lunak. Malah di hari tuanya loyalitasnya kepada Minangkabau menjadi tinggi.
2
Merantau merupakan produk kebudayaan yang unik. Pertama, cara merantau mereka sama dengan orang Cina, yaitu kecintaan perantau ke kampung halamannya tidak terputus. Kalau tidak bisa pulang pada waktu tertentu, mereka mengirim uang bagi kepentingan kampung halamannya, bagi kepentingan kaum atau sanak saudaranya. Kedua, perantau Minangkabau di seluruh Indonesia, diperkirakan lebih banyak jumlahnya dari pada yang menetap di kampung halamannya. Ketiga, daya tarik hidup di rantau ialah karena rantau menyediakan kebebasan individu sehingga dapat sesuai dengan kodrat dan kemampuan masing-masing. Terutama laki-laki akan merasa memiliki dirinya sendiri. Tidak berkewajiban lagi meminta nasehat dan musyawarah ninik-mamak bila ia ingin melakukan sesuatu. Naluri laki-lakinya yang diredam di kampung halaman itu memperoleh hak-haknya kembali. Sehingga semangat kompetisi yang kuat, bebas bersaing di rantau. Banyak di antara mereka tumbuh menjadi tokoh besar dan penting dan lebih dihormati serta dihargai sebagaimana mestinya, hal yang takkan pernah diperoleh bila hidup di kampung halaman.
Pada abad ke XIV, pada masa Majapahit sedang jaya-jayanya, seorang yang bergelar Rajo Bagindo, yang jadi panglima Majapahit, bertolak dari Aceh untuk meluaskan kekuasaannya ke kepulau Sulu di selatan Filipina. Selama di Aceh, Rajo Bagindo telah menganut agama Islam. Sesampainya di Sulu, ia mengembangkan ajaran Islam dan kemudian diambil menantu oleh raja Sulu. Islam berkembang dengan pesat. Dan oleh orang-orang Spanyol penduduk Islam kepulauan Sulu itu dinamakan sebagai bangsa Moro. Nama yang sama diberikannya kepada ponduduk Afrika utara yang béragama Islam.
Seorang perantau yang bernama Khatib Tungga (1) pergi ko Sulawesi Selatan. Ia mengislamkan Raja Goa, dan kemudian juga diambil menantu. Maka Islam pun berkembang menjadi anutan seluruh penduduk sejak abad ke XVII. Dan namanya dimitoskan penduduk sebagai Dato Ri Bandang.
Menurut Hamka, bahwa ulama Aceh di abad ke XVII dan XVIII seperti Hamzah Fansuri dan Abdurrauf yang berpengaruh sampai ke istana itu, ialah perantau Minangkabau. Dan seorang perantau lain pada abad ke XIX, Akhmad Khatib, malah menjadi ulama besar di pusat Islam sendiri, yaitu di Mekah. Sehingga cucu-cucunya menjadi kerabat bangsawan dan menduduki kursi-kursi penting di kepemerintahan.
Sejak awal abad ini mungkin ribuan perantau Minangkabau yang menjadi pemimpin atau penganjur dalam gerakan politik, sosial dan kebudayaan dengan ukuran barskala nasional atau kecamatan saja. Jumlah mereka jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berasal dari daerah lain jika dihitung menurut persentase jumlah penduduk dari daerah lain. Banyak di antara mereka yang ditangkap dan dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda. Gerakan mereka tidak pernah memakai bendera Minangkabau. Paling-paling mereka memakai nama Sumatera, seperti “Jong Sumatera” dan “Sumatera Thawalib”.
Ada faktor sosio kultural yang mendorong orang Minangkabau tampil dalam semangat kesatuan nasional. Pada wajah permukaannya ada dua front yang dihadapi orang Minangkabau dalam perjuangannya. Pertama adat dan kedua penjajahan. Untuk melawan salah satu atau keduanya, mau tidak mau ia harus membangun “perumahan” baru, yakni Indonesia. Saya telah menulisnya dalam bentuk makalah untuk Seminar Internasional tentang Minangkabau di Bukittinggi tahun 1980 dengan judul Alur Kebudayaan Dalam Tingkah Laku Gerakan Politik di Minangkabau. Mochtar Naim telah menganalisanya dengan bagus sekali dalam seminar tersebut pada makalahnya Minangkabau Dalam Dialektika Kebudayaan Nasional.
Dalam makalah itu Mochtar Naim telah mengemukakan prototype orang Minangkabau sebagai egaliter, fraternal dengan kepemimpinan yang horisontal. Tingkah laku itu adalah sebagai analogi dari sikap budaya yang berdasarkan falsafah samo. Yaitu falsafah yang mengajarkan sikap perlawanan terhadap kebatilan yang merendahkan martabat atau harga diri manusia. Baik yang dilakukan oleh ninik mamak di kampung halamannnya dalam menjaga nilai-nilai warisan kebudayaan yang diterimanya dari nenek moyangnya, atau terhadap tindakan otoriter dari penjajah. Sikap perantau Minangkabau yang egaliter serta fraternal itu sangat mudah menarik simpati penduduk setempat di perantauan untuk sama-sama memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia. Dan pola kepemimpinannya yang horisontal sangat membantu perantau Minangkabau pemimpin bangsa yang menderita karena tindasan oleh penjajah.
