PIKIRAN, PERILAKU, DAN

KEPEDULIAN SOSIAL SASTRAWAN

A.A. NAVIS

 

AWAL perkenalan pertama dengan sastrawan dan budayawan A.A. Navis bersamaan dengan terbitnya cerita pendek yang saya baca di rumah sahabat Mohammad Natsir dengan judul “Robohnya Surau Kami” suatu hari pada tahun 1956 dan sekaligus memenangkan Hadiah Sastra Majalah Kisah. Cerita pendek “Robohnya Surau Kami” adalah salah satu karya sastra spektakuler Navis yang menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat agamais di Indonesia yang begitu malu melihat kenyataan dari potret buram dirinya. Dan betapa konservatifnya kebanyakan umat Islam yang mengartikan ibadah secara verbal.

Bagi Navis ibadah tidak hanya sekadar peristiwa ritual atas penyembahan dan penyerahan diri kepada Al Khaliq. Bahwa Islam sebagai Ad Dien tidak hanya mempunyai fungsi spiritual dan ritual tapi juga mempunyai fungsi sosial dan kemasyarakatan. Memang, dalam bahasa AI-Qur’an hubungan kemanusiaan diletakkan dalam satu frame yang seimbang Hablumminallah wa Habluminannas yang dikerjakan secara kaffah. Ke-Tauhid-an dan kesadaran sosial umat harus diletakkan pada posisi seimbang antara persoalan duniawi dan ukhrowi. Keterjebakan dan kejumutan umat manusia di lembah kebodohan akan dapat menganiaya dan menjerumuskan diri ke dalam kesesatan, oleh karena itu pembebasan ummat dari keterbelakangan spiritual dan ortodoksi/fanatisme beragama harus dilakukan sepanjang hayat.

Kesan pertama yang dapat saya tangkap dari membaca cerpen itu adalah, kedalaman, pengusaan terhadap masalah serta pemahaman pengarang terhadap nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam alam masyarakat Minang yang direfleksikan ke dalam “Robohnya Surau Kami”. Kedua, pesan-pesan yang disampaikan dalam cerita pendek merupakan realitas yang dihadapi dan digeluti dalam kehidupan keseharian. Ketiga, pemahaman yang mendalam akan Tauhid serta sosio-religius yang tinggi. Dan boleh jadi A.A. Navis dalam kapasitas sebagai pengarang lebih pas disebut sastrawan religius.

Ali Akbar Navis sebagai produk budaya Minangkabau dilahirkan di Padangpanjang, 17 November 1924 dan berIatar belakang pendidikan INS Kayutanam. Secara fisik ia memang mewariskan kultur ibu Minangkabau tapi dari gagasan dan hasil karya yang dihasilkan, dapat menembus batas-batas geografis kebudayaan ranah Minang. Apa yang diekspresikan sesungguhnya merupakan refleksi atas apa yang digeluti sebagai warna pokok dari problematika Iokal yang ada di Ranah Minang. Boleh jadi itu yang membedakan Navis dari kebanyakan sastrawan dari ranah Minang. Bahwa seluruh karyanya sarat dengan warna Minang, tapi mempunyai nuansa global/universal atas cermin kehidupan umat manusia di Indonesia. Lihatlah karya “Robohnya Surau Kami”, misalnya, merupakan analisis sosial keagamaan yang tajam terhadap cara penyerahan diri yang salah, serta ditunjukan bahwa hubungan yang seimbang antara sesama manusia dan hubungan dengan Tuhan tidak hanya menyangkut persoalan ritual (harus ada harmonisasi vertikal dan horizontal).

Hollands denken” istilah populer yang dipergunakan Bung Karno bagi orang-orang yang terpengaruh oleh kebudayaan Barat, berpikir dengan menggunakan logika Barat, berperilaku seperti kebanyakan orang-orang Barat serta menganggap kebudayaan Barat dengan segala perkembangan menjadi acuan bagi kehidupannya dan mengesampingkan, meremehkan kebudayaan lokal, pikiran seperti ini dulu banyak berpengaruh kepada interaksi sosial masyarakat middle society didikan Barat—serta tumbuhnya karya-karya sastra bercorak ke Barat. Oleh karena Navis—juga sastrawan lain seperti Danarto, Emha Ainun Najib, Umar Kayam—menyampaikan ekpresi, buah pikiran, hasil karyanya melalui pendekatan budaya Indonesia. Umar Kayam contohnya, kendatipun dia belajar di Cornell University tapi bukan seorang captive dari ilmu yang didapat. Kalau dia cerita pengalaman di Amerika, budaya Barat, maka dia menyampaikan buah pikiran secara budayawan Indonesia.

