SETELAH Maninjau dibebaskan dari pemberontak PRRI, saya kembali menyambung korespondensi saya ke luar Sumatera Barat yang terputus karena perang saudara. Dan situasi menjadi benar-benar aman secara militer setelah para pemberontak menerima abolisi pemerintah dan “kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi” pada tahun 1961.
Saya sudah berlangganan Mimbar Indonesia via agen di Bukittinggi sejak tahun 1949 dan sampai menjelang meledaknya pemberontakan PRRI. Semua lengkap dan saya bundel. Namun saya ketinggalan nomor-nomor yang terbit di masa saya terkurung di Maninjau karena perang saudara, di samping ada yang hilang.
Maka saya langsung meminta bantuan H.B. Jassin. Saya juga menerima surat Jassin, yang rupanya menyangka bahwa saya sudah meninggal karena perang saudara. Suratnya bertanggal 29 Agustus 1960 itu diawali begini:
Saudara Navis,
Sukurlah saudara masih hidup. Dalam pembicaraan saya mengenai buku saudara tempohari dalam Mimbar Indonesia hampir saja saya sebutkan bahwa saudara pada permulaan pemberontakan ikut PRRI dan tewas seperti yang saya dengar desas-desusnya. Untunglah saya ketemu Baharuddin dan Zaini yang mengabarkan bahwa saudara masih hidup dan sempat saya mencabut keterangan kematian saudara tepat sebelum Mimbar naik pers….
Ditulisnya juga bahwa antara lain Ajip Rosidi, Trisnojuwono pun bersyukur dengan kepastian bahwa saya masih hidup.
Saya lihat dewasa itu Mimbar Indonesia laku keras di Bukittinggi. Tapi saya dapat membelinya di Maninjau, meskipun itu desa saja. Lima eksemplar datang setiap terbit di agennya dan sebentar waktu habis juga terjual. Harga Rp 9 per eksemplar.
Keadaan saya waktu itu saya jelaskan lewat surat tertanggal 16 September 1960, juga pada Jassin:
Selama pergolakan saya banyak menulis cerpen. 21 buah semua. Banyak di antaranya ringan sifatnya. Dua novel, di antaranya satu novel karikatural tentang orang daerahku. Namanya Pak Kantor terdiri dari 15 bab yang masing-masingnya melukiskan karikatur dari satu masalah yang dihadapinya. Yang satu lagi belum bernama. Mencari judul satu cerita memang suatu kesukaran saya. Persis seperti mencari nama anak-anak. Isinya melukiskan tokoh-tokoh agama di daerahku.
Sebagai saudara tahu di daerahku banyak didirikan madrasah-madrasah sebelum Perang Dunia II. Hal yang unik ialah pendiri madrasah dan guru-gurunya tak seorang pun (mungkin sedikit sekali) yang menyekolahkan anak-anaknya ke madrasah yang didirikannya. Umumnya pemuka-pemuka agama itu kaya-kaya, anak-anaknya banyak menjadi orang. Bukan karena asuhannya tapi karena kemampuannya menyekolahkan ke AMS atau HIK di Jawa ini. Dan sesudah zaman revolusi mereka sama-sama meninggalkan jabatan lamanya (= guru madrasah), berebutan menjadi pegawai kantor (= pegawai negeri). Dan bekas murid-murid mereka lari ke lapangan Iain.
Kalau mereka masuk partai, mereka bukan masuk partai agama tapi PKI atau PSI dan sebagainya. Saya pernah bicarakan ini pada seorang tokoh agama, kenapa justru murid madrasah bisa jadi pemimpin PKI atau PSI? Apa yang salah? Rupanya bagi mereka merupakan suatu problem baru kenyataan ini. Tapi dalam hati saya, saya sudah punya kesimpulan sendiri dan tahu benar di mana salahnya, sebab selama ini saya memang banyak bergaul dengan berbagai macam orang….