Perantau yang berprestasi tinggi hingga mencapai posisi dan status terhormat itu, bila pulang ke kampung halamannya masing-masing, selalu merasa kehilangan harga dirinya. Oleh mamaknya ia tetap dipandang sebagai kemenakan yang perlu ditunjuki diajari. Oleh penghulunya ia tetap dipandang anak buah yang berkewajiban melaksanakan tugasnya. Oleh penduduk kampungnya sendiri ia akan di pandang biasa-biasa saja. Tidak seorang pun yang datang menemuinya, selain kerabat dekat dan tetangga karena alasan basa-basi. Ia merasa kesal karena merasa tidak dihargai. Padahal orang kampungnya itu sama dengan dirinya sendiri, yakni sama-sama memiliki harga dirinya pula. Yang takkan datang kalau tak diundang. Orang kampung akan memegang pomeo yang lazim mereka pakai, yakni : “kayalah awak, orang takkan meminta. Pandailah awak, orang takkan bertanya”.
Barangkali tidak ada suatu suku bangsa atau bangsa yang paling membenci, mengutuki atau kecewa pada bangsanya sendiri selain dari orang Minangkabau. Itulah yang dilakukan perantau seperti Syekh Akhmad Khatib, dr. A. Rivai, Agus Salim dan bahkan juga Hamka. Sehingga kampanye anti Adat Minangkabau bukan main hebatnya dilancarkan mereka. Minangkabau diserang dalam berbagai mass media, dalam cerita fiksi. Bahkan dalam Kongres PSI tahun 1934 di Banjarnegara dikeluarkan mosi yang mengutuk sistem pewarisan adat.
Gerakan tidak senang pada adat bukanlah merupakan alasan untuk tidak membawa bendera Minangkabau dalam tiap gerakan politik, sosial dan kebudayaan. Bagi orang Minangkabau, tanah airnya bukanlah dipandang sebagai suatu negara, yang pernah ada dan perlu di perjuangkan eksistensinya. Minangkabau tidak lebih dari suatu kebudayaan. Dan karena itu bila orang Minangkabau pergi merantau, mereka tidak memandang dirinya telah meninggalkan tanah airnya. Dan jika mereka memaki-maki bangsanya sendiri tidak ditemui suatu kata yang menuding mereka sebagai pengkhianat bangsa dan tanah air. Memang dulunya pernah ada suatu pusat kekuasaan di bawah raja, yang bertahta di Pagaruyung. Akan tetapi kerajaan itu dipandang sebagai organisasi yang berada di luar struktur. Sehingga tidak ada gagasan untuk mendirikannya kembali. Meski pun sampai demikian marahnya orang Minangkabau pada adatnya, malah telah banyak yang meninggalkannya sejak awal abad ke XX ini, namun setelah cita-cita orang Minangkabau tercapai untuk memerdekakan bangsa Indonesia, orang Minangkabau seolah ingin kembali untuk mencintai kampung halamannya. Bahkan banyak tokoh nasional yang bersedia memangku jabatan pengulu dengan memakai gelar Datuk. A. Asaat, M Natsir, Adinegoro, Syahrial Rasyad, bahkan Hamka pada generasi lebih tua, sama-sama memakai gelar Datuk. Banyak jenderal yang memakai gelar Datuk. Antara lain Amir Mahmud, Nasrun Syahrun, dan akahir-akhir ini Azwar Anas bahkan tokoh yang dinilai sangat “westers opgevoed” seperti Derry Salim dan Harun Zain juga telah bergelar Datuk. Namun saya tidak tahu apa alasan pribadi dari semua itu mau memakai gelar Datuk.
Mungkin dengan pendekatan masalahnya dapat diterangkan, seperti yang akan saya kemukakan pada bagian akhir pembicaraan ini.
3
Pendapat umum dari para ahli, bahwa agama Islam datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang dan musafir yang berasal dari Arab, Persia dan India. Mereka membawa berbagai jenis aliran. Banyak di antara mereka itu mendapat tempat terhormat. Ada yang menikah dengan puteri raja kemudian anak-anaknya menjadi raja pada berbagai kerajaan. Ada kisah hidupnya dijadikan mitos dan kuburannya mereka diziarahi sepanjang tahun dan dikeramatkan. Akan tetapi dalam sejarah Minangkabau tidak ditemui mubalig asing yang kuburannya dikeramatkan, sejarahnya dimitoskan dan anak cucunya dipandang lebih mulia. Seorang Ulama Arab, Syekh Burhanuddin, yang datang menyebarkan agama Islam ke Sumatera bagian tengah, tapi hanya sampai di Kuntu, dekat perbatasan Riau dengan Sumatera Barat sekarang. Konon ayah Tuanku Imam Bonjol seorang mubalig Arab yang diambil menantu di Bonjol. Tapi sampai sebegitu jauh, tokoh itu tidak begitu jelas dan kuburannya tidak diketahui sehingga tidak ada orang menziarahinya.
Maka itu dapat dipastikan, bahwa agama Islam diambil sendiri dari Aceh atau langsung ke Mekah oleh mubalig Minangkabau. Umpamanya Tuanku Ulakan aliran Wujudiah kepada Hamzah Fansuri di Aceh pada abad ke XVII. Tuanku Cangking mengambil aliran Sujudiyah dari Abdurrauf pada abad berikutnya. Pada awal abad XIX paham wahabi dibawa langsung dari Mekah oleh Haji Miskin cs. Tuanku Simabur membawa aliran Naksabandiyah langung dari Mekah juga pada pertengahan abad XIX. Dan pada awal abad ke XX, Inyik Rasul cs mernbawa aliran rasional. Juga langsung dari Mekah.
