ALI AKBAR NAVIS
CADIAK PANDAI MINANGKABAU
PAR EXCELLENCE
SEKIRANYA saya harus merangkum seluruh tanggapan saya terhadap pribadi Ali Akbar Navis (selanjutnya akan saya singkat sebagai AAN), saya akan mengatakan bahwa beliau adalah seorang cadiak pandai Minangkabau par excellence. Itulah sebabnya saya memilih judul tersebut di atas. Dalam kedudukan sebagai cadiak pandai itulah AAN malang melintang di ranah Minang dan di mancanegara, mengeritik kiri kanan tidak ada habis-habisnya, menyuarakan hati nuraninya baik secara lisan maupun secara tulisan.
Masyarakat Minangkabau mengenal tiga unsur elite tradisionalnya, yaitu: ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Mereka inilah yang disebut sebagai Tungku Tigo Sajarangan, yang masing-masing mempunyai peranan khas yang saling menunjang.
Ninik mamak pada dasarnya adalah elite dari masyarakat agraris tradisional Minangkabau, yang kepemimpinannya terkait erat dengan sistem ekonomi pertanian. Kewibawaan ninik mamak bertumpu pada pengurusan harta pusaka. Sejak tahun 1966, para ninik mamak telah mengorganisir diri dalam Lembaga Kerapatan Alam Minangkabau (LKAAM), dan diberi peranan yang penting dalam pembinaan Nagari dalam rangka mendukung tugas-tugas pemerintahan serta pembangunan daerah.
Alim ulama dan cadiak pandai lebih merupakan elite masyarakat Minangkabau nonagraris, yang bertumbuh setelah abad ke-16. Alim ulama menyampaikan kalam Ilahi, serta hadis dan sunnah Rasul, sehingga meningkatkan kualitas kerohanian masyarakat Minangkabau. Islam mungkin merupakan agama pertama dan terakhir yang dikenal orang Minangkabau. Saya tidak menemukan bukti bahwa sebelum kedatangan Islam sudah ada agama yang dipeluk masyarakat Minangkabau. Dalam abad ke-14, Raja Adityawarman, gubernur militer kerajaan Mojopahit di ranah Minangkabau, bersama dengan para punggawa istananya, memang sudah menganut agama, yaitu agama Buddha Tantrayana. Namun, seperti ditulis Drs. Pitono mengenai raja ini, wujud ibadat agama tersebut amat mengerikan bagi penduduk, sehingga tidak dapat menarik minat mereka, walaupun mereka belum menganut agama apa pun. Islamlah yang mengisi kekosongan rohaniah itu. Islam berhasil memasyarakat dan membudaya, sehingga menjadi seorang Minangkabau sama artinya sekaligus menjadi seorang Muslim.
Cadiak pandai tampil mengemuka setelah lembaga pendidikan tumbuh dengan cepat seusai Perang Paderi dalam tahun 1837. Berbeda dengan ninik mamak yang memusatkan perhatian pada kesejahteraan sosial, dan alim ulama yang memusatkan perhatian pada kesucian batin, para cadiak pandai berkiprah dalam kelincahan nalar. Karena bawaannya, para cadiak pandai ini tidak mengenal otoritas. Segala yang tidak masuk akalnya akan dikritiknya. Ninik mamak masih menghargai wibawa adat, alim ulama menghargai wibawa kitab. Cadiak pandai hanya menghargai akal. Tidak jarang, para cadiak pandai ini berkonflik dengan ninik mamak dan alim ulama, tanpa ada pemenangnya. Namun juga tidak jarang, seorang cadiak pandai kemudian mentransformasi diri menjadi ulama dan atau ninik mamak, misalnya kalau ia sudah semakin tua. Menurut penglihatan saya, idealtype seorang pemimpin paripurna dalam masyarakat Minangkabau adalah seorang cadiak pandai, yang mempunyai kesalehan seorang ulama, dan menjadi datuk dalam kaumnya.
Dalam komposisi kepemimpinan sosial Minangkabau, AAN jelas adalah seorang cadiak pandai. Par excellence. Walau sudah melaksanakan ibadah haji, saya belum dapat membayangkan beliau mempunyai kesalehan seorang ulama, atau menjadi datuk dalam kaumnya. Sikap pribadi beliau ini terlalu bebas untuk itu. Entah kalau sudah lebih tua lagi dari sekarang.