Prototipe A.A. Navis, dalam karya Alam Terkembang Menjadi Guru menunjukkan cakrawala dan keluasan pandangan tentang alam semesta, sosok diri, budaya serta komunikasi dari proses belajar yang mandiri, perenungan yang dalam akan hakikat alam yang menjadi bentangan nikmat bagi manusia.

Kebudayaan dalam arti ini adalah total penyerahan serta aktivitas yang dilakukan manusia dalam mengisi dan menjalani kehidupan hari ini dan masa lalu yang dilandasi dengan etika, norma-norma, kebiasaan, perilaku, akal budi yang secara inheren melekat pada manusia.

Setelah perkenalan pertama meningkat menjadi hubungan bersahaja, Navis sangat menghargai saya sebagai politikus dan sebaliknya saya menghargai Navis sebagai sastrawan. Malah timbul kesan bahwa Navis orang PSI karena kedekatan dengan kawan-kawan PSI yang ada di Sumatera Barat. Dan kesadaran yang mempersamakan Navis dan kawan-kawan dalam memperjuangkan harkat manusia. Oleh karena pada kondisi sekarang kebanyakan orang salah kaprah mengartikan PSI sebagai lembaga dan PSI yang telah mengkristal ke dalam apa yang disebut “a state of mind”. Sehingga dalam mengisi perjuangan fisik kita berjalan seiring sesuai dengan peran profesi masing-masing dan ini sangat penting dari semua kesan orang terhadap Navis. Apa pun yang dilakukan, dipikirkan, diperjuangkan, antara saya, Navis, kawan-kawan Iain, adalah memperjuangkan de mensellijke waardigheid (harkat manusia), demokrasi, keadilan, kejujuran, dan penghormatan terhadap hak-azasi manusia. Zaman memang telah merdeka tapi bukan berarti perjuangan untuk menegakkan demokrasi, keadilan, kejujuran telah selesai. Kita perlu bekerja lebih keras dan sungguh-sungguh untuk dapat mewujudkan cita-cita lepas dari semua belenggu dari sistem, struktur, unsur-unsur yang mengekang kehidupan demokrasi kita. Kejujuran bukan permainan kata-kata (lip service), penghormatan terhadap hak-hak warga negara tidak hanya kalimat verbal tidak bermakna, rakyat yang sekarang hidup di alam yang kata merdeka harus dibebaskan dari rasa ketakutan, bebas dari kemiskinan, dari kebodohan, dan bebas dari ekploitasi para pemilik modal, dan bebas dari cengkeraman konglomerat kagetan. Mudah-mudahan kata-kata ini tidak berlebihan untuk menilai Navis sebagai teman seperjuangan.

Bagi saya permintaan untuk menulis pandangan dan penilaian tentang A.A. Navis dalam kaitan memperingati hari ulang tahun ke-70, tidak ditujukan untuk sekadar mengkritik atau memuji apa-apa yang dipikirkan Navis dan apa-apa yang sudah dilakukan Navis melalui perjalanan hidup sebagai insan, rakyat, suami, bapak, kepala keluarga atau pemimpin masyarakat, tapi memang kita harus berlaku jujur dengan semua kelebihan plus kekurangan yang dia miliki. Sebagai muslim, peran dan tanggung jawabnya telah dijalankan dengan sebaik-baiknya, lewat karya-karyanya dia berbuat “amar ma’ruf nahi munkar”, dia gunakan sastra sebagai medium penyadaran manusia akan peran sosial, peran kekhalifahan di muka bumi. Kesadaran moral keagamaan banyak mengendalikan tindakan-tindakan dalam kehidupan keseharian. Moralitas-idealisme itu juga yang menuntun ia kembali menjadi seorang sastrawan. Setelah habis masa jabatan di DPRD Sumatera Barat maka ia kian menekuni bidang yang selama ini ditinggalkan. Ternyata ada ruang hampa yang dia rasakan selama menjadi anggota legislatif, bahwa cita-citanya tidak dapat diraih secara utuh dan kebebasan untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat tidak terartikulasi secara baik, pada kondisi dan situasi itu dia memperoleh hikmah besar sehingga membawa pada keyakinan untuk terus berpikir, berkarya, berbuat, berdakwah melalui pelbagai jalur hingga sampai usia ke-70 ini. Suatu pengabdian besar yang tidak lekang di sinar matahari, tidak rapuh ditelan waktu.