Mungkin jadi penerimaan Islam secara damai itu karena dibawa oleh “orang awak” sendiri. Orang awak yang mengenal falsafah Minangkabau dengan baik sehingga persenyawaan dengan agama Islam mudah tercapai. Ada beberapa prinsip Islam yang sesuai dengan falsafah Minangkabau sehingga goncangan tidak terjadi. Pertama: Adat Minangkabau tidak mengenal sesuatu yang bersifat metafisis. Ketika Allah diperkenalkan, Ia tidak mendesak kedudukan siapapun dalam kepercayaan yang telah ada. Kedua: Falsafah berguru kepada alam terkembang ternyata sesuai dengan ajaran Islam yang percaya kepada Sunatullah. Ketiga: martabat manusia sama di sisi Allah, adalah sesuai dengan ajaran Minangkabau yang mengenut falsafah samo. Keempat: Islam memberi janji imbalan sorga bagi orang berpahala. Janji yang tak ada dalam ajaran Minangkabau. Kelima: Islam memberi hak untuk memiliki harta benda dan kekayaan. Hak yang tak diberikan oleh ajaran Minangkabau. Keenam: Kehadiran Allah di dalam batin manusia telah membantu mereka untuk mengatasi ketegangan dalam dirinya. Hal yang tak dapat diberikan oleh pimimpin adat Minangkabau. Ketujuh: Islam memberikan posisi sesuai dengan kodrat laki-laki, baik sebagai suami atau pun sebagai ayah. Kedelapan: Ulama Islam tidak mengganggu posisi dan kewenangan penghulu dalam memimpin kaum dan nagari.
Keserasian agama dengan adat itu dengan sendirinya menempatkan Ulama dalam struktur kepemimpinan formal. Umpamanya Rajo Ibadat di Sumpur Kudus pada komposisi Rajo Duo Selo; Tuan Kadi di Padang Gantiang pada komposisi Basa IV Balai; Malin pada komposisi “urang nan Ampek Jinih”. Keserasian itu seolah-olah tidak mulus dalam sejarah Minangkabau, jika kita harus mempercayai saja pendapat para literasi Barat. Seolah-olah konflik yang ditimbulkan oleh gerakan Paderi adalah karena konflik adat dengan agama.
Akan tetapi bila dikaji pada sifat-sifat ajaran Wahabi yang menimbulkan inspirasi dari gerakan Paderi itu, masalah yang sesungguhnya sangat berbeda dengan pendapat literasi itu. Pertama-tama ajaran Wahabi sangat menentang ajaran tarekat dan mengkultuskan Ulama apalagi sampai mengkeramatkan kuburnya. Di Mekah sendiri semua kuburan keramat diratakannya dengan tanah. Bahkan kuburan Siti Khadijah pun mereka ratakan. Sedangkan pada masa itu aliran yang dominan di Minangkabau adalah aliran tarekat Wujudiyah dan Sujudiyah yang memakai kuburan keramat sebagai sarana mediumnya menemui Allah. Seperti halnya orang pergi ziarah ke UIakan sekarang. Dan pejabat agama dalam nagari, seperti Malin itu, tidak berdaya atau sudah terlalu commited dengan kebiasaan syirik dan bid’ah yang dilakukan umat Islam. Adalah logis bila konflik terjadi. Namun tidak ada bukti, bahwa kaum Paderi ingin menggantikan penghulu.
Bahwa pertentangan itu kemudian melahirkan konsensus di Bukit Marapalam yang bunyinya “adat bersendi syarak, syarak bersendi adat” telah menunjukkan kepada kita bahwa kaum Paderi bisa menerima sistem adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Pengertian slogan itu pada waktu itu ialah “Adat bertupang syarak, syarak bertupang adat”, yang maknanya ialah adat dan agama saling tupang menupang. Istilah sendi atau sandi menurut bahasa aslinya ialah tupang atau ganjal. Batu sendi adalah batu menupang atau mengganjal rumah. Akan tetapi setelah kemudian orang membangun rumah batu, maka batu yang menjadi alasnya disebut pondasi atau fondamen. Maka sejak itu kata sendi berobah artinya menjadi fondamen, yang artinya adalah dasar. Jika menurut arti yang telah berobah itu, maka slogan “Adat bersendi syarak, syarak bersendi adat” menjadi pengertian yang bertentangan dengan tauhid. Karena tak mungkin adat berdasarkan syarak, syarak berdasarkan adat. Lalu slogan itu menjadi “Adat bersandi syarak, syarak bersandi Kitabullah”. Yang maknanya ialah “adat berdasarkan syarak, syarak berdasarkan Kitabullah”.
Golongan yang terkuat mempertahankan slogan baru ini ialah para ulama. Hamkalah yang paling berpengaruh hingga semua orang kini memakainya. Dipakai tanpa pandangan kritis, bahwa slogan itu bisa bermakna “fundamentalisme Islam”.
Kalangan lain, seperti Prof. M. Nasrun yang telah mengkaji secara mendalam serta luas tentang falsafah Minangkabau tidak pernah mengemukakan slogan yang diperbarui itu. Meskipun dalam telaahannya mengatakan bahwa adat dan agama Islam sangat harmonis dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Rasjid Manggis malah tidak memerkatakan hubungan Islam dengan Adat dalam satu kalimat pun. Seorang literati lain, Darwis Thaib mengemukakan pandangannya bahwa adat dan syarak bukan sendi bersendi, melainkan sanda(r) bersanda(r). Sedangkan Idrus Hakimi memajukan kompromi lain yakni “Adat bersendi alur dan patut, syarak bersendi Kitabullah, syarak mengata, adat memakai. Namun keempat literati itu tidak mencoba memakai pendekatan linggustik dalam mengkaji slogan yang ditimbulkan oleh peristiwa sejarah yang sangat penting artinya bagi masyarakat Minangkabau.
