BEBERAPA PENGALAMAN KECIL
DENGAN BUDAYAWAN A.A. NAVIS
SAYA telah mengenal budayawan A.A. Navis sejak 40 tahun yang lalu. Tepatnya pada tahun 1954. Ketika itu saya baru mulai menceburkan diri dalam dunia jurnalistik sebagai seorang reporter. Kebetulan pimpinan saya di Harian Penerangan, Alm. Zakaria Yamin, menugaskan saya untuk meliput sebuah diskusi sastra bertempat di Balai Pemuda, Jl. Bagindo Azizchan, Padang. Gedung itu di sekitar Hotel Femina sekarang.
Yang tampil sebagai pemakalah adalah sastrawan A.A. Navis dengan pembahas utama Soewardi Idris. Waktu itu pembahas lebih populer dengan sebutan “pembangkang”. Usia Navis waktu itu sekitar 30 tahun.
Topik diskusi menyorot Chairil Anwar sebagai pelopor kepenyairan Angkatan 45. Sebagai seorang anak muda yang baru menginjak usia dua puluhan tentu saja diskusi semacam itu bagi saya amatlah menarik. Kegelisahan jiwa saya dalam tahapan usia remaja tertampung dalam dunia sastra dan puisi. ltulah dunia yang menyentuh sekaligus merangsang. Memang, tak semua orang menjadi sastrawan atau penyair selepas dunia remajanya. Tapi itu soal lain.
Dalam keadaan beginilah saya pertama kali mengenal A.A. Navis, melalui ceramahnya. Kira-kira dua tahun kemudian saya membaca cerpennya ‘Robohnya Surau Kami’ yang baru dimuat di majalah Kisah dan kemudian terkenal itu, lalu cerpen-cerpennya di berbagai media, kemudian buku-bukunya. Sampai sejauh itu secara pribadi kami belum saling mengenal. Saya mengenal dia. Sedangkan dia tak kenal saya.
Sesudah tahun 1960 saya memang asyik mendengar obrolannya bila ia mampir di Redaksi Harian Res Publika yang berkantor di Jl. Bagindo Azizchan no. 7, Padang. Di depannya kantor Japenprop dan Inspeksi Pendidikan Masyarakat.
Navis berbicara tentang berbagai hal. Tentang seni dan budaya, pementasan teater Malin Kundang di Wisma Pancasila di tepi laut, soal cerpen, cerbung, dan sebagainya.
Lawannya ngobrol adalah pimpinan dan redaktur koran yang bersangkutan. Seingat saya ada A. Muis S. Bakry yang punya nama samaran Ananda Madah Mangau. Ada Nazif Basir atau Enbas Balenca dan ada Nasrul Siddik.
Saya, karena bukan seorang seniman hanya nguping saja. Paling-paling ikut tertawa karena A.A. Navis pandai “bagarah”, suka guyon. Kadangkala “basobok kalorok” (= “ketemu batunya”) dengan Nazif Basir yang sama-sama jenaka.
Ada tulisan A.A. Navis—kalau saya tidak salah judulnya “Tentang Sebuah Tugu”—yang mengritik arsitektur sebuah di depan Hotel Denai Bukittinggi yang dibangun oleh (Baharuddin Datuk Bagindo). BDB adalah pengusaha urang awak yang punya pabrik korek api di Semarang dan Siantar. Makanya tugu Pahlawan Tak Dikenal yang dibangunnya di Bukittinggi itu persis seperti kotak korek api.
Inilah yang dikritik Navis, apakah tugu tersebut iklan promosi BDB dengan korek apinya?
Ketika tulisan itu masih naskah, saya Iihat di bawahnya tertulis bahwa tulisan tersebut di luar tanggungan redaksi. Ketika naskah itu dibaca oleh Nasrul Siddik, serta merta ia mencoret kalimat yang ada pada ujung tulisan tersebut berbunyi: Isi di luar tanggungan redaksi.
