TERNYATA MASIH HIDUP

 

I

ABAK, petani kaum, meninggal ketika saya berusia tiga tahun. Amak seorang penggalas, pergi pagi pulang malam, membuat kanak-kanak saya jadi sempurna: hidup hanya dari sisi bermain. Tapi di situ pula soalnya. Kebebasan yang terlalu lepas membuat saya jadi nakal. Sedangkan kemiskinan menjadikan saya seorang perasa. Walau benci entah kepada siapa, saya sering kasihan melihat Mak pontang-panting menghidupi delapan anaknya.

Kondisi ini, manusia tumbuh tanpa ia tahu ke mana, telah menjadikan saya kanak-kanak yang berbeda. Dalam kebebasan, dalam kelepasan bermain, entah kenapa, saya sering tiba-tiba merasa muak lalu mengundurkan diri berhari-hari hanya untuk satu hal; membaca. Lingkungan, waktu itu, menyebut saya sebagai tukang angan-angan. Lingkungan sekarang mungkin menyebut saya sebagai seorang yang terlalu senang imajinasi. Tapi keduanya keliru. Bertahun-tahun kemudian saya sadari, keinginan saya membaca saat itu lebih dikarenakan kebutuhan lain: mau lebih bertemu dengan kawan senasib. Kesedihan-kesedihan, tragedi-tragedi dalam bacaan, menjadikan saya tidak merasa sendiri. Saya ingat persis, masa-masa itu, saya tak begitu suka cerita-cerita heroik. Tapi, lalu, apa hubungannya dengan A.A. Navis?

II

HUBUNGANNYA? Waktu itu tentu saja tidak ada. Hanya saja, dari beberapa dongeng HC Andersen, dari beberapa Album Cerita Ternama, dari beberapa novel Balai Pustaka, dari beberapa cerita NV Nusantara, majalah Nuri, Si Kuncung, dan sebagainya, ada sebuah cerita pendek yang terbilang lama menetap di kepala saya. Pada masa itu, bila kawan-kawan seusia memperoleh mitos kejamnya ibu tiri dari film-film yang wajib kami (murid-murid SD) tonton, saya justru mendapatkannya dari cerita pendek tersebut. Saya yakin, walau tak “dipertemukan” kembali dengan cerita pendek itu, saya tetap mampu mengingatnya.

Cerita pendek yang saya maksud mengisahkan pengalaman si tokoh “Aku”, lelaki, saat kanak-kanak, dengan seorang bocah perempuan penjual bubur dan kue bernama Maria. Maria, sebetulnya, juga adalah tetangga si “Aku”. Tapi karena rumah mereka baku belakang dan dibatasi pula oleh selokan, persahabatan di antara mereka berlangsung unik. Tak begitu akrab, namun apabila sesekali Maria membuang sampah (ke dalam selokan) tepat saat kebetulan si tokoh “Aku” tengah bermain (di pinggir selokan) maka mereka, begitu saja, akan tenggelam dalam asyiknya percakapan. Dan selalu, setelahnya, si “Aku” merasa heran. Begitu Maria masuk kembali ke rumahnya, senantiasa akan terdengar suara pekikan. Pekik Maria. Raung kesakitan.

Setiap tahun, oleh ibunya, si tokoh “Aku” selalu dibotakkan. Pada pembotakan ketujuhlah cerita itu bertitik tolak. Sehari sebelum pembotakan, seperti biasa, Maria menjajakan kue ke rumah si “Aku”. Karena hari itu kebetulan ibu si “Aku” tak di rumah, si ibu meninggalkan uang remis untuk membeli kue Maria. Tapi remis itu dibelikan si “Aku” gula tare. Ketika Maria datang, walau si “Aku” tak lagi punya uang, ia tetap diberi sebuah limping dengan bayaran kemudian. Tapi akibatnya parah. Ketika si “Aku” lekas mengantarkan uang begitu ibunya pulang, ia terpana di pintu dapur rumah Maria. Saat itulah si “Aku” melihat langsung bagaimana Maria dipukuli. Bagaimana Maria terpekik. Bagaimana meraung.

Begitulah besoknya, pada pembotakan ketujuh itu, Maria datang seperti biasa menjajakan kue. Karena sedang bercukur, si “Aku” mula-mula hanya melihat rok Maria. la dengar Maria batuk-batuk lalu meludah. Ludah itu tepat jatuh menimpa sebingkah rambut si “Aku” di tanah. Apa yang ia lihat? Darah. Selesai bercukur, karena geli melihat kepala gundulnya di cermin, si “Aku” melompat berputar-putar. Saat itulah, tak sengaja, tangannya melanda jajaan Maria: Bubur delima tumpah ke tanah. Warna merahnya menyiram bingkahan rambut, dan bersatu dengan darah.

Tapi, ganti rugi bubur delima, baru bisa diantarkan Ibu-ikut pula si “Aku”- setelah Ayah pulang. Heran. Begitu sunyi. Di lantai dapur Maria, si “Aku” melihat banyak air tergenang.

Lama, barulah Mak Pasah—begitu nama perempuan itu—muncul. la tersenyum. Bahkan terkekeh-kekeh. Iblis. Mana Maria? Sudah tak ada. Karena Maria… telah mati.

Demikianlah. Dan cerita pendek itu, saya masih ingat, seperti mengepung saya berhari-hari. Walau sengaja tak dilukiskan, tapi otak saya tak henti-hentinya memompakan gambaran perlakuan apa sesungguhnya yang telah ditanggungkan Maria dari Mak Pasah. Darah, ludah Maria di atas sebingkah rambut itu, bagai saya lihat jelas. Darah, seolah saya lihat senyata-nyatanya. Tapi, lagi, apa hubungannya dengan A.A. Navis?