Jika mau menggali masalah ini lebih luas, terlihatlah kesenjangan pemakaian beberapa slogan yang lazim dipakai pada pidato-pidato resmi para pejabat kita. Dalam ilmu komunikasi suatu slogan semestinya sesuai isi dan maksud tujuannya dengan slogan yang lain. Sehingga logika slogan demi slogan tidak saling bertentangan atau membingungkan. Umpamanya di samping slogan Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah, orang pun sering pula mengucapkan slogan lain seperti “Alam terkembang jadi Guru”. Kedua slogan itu seperti tidak ada sambungannya yang satu dengan yang lain. Sehingga setiap orang berpikir, kemana sesungguhnya masyarakat Minangkabau berorientasi? Apakah kepada Al Qur’an ataukah kepada Alam? Jika mau konsekwen dengan slogan “Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah”, maka pasangan yang tepat ialah “Qur’an terkembang jadi guru”. Meskipun alam merupakan sunatullah, akan tetapi ajaran keislaman yang ditetapkan sabagai sumber beragama ialah Al-Qur’an. Bukan sunatullah. Apalagi alam.
4
Islam memang banyak merobah sistem sosial dalam masyarakat Minangkabau. Terutama dalam hubungan anak dengan ayah, isteri dengan suami menjadi lebih dekat. Mungkin jadi disinilah mulai berlaku mamangan “anak dipangku kemenekan dibimbing”. Mamangan ini masih terasa terpisah dari banyak mamangan lainnya. Karena itulah satu-satunya mamangan yang mengatur hubungan anak dengan ayahnya. Sedangkan mamangan lain dengan berbagai padanan selalu merujuk kepada hubungan mamak dengan kemenakan. Umpamanya mamangan “dari ninik turun ke mamak, dari mamak ke kemenakan” yang padanan lainnya berbunyi “kemenakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu” dan seterusnya, atau “Kemenakan seperintah mamak, mamak seperintah penghulu dan seterusnya, atau “kemenakan berpisau tajam, mamak berdaging tebal” atau lainnya “mamak di pintu hutang, kemenakan di pintu bayar”.
Meski mamangan itu masih menunjukkan dominasi hubungan mamak dengan kemenakannya, namun hubungan ayah dengan anak terlihat makin kuat. Terutama hal itu nampak pada jabatan yang tidak diatur oleh adat.
Umpamanya pada para pedagang dan pada para ulama yang sumber nafkah bukan dari sumber-sumber yang ditetapkan oleh adat. Memang tidak ada bukti-bukti yang otentik bahwa ayah telah mengurus anaknya pada kisah-kisah sebelum pemerintahan Hindia Belanda, selain hanya si Pono (Syekh Burhanduddin sewaktu kecil) pergi meninggalkan kampung halamannya di Pariangan menuju desa UIakan. Akan tetapi bila dilihat pada fungsinya ulama yang memberi pelajaran agama kepada masyarakat, jelaslah kontak antara ayah dengan anak menjadi lebih lama dan lebih intim. Lagi pula berbeda dengan mamak atau penghulu, ulama tinggal di surau, tidak di rumah isterinya. Isterinyalah yang datang menemaninya. Kalau ulama itu beristeri lebih dari seorang, isterinyalah yang bergiliran datang ke surau. Dengan demikian sistem yang lazim menurut adat tidak berlaku bagi ulama. Posisi ulama jelas istimewa dalam hirarki kepemimpinan masyarakat. Oleh karena semuanya itu terlihatlah bahwa pewarisan ilmu agama dari para ulama diturunkan kepada anaknya. Umpamanya Tuanku nan Tuo ulama terkemuka Paderi, mewariskan ilmunya kepada anaknya, Fakih Sagir. Fakih Sagir menurunkan lagi kepada Tuanku Muhammad. Tuanku Muhammad menurunkan ilmunya ke anaknya dan kemudian mengirimnya belajar ke Mekah. Dan si anak kemudian terkenal sebagai Syekh Taher Jalaluddin, ulama terkemuka “kaum mudo” yang mengembangkan ajarannya di Malaysia. Seorang ulama masa Paderi, Tuanku Pariaman, mempunyai anak perempuan di Sungai Batang dan menikah dengan seorang ulama Tuanku Guguk Katur. Melahirkan Tuanku Amrullah. Tuanku ini mempunyai anak, Inyik Rasul. Inyik Rasul mempunyai anak, Hamka.
Dengan demikian terdapat dua jalur pewarisan ilmu di dalam masyarakat Minangkabau. Ilmu adat diturunkan kepada kemenakan, sedang ilmu agama kepada anak. Perbedaan ini, diikuti dengan perbedaan pewarisan harta, karena ulama memakai hukum faraid. Dan itu tak mungkin dihalangi oleh hukum adat, karena harta yang diperoleh ulama bukan bersumber dalam harta kaum. Meski pun ditemui persibakan, namun sistem bersuku-suku menurut stelsel matrilineal tetap berlangsung dan dihormati oleh para ulama. Hal ini terlihat pada tata cara perkawinan. Meskipun dalam agama Islam adalah ayah yang berhak menikahkan anaknya yang perempuan, namun yang akan jadi jodoh anaknya tetap orang yang berbeda suku.