Sikap konsisten itu juga ditunjukkan Navis lewat pembinaan manusia yang dilakukan di INS Kayutanam, karena menerima amanah untuk memimpin dan melanjutkan cita-cita luhur yang diemban pendiri INS Mohammad Syafei. Sedangkan cita-cita pendidikan di INS adalah “Membentuk manusia yang aktif dan kreatif dengan melatih mereka untuk berkarya secara terus-menerus” (wawancara Navis dalam Harian Suara Karya, 1978). Dalam perspektif pendidikan dewasa ini Navis juga memberikan kritik tajam tentang sistem pendidikan yang mengarah kepada “secara de fakto pendidikan dewasa ini menjadikan orang desa menjadi orang kota” dan seharusnya pendidikan menjadikan anak desa tinggal di desa.

Betapapun kecil hasil pendidikan harus mengintegrasikan pendidikan dengan lingkungan malah kalau menurut Navis motivasi dalam bidang pendidikan sangat perlu untuk melengkapi intelektualitas dan moral setiap anak didik. Sementara problematik yang dihadapi dunia pendidikan kita pada saat ini antara Iain adalah tidak tersedianya ruang yang kondusif bagi tumbuhnya anak didik agar tidak hanya sekadar menjadikan robot bagi keperluan pembangunan. Industrialisasi memang banyak membutuhkan tenaga-tenaga terampil untuk mengolah dan melaksanakan pembangunan ini, tetapi ironisnya justru pembangunan menghilangkan jati diri manusia itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini bagaimana sebenarnya kita memberikan bobot “manusia seutuhnya”, kalau penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan dilecehkan, dengan muatan yang menghilangkan ciri dan keberadaan manusia. Kita tidak menciptakan robot-robot yang hanya digunakan sebagai mesin produksi. Sedangkan pendidikan sejati harus terus menjadi upaya agar pembebasan manusia secara ajeg dari keterbelengguan (kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, kesengsaraan) dapat dilaksanakan. Dalam arti ini pendidikan harus menjadikan pribadi seseorang: memiliki kesadaran diri, mawas diri, mandiri dan mampu bertanggung jawab pada diri sendiri, relasi kemanusiaannya dengan segenap permasalahan yang dihadapi serta kepada Tuhan yang Maha Esa dan secara budaya diarahkan pada peningkatan martabat diri sehingga pengelolaan pendidikan bukan hanya masalah emansipasi akan tetapi bagaimana menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam sistem pendidikan.

Akhirnya Navis baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial memang tidak bisa lepas dari kekeliruan dan kesalahan-kesalahan duniawi, karena interaksi intensif yang dilakukan lewat karya-karyanya menimbulkan plus-minus. Kalau kita kembali kepada hakikat manusia, maka sebagai makhluk sosial dia telah menjalankan misi kekhalifahan secara wajar dan sesuai kemampuan dan kesadaran akan kehadiran kita di dunia yang harus tetap dirawat sebagai amal bhakti serta tanggung jawab kita terhadap masa depan bangsa ini, terhadap Tuhan dan terhadap diri sendiri.

Akhirnya proses jua yang menentukan langkah seseorang untuk konsisten pada panggilan dan kiprah yang digeluti. Semua telah ditulis, semua telah dibentangkan, semua telah digelar, apa yang baik/benar hanya kepunyaan Al Khaliq dan apa yang buruk hanya terdapat pada manusia.

“Sesungguhnya manusia hanya mendapatkan apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu akan dilihat” (Al-Qur’an 52: 39—40). Untuk sahabat dan teman seperjuangan “SELAMAT MEMASUKI USIA KE-70 TAHUN”. Semoga senantiasa Allah SWT selalu melimpahkan kekuatan iman kepada kita.

Jakarta, 27 September 1994