Selain itu saya menulis juga untuk dibukukan tentang adat dan kebudayaaan Minangkabau. Isinya di antara Iain ialah:
Sejarah dan Tambo, Adat dan Undang-Undang Adat, Penghulu, Rumah Adat dan Arsitektur dan Fungsinya, Harta dan Pusaka, Jalan Hidup (dari mula dalam kandungan sampai mati, upacara apa saja yang dialaminya), Perkawinan dan perilakunya, Kesusasteraan (pantun, kaba dan pidato-pidato adat), Pepatah dan Petitih, Bahasa , Permainan Rakyat, Kepercayaan atau Tahyul, Seni Ukir dan ragam hias, dan Iain-Iain.
. …Sekarang saya terus jadi partikelir. Dan kini saya sedang mulai berternak ayam.
….Sekarang saya lagi asyik menulis sebuah roman yang berlatar belakang revolusi kemerdekaan di daerahku. Bahan-bahannya saya peroleh dari tangan pertama baru-baru ini. Sangat menarik hati saya, hingga menggetarkan hati untuk menulisnya.
Surat berikutnya, bertanggal 23 November 1960:
Sekarang saya sudah punya mesin tik lagi, jadi sudah akan dapat kembali menulis dan mengovertikken cerpen-cerpen yang masih dalam kladnya. Ada sebuah tulisan saya, yang sedang saya overtikken sekarang, judulnya: Keluarga Haji Datuk Kajo, panjangnya lebih kurang 6 cerpen biasa. Melukiskan suatu keluarga pemimpin agama yang karena pengaruhnya jadi ahli politik, dan setelah tiba di Jakarta pandangan hidupnya jadi kucar-kacir. Saya tidak melukiskan kehidupan politiknya tapi tentang sikap hidupnya, sebagai kepala rumah tangga yang sudah tak mampu lagi mengendalikan kaum keluarganya.
Sebagaimana saudara tahu, di daerah kami banyak sekali orang-orang seperti itu selama ini. la mendirikan sekolah-sekolah (yaitu madrasah-madrasah), tapi anak-anaknya tak seorang pun disekolahkannya di situ. …(ada) ulama dan anak-anaknya bersekolah di sekolah Katolik. … (ada) ulama, ketika dia ke Mesir dan ke Amerika ia pun melihat tari perut dan streap tease, dengan alasan mau melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kebudayaan bangsa Iain. Ini memang soal dia, tapi bagi saya tak dapat saya memaafkan sikap hidup yang seperti itu.
Mungkin mereka bermoral baik, tapi sebagai orang Islam, apalagi ulama pula, disiplinnya tidak ada. Seorang penganut mestinya disipliner. Saya sangat ingin sekali agar orang-orang kita menjadi manusia disipliner. Bercita-cita setinggi langit dan berperikemanusiaan tidak ada gunanya, kalau tanpa disiplin. Disiplin mana? Tentu disiplin pandangan hidupnya masing-masing. Apa dia Islam, apa dia Nasrani, apa dia nasionalis dan sebagainya. Bagaimana bisa jadi bangsa besar kalau disiplin hidup itu tidak dipunyai? ”
Saya juga menulis tentang latar belakang penulisan cerpen saya ‘Pemburu dan Serigala’ yang kemudian dimuat dalam majalah Sastra, lalu dalam kumpulan cerpen saya Bianglala, begini:
Cerpen ‘Pemburu dan Serigala’, idenya dari cerita Dahlan Djambek tentang Soekarno. Katanya, Soekarno itu seperti pemburu yang dikejar serigala. Sebelum serigala memangsa dirinya, dia terus mengumpan, sampai kuda yang dia racak dijadikan umpan. Maksudnya, Soekarno itu kan banyak memberi orang pangkat dan Iain-Iain.
Berangkat dari cerita itu saya Olah dan jadilah cerita pendek ‘Pemburu dan Serigala’, yang secara simbolis atau allegoris mencerminkan situasi kepemimpinan pada waktu itu. Bahwa Soekarno sebagai Presiden tidaklah meggubris adiknya Bung Hatta seorang yang berpikir lebih realis, malahan mengkhianatinya.
Seperti akan disinggung nantinya saya juga menulis tentang pengamatan saya dari jauh terhadap Sitor Situmorang, Buyung Saleh, dan Gajus Siagian.