Sebaliknya kontribusi adat Minangkabau dalam penyebaran agama Islam ke seluruh nusantara boleh dikatakan luar biasa, terutama dalam penyebaran ajaran rasional dari “kaum mudo”. Di sinilah barangkali dapat dilihat ketepatan slogan yang “dibuat semasa Paderi itu, yakni “Adat bersendi syarak, syarak bersendi adat” yang artinya adat menopang agama dan agama menopang adat. Ada tiga faktor penting yang memainkan peranan orang Minangkabau dalam gerakan Islam itu. Yakni : (1) Islam adalah agama tunggal bagi orang Minangkabau. (2) Semangat merantaunya tinggi. Karena didukung oleh beberapa kondisi. Antara lain, mereka mempunyai kemampuan berdagang berkeliling membawa barang amanah dari desa ke desa tanpa dirampok karena mereka pandai bersilat. Mereka mempunyai pengetahuan agama, sekurang-kurangnya lafaz bacaan Al-Qur’an memadai. Sehingga dengan ilmu itu ia akan mudah memperoleh posisi yang lumayan di pedesaan yang dikunjunginya. Minimal untuk tempat tidur sementara telah diperolehnya di masjid desa itu. (3) Perantau yang telah lama tinggal di suatu tempat dan kondisi usahanya telah membaik, dengan sendirinya menjadi “konsulat” bagi orang kampung sendiri. Oleh karena rumahnya kecil, dan juga karena tidak adatnya membawa tamu bermalam ke rumah isteri, tugas utama “konsul” itu di rantau adalah membangun surau kecil untuk menampung para perantau yang datang. Kebiasaan membuat surau di rantau itu telah menjadi tradisi, sehingga sampai sekarang perantau itu tetap mempunyai partisipasi membangun mesjid atau mushala di sekitar tempat tinggalnya.
Kalau agama orang Minangkabau tidak tunggal, masjid atau surau tidaklah amat penting bagi orang-orang Minangkabau yang datang ke rantau, mereka tentu akan tinggal di langkan rumah “konsul” atau di kedai-kedai sambil minum minuman yang dapat menolongnya melupakan diri. Akan tetapi oleh karena agamanya tunggal, yaitu Islam, itu merupakan tiket izin tidur di mesjid. Dan untuk menghibur diri sendiri karena nasib belum beruntung atau untuk melalaikan mata yang tak terpicingkan, mereka tidak mungkin mencari hiburan yang haram di dalam mesjid. Satu-satunya yang mungkin dilakukan ialah dengan membaca Al-Qur’an.
Mengetahui orang Minangkabau suka berkumpul di masjid dan pandai membaca al-Qur’an dengan suara yang bagus, simpati penduduk perantauan akan lebih mudah diperolehnya. Kalau penduduk di perantauan itu menganut stelsel matriarki pula, pastilah akan banyak perantau Minangkabau yang berumah tangga dengan penduduk setempat. Simpati itu merupakan jalan pertema bagi perantau memantapkan pilihannya untuk menjadi mubalig.
Oleh karena ajaran “falsafah samo”, orang Minangkabau menjadi hidup dalam kebiasaan kompetisi untuk menegakkan eksistensi dirinya sendiri, kaumya dan nagarinya masing-musing. Oleh semangat kompetisi yang tinggi ini, orang Minangkabau berlomba-lomba mendirikan madrasah atau perguruan Islam di nagarinya masing-masing. Sehingga banyak di antara perguruan Islam itu memperoleh nama yang harum di seluruh Nusantara dan murid-marid pun berdatangan dari mana-mana. Murid-murid itu adalah kader dari berbagai kegiatan dalam masyarakatnya. Tentu saja kegiatan agama yang terutama. Tanpa semangat kompetitif yang tinggi itu, semangat yang dimotori oleh ajaran falsafah adat, pamor perguruan Islam tidaklah akan seharum itu di Minangkabau. Tentu saja pamor perguruan Islam itu tidak semata-mata karena kelebihan ulama memimpin atau yang ikut memberi pendidikannya, melainkan juga oleh karena orang Minangkabau telah secara tidak langsung menjadi propagandis dari perguruan Islam tersebut di peruntauan.
Orang Minangkabau pun menjadi suka “meniru” atau menerima hal-hal yang baru. Karena alasan-alasan yang khusus seperti tersirat dalam mamangan “mencari tuah kepada yang menang”. Demikianlah apabila orang Minangkabau mengikuti dan menyebarkan Muhammadiyah, adalah karena memiliki gagasan baru dalam perjuangannya. Bukan karena faham atau ajaran agamanya. “Jika persoalan agama, kita tak perlu belajar ke Jogja”, kata Inyik Rasul ketika ia kembali dari Jogja. Gagasan baru itu berupakan kegiatan sosial, yang selama ini tidak dikembangkan dalam aktivitas masyarakat Islam di Minangkabau atau pun yang mereka lakukan di rantau. Dan berkat hadirnya orang perantau Minangkabau dalam Muhammadiyah, perkembangan organisasi itu begitu cepat di Indonesia. Terutama setelah Muhammadiyah di Bukittinggi tahun 1930. Muhammadyah juga merupakan sarana komunikasi orang-orang Minangkabau di perantauan, yaitu sarana yang penting mendekatkan silatutrahim.