AAN kelihatannya sangat kritis terhadap para alim ulama, seperti tercermin dalam cerpennya yang menghebohkan itu, “Robohnya Surau Kami”. Saya tidak ingat, apakah AAN pernah menulis karangan yang bernada positif terhadap agama. Saya kira itulah sebabnya para alim ulama Minangkabau tidak merasa nyaman berdekatan dengan AAN. Namun terhadap kebudayaan Minangkabau, terasa sekali hatinya demikian dekat. Karya tulisnya, Alam Terkembang Jadikan Guru, menunjukkan hal itu dengan jelas.
Walau kami berdua sesungguhnya sama-sama berasal dari kota kecil Padangpanjang, namun saya baru mengenal AAN secara pribadi sejak tahun 1966, yaitu sewaktu saya sudah berusia 29 tahun, dan ditempatkan kembali di daerah Sumatera Barat sebagai perwira pertama Kodam III/17 Agustus. Sebelum itu, saya bertugas selama enam tahun di Propinsi Riau. Saya bertugas di daerah Sumatera Barat selama sepuluh tahun berikutnya, sampai tahun 1976.
Dalam berbagai tugas saya selama sepuluh tahun di daerah Sumatera Barat, dan setelah saya pindah ke Jawa, dalam karir dan dalam kegiatan kemasyarakatan, langkah saya bertemu dengan kegiatan AAN sebagai cadiak pandai Minangkabau ini. AAN lebih senior 13 tahun dari usia saya. Tidak selalu kami sependapat, tidak jarang kami bertentangan keras, tetapi tidak pernah kami bermusuhan secara pribadi. Dalam hal ini saya kira AAN mempunyai sikap kecendekiawanan seperti Drs. Mohammad Hatta. Berbeda dan bertentangan paham boleh. Bermusuhan pribadi sekali-kali jangan.
AAN dan Kodam III/17 Agustus
Ada dua peristiwa yang perlu saya sampaikan selama saya bertugas di komando daerah militer yang sekarang telah dihapus itu.
Pertama, kegiatan AAN bersama Nazif Basir, Sjofyani Yusaf serta para seniman seniwati lainnya di bawah bimbingan Kolonel Naszir Asmara, Komandan Korem 032 Wirabraja di Bukittinggi mempersiapkan sendratari Imam Bonjol dalam tahun 1970. Sesuai dengan judulnya, sendratari ini mengisahkan kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol. Kisahnya sendiri sudah umum diketahui. Yang khas adalah bahwa dengan surat keputusan Panglima Kodam III/17 Agustus, Mayor Jenderal TNI Widodo, sendratari ini merupakan sendratari yang diciptakan secara sengaja dalam rangka pembinaan tradisi korps (“bintracor”) Kodam III/17 Agustus. Sendratari tersebut dipentaskan bersama oleh para pemain yang berasal dari para pelajar SMA di Bukittinggi serta anggota Batalyon 132/ Bimasakti. Keputusan Jenderal Widodo ini jelas diilhami oleh pengalaman beliau sebagai Kepala Staf Kodam VII/Diponegoro, yang sebelumnya telah memiliki sendratari Diponegoro, dalam rangka bintracor Kodam tersebut. Dengan keputusannya itu, Jenderal Widodo secara kultural berusaha untuk mengakhiri Iuka-Iuka psikologis lama dari masyarakat Sumatera Barat yang telah terjadi sejak tahun 1958. Beliau berhasil, dengan bantuan Kolonel Naszir Asmara, AAN, Nazif Basir serta para seniman seniwati Iainnya di Bukittinggi. Prakarsa tersebut jelas sangat mengesankan bagi saya, yang sebagai kapten menjabat sebagai Kepala Biro Hubungan Masyarakat Staf Urnum 5/Teritorial Kodam III/17 Agustus. Prakarsa Jenderal Widodo ini melanjutkan prakarsa serupa yang telah dirintis oleh Panglima sebelumnya, Brigadir Jenderal TNI Poniman. Oleh karena itulah kedua Jenderal ini diangkat sebagai Payung Panji oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).