Komentar Nasrul Siddik waktu itu, “Baiklah tulisan ini tanggung jawab kita bersama. Kita sepaham deBang Ali dalam masalah ini.”
Menjelang tahun 70-an, ketika kita sudah berada di zaman Orde Baru, semakin mantaplah perkenalan saya dengan Ali Akbar Navis. Terutama setelah sastrawan ini menjadi orang politik. Kami sering ketemu dalam Pekan Orientasi yang diadakan oleh Golkar Sumatera Barat.
Pada pemilu tahun 1971 dan 1977, kami sama-sama dicalonkan oleh Golkar untuk duduk sebagai anggota DPRD Tk. I Propinsi Sumatera Barat. Saya berdua dengan A.A. Navis sering sama mengurus persyaratan administratif pencalonan ke Polresta, ke DKK, ke Balai Kota Padang, dan Iain-lain.
Namun, usai pemilu, baik 1971 dan 1977, Navis beruntung dapat terpilih jadi anggota DPRD Tk. I Propinsi Sumatera Barat. Sedangkan saya, menurut istilah Abang Navis, tetap sebagai “manganta marapulai” (= pengiring mempelai).
Karena itu ketika saya terpilih dan dilantik menjadi anggota DPRD Tk. I Sumatera Barat hasil pemilu 1987, A.A. Navis khusus datang di DPRD Sumbar hanya untuk menyalami tiga orang saja, yakni: pertama saya sendiri yang katanya begitu sabar menunggu sampai 17 tahun baru dapat duduk jadi anggota lembaga legislatif Sumatera Barat; yang kedua Tuanku Mudo Ismail (alm) yang tak tercalon pada pemilu 1982 ketika perolehan suara Golkar menurun; dan yang ketiga Kolonel Purn. Bagindo Zaidin Bakry yang telah siap mental untuk tidak lagi menjadi anggota DPRD namun ternyata pada tahun 1987 itu terpilih lagi. Sedangkan Navis sendiri sejak tahun 1982, setelah mengabdi selama dua kali periode, tak tercalon lagi.
Jika kita baca karya-karya A.A. Navis yang bersifat fiksi seperti novel, cerpen, cerbung, dan lain-lain, apalagi kalau kita simak pendapat-pendapatnya, kita ikuti jalan pikirannya melalui diskusi, seminar atau karangan-karangannya yang banyak tersebar pada berbagai media pers, maka saya berpendapat bahwa A.A. Navis adalah seorang yang berpikir praktis. Seorang yang pragmatis dan realis. la berpikir dan bersikap terhadap kenyataan yang ada. Dan untuk itu Navis punya keberanian moral, yang juga tergambar dari sikapnya sehari-hari, ucapan dan pendapatnya tentang suatu masalah. Sikapnya yang demikian itu kadangkala dirasakan orang sebagai ekstrim, tajam dan bahkan terasa melawan arus.
Ketika terjadi Peristiwa Malari pada tahun 1974, situasi tanah air memang sedang panas. Mahasiswa di Jakarta kembali turun ke jalan-jalan berdemonstrasi menentang kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia, menentang korupsi, dan Iain-lain. Situasi panas di Jakarta itu membias juga ke daerah-daerah, seperti Bandung, Surabaya, Medan, Padang. Suasana terasa amat mencekam. Tegas dan cemas. Kegetiran diwarnai rasa takut. Kalau bertindak macam-macam akan berhadapan dengan Kopkamtib.
Pada minggu pertama Januari 1974 ini para seniman Sumbar mulai kumpul-kumpul di Pusat Kesenian Padang (sekarang Taman Budaya) dan baca sajak di jembatan di penurunan Pelabihan, Kayutanam. Dari seniman yang seangkatan “kini”, misalnya Chairul Harun, Mursal Esten, Leon Agusta, Wisran Hadi, Makmur Hendrik, M. Jusfik Helmi, Rusli Marzuki Saria, Nasrul Siddik, Upita Agustin, Asnelly Luthan (alm), maka yang senior dan yang tertua adalah A.A Navis.
