APABILA A.A. NAVIS TIDAK

MENCEMOOH LAGI, MAKA….

I

MEMUJI-MUJI jasa seseorang merupakan sesuatu yang “tabu” dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Boleh jadi karena mereka tidak suka pada pengkultusan. Atau “merasa rendah” dan “tidak berarti” bila ada orang lain yang lebih berjasa daripadanya. Sikap “sama rendah dan sama tinggi” yang pada satu sisi dapat menumbuhkan kehidupan yang demokratis itu, tapi pada sisi lain dapat menjadikan mereka tidak menghargai jasa orang Iain. Mereka tidak suka ada seseorang yang terlalu “tinggi” tempatnya, yang terlalu disanjung-sanjung. Mereka lebih suka melihat seseorang itu sebagaimana diri mereka sendiri yang tidak terlalu istimewa dan tidak perlu diistimewakan.

Sikap masyarakat demikian telah menempatkan A.A. Navis sebagai seorang figur yang “biasa-biasa” saja. Tidak lebih baik ketimbang orang lain. Tidak lebih berjasa daripada yang lain. Kalaupun penghargaaan atau penghormatan itu diberikan kepada seorang penghulu atau pejabat pemerintah, secara formal, A.A. Navis bukan seorang datuk atau penghulu, bukan pula seorang pejabat tinggi. Dengan demikian, apabila seseorang bicara tentang A.A. Navis, mereka tidak suka pembicaraan itu dibesar-besarkan. A.A. Navis adalah orang biasa saja dan tidak ada sesuatu kelebihan yang pantas untuk dibesar-besarkan.

Di samping itu, masyarakat Minang yang dianggap sangat kritis itu pun telah memberikan dampak yang lain pula. Mereka menjadi orang yang suka “mengomentari” sesuatu sampai ke ujung-ujungnya dengan berbagai aspeknya. Bahkan sering mereka menjadi “pencemooh” terhadap sesuatu keadaan yang tidak disukai. Tidak jarang pula mereka menjadi skeptis dan bahkan tidak mempedulikan orang Iain sama sekali.

Dengan demikian, sekiranya ada sesuatu yang telah diusahakan, atau dikerjakan oleh A.A. Navis, bagaimanapun juga penting artinya, masyarakat Minang akan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Orang tidak akan memujinya. Orang akan menganggap wajar saja terhadap apa yang telah dilakukannya. Walaupun mungkin, yang telah diusahakannya itu sesuatu yang penting dan berarti.

A.A. Navis sendiri sebagai produk masyarakat demikian juga tidak dapat pula melepaskan diri dari kedua hal di atas. Dia menghargai seseorang tetapi tidak pernah membesarkannya dengan sanjungan berlebihan. Jika dia menghargai jasa seseorang, penghargaan itu disusulnya dengan “tindakan” atau “perbuatan”-nya sendiri untuk menupang atau meneruskan apa yang dikerjakan oleh orang yang dihargainya tadi. Dia tidak memberikan pujian kosong terhadap seseorang begitu saja. Hal seperti itu sering menimbulkan pertanyaan orang lain terhadapnya: “Kapan Navis pernah menghargai jasa orang Iain?” Semestinya pertanyaan itu adalah, “Kapan orang Minang mau menghargai jasa orang Iain”.

Justru A.A. Navis dikenal sebagai seorang “pencemooh”. Dia akan selalu mencemoohkan sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak benar, apalagi kalau sesuatu itu tidak dapat diubah atau diperbaikinya. Namun apabila ada peluang baginya untuk ikut memperbaiki, dia akan mengerjakannya lebih dulu. Bagi orang-orang yang memahami sikap seperti ini, akan senang bila A.A. Navis mencemoohkan apa yang mereka kerjakan. Selagi Navis masih mau mencemooh, berarti dia masih mau memperhatikan apa yang dicemoohkannya itu. Menandai berapa besarnya perhatiannya pada sesuatu, dapat diukur dengan seberapa besar cemooh yang dilontarkannya.

Akan tetapi, tidak semua orang saat ini yang suka dicemoohkan. Pengertian cemooh saat ini sudah jauh berubah. Bila dulu cemooh berarti “pertanda kuatnya perhatian” dan “pertanda kritisnya masyarakat”, telah berubah menjadi “serangan” dan “tidak menyukai”: Bila ada orang mencemoohkan sesuatu, maka orang itu dianggap menyerang dan tidak menyukai sesuatu. Karenanya, cemooh A.A. Navis sering disalahartikan. Dia tidak lagi dianggap pencemooh, tapi dianggap “tukang kritik”, orang yang suka “mencikaraui” (mencampuri) urusan orang lain.

