BANG NAVIS:
KAKAK SEKALIGUS AYAH
NAMA A.A. Navis saya kenal pertama kali sewaktu masih SMA lewat novel Kemarau yang dimuat bersambung di Harian Haluan. Kesan pertama saya terhadap pengarangnya adalah bahwa A.A. Navis seorang lelaki yang tinggi, besar, kokoh, berwibawa dan sudah tua. Gambaran saya terhadap A.A. Navis seperti ini terus terpelihara sampai saya mulai kuliah di Padang.
Gambaran itu buyar sama sekali, tatkala saya bertemu dan berkenalan dengan A.A. Navis. Ternyata gambaran saya itu salah sama sekali. Sekiranya saya tidak mengenalnya, tentulah gambaran saya terhadap A.A. Navis akan tetap seperti gambaran semula sampai mati. Gambaran sosok A.A. Navis melalui namanya jauh berbeda dengan sosok A.A. Navis yang sebenarnya.
Kesan pertama saya setelah mengenal pengarang ini adalah seorang lelaki yang karena tubuhnya yang kecil dan pendek itu, adalah seorang yang ulet, cerdik, sombong dan tidak suka bicara banyak. Untuk pengarang dengan nama demikian terkenal, kesombongannya adalah sesuatu yang biasa apabila berhadapan dengan saya yang baru mulai ikut-ikutan dalam dunia karang mengarang. Kesombongannya itu saya anggap sebagai akibat “jarak” reputasi semata. Kalau saya terkenal seperti dia tentulah dia tidak akan sesombong itu, pikir saya waktu itu.
Walaupun saya jarang bertemu dengan A.A. Navis, namun dari setiap pertemuan anggapan saya tadi semakin buyar pula. Ternyata A.A. Navis bukan lelaki pendek yang sombong seperti anggapan saya waktu pertama kali berkenalan dengannya, atau juga bukan pengarang yang sombong karena namanya yang sudah terkenal. Dia, sebagaimana orang-orang Iainnya juga. Tak lebih dan tak kurang. Bahkan semua orang terutama di kalangan pengarang atau sastrawan memanggilnya dengan panggilan yang lebih akrab: “Bang Navis”. Di Padang, seorang yang sudah “tua” kalau dipanggil “Abang” berarti itu dekat atau akrab dengan si pemanggil atau orang tua itu sendiri yang bertindak kemuda-mudaan. Tapi Bang Navis terlepas dari ukuran Padang itu. Dia dipanggil Bang Navis, bukan karena dekat atau akrab saja, tetapi dia sekaligus berfungsi sebagai kakak, bahkan sebagai ayah.
Sebagai kakak, banyak sekali dia memberikan rangsangan-rangsangan kreatif melalui diskusi-diskusi sosial. Bagaimana dia mengajarkan saya untuk berpikir kritis melihat persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dia tidak suka memuji-muji seseorang. Selalu saja sebuah prestasi dilihatnya secara kritis sekali. Kadang-kadang saya agak curiga padanya, apakah Bang Navis ini tidak suka dengan prestasi yang telah dicapai orang Iain. Ternyata persoalannya bukan begitu. Semua itu dilakukannya agar saya dapat melihat semua bentuk prestasi itu dari berbagai sudut pandang.
Sebagai seorang ayah, dia tidak segan menegur siapa saja yang lebih muda, terhadap cara atau sikap/tata tertib bergaul yang, menurutnya tidak pantas. Bahkan dia pernah menegur teman yang lagi makan, bagaimana cara makan yang baik. Dia juga berusaha mengenal seseorang itu sampai “takasiak bulan”, artinya kalau dia mengenal seseorang dia ingin mengenal seluruh hal ikhwal seseorang itu. Tingkah laku, asal muasal, famili dan pendirian seseorang.
Bang Navis kemudian menjadi akrab dengan adik-adik saya, ayah, ibu saya dan kawan-kawan karib saya. Bahkan sampai adik-adik saya, kawan-kawan saya kawin, dia pun tetap berusaha ingin mengenal lebih jauh. Siapa suami atau istri adik-adik saya dan kawan-kawan saya itu. Bagi saya, seorang yang begitu berusaha mengenal seseorang dengan latar belakang keluarga, pendidikan dan agama, bukanlah seseorang yang hanya ingin bergaul dalam dunia kepengarangan saja. Mungkin dia berusaha menjadi ‘bagian” dari keluarga itu. Atau ini sebagai akibat dari suatu komitmen seorang pengarang. Konsistensinya sebagai pengarang yang bicara tentang hal ikhwal manusia, sebelumnya dia harus menguasai seluruh persoalan kemanusiaan itu.
Bagi kehidupan dunia penulisan saya (juga semua teman-teman di Padang), Bang Navis adalah pendorong dan pengamat yang setia. Secara diam-diam, semua kegiatan kami (saya dan teman-teman) diikutinya. Sajak-sajak atau cerpen-cerpen siapa saja yang sudah dimuat di majalah Horison, atau surat kabar Iainnya selalu diikutinya. Kadang-kadang menyakitkan juga caranya memberikan dorongan. Dia selalu bilang, kalau karya-karya kalian belum diterbitkan majalah Horison, jangan bicara sastra dulu. Akibatnya kawan-kawan berlomba-lomba mengirimkan karya-karyanya ke majalah itu. Apabila ada satu dua karya itu diterbitkan, maka bolehlah “menegakkan kepala” sedikit bila bicara dengan Bang Navis. Namun pujian juga tidak diberikan atas penerbitan itu. Yang sering dilakukannya adalah, apabila sebuah karya diterbitkan, maka penulisnya ditraktir makan atau nonton film bersama-sama yang satu “level”, artinya sama-sama pengarang yang karya-karyanya sudah dimuat majalah Horison. Yang belum, boleh sakit hati atau memaki-maki.
Pengamatannya terhadap karya-karya pengarang yang lebih muda darinya, kemudian disusunnya dalam berbagai makalah. Jarang saya temui ada pengarang-pengarang tua yang memperhatikan karya-karya pengarang yang lebih muda. Ini sangat mengesankan. Sikapnya yang rendah hati dan sangat hati-hati itu, membuat saya bangga. Bahwa kami di Sumatera Barat punya seorang “Bang Navis”.
Tapi setelah umurnya mendekati tujuh puluhan, melintas sebuah pertanyaan: Masihkah ada “orang besar” lain yang rendah hati seperti dia?
Padang, 1 Juni 1994
Leave A Comment