Pada tanggal 8 Januari 1974 ketika dilangsungkan upacara pembukaan Seminar Desa Daerah Propinsi Sumatera Barat bertempat di Gedung Tri Arga, Bukittinggi, suasana yang tertib itu seketika jadi terusik.
Ada suara bising dan ribut di pintu masuk ke Tri Arga. Saya sebenarnya hadir di Tri Arga untuk meliput seminar tersebut. Dan mendengar ada ribut-ribut di luar, naluri wartawan saya bangkit. Saya tinggalkan tempat duduk dan saya segera menuju ke arah tangga Tri Arga.
Saya Iihat di sana, ada Makmur Hendrik, M.Joesfik Helmi, Wisran hadi dan sejumlah seniman muda lainnya. Mereka membawa poster yang dipegang oleh masing-masingnya.
Dua orang Mawardi yang jadi panitia seminar tersebut, masing-masing Gubernur Muda Drs. Bagindo Mawardi dan Ketua Bappeda Sumbar Drs. Mawardi Yunus Dt Rajo Mangkuto, nampak berbisik dengan Gubernur Sumbar Harun Zain dan Pangdam III/17 Agustus, Brigjen TNI Sumantoro.
Kemudian kedua petinggi daerah itu diikuti oleh Muspida Sumbar menerima para demonstran yang terdiri dari para seniman. Yang jadi juru bicaranya adalah Makmur Hendrik. Selanjutnya Gubernur dan Panglima membawa para pengunjuk rasa tersebut ke ruang bundar Tri Arga dan di sana diberi pengarahan.
Malamnya ketika sidang seminar mendengarkan beberapa makalah, saya dan A.A. Navis pergi makan Soto ke kampung Cina Ialu sambil makan angin kami berjalan kaki ke Simpang Kangkung. Kemudian kami menonton di Bioskop Ery.
Sehabis menonton rupanya seminar malam itu usai pula. Saya berpisah dengan A.A. Navis dan terus ke penginapan.
Malam itu saya dapat cerita, semacam rumor, bahwa demonstrasi berlanjut dipimpin A.A. Navis. Dan bahwa A.A. Navis pun ditahan pihak berwajib.
Saya tentu tertawa dalam hati. Saya baru saja bersama A.A. Navis. Tak ada kami Iihat demonstrasi di jalan-jalan kota Bukittinggi. Juga tak ada seniman membaca sajak di bawah Jam Gadang. Lagi pula saya pikir, kalau menahan A.A. Navis tentu ada prosedurnya sebab dia anggota DPRD Sumatra Barat.
Akhirnya saya tak ambil peduli akan rumor itu. Malam itu saya tidur pulas sementara rekan-rekan lainnya asyik main domino.
Seminar Desa Daerah ini berlangsung tiga hari. Ditutup 10 Januari. Topiknya membahas SK Gubernur No. 015/GSB/1968 tentang Nagari di Sumatera Barat, yang perlu dievaluasi sesuai dengan tuntutan zaman dan derap pembangunan.
Memanglah setelah seminar itu keluarlah SK Gubernur NO. 155/GSB / 1974 tentang Kerapatan Nagari (KN), lembaga yang dibentuk untuk membantu Kepala Nagari. Dewasa ini dikenal sebagai KAN (Kerapatan Adat Nagari), sedangkan jabatan dan peran Kepala Nagari sudah dihapuskan.
Setelah kembali ke Padang saya dengar wartawan/seniman M. Joesfik Helmi di tahan pihak berwajib.
