IN MEMORIAM HURIYAH ADAM
6 Oktober 1936 – 10 November 1971
Oleh: A.A. Navis
(Dimuat Harian Sinar Harapan, Jakarta tgl. 17 Nov, 1971. Dimuat Dalam Buku “Yang Berjalan Sepanjang Jalan”, Grasindo, 1999)
HURIYAH Adam muncul di tengah-tangah kita dengan karya-karyanya bukanlah melalui pengalaman yang indah. Kemunculannya sebagai seniwati besar dan sampai dikenang serta diabadikannya namanya pada Sanggar Tari Taman Ismail Marzuki, adalah karena kesengsaraan-kesengsaraan yang dialaminya, yang tempo-tempo melumpuhkan mentalnya.
Lebih 20 tahun yang silam dia telah memulai karirnya. Tapi ketika itu boleh dikatakan dia masih gadis kecil. Dia menari melenggok-lenggok di atas panggung, dia pun menggesek biola atau memetik gitar sambil bernyanyi. Dawai biola dan gitarnya dari kawat telepon yang dicuri. Dan orang pun terpesona sambil dengan gairahnya bertepuk tangan.
Pertama karena dia anak seorang ulama terkemuka dan kedua karena dia menggesek biola atau memetik gitar sambil menyanyi dengan memakai mudawarah meliliti kepalanya yang cantik mungil itu. Tahun-tahun itu dia bahkan telah menimbulkan kebanggaan golongan surau.
Akan tetapi ketika Huriyah sudah menjadi gadis remaja, bagi kota kecil Padang Panjang (yang dijuluki sebagai kota “Serambi Mekkah”) tak memungkinkannya terus berada di atas panggung pertunjukan. Hanyalah berkat ayahnya yang mempunyai sejarah tersendiri di dalam keulamaannya, dan apalagi Engku M. Syafei pemimpin perguruan INS Kayu tanam ikut mendukung. Lidah-Iidah usil yang tidak suka pada kelu.
Masyarakat kota kecil seperti itu, adalah masyarakat yang tumbuh dalam keragaman orientasi berfikir. Di kota kecil ini lahir bermacam-macam pertentangan dan persaingan politik yang bersifat toleran dengan anggota-anggota masyarakatnya yang giat tapi senantiasa diliputi kebergandaan pikiran. Mereka yakin kepada agamanya yang suci, tapi fanatik dengan kehidupan adat istiadat Minangkabau yang unik disamping merindukan kemajuan-kemajuan seperti dunia barat.
Tidak mudah bagi Huryiah menumbuhkan dirinya sebagai seniwati dalam masyarakat kecil seperti itu, baik sebagai seorang gadis remaja maupun kemudiannya sebagai wanita yang sudah bersuami.
Adam, ayah Huriyah adalah seorang bekas pemain komedi bangsawan zaman Djin Afrid. Kemudian tobat lalu menjadi ulama yang berani menantang tradisitradisi lama. Seorang pemberani yang mampu berkelahi dengan tenaga fisiknya. Keberaniannya dan kepionirannya menampilkan gadis-gadis madrasah naik di atas panggung untuk menari dan menyanyi, merupakan benteng pelindung yang kuat bagi kelahiran dan pengembangan bakat-bakat Huryiah.
Kalau tidak karena ayahnya, Huriyah Adam tidaklah menjadi apa-apa. Paling-paling akan menjadi seorang perempuan yang subur dan bertanak di dapur.
Setelah ayahnya meninggal, ada orang lain yang menjadi benteng tempat Huriyah berlindung. Orang itu bukanlah Bustanul Arifin Adam, abangnya, karena abangnya bersama Irsjad Adam ketika itu sedang berada di Brussel mengikuti pendidikan di sebuah Konservatori. Orang itu adalah Ramudin, sahabat karib abangnya belajar pada sekolah yang sama di INS Kayutanam, sama-sama pemain biola yang handal.