Kedua, sewaktu Letnan Kolonel CKH Imam Soeparto SH mengangkat AAN sebagai Pemimpin Redaksi harian Angkatan Bersenjata sekitar tahun 1971, pada saat saya dalam usia 34 tahun sebagai Letnan Kolonel sudah menjadi Kepala Dinas Penerangan Kodam III/17 Agustus dan Ketua Umum DPD Golongan Karya Sumatera Barat. Masalahnya adalah AAN mempergunakan surat kabar resmi Kodam tersebut untuk melancarkan rangkaian kritiknya terhadap Drs. Harun Zain, Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat. Pimpinan Kodam serta Pemerintah Daerah merupakan unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), sedang tugas jabatan saya adalah memelihara hubungan baik Kodam dengan masyarakat dan dengan pemerintah; lagi pula secara politis Golkar juga merupakan mitra kerja dari Pemerintah Daerah. Sudah barang tentu AAN saya tegur dengan keras, baik secara langsung dalam pertemuan, lewat telepon maupun dengan surat. Namun, teguran saya dibawanya tertawa saja. Sebagai perwira yang masih muda dan tidak sabaran sudah tentu saya amat marah; tetapi saat itu tidak tahu mau saya apakan AAN ini. Apalagi beliau lebih tua dari saya, dan di Kodam sendiri banyak pula kawannya, khususnya Kolonel Naszir Asmara, yang sementara itu telah menjadi Wakil Kepala Staf Kodam, atasan saya. Sungguh, saya benar-benar menjadi hilang akal dibuat cadiak pandai Minangkabau yang piawai ini. Sudah tentu sekarang ini saya hanya menggeleng-geleng kepala saja mengingat pernah dipermainkan AAN yang cadiak ini.
Saya tenang-tenang saja sewaktu AAN melanjutkan kritiknya terhadap Pemerintah Daerah sebagai anggota Fraksi Karya di DPRD Sumatera Barat. Walaupun saya adalah juga Ketua Umum DPD Golkar, namun saya menganggap kritik mengeritik sepenuhnya hak anggota DPRD. Untuk membekali para anggota Fraksi Karya di DPRD Tingkat I Sumatera Barat, dengan bantuan rekan saya yang tangkas, H. Arifin Hamid, S.H., kami menyelenggarakan rangkaian diskusi setiap dua minggu. Diskusi ini diadakan di kantor DPD Golkar, dipimpin oleh seorang anggota Fraksi Karya, dan terbuka untuk mereka yang berminat.
AAN dan Golongan Karya Sumatera Barat
Pada tahun 1970, sebagai Mayor dan Wakil Asisten VI/Kekaryaan, dalam usia 33 tahun saya terpilih sebagai Ketua Umum DPD Sekbergolkar Sumatera Barat, menggantikan Letkol CKH Imam Soeparto, S.H. Tugas yang secara langsung harus saya hadapi adalah menyukseskan menangnya Sekretariat Bersama Golongan Karya dalam Pemilihan Umum 1971, yang hanya tinggal 17 bulan saja sejak saya terpilih itu. Target minimal yang harus dicapai adalah 35% dari suara pemilih. Target ini jelas tidak terlalu ambisius. Namun jika diingat bahwa daerah Sumatera Tengah adalah basis utama partai Masyumi, dan bahwa Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) telah mempergunakan lambang Bulan Bintang Masyumi itu untuk menarik suara penduduk, jelas tugas ini tidak ringan. Apalagi saya sama sekali tidak mempunyai pengalaman politik praktis, dan relatif kurang memahami kompleksitas sistem nilai serta sistem sosial Minangkabau. Lahir sebagai seorang Minangkabau ternyata tidak dengan sendirinya memahami sistem sosial Minangkabau yang amat terfragmentasi itu.
Namun ada hal yang menguntungkan saya. Sejak tahun 1966, bersama Mayor Inf. Ahmad Syahdin dan Azis Arif, saya ditugaskan memimpin sekretariat Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Oleh karena saya sendiri bukanlah ninik mamak, dalam rapat-rapat LKAAM saya biasanya duduk dalam kepanitiaan saja. Namun dalam tugas itulah saya banyak mengenal para ninik mamak. Secara khusus saya rnerasa beruntung berkenalan dengan Ketua Umum LKAAM Baharuddin Datuk Rangkayo Basa, B.A, yang juga menjabat sebagai Kepala Jawatan Penerangan Propinsi Sumatera Barat. Dari beliau inilah saya banyak belajar tentang sistem nilai Minangkabau dan menerima dukungan dari jajaran LKAAM terhadap Golongan Karya. Di bawah kepemimpinan beliau jajaran LKAAM serta para ninik mamak secara sadar memutuskan untuk mendukung Golongan Karya. LKAAM ini sendiri dibentuk dalam tahun 1966 atas prakarsa Panglima Komando Antar Daerah Sumatera Letjen TNI A.J. Mokoginta dan Panglima Kodam III/17 Agustus Poniman, yang waktu itu masih berpangkat Kolonel. Dukungan LKAAM ini berarti dukungan daerah perdesaan, yang penduduknya lebih banyak dari kota-kota. Hal itu penting untuk kemenangan pemilihan umum.