Akibat perubahan pengertian kata demikian, orang Minang menjadi “takut” untuk dikatakan “pencemooh”. Karenanya pula, orang Minang menjadi “tidak kritis” lagi. Cemooh sebagai muara dari daya kritis masyarakat, hilang bersamaan dengan ketakutan yang tak beralasan itu.

Dalam kondisi “yang dulu” itu, lahirlah cerpennya yang dianggap kontroversial ‘Robohnya Surau Kami’. Kondisi yang memungkinkan cemooh dianggap sebagai pertanda “tingginya daya kritis” masyarakat. Cerpen itu juga dapat menjadi tanda dari obsesi A.A. Navis terhadap perlunya penafsiran kembali terhadap ajaran Islam, Orang Minang waktu itu tetap menganggap cerpen itu sebagai otokritik karenanya cerpen itu selamat dari tuduhan-tuduhan. Namun, jika cerpen itu lahir saat seperti sekarang, saat cemooh telah berubah arti, maka bisa jadi cerpen itu akan dianggap telah “menghujat” ajaran Islam, atau setidak-tidaknya, telah “merusak Cctra” para pemangku agama.

II

APA yang telah dilakukan oleh A.A. Navis cukup banyak dan cukup berarti. Dia tidak hanya berani melontarkan kritiknya melalui cemooh-cemoohnya, tetapi juga berani menanggung risiko terhadap apa yang dikerjakannya. Dikerjakannya apa yang dianggapnya perlu dan tidak peduli apakah hal itu dapat diterima orang Iain atau tidak.

Keterlibatannya mengurus Ruang Pendidik INS Kayutanam merupakan manifestasi dari ketidakpuasannya terhadap sistem pendidikan yang berlangsung di Indonesia atau kepeduliannya terhadap masalah-masalah pendidikan. Mungkin dapat juga dilihat sebagai “penghargaan”-nya terhadap jasa Engku Muhammad Syafei, pendiri sekolah yang bersejarah itu.

Sewaktu sekolah itu direhabilitasi kembali, setelah porak poranda dan “bumi angkat” semasa pemberontakan PKI, dia bersama Engku Abdul Hamid dan tokoh tokoh INS Iainnya langsung terjun mengurusnya. Selama bertahun-tahun dia berusaha mendapatkan dana untuk melanjutkan kelangsungan kehidupan ruang pendidik itu.

Banyak orang yang bicara tentang perlunya sekolah itu dihidupkan kembali. Banyak orang yang ingin sekolah itu dihidupkan kembali, sebagai monumen dari pendidikan perjuangan bangsa, atau sebagai sekolah “alternatif” dari sekolah yang ada atau sebagai “pembanding” dari sistem pendidikan yang kini sedang diterapkan. Tapi tidak banyak di antara mereka yang mau terjun untuk mengurusnya. Tapi A.A. Navis menerjuninya, memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang punya komitmen yang jelas terhadap pendidikan.

Sebagai sebuah sekolah yang sudah berada dalam masa kemerdekaan, tujuan utama sekolah itu untuk mendidik pemuda Indonesia menjadi manusia yang aktif dan kreatif masih tetap relevan dan perlu terus dilanjutkan. Ruang Pendidik INS Kayutanam seakan menjadi “batu apung”, terhadap sistem pendidikan yang telah mapan. A.A. Navis sangat meyakini hal itu. Dia benar-benar berusaha bagaimana sekolah itu terus hidup, terus mengemban misinya, sebagaimana yang telah digagaskan pendirinya.

Bertahun tahun dia bekerja untuk sesuatu yang tidak memberikan nilai ekonomis bagi kehidupan keluarganya.

Sementara itu orang diam diam bertanya; apakah Navis mengurus sekolah itu karena dia menghargai jasa Engku Syafei, atau karena kecintaannya kepada sekolahnya sendiri?

III

BEGITU juga terhadap kehidupan kesenian di Sumatera Barat. Pada masa setelah perang saudara, kehidupan kesenian juga tercabik-cabik, sebagaimana juga kehidupan politik. Tidak banyak lagi orang yang mau memperhatikan dunia tulis-menulis atau dunia sastra. Boleh dikatakan, tidak ada lagi penulis yang mau tinggal di Sumatera Barat. Jika pun ada beberapa penulis yang bertahan untuk menulis, mereka segera pindah ke Jakarta.

Tapi A.A. Navis tetap bertahan di Sumatera Barat.

Dia terjuni kehidupan kesenian secara penuh. Perhatiannya kepada penulis penulis muda begitu besar. Tapi tidak pernah memberikan pujian apa pun kepada mereka. Jika ada yang berhasil, tulisan-tulisan mereka diterbitkan di berbagai mass media di Padang atau di Jakarta, diberikannya support dalam bentuk Iain