III

HUBUNGANNYA? Ternyata A.A. Navis si pengarang cerita. Sudah saya singgung soal “dipertemukan” kembali, dan itu terjadi ketika saya memasuki SMP, dan takjub, dan tertelan, saat menyadari betapa banyak, betapa mudah, memperoleh bacaan—tentu saja dari perpustakaan. Barulah saat itu saya tahu judul si cerita pendek: “Pada Pembotakan Terakhir”. Hanya saja, ternyata saya ‘keliru telah meletakkan Mak Pasah sebagai ibu tiri. Iblis itu, Mak Pasah; rupanya bukan ibu tiri. Melainkan etek Maria. Heran. Sampai sekarang saya tak mengerti bagaimana memory saya bisa “rusak”, dan telah dengan begitu saja, mengenangkan Mak Pasah sebagai ibu tiri. Tapi akhirnya Saya tak peduli. Karena memang banyak masa kanak-kanak saya yang tak saya mengerti.

Pada “pertemuan” yang kedua itu, tahun 1980, saya muIai tahu, mulai senang, tidak hanya kepada “Pada Pembotakan Terakhir”. Cerita pendek yang dijadikan judul buku, “Robohnya Surau Kami”, sudah lebih menarik saya. Saya jadi maklum waktu itu kenapa judul buku diambilkan dari “Robohnya Surau Kami” dan bukannya “Pada Pembotakan Terakhir”. Usia, tepatnya perkembangan, kiranya telah mengantarkan orang pada kesenangan yang berbeda. Tapi saya kurang suka dengan kesimpulan begini. Saya sering cemburu, merasa iri, bila seseorang bercerita tentang kenangan, atau tepatnya kesenangan, yang sepertinya ia miliki abadi. Itu bisa saya kenali dari caranya bercerita dan sorot matanya. Tapi itu tak penting.

Baiklah saya kembali kepada A.A. Navis. Jadi, begitulah “perkenalan” pertama. Tapi itu juga mungkin tak menarik. Setiap orang, setiap manusia yang berkegemaran membaca, tentu akan mengalami peristiwa berkenalan (dengan si pengarang) yang lebih-kurang sama caranya. Tapi bisa juga tak sama. Selalu saja ada perbedaan. Dan bagi saya ketika itu, satu hal yang unik, adalah anggapan atau kenangan (“rusak” lagi) bahwa si pengarangnya, A.A. Navis telah mati.

IV

TELAH MATI? Begitulah memory saya, setidaknya kepada setiap nama yang saya temukan di buku pelajaran. Dan saat kesukaan mengarang saya telah tumbuh subur lalu mulai keluyuran (ke Padang) setiap ada kegiatan atau pertemuan sastra, saya tiba-tiba takjub. A.A. Navis hidup. Ternyata masih hidup. Dan ini celaka, saya bisa akan jadi kagum berlebih-lebihan. Padahal saya tak ingin terlalu kagum kepada seorang pun. Makanya saya tak pernah menegur Navis, menyapa Pak Navis. Apalagi memperkenalkan diri.

Tapi, selalu ada perubahan. Selalu ada perkembangan.

Tahun 1987, bersama Asri Rosdi, saya diundang Dewan Kesenian Jakarta mengikuti Forum Puisi Indonesia ’87. Seperti biasa, bila ada undangan, biaya keberangkatan selalu diusahakan sendiri oleh pihak yang diundang. Jelas kami jadi repot. Karena harus berhubungan dengan Pemerintah Daerah. Ah sudahlah… undangan itu tak begitu perlu. Tapi dua atau tiga hari kemudian, Katik (panggilan akrab Asri Rosdi) kerkata lega, “Kita bisa berangkat.”

Kenapa jadi bisa?

Karena A.A. Navis. Saya tak tahu persis bagaimana biaya itu akhirnya bisa diperoleh. Saya juga tak begitu peduli. Pemerintah selalu punya alasan untuk membedakan rakyat (individu) yang satu dengan rakyat (individu) lain. Makanya biasa saja. Tapi, di Jakarta, A.A. Navis (entah ada urusan apa juga telah berada di Jakarta) mencimeeh saya tapi lalu… memberi uang saku! Sungguh celaka, saya harus memikirkan lagi ketakterlalukaguman saya.

V

KETAKTERLALUKAGUMAN? Begitulah. Cukup banyak saya terkecoh dengan pendengaran yang setelah berjumpa ternyata begitu berbeda dengan sangkaan kita. Tapi A.A. Navis tidak. Tak cukup banyak karya para pengarang yang mampu membuat saya melakukan “pertemuan” kembali. Dan A.A. Navis memang salah satunya. Begitulah. Setelah “Pada Pembotakan Terakhir”, lalu “Robohnya Surau Kami”, sesuai dengan perkembangan (kesimpulan yang kurang saya suka itu), berturut-turut kemudian saya lebih menyenangi “Politik Warung Kopi”, “Sebelum Pertemuan Dimulai” dan terakhir sekali “Orang Baik yang Malang”. Tapi saya juga benci pada kata “terakhir”. Saya mau masih ada karya Iain A.A. Navis yang saya senangi. Karena A.A. Navis masih menulis. Karena A.A. Navis ternyata masih hidup.

Penutup

Selamat ulang tahun, Pak Haji Navis. Sebetulnya saya tak suka mengutip-ngutip. Tapi benar kata Abdullah Masrur MH, “Tambang emas dalam diri Anda adalah pikiran Anda. Anda dapat menggali sepuas yang Anda inginkan.

Payakumbuh, 6 Juni 1994