Selain dari dukungan para ninik mamak, saya mempunyai hubungan baik dengan rekan-rekan dari Universitas Andalas, khususnya dengan Drs. Hendra Esmara dan Drs. Mawardi Yunus. Saya yakin bahwa kesediaan mereka untuk ikut dalam acara-acara Sekbergolkar secara politis berarti dukungan kampus terhadap organisasi yang relatif baru ini, setidak-tidaknya secara simbolik.
Namun, pada saat itu saya amat risau dengan relatif lemahnya dukungan alim ulama terhadap Sekbergolkar Sumatera Barat. Badan Kontak Perjuangan Umat Islam (BK-PUI) yang dibentuk Kodam III/17 Agustus dalam bulan Desember 1965 terlihat menjaga jarak dengan Sekbergolkar. Padahal, tanpa dukungan para alim ulama, tipis harapan Sekbergolkar Sumatera Barat dapat memenuhi target yang telah diberikan kepadanya.
Dalam saat-saat yang sulit itulah masuknya peranan rekan-rekan saya sesama alumni Universitas Gadjah Mada yang bertugas pada Kantor Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat, dan Kolonel Naszir Asmara, AAN dan temannya Zahar.
Rekan-rekan saya alumni Gadjah Mada, khususnya Drs. Abrar dan Drs. Bagindo Syafiudin, menerangkan dengan jelas sekali pola pemberian suara dalam Pemilihan Umum 1955, menganalisis kecenderungan perkembangannya dalam tahun 1970, serta menyarankan cara menghadapinya dalam Pemilihan Umum 1971. Menurut ingatan saya, strategi dasar Golongan Karya Sumatera Barat , dalam memenangkan pemilihan umum dalam tahun 1971 disumbangkan oleh kedua senior saya ini.
Sementara itu, Kolonel Naszir Asmara sebagai Komandan Korem Sumatera Barat bagian Utara di Bukittinggi menerima pernyataan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di bawah pimpinan K.H. Bahruddin Rusli, yang menyatakan hendak memusatkan perhatian kepada bidang pendidikan. Dengan demikian, sesungguhnya Perti Sumatera Baratlah dalam tahun 1970 yang memulai gerakan kembali ke khittah, yang kemudian disusul oleh Nahdlatul Ulama dalam tahun 1984. Faktor penyebabnya sama, yaitu perasaan telah terjadinya kemunduran yang dialami pesantren selama Perti amat aktif dalam berpolitik praktis. Berbeda dengan NU yang secara formal setelah kembali ke khittah hendak menjauhkan diri dari politik praktis, Perti Sumatera Barat menyatakan akan mendukung Sekbergolkar dalam Pemilihan Umum 1971. Saya percaya, bahwa AAN dan Zahar ikut menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk bergabungnya organisasi keagamaan yang besar pengaruhnya di daerah perdesaan Sumatera Barat ini ke dalam jajaran Golongan Karya. Dalam pengamatan saya, keputusan Perti tersebut merupakan salah satu faktor kunci kemenangan Golongan Karya di daerah ini.
Menggabungnya Perti Sumatera Barat ke dalam Sekbergolkar secara strategis sangat membantu dalam menghadapi Pemilihan Umum 1971, terutama untuk menghadapi kontra kampanye dari Parmusi, yang berusaha menyudutkan Golkar dengan tema keagamaan. Oleh karena seluruh jajaran Perti adalah orang pesantren yang amat saleh, maka citra Golkar di Sumatera Barat dapat terjamin. Hal itu dikukuhkan dengan kehadiran Inyiak Sasak, ulama tertua di daerah Sumatera Barat, dalam Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) Istimewa Golongan Karya Daerah Sumatera Barat pada bulan Mei 1971 di Bukittinggi, dua bulan sebelum Pemilihan Umum 1971.
Mukerda ini sendiri dapat dipandang sebagai “rapim” pertama jajaran Golkar sebagai kekuatan sosial politik baru di Sumatera Barat. Sifatnya menjadi amat simbolis. Demikianlah, di meja pimpinan musyawarah tersebut duduk ulama besar Inyiak Sasak dari Pasaman, berpakaian ulama; Baharuddin Datuk Rangkayo Basa berpakaian ninik mamak; dan saya sendiri sebagai Ketua Urnurn, berpakaian jas, pantalon, dasi, perlambang cadiak pandai. Tungku Tigo Sajarangan. Hasilnya amat baik. Dalam Pemilihan Umum 1971 itu Golkar Sumatera Barat ternyata mampu memperoleh 63,5% dari jumlah suara pemilih.