Ibu kota Jakarta semakin panas. Situasi ini dapat dibaca melalui halaman surat-surat kabar Harian KAMI, Indonesia Raya, Pedoman dan Abadi serta koran-koran terbitan daerah yang dianggap sebagai “watchdog of democracy”. Tokoh mahasiswa seperti Hariman Siregar dan Sjahrir menjadi fokus pemberitaan pers. Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Dewan-Dewan Mahasiswa di Binagraha pada tanggal 11 Januari 1974 beberapa hari sebelum kedatangan tamu negara Kakuei Tanaka dari Jepang.
Di daerah-daerah ada kunjungan Pangkowilhan I Sum-Kalbar Letnan Jenderal Widodo yang dimulai dari Daista Aceh sampai ke Lampung. Jenderal Widodo sebelum tahun 1970 adalah Pangdam III/17 Agustus di Padang menggantikan Brigjen Poniman.
Di Padang ada pertemuan antara Pangkowilhan I Jenderal Widodo dengan segenap unsur di gedung DPRD Tk. I Sumbar. Hadir Muspida Tk. I, Ketua Pengadilan Tinggi, Kepala-kepala Daerah Tingkat II se-Sumbar, Anggota DPRD Tk. I Propinsi Sumatera Barat, kalangan perguruan tinggi dan wakil-wakil mahasiswa serta tokoh-tokoh politik dari parpol dan Golkar, dan lain-lain.
Setelah pengantar dari Gubernur Harun Zain dilanjutkan dengan pengarahan oleh Jenderal TNI Widodo. Kemudian dibuka tanya jawab atau forum dialog.
Saya perhatikan suasana pertemuan waktu itu. Hening seketika. Seakan ada yang tersekat di kerongkongan orang yang hadir dalam pertemuan itu. Terasa ada kekakuan.
Tak adakah di antara hadirin yang berani mengeluarkan pendapatnya? Menyampaikan uneg-unegnya di depan para penguasa daerah? Memang dimaklumi suasana waktu itu belum terbuka benar.
Tiba-tiba pada deretan tengah kursi anggota Dewan ada yang mengacungkan tangannya. Dari mimbar pers saya lihat yang mengacungkan tangan tersebut adalah A.A. Navis. H.A. Burhani Tjokrohandoko yang memimpin pertemuan mempersilahkan Navis menyampaikan pendapatnya.
Apa yang dikatakan Navis? Kalau saya tak salah ringkasnya begini:
“Pak Widodo! Di mana-mana sekarang ada penertiban terhadap pedagang kaki lima. Mereka diburu-buru, diusir dan diterjang Hansip. Kalau mereka para pedagang kaki lima itu kaya, berkeadaan dan punya duit, tentu mereka tidak akan berdagang di kaki lima. Sudah pasti mereka membeli toko untuk berdagang. Tolonglah Pak Widodo! Dengan cara begitulah mereka hanya dapat menyambung hidupnya berkeluarga….”
Itu antara lain yang disampaikan A.A. Navis. Dengan tampilnya Navis maka pecahlah “kesunyian” yang tadinya mencekam suasana.
Dan seingat saya, pembelaan Navis terhadap para pedagang kaki lima itu mendapat sambutan positif dari Pangkowilhan I Sum-Kalbar, Letjen Widodo. Saya Iihat Pak Harun Zain yang duduk di sebelah Pangkowilhan membuka kacamatanya dan mengusapnya dengan kertas rokok yang diambil dari kantong bajunya.
Setelah Navis, hanya ada dua orang yang tampil menyampaikan pendapat. Yaitu Bupati Sawahlunto Sijunjung Djamaris Yunus dan anggota dewan H. Sofyan Muchtar, S.H.
Demikianlah beberapa pengalaman kecil yang berkesan di hati saya tentang seniman dan budayawan Ali Akbar Navis yang kini berusia 70 tahun. Semoga Allah Swt masih memanjangkan usianya sehingga banyak gagasan yang dapat disumbangkannya lagi untuk kemajuan bangsa dan daerah Sumatera Barat. Amin.
Padang, 17 September 1994
Leave A Comment