5
Waktu Indonesia merdeka, bangsa kita belum mempunyai konsep tentang mengisi kemerdekaan, selain dari pada UUD. Suatu gagasan kebudayaan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantoro pada Kongres Kebudayaan Indonesia pertama, yang menyebutkan bahwa kebudayaan nasional adalah “puncak-puncak kebudayaan daerah” di pandang sangat ideal pada waktu itu. Masyarakat Minangkabau juga tidak mempunyai konsep kebudayaan tertentu. Gagasan yang hidup di dada orang Minangkabau pada masa itu ialah, bagaimana supaya rakyat Sumatera Barat tidak sampai ketinggalan dari rakyat provinsi lainnya. Jadinya orang Minangkabau telah melepaskan pikiran berminangkabau dalam usahanya mengindonesia. LaIu didirikanlah sekolah sebanyak-banyaknya, sejak sekolah rendah sampai sekolah tinggi, yang bersifat umum, kejuruan dan agama. Karena ingin jadi orang Indonesia, tak banyak di antara mereka yang terdidik atau berjabatan tinggi ingin menyandang gelar Datuk.
Sidang-sidang Konstituante yang mencoba merumuskan konsep kebudayaan nasional, kemudian ternyata gagal, sesungguhnya telah “pembalikkan pikiran” bahwa yang kebudayaan Indonesia itu adalah kebudayaan daerah. Oleh alasan pertentangan di bidang politik, issu pengembangan kebudayaan daerah dipojokkan menjadi issu daerahisme, separatis. Minangkabau yang menjadi basis PRRI paling menderita teror. Sehingga banyak orang menukar namanya serta merasa tak pandai lagi berbahasa ibunya agar tidak terlihat identitas Minangkabaunya. Cukup lama juga orang Minangkabau menderita, yakni sejak peristiwa PRRI sampai tumbangnya rezim Soekarno.
Baik sebagai alasan guna memulihkan kepercayaan masyarakat Minangkabau kepada pihak militer atau untuk memadu rakyat dengan pihak militer dalam menggalang ketahanan nasional, maka oleh kalangan militer didirikan LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) dan BKPUI (Badan Kontak Pemerintah dan Ulama Islam) sebagai media yang vital bagi menggalang ketahanan nasional itu. Hadirnya LKAAM sampai ke kabupaten dengan anggota pengurusnya kalangan pejabat tinggi pemerintahan, telah menempatkan status penghulu yang bergelar Datuk pada tempat yang tinggi. Maka mulailah para pejabat tertarik untuk memangku jabatan penghulu itu.
Dalam pada itu Gubernur Harun Zain melaksanakan kampanye “Harga Diri” untuk memulihkan api semangat masyarakat Minangkabau dalam usahanya mengejar ketinggalan yang dialami masyarakat daerah oleh akibat kemelut yang cukup panjang. Harun Zain pandai sekali “memainkan” semangat kompetitif dan cinta kampung halaman masyarakat Minangkabau. Cukup banyak pembangunan dilaksanakan berdasarkan swadaya masyarakat. Bahkan cukup banyak proyek pemerintah sendiri yang dibantu pembangunannya oleh masyarakat. Seperti Unand, IKIP, IAIN atau beberapa rumah sakit umum.
Sebulan setelah Parasamya Anugraha Purnakarya diserahkan oleh presiden, saya mengucapkan selamat kepada Gubernur Azwar Anas. Saya mendapat jawaban: “Itu karena bantuan masyarakat”. Dalam observasi saya, partisipasi masyarakat telah menurun volumenya semenjak pengadaan dana untuk pembangunan telah disediakan secukupnya dan setiap proyek dilaksanakan oleh kontraktor. Namun ada suatu hal yang tidak dijumpai di daerah lain. Yaitu di Sumatera Barat tidak ada suatu bangunan pemerintah yang rubuh setelah dipakai. Dan tidak ada penyelewengan yang berskala besar. Boleh jadi ada dua faktor yang menyebabkannya. Pertama: masyarakat Minangkabau yang kritis telah ikut mengawasi jalannya pembangunan itu; Bila dilihatnya suatu keganjilan, mereka tidak merasa rendah diri untuk melaporkannya kepada orang sekampungnya di pusat-pusat kekuasaan pemerintah. Sehingga penyelewengan dapat dicegah lebih lanjut. Kedua: pejabat pemerintah yang “orang awak” masih mempunyai kebudayaan “malu” jika ketahuan mainnya. Maka kalau pun mereka main, mainnya slow-slow saja. Pembangunan tidak rusak, nama baik pun selamat. Ini salah satu “credit point” penting.
Pola hidup orang Minangkabau di rantau dan di kota-kota di Sumatera Barat sendiri, telah banyak berobah. Perobahan itu lambat laun akan mempengaruhi desa demi desa. Perobahan yang menyolok adalah dalam struktur organisasi adat Minangkabau. Perobahan itu terjadi karena lahirnya berbagai peraturan yang bersifat nasional atau pun daerah di samping perobahan yang berlangsung sewajarnya oleh kondisi dan situasi yang tak dapat dielakkan.