Untuk menghormati peranan alim ulama dalam memberikan keabsahan religius terhadap cita-cita Golongan Karya dalam saat-saat yang sulit itu, dalam Mukerda Istimewa bulan Mei 1971 itu dibentuklah Majelis Fatwa Golongan Karya Sumatera Barat. Dalam organisasi ini duduk tokoh-tokoh ulama yang bersedia mengambil risiko pribadi mendukung Golongan Karya. Saya ingat betul betapa Inyiak Bancah di Bukittinggi diboikot jemaah beliau karena beliau mendukung Golkar. Secara pribadi saya merasa sedih oleh karena tidak dilanjutkannya lembaga ini dalam struktur organisasi Golkar Sumatera Barat sekarang ini. Sesuai dengan struktur sosial Sumatera Barat adalah absah saja untuk membentuk organisasi keulamaan Golkar khas Daerah ini.
AAN dan Gerakan Seribu Minang
Saya mengenal konsep Gerakan Seribu Minang setelah saya bertugas di Jakarta, dari sahabat saya sejak Sekolah Rakyat di Padangpanjang, Aswan Hamir, yang sementara itu sudah menjadi pengusaha besar. Beliau inilah yang siang malam ingatannya hanya mengenai Gebu Minang saja. Entah kapan dia mengurus usahanya sendiri. Saya tiap sebentar diteleponnya mengenai Gebu Minang ini, pagi, siang, sore, malam, di rumah dan di kantor. Tidaklah berkelebihan jika saya mengatakan bahwa lebih banyak “perintah” nya kepada saya dari instruksi Menteri saya sendiri. Jika nanti ada Bintang Gebu Minang, maka penerima pertama haruslah Aswan Hamir. Jika nanti Gebu Minang harus dibubarkan, maka yang harus dilarang nanti cukup Aswan Hamir saja, seluruhnya akan berhenti setelah itu. Semangatnya itu ikut menggairahkan saya, apalagi saya merasa demikian berhutang budi pada daerah kelahiran saya ini. Walaupun saya sudah menjadi perwira dalam tahun 1960 dalam suasana pasca operasi tempur di daerah ini, namun saya dapat merasakan apa yang dirasakan rakyat dan dipendamnya di bawah permukaan. Saya juga merasa terlibat erat dengan proses rehalibitasi daerah ini dalam era Orde Baru antara tahun 1966 sampai 1976.
Sungguh, pada taraf awal saya tidak begitu paham mengenai maksud, tujuan serta bagaimana caranya gerakan yang sudah dikumandangkan sejak tahun 1982 ini hendak diwujudkan. Rapat demi rapat telah diselenggarakan di Jakarta, sampai adanya dua hal, yang kemudian memungkinkan dibentuknya Lembaga dan Yayasan Gebu Minang ini dalam tahun 1990.
Pertama, informasi dari Bp. Drs. Abdul Gani, Direktur Utama Bank Duta, bahwa Gerakan Seribu Minang sebaiknya mendirikan bank- bank perkreditan rakyat (BPR) sebagai wadah untuk memobilisir dukungan dana perantau. Informasi ini sangat penting, oleh karena BPR memungkinkan diterima dan digunakannya dana dari perantau secara terencana, cermat serta bertanggung jawab.
Kedua, diterimanya makalah pribadi dari AAN dalam tahun 1989; yang menyatakan bahwa hampir separuh dari Nagari di Sumatera Barat masih miskin, walaupun dalam tahun 1984 sudah menerima panji Parasamya Purnakarya Nugraha dari Presiden Soeharto. Data yang diberikan ini jelas telah menghentakkan rasa, puas diri, yang sejak tahun 1984 nampak pada sebagian besar pemuka masyarakat Minangkabau di Jakarta. Mereka menjadi terkejut. Oleh karena itu, dalam waktu cepat dapat diselenggarakan Musyawarah Besar Gerakan Seribu Minang bulan Desember 1989 di Bukittinggi, disusul oleh pembentukan tujuh buah BPR percontohan di Sumatera Barat dalam tahun 1990, yang disusul lagi oleh pembentukan BPR gelombang kedua di Sumatera Barat dan di Jakarta. Kelihatannya, untuk menggerakkan dan menyatukan orang Minangkabau yang suka bertengkar sesama mereka itu, mereka harus dikejutkan terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak ada yang lebih mahir dari AAN.