Ketika Bustanul akan ke Brussel tahun 1950, kepada Ramudin dipercayakan untuk menjaga seluruh keluarganya. Ibu, 2 adiknya yang buta dan ayahnya yang telah tua. Tapi Ramudin berbuat lebih jauh dari kewajiban seorang sahabat karib biasa. Dia yang menjaga, merawat dan memandikan ayah Huriyah ketika orang tua itu sakit keras menjelang ajalnya. Dia pula yang melanjutkan latihan Huriyah bermain biola yang semula diperoleh dari Bustanul, dia juga mengenalkan Huriyah pada seni lukis. Mencarikan bahan melukis dan mengumpulkan buku-buku reproduksi seni lukis untuk merangsang bakat Huriyah.
Huriah bukanlah semacam gadis yang sempat belajar cukup di bangku sekolah. Selama ia bersekolah, hingga ke SMP, keadaan tanah air kita senantiasa kucar-kacir, baik oleh pendudukan Jepang atau pun oleh perang kemerdekaan. Disaat kosongnya bimbingan karena ayahnya meninggal dan kakaknya di Eropa, Ramudin tampil di dalam hati Huryiah. Bukan saja karena kesantunan Ramudin waktu merawat ayah yang sakit keras, dan sebagai pemegang amanat kakaknya, juga sebagai pengganti ayahnya di dalam memberikan beragam perlindungan serta sebagai menjadi guru dalam mematangkan pelajaran berkesian dan bercita-cita lebih tinggi.
Sebagai pelindung Ramudin tidak bertindak setengah-setengah terhadap gangguan orang luar, karena dia bukan saja dikenal sebagai pemuda yang sangat dan pemberang, tetapi juga sebagai gerilyawan yang tak segan-segan “menyemblih” musuh-musuh Republik pada clash ke dua. Akhirnya mereka kawin di tahun 1957 tanpa restu keluarga Huriyah, terkecuali dari seorang saudara Huriyah yang buta dan saudara Huriyah seayah lainnya.
Ketika pecah perang PRRI, dua orang saudara laki-laki ikut PRRI, dan tinggalah ibunya yang tua dengan dua orang saudara laki-lakinya yang buta. Suami istri Huriah kembali berkumpul di tengah-tengah keluarganya. Rumah mereka terletak di tengah antara mesjid dan madrasah yang didirikan ayahnya. Kehidupan madrasah itu diidentikan oleh orang dengan pengikut Masyumi yang pemberontak, ditambah lagi oleh ikutnya 2 saudara Huriyah menjadi Tentara PPRI. Dan di saat itu kota kecil Padang Panjang talah dikuasai oleh orang-orang PKI yang membonceng dibelakang APRI. Setiap nyawa di saat itu betul-betul tidak mempunyai harga.
Dalam mengatasi situasi yang sulit dan mencemaskan itu, Huriyah diminta oleh penguasa perang untuk mengadakan show, karena tentara memerlukan hiburan. Ramudin adalah seorang seniman yang tidak suka dengan show demikian. Tapi tak ada alternatif lain. Huriyah membentuk tim tarinya dengan nama “Tim Huriyah Adam”. Dia mengandalkan kedua saudaranya yang buta sebagai pemusik, yang satu pemain akordeon dan yang satu pemain biola, Ramudin ikut membantu main biola.
Suaminya yang pemberang dan kritis itu tidak tega melihat istrinya jadi penghibur, yang dia inginkan lebih lagi, seniman penari. Seperti dia mendidik Huriyah dalam seni lukis, Ramudin pun mengumpulkan buku-buku tentang seni tari. Dia bacakan kepada Huriyah tanpa jemu-jemunya. Dia bacakan prestasi penari-penari balet kenamaan agar Huriyah memahami apa yang dikatakan seni tari dalam pengertian yang sebenarnya yaitu bahwa setiap tari mengandung suatu pernyataan, setiap gerak mempunyai makna. Ada tari yang diciptakan untuk menerjemahkan suatu komposisi musik, ada musik diciptakan untuk suatu koreografi.
Semenjak itulah Huriyah bukanlah lagi menarikan tari-tarian rakyat Minangkabau yang dipoles, dia sesungguhnya telah menyimpang kesatu arah yang hanya dimiliki oleh Huriyah. Dia tidak lagi penari intertainment.
