SESAYAT BULAN
DI ATAS JALAN BUKIT TIMAH
(tentang dan untuk A.A. Navis)
I
Setiap bertemu Navis dua-tiga jam
di antara pertengkaran mangkuk kopi dan asbak rokok
persekutuan durian dengan martabak
kuhitung ada seratus cerpen lewat
dan kusesalkan kenapa
aku selalu lupa
menyelundupkan
pita rekaman.
II
Sebuah lepau di kaki gunung Singgalang
yang menyimpan gulungan daun kahwa
kau dengarkah seru siamang
di jurang atas bertalu-talu
ketika aku mencangkung
bersama tukang pedati, petani lobak, mamak penghulu
dan pensiunan guru
menyelesaikan Perang Korea, peran Hatta di KMB
lalu susunan kabinet baru
tapi kau datangkan Ucin di lepau Mak Lisut
sedikit banyak menggoncang wibawa
The Big Five
yang terlibat tak langsung hutang
secangkir kopi.
III
Kini musim kering melanda seluruh negeri
rumput coklat bertanya pada awan putih
mengapa engkau ringan tak mengandung air
bumi dihamili hama, menggapai langit biru bersih
siapa dapat memberi tafsir, kata-kata sempurna
kita bertanya kepada laut, bertanya pada sungai
bertanya pada tasik
tapi lihatlah Sutan Duano menimba
dan menimba dan menimba
danau
Maninjau
sendirian sajakah dia di sana
mencoreti nama pawang hujan
mencekiki leher tahayul
lalu menyusun glosari kata kerja
dengan peluh bertetesan
yang menjadi batang padi
dedaunan dan bebutiran
aku rasanya seperti melihat malaikat
menuntun tangan Sutan-Sutan Duano
menyusun alfabet di pesawahan tanah-airku
merubah legenda memasuki sejarah
dan kata kerja menjadi kata sifat
ketika awan kering kini sarat uap air
menurunkan tangkai-tangkai air lurus ke atas tasik
demikianlah gerimis luruh
gerimis gugur
gerimis
di atas
danau
Maninjau.
IV
Berjalan di dataran luas yang tenang aku kini
kaki langit perbukitan biru bagai ilustrasi buku
tiba-tlba kudengar bunyi kuda berlari kencang
penunggangnya seorang lelaki memegang kendali
di belakangnya berkejaran kawanan serigala
menggeram-geram mengharapkan mangsa
inilah adegan sangat ngeri
dari atas pohon rasa kukenal pengendara kuda itu
dialah pemburu handal, tapi sombong setengah mati
di dunia buru congkaknya luar biasa
kini dia dikejar kawanan serigala
mengharapkan darahnya
dilemparkannya pelana
diperebutkan dan dilapah serigala
dilemparkannya kemeja
diperebutkan dan dikoyak-koyak serigala
dilemparkannya celana
diperebutkan dan dilumat serigala
kini dia telanjang di atas kuda
dipacunya terus sampai ke pintu rumahnya
kudanya roboh keletihan
dikoyak-moyak kawanan serigala
dipukulinya pintu rumahnya
tapi dia ditolak anak-anaknya
“Kamu bukan ayah kami yang gagah!
Telanjang dan betapa nista!”
sementara dia tetap mengguguh pintu
kawanan serigala mengerumuni kuda, melahapnya
sebelum giliran pemburu tentu akan tiba
dia masih memukul-mukul terus pintu rumahnya
dan adegan ini dari atas pohon kulihat
ketika Navis menutup ceritanya dengan tepat
tentang pemburu yang mengenakan baju kecongkakan
secara sia-sia.
V
Pada suatu tahun kuberanikan diriku
mencuri pisau garin tua itu
dan kubagikan kayu bakar pada orang-orang kampungmu
tapi suratan nasib
mencegahnya bunuh diri, tidak keburu
dan simaklah kesedihan habis luluh
benarkah itu gemuruh
gemeretak surau kita yang rubuh
fondasi yang tak terpancang kukuh
incang-incut lantai pelupuh
atap seng disepuh zat asam
tiang dimakan anai-anai
mengapa semua isyarat pada tanda mati
maut, katamu
bagai peristiwa pindah rumah
pindah kampung, negeri atau
dunia
tapi di sisi reruntuhan surau yang satu ini
kulihat air gunung masih sangat jernih
mengalir ke tebat dan bersatu jadi pancuran
amai-amai dan gadis-gadis desa berwudhu berurutan
bening dan dingin
satu derajat saja bedanya dengan air
zamzam
yang kau reguk di musim haji yang lalu
ketika Ali Akbar Navis
tawaf, sa’i, wukuf dan berlontaran kerikil
dari tangannya
tentulah dia renungkan semua ini dalam tenda
ketika matahari tergelincir
di atas langit Arafah.
VI
Aku menengadah, kutengok di atas Jalan Bukit Timah
terapung-apung pisau garin tua itu diantara mega
tapi berubah jadi
sesayat bulan pada kalender Zulhijjah
barangkali Navis menatap bulan itu juga kini
selepas tawaf di Masjidil Haram
seraya memijat-mijat betisnya yang lelah.
***
Leave A Comment