AAN sendiri diminta untuk menjadi Ketua Pengurus Perwakilan Gebu Minang di Sumatera Barat. Dalam tahun 1992 nama Pengurus Perwakilan ini diganti menjadi Pengurus Daerah. Saya kira, mungkin baru kali inilah AAN menjadi Ketua sebuah organisasi sosial ekonomi dengan pendekatan sosial budaya seperti Gebu Minang ini. Kelihatannya tidak mudah bagi AAN, yang biasa mengeritik itu, untuk langsung memimpin pelaksanaan hal yang dikritiknya itu. Secara pribadi saya merasa amat senang memperhatikan bagaimana reaksi AAN yang suka mengeritik ini jika beliau dikritik orang. Kelihatannya juga grogi dan tidak tahu mau diapakannya orang yang mengeritiknya itu. Terobat “sakit hati” saya melihat AAN ternyata juga dapat menjadi marah mendengar kritik, seperti saya marah dipermainkan AAN sewaktu saya muda dahulu.
Saya menduga, justru untuk itu jugalah maksud dari teman-teman untuk memilih AAN menjadi ketua Pengurus Daerah Gebu Minang Sumatera Barat. Jika saya boleh mempergunakan istilah AAN sendiri, beliau sekarang harus mengembangkan diri dari “cadiak pandai ahli cemeeh” menjadi “angku-angku”. Nampaknya beliau masih memerlukan waktu untuk dapat menunaikan tugas baru ini dengan baik. Jadi “angku-angku” ternyata memang tidak mudah, kan Pak Haji Ali Akbar Navis?
Secara retrospektif dapat saya katakan, bahwa walaupun dalam karir dan dalam kegiatan saya selama ini tidak jarang saya berkonflik dengan AAN, namun adalah jelas bahwa fungsi cadiak pandai Minangkabau tersebut masih tetap diperlukan dalam masyarakat kita. Minangkabau akan sunyi tanpa adanya kritik cadiak pandai ini. Sudah tentu, kualitas, arah serta cakupan kritik harus ditingkatkan secara terus-menerus. Untuk itu kita dapat memanfaatkan hukum-hukum filsafati logika, estetika dan etika yang universal. Di masa datang kita masih tetap memerlukan adanya Ali Akbar Navis-AIi Akbar Navis baru, betapapun menyengatnya kritik yang dilemparkannya kepada kita. Kadang-kadang mereka yang benar, dan kita yang salah, walau kadang-kadang justru kita yang benar dan mereka yang salah. Kebenaran manusiawi memang selalu relatif. Kita tidak perlu takut dengan unsur kebenaran yang mungkin ada pada pihak lain.
Dalam hari-hari berbahagia ini, menyambut 70 tahun usia AAN—deIapan tahun lebih tua dari usia Muhammad Rasullullah—dan dalam usia saya yang sudah memasuki 58 tahun, bersama keluarga besar Haji Ali Akbar Navis, bersama seluruh rakyat Sumatera Barat, dan bersama sahabat dan kenalan beliau, saya ikut mengucapkan: Selamat Panjang Umur, Murah Rezeki, Banyak Amal. Teruslah berkiprah sebagai cadiak pandai Minangkabau, yang justru kita butuhkan dalam kurun perubahan sosial cepat yang membawa demikian banyak ketidakpastian hidup sekarang.
Saya hanya risau sedikit, oleh karena saya tidak melihat adanya Ali Akbar Navis-AIi Akbar Navis muda di ranah Minang ini. Di manakah mereka sekarang? Mengapa ranah Minang yang di masa lampau demikian kaya dengan kreativitas dan daya kritis ini, sekarang sunyi senyap bagaikan padang pasir Nejd? Apakah karena semua sudah menjadi “angku-angku”? Adakah something wrong dalam masyarakat Minangkabau? Benarkah apa yang dikritik oleh Abdurrahman Wahid, bahwa Minangkabau sekarang tidak ada apa-apanya lagi? Apakah kita akan bersihanyut saja dengan arus besar perubahan sosial ini tanpa seleksi sedikit pun juga? Ataukah saya sendiri yang mengharap terlalu banyak dari ranah Minang ini?
Wallahualam bissawab.
Jakarta, 29 Agustus 1994
Leave A Comment