Ketenaran Huriyah di masa itu dicoba digarap oleh orang-orang PKI dan PNI agar mau menjadi anggota partai. Huryiah tidak memahami permainan politik. Mamun tak urung ketika pihak penguasa mengangkatnya menjadi DPRD GRP Propinsi Sumatera Barat sebagai wakil seniman, tambah kuatlah kedua partai itu memperebutkan Huriyah. Situasi demikian sungguh-sungguh dipahami oleh Ramudin sehingga kehidupan Huriyah bersama timnya terus menjaga jarak yang nyata, tanpa menyikitkan hati mereka yang sedang berebutan itu. Di dalam timnya dimasukannya gadis-gadis dari macam-macam golongan. Seperti anak anggota Masyumi, PKI, dan bahkanjuga anak orang PRRI.
Setelah perang PRRI usai tugas tim Huriyah pergi menghibur pasukan-pasukan di front pun selesai. Seorang pengusaha, Rustam Anwar dan istrinya Jusna, mengisi kegiatan Huriyah yang kosong. Selain mengadakan pertunjukan pada perayaan Hari Nasional agar seluruh tim terus berlatih, juga mengusahakan order menyelesaikan Tugu Pehlawan di Bukittinggi yang terbengkalai. Ramudian memang pematung yang andal. Pada masa Revolusi 45 dia membuat patung dada Presiden Soekarno setinggi 2 M di Gedung Kebudayaan Padang Panjang. Patung itu diruntuhkan tentera Belanda pada clash kedua. Beberapa karyanya masih bisa dilihat sampai sekarang ialah relief Tugu Proklamasi, Gedung Fakultas Hukum Unand dan Kantor CPM. Semuanya di Padang.
Ketika pertemuan olah raga internasional Ganefo (Games of Neo Emergence Forces) tahun 1962 yang oleh Soekarno dijadikan sebagai tandingan Olympiade, Tim Huriyah Adam dibawa Rustam Anwar untuk mengisi acara festival kesenian di Jakarta. Sejak itu, hampir setiap acara kesenian di Istana Merdeka, Huriyah ditampilkan.
Ketika G 30 S telah dikalahkan Huriyah dipojokan oleh segelintir orang dari kelompok PNI, karena mereka tidak berhasil mengantekkan Tim Huriah Adam ini. Dalam kedaan yang terisolasi Huriyah mengambil palletnya kembali. Dia melukis dan melukis. Suaminya diberhentikan, karena selaku pegawai P&K tak mau dipindahkan dari Padang Panjang.
Akhirnya mereka mencoba nasibnya ke Jakarta. Huriyah tampil di Taman Ismail Marzuki serta dipandang sebagai salah seorang koreografer paling terkemuka. Di sanalah dia bergaul dan mengembangkan kreativitasnya bersama rekan-rekan dari berbagai latar belakang tari pada bengkel tari Taman Ismail Marzuki. Di sanalah dia ketemu Sardono W Kusumo yang diakui sebagai gurunya. Dan juga pada waktu mengikuti Expo 1970 di Osaka dia banyak mendapat pengalaman tari dan gagasan-gagasan baru. Bersama dengan beberapa penari lainnya Huriyah ikut mengajar pada Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta. Beberapa karya tari yang bermutu diciptakannya masa itu, seperti “Tari Malin Kundang” dan “Tari Api.”
Semasa di Padang Panjang karya tari Huriyah pada mulanya tidak banyak bedanya dengan tari anak sekolahan pada acara ulang tahun sekolah seperti yang dipelajarinya dari Sofian Naan dengan sedikit modivikasi serta diiringi lagu-lagu irama Melayu. Para penari masih melakukan gerakan serempak. Tari itu antara lain, “Tari Piring“, “Tari Sapu Tangan“, “Tari Lilin“, “Tari Nina Bobo“, “Tari Nelayan” dan “Tari Gadis Lembah.”