Perobahan yang bersifat sosiokultural ialah: (1) pola patriarki makin dominan. Kepala keluarga kini berada di tangan laki-laki yang menjadi suami dan menjadi ayah dari anak-anaknya. Sehingga kedudukan mamak telah tidak berarti lagi, karena si mamak lebih mengurus kepentingan isteri dan anak-anaknya pula. Hilangnya dominasi mamak karena beralihnya sistem ekonomi dari agraris murni kepada sistem jasa dan industri yang tumbuh tidak karena modernisasi sistem adat. Melainkan oleh karena beralihnya orientasi masyakat sendiri ke sistem kebudayaan lain. (2) Pimpinan masyarakat nagari telah beralih dari penghulu ke lembaga “tiga tungku sejarangan”. Jika dulu penghulu menjadi pimpinan dan dibantu oleh perangkat “urang nan ampek jinih”, kini posisi dan status penghulu disamakan dengan ulama dan cerdik pandai dalam “tungku tiga sejarangan”. (3) kegiatan wanita dalam masyarakat desa tidak lagi di bawah pimpinan atau penghulunya, melainkan oleh eksponen yang berada di luar adat. (4) hukum formal telah menggantikan hukum adat dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam nagari. (5) sangsi terhadap pelanggaran nilai-nilai moral, adat dan agama tidak lagi dapat dilaksanakan oleh ninik mamak. Bahkan mencegah agar tidak terjadi pun sudah sulit.
Meski pun perobahan mendasar telah berlanjut, namun rasa cinta kampung halaman kelihatannya masih kuat. Para perantau masih setia mengirimkan uang bagi mengangkat martabat kampung halamannya meski itu tidak merata. Dan barangkali hanya sebagian kecil saja yang melakukannya. Hubungan yang masih kuat, yang mempertalikan orang Minangkabau dengan nagarinya masing-masing, nampaknya masih berdasarkan stelsel matriarki. Dimana faktor ibu pada titik sentralnya. Di atas ibu adalah nenek perempuan. Ke samping saudara perempuan. Jika satu masih hidup di kampung, maka hubungan perantau masih kukuh dengan kampung halamannya. Karena perempuan inilah yang memberikan kasih sayang serta kemanjaan di masa kanak-kanak seseorang yang takkan pernah hilang dari hati masing-masing. Jika perempuan itu meminta sesuatu, senantiasa akan dipenuhi. Perempuan-perempuan itu, meski pun sudah tinggal di rantau dengan anak-anaknya, ikatan kekerabatannya dengan orang kampung pun tak mudah dihilangkan. Perempuan-perempuan inilah yang lazimnya mengingatkan kepada anak-anaknya agar jangan sampai melupakan kampung halamannya. Melupakan kampung halaman masih dianggap “dosa” yang memalukan, atau merendahkan harga diri.
Penutup.
Dalam sidang pada Seminar Internasional tentang Kebudayaan di Bukittinggi tahun 1980 yang lalu, Prof. Bernhard Dahm yang telah nenulis buku tentang Sukarno mengajukan pertanyaan kepada saya. “Kenapa dulu orang Minangkabau pamornya tinggi dan sekarang tidak?” Dan di luar sidang Prof. A. Teew bertanya kepada saya: “Kenapa dulu banyak sekali sastrawan dari Minangkabau, tapi sekarang tidak?” Seorang Profesor Jepang, Yuji Suzuki yang telah menulis buku tentang Tan Malaka mengajukan pertanyaan yang sama ketika kami bertemu pada suatu seminar di Kuala Lumpur. Pertanyaan itu menimbulkan perasaan tidak enak. Tapi lebih tidak enak kalau di jawab bila bertemu dengan ahli-ahli asing yang datang ke kampung halaman kita, umumnya mereka berpendapat bahwa sistem sentralistik dari pemerintah kita, adalah salah faktor penting yang menyebabkan orang Minangkabau kehilangan pamor.
Saya kira ketiga Profesor itu mempunyai pendapat yang sama dengan ahli-ahli asing itu. Meskipun saya dapat menerima pendapat banyak ahli asing itu, namun kepada ketiga Profesor itu saya memberi jawaban yang lain. Saya mengatakan bahwa sejak kemerdekaan Indonesia, orang Minangkabau telah kehilangan motivasi untuk maju. Profesor yang orang Jerman dan Belanda itu tidak melanjutkan pertanyaan. Saya tidak tahu apakah jawaban disetujuinya atau ditolaknya. Akan tetapi Profesor yang Jepang itu malah mengajukan pertanyaan terus, karena ia mengajukannya waktu santai ketika kami diundang makan malam oleh panitia seminar.
Dalam menerangkan, saya mengutip pendapat Mochtar Naim, bahwa orang Minangkabau berwatak egaliter, fraternal dan horisontal dalam berhubungan dengan siapa saja. Untuk memperkokoh dallI itu, saya mengemukakan motivasi Tan Malaka menjadi komunis. Yaitu tokoh yang menjadi objek studi Profesor itu sendiri. Mulanya Tan Malaka menjadi guru di sebuah perkebunan di Deli. Tapi ia tak tahan melihat perlakuan tuan-tuan kebun Belanda itu terhadap kuli-kuli bangsanya. Ia berhenti dan pindah ke Jawa. Lalu memasuki organisasi yang paling radikal bersama Abdul Muis pengarang Salah Asuhan, yakni partai Serikat Islam. Tapi ia tidak puas, dan memasuki sayap kiri yang lebih radikal dalam partai itu. Dan kemudian sayap kiri itu jadi partai komunis. Dan karena pemberontakan, Tan Malaka diusir ke luar negeri. Ia bergabung dengan komunis internasional. Tapi akhirnya keluar. Oleh karena katanya kepada Bung Hatta, bahwa punggungnya belum lagi bungkuk dalam berhadapan dengan Stalin. Artinya ia tidak bisa menyembah Stalin.