***
DI MANINJAU pula naskah buku ‘Alam Terkembang Jadi Guru’ mulai saya susun. Bahan-bahan buku itu, sebelumnya sudah saya kumpulkan ketika saya bekerja di Jawatan Kebudayaan. Ide mengumpulkan bahan yang akhirnya jadi buku Alam Terkembang Jadi Guru terbitan Grafiti Jakarta, bermula dari datangnya tamu UNESCO berkebangsaaan Australia, dan ahli kebudayaan dari Perancis. Setiap tamu asing datang, saya disuruh mendampingi karena tidak ada pegawai Jawatan Kebudayaan yang pandai bahasa Inggris. Saya ada pandai sedikit.
Tamu dari UNESCO itu saya bawa pada orang-orang, para datuk-datuk, yang saya anggap ahli adat Minangkabau. Termasuk pada Datuk Rasjid Manggis. Pada setiap pertemuan, saya lihat tamu itu tidak puas. Sebab, yang diterangkan Datuk Rasjid Manggis itu sudah banyak bunga dari pada konsep adat Minangkabau itu sendiri. Lebih banyak pantun yang disampaikan. Dalam keadaan mereka tidak puas, saya sendiri sebagai pegawai Jawatan Kebudayaan tidak bisa menerangkan tentang adat Minangkabau.
Saya jadi malu. Nah, mulailah saya belajar tentang adat istiadat Minangkabau. Saya perbanyak membaca, mencari berbagai hal yang berkaitan dengan adat Minangkabau. Kebetulan saya pandai melukis, saya menyalin ukiran-ukiran rumah gadang. Saya banyak pergi ke kampung-kampung mengadakan pertunjukan-pertunjukan kesenian atau melihat kegiatan kesenian. Dan saya terus membaca dan mencari bahan. Sehingga, menyaksikan kegiatan kesenian, saya selalu melihat secara kritis. Cukup lengkap dan banyak bahan terkumpul.
Ya saat itulah saya mulai menulis, menyusun tentang adat istiadat Minangkabau. Malah waktu itu ada juga niat membuat eksiklopedi Minangkabau. Sudah ada sekitar 50 sampai 60 halaman saya susun ensiklopedi Minangkabau itu. Di sini pula novel Kemarau saya buat dan rampungkan, yang pertama kali diterbitkan oleh Nusantara, selanjutnya oleh Penerbit Gramedia, Jakarta.
Di Padang terbit dua koran baru, yaitu Res Publika dengan pemimpin redaksinya Daranin (konon ia anggota PNI sayap Hardi), sedang redaktur lainnya antara Iain Nazif Basir dan Nasrul Siddik. Lalu koran Aman Makmur yang segera laku keras karena diurus wartawan-wartawan Jakarta antikomunis dan berpengalaman, yaitu Darmalis, Sjaifullah Alimin, dan Marthias Duski Pandoe, sedangkan salah seorang staf ahlinya adalah Drs. Harun (Alrasjid) Zain, yang kemudian menjadi rektor Universitas Andalas Ialu Gubernur Sumatera Barat.
Saya mengirim artikel-artikel untuk kedua koran itu, sedangkan harian Aman Makmur memberi saya rubrik tetap Parewa Sato Sakaki. Isinya pikiran-pikiran bebas yang kritis, dilambangkan oleh sikap “parewa” yakni lapisan manusia urakan di lingkungan adat Minangkabau dan biasanya mangkal di lepau-lepau seraya duduk di palanta—yaitu bangku bambu di halaman warung dan udara terbuka. Entah kenapa, kadangkala naskah yang saya kirim untuk rubrik Parewa Sato Sakaki justru menjadi Tajuk Rencana harian Aman Makmur. Saya tentu tidak marah karena justru ditempatkan pada opini paling terhormat bagi penyelenggara koran sebab Tajuk Rencana biasanya mencerminkan hati nurani sebuah koran.
Pada periode ini cerpen-cerpen saya dimuat dalam majalah Star Weekly yang antara lain dipimpin Ouwjong Peng Koen (P.K. Ojong) dan majalah Sastra pimpinan H.B. Jassin.
000
Leave A Comment