Suaminya adalah kutu buku semenjak di klas SD, tidak suka istrinya menjadi penari hiburan para prajurit. Dia ingin Huriyah menjadi seniman yang menciptakan tari yang kreatif. Kebetulan Panglima Tentara di Padang menggagaskan tari yang ada hubungannya dengan tema politik di masa itu. Seperti pembebasan Sumatera Barat dari kekuasaan PRRI oleh APRI, kepahlawanan prajurit membebaskan Irian Barat, program politik dengan pengadaan sandang pangan atau baju dan makan. Gagasan itu tidak mungkin ditolak. Suaminya yang memberi tafsiran apa arti pembebasan yaitu pembebasan manusia dari ketakutan; arti pahlawanan yaitu tokoh yang berjuang dengan otak bukan dengan tenaga dan Pahlawan itu adalah Soekarno; arti sandang pangan yaitu usaha manusia dalam membangun etika dan moral. Konsep itu disampaikan Ramudin kepada penulis tapi dengan catatan agar tidak diceritakan kepada siapapun. Maka lahirlah “Tari Pahlawan“, “Tari Sandang Pangan” dan “Tari Pembebasan“. Menurut dia tari yang menirukan gerakan hewan atau petani seperti yang lazim dalam tarian tradisional adalah tarian primitif.
Tari yang dikatakan karya seni ialah tari yang mengisahkan kehidupan anak manusia dengan segala pemikiran dan perasaannya. Samahalnya dengan musik klasik karya Beethoven, Mozart, Chopin atau Schubert. Bagaimana menyampaikannya dalam gerak tari? Ramudin membalik-balik buku reproduksi seni lukisan patung dari Michel Angelo yang betema kerajaan langit dan Rodin yang bertema anak manusia di bumi nyata. Menelaah simbol-simbol yang terdapat pada reproduksi karya tersebut.
Dengan ketiga tari itu Huriyah mulai membebaskan konsep tari hiburan yang gerak penarinya serempak seperti tarian anak sekolahan itu. Tarian membuat perobahan dimana seorang penari dapat melakukan improvisasi diiringi oleh musik yang bukan lagi berirama Melayu. Achiar Adam yang bermain akordeon lebih berperan menyusun komposisi musik dalam mengiringi gerakan tarian tersebut.
Tapi Huriyah kurang begitu suka dengan konsep dan tema tari yang begitu rumit seperti yang dimauinya suaminya. Dia ingin yang lain. Yang mengisahkan anak manusia yang berasal dari tanah kelahirannya, Minangkabau. Pada suatu diskusi kecil di rumah sanggar Huriyah, bersama suaminya, Rustam Anwar, saya mengemukakan dua konsep tarian tradisional Minangkabau. Pertama tari yang berasal dari daerah pesisir adalah tari istana raja-raja dalam menjamu pedagang dan awak yang sandar di pelabuhan. Seperti “Tari Payung“, “Tari Saputangan“, “Tari Selendang” dan sejenisnya. Sedangkan di daerah pedalaman adalah tarian petani. Seperti “Tari Piring“, “Tari Sawah“, “Tari Galuk“, “Tari Kerbau Jalang” dan sebagainya, pola yang pada umumnya menirukan gerak hewan atau petani. Sebuah tarian lain mengisahkan epos Cindur Mato. Tarian itu bernama “Tan Bentan” dari Saning Baka. Huriyah tertarik kepada jenis tari yang bisa mengisahkan kehidupan anak manusia itu. Dia pun pergi belajar ke Saning Baka dan membawa gurunya mengajar di sanggarnya. Dari sana dia menggubah sendiri tarian yang sepenuhnya hasil kerasinya sendiri. Yaitu “Tari Barabah” yang mengisahkan perlawanan seorang perempuan seperti burung terhadap lingkungan yang mengungkungnya. Gerakan tarinya lebih lincah, selincah gerakan pencak silat yang pernah dipelajarinya dari guru silat Pakih Nandung selagi dia masih murid SD. Kota Padang Panjang yang kecil sebagai tempat kelahiran dan pembekalan karirnya, dengan masyarakatnya yang tradisionil kekerabatan itu telah dapat ditaklukkannya: bahwa seorang gadis, bahkan seorang istri, yang menari di atas panggung telah diterima tanpa ocehan-ocehan lagi. Namun demikian kota kecil Padang Panjang dan daerah Sumatra Barat sudah dirasakannya terlalu sempit bagi mengembangkan kreativitasnya. Sebelum berangkat, dia dan suaminya ke rumah saya. Kami bebicara dan mendiskusikan macam-macam hal. Dan pada akhirnya Huriyah minta saya memberinya bahan cerita klasik Minangkabau yang dapat digubahnya apabila dia sudah menetap di Jakarta. Saya menceritakan sepintas beberapa cerita rakyat Minangkabau klasik. Dia memilih cerita “Malin Kundang“. Alasannya bukan Malin Kundangnya yang anak durhaka, tapi oleh perasaan hati seorang ibu yang dilukai oleh anaknya. Kepada saya dimintanya menulis semacam “naskah” yang dapat dipedomaninya dalam menggubah tari itu nanti. Gubahan tari “Malin Kundang” mendapat sukses besar ketika digelarkan di Taman Ismail Marzuki. Demikian juga sukses yang diterimanya ketika menampilkan tarian solo berjudul “Tari Api” dengan mengiringi salah satu ciptaan Beethoven.