Tapi dengan sistem pemerintah Indonesia sekarang, kenapa orang Minangkabau bisa membungkuk-bungkuk, tanyanya lagi. Ketika saya menerangkan, bahwa orang Minangkabau telah commited dengan suku bangsa lain untuk menjadi bangsa Indonesia. Jawaban saya tidak memuaskannya. Dan ia bertanya terus. Lalu saya jawab, bahwa dengan kemerdekaan Indonesia, orang Minangkabau telah mencapai apa yang dirindukannya, yakni menjadi pejabat, menjadi kaya, bertitel dan sebagainya. Jadi telah kehilangan motivasinya. CeIakanya Jepang itu bertanya terus, dan orang-orang lain sama memandang saya.
Lalu saya katakan lagi bahwa laki-laki Minangkabau mempunyai konflik batin akibat sistem kebudayaan adatnya, seperti yang dikatakan oleh dr. M. Amir sebagai “Minang complex”. Karena konflik itu, ia bangkitkan eksistensinya dirinya agar terlihat oleh orang lain bahwa ia benar, bahwa ia patut dihormati. Sebagai contoh lain ketika rumah Baptis didirikan, semua orang Minangkabau bangkit. Ia tidak hanya berteriak-teriak, tapi mengimbanginya dengan membangun rumah sakit sendiri di Bukittinggi juga. Yakni rumah sakit Yarsi. Kalau hari ini saya bertemu dengan Profesor Yuyi Suzuki itu, akan saya sampaikan pula, bahwa akibat adanya rumah sakit Baptis itu dulu, rumah sakit umum di Bukittinggi dimenej dengan baik. Sehingga mendapat piagam sebagai RSU terbaik di seluruh Indonesia, baik dalam hal menajemen atau pun dalam perawatan.
Itu adalah manifestasi dari masyarakat Minangkabau kalau mendapat tantangan. Bahkan orang Minangkabau bagai terkena histeria ketika seorang ahli mengatakannya sebagai suatu bangsa yang licik dan pelit. Apa yang saya kemukakan, bahwa orang Minangkabau telah kehilangan konflik karena sistem adat tidak berlaku lagi itu dapat diterima oleh Profesor dari Jepang itu. Saya kira pengumuman dari hasil studi Dr. Suwarsih Warnaen itu mengundang reaksi yang bagus juga. Barangkali hal itu menjadi pondorong penting bagi keberhasilan acara MTQ Nasional dan Pekan Budaya baru Ialu.
Akan tetapi kebangkitan semangat sporadis karena adanya tantangan kasus Baptis dan kasus Warnaen itu, sebetulnya tidak sehat, meski ada perlunya. Manurut teori Toynbee, ahli sejarah Inggris itu, suatu bangsa justru maju oleh tantangan yang terus menerus dalam hidupnya. Seperti halnya yang oleh ajaran falsafah Minangkabau pada masa dulu, telah menimbulkan berbagai tantangan bagi kebangkitan orang Minangkabau secara terus menerus hingga pamornya tinggi dalam kesertaannya memajukan agama Islam dan membangun bangsa Indonesia.
Kini masyarakat Minangkabau sudah dibiasakan menganut sistem hirarkis vertikal dengan pola kepemimpinan paternal, yaitu dengan cara penunjukan pimpinan dari atas, sehingga menimbulkan rasa takut menyatakan yang benar, sudah merayap dalam kehidupan masyarakat. Bahkan dalam lembaga yang mestinya mendukung dasar-dasar falsafah Minangkabau seperti LKAAM, secara tak disadari mungkin telah memakai pola yang artifisial. Umpamanya isteri Ketua LKAAM secara otomatis menjadi Ketua organisasi “Bundo Kanduang” yang jadi partner organisasinya. Pola ini feodalistik, seperti kata Drs. Hasan Basri Durin kepada saya suatu waktu.
Namun saya selalu optimistik karena orang Minangkabau masih banyak yang kritis, dan masih mau menyatakan yang salah kepada pihak yang berkuasa. Akan tetapi perjalanan akan makin panjang bila kesadaran datang selalu terlambat.
Padang, 17 November 1984
Bacaan.
Alfian, “Tan Malaka: Pejuaang revolusioner yang kesepian” dalam Taufik Abdullah cs ( ed ) Manusia dalam kemelut Sejarah, 1978, LP3ES, Jakarta.
Darwis Thaib Dt. Sidi Bandaro, Seluk Beluk Adat Minangkabau, Nusantara, Bukittinggi.,
Hamka, “Ayahku” 1967, Djayamurni, Jakarta.
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau. 1984, Pustaka Panjimas, Jakarta.
Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, 1979, Gajah Mada University Press, Jogjakarta.
Nasroen, M, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, 1971, Bulan Bintang, Jakarta.
Navis. A.A. Alam Terkembang Jadi Guru, 1984, Grafiti Press, Jakarta.
Navis. A.A. Dialektika Minangkabau Dalam Kemelut Sosial Dan Politik, 1983, Genta Singgalang Press, Padang.
Rasjid Manggis Dt. Rajo Panghoeloe. Sejarah Ringkas Minangkabau Dan Adatnya, 1982, Mutiara, Jakarta.
Radjam, M. Perjalanan di Sumatera, 1949, Balai Pustaka, Jakarta.
000
 
			
					
Leave A Comment