Ketika saya ketemu waktu dia melatih siswa ASKi Padang Panjang untuk tari “Malin Kundang” itu, saya bertanya: “Mengapa dia memilih musik Beethoven untuk mengiring “Tari Api” itu. Jawabnya sederhana saja. “Dia itu jenius. Tapi tuli. Dua saudara saya yang telah membantu sampai saya begini, buta. Bagaimana hasrat hati orang buta melihat cahaya? Saya kira sama dengan orang tuli ingin mendengar musik. Saya merasakan apa yang mereka rasakan. ”
Kota Jakarta telah mendorongnya ke tingkat yang paling tinggi yang pernah dicapainya dalam hidupnya yang relatif pendek itu. Kota Jakarta telah menggarapnya dengan pantas, tapi kota Jakarta tidak pernah memelihara hidupnya. Tekanan yang diterimanya dari Jakarta betul-betul melumpuhkan mentalnya secara total. Dia ingin pulang ke kota kelahirannya dan mengajar di ASKI. Memang dia pulang. Tapi tidak sampai ke kota kelahirannya. Pesawat Merpati yang ditompangi dari Jakarta jatuh di antara pulau-pulau kecil di pantai Painan. Atas permintaan abangnya untuk membantu mengajar tari pada ASKI, beberapa kali sudah dia pulang-pergi. Akhirnya dia pulang ke tempat-Nya dan pergi untuk selamanya. Justru tepat pada Hari Pahlawan.
Kehidupan Huriah malang-melintang sejak usia remajanya. Karena tekanan tradisi adat yang konservatif atau pun tantangan-tantangan agama yang sangat kritis terhadap perobahan-perobahan, peperangan PRRI yang kejam, romance mereka yang tidak direstui, keadaan ekonomi yang morat-marit bagi kesejahteraan keluarga mereka yang besar, adalah modal utama dari karya tari Huriyah hingga demikian kuatnya.
Gerakannya tajam, baik gerakan pada kaki, tangan, jari dan kepala serta matanya bagaikan gerakan silat si pendekar dalam mempertahankan diri. Apabila Huriyah banyak mengambil gerakan silat di dalam tari-tariannya, salah satu faktornya karena sesuai dengan nalurinya dalam melawan malang malintang yang bertubi-tubi menimpa dirinya.
Agaknya suatu hal yang belum dilakukan oleh Huriyah dalam karyanya yang bernuansa tanah kelahirannya, ialah megubah suatu tari dengan diiring oleh sebuah orkes yang menggunakan alat musik Minangkabau klasik, seperti yang kemudian dikembangkan oleh ASKI Padang Panjang. Tapi mungkin juga dia tidak berminat untuk itu oleh latar belakang pendidikan musiknya menggunakan instrumen Barat dan melainkan lagu-lagu klasik Barat pula.
Seniman sekaliber Huriyah, tidak mudah akan lahir di tengah-tengah kita, terutama yang berasal dari daerah Minangkabau. Apalagi pada saat-saat dengungan perjuangan pembangunan ekonomi besar-besaran demikian gempitanya, hingga pikiran-pikiran orang menjadi terpaut semata kepada kehidupan yang comfort, punya duit banyak. Kesengsaraan-kesengsaraan yang mendera kehidupan Huriyah sejak remajanya, yaitu yang telah melahirkan dirinya sebagai seniman besar, untuk masa yang lama akan sulit muncul lagi. Kehilangan Huriyah Adam dari tengah-tengah kita betul-betul merupakan kehilangan yang sangat besar bagi dunia seni di Indonesia yang kita cintai ini.
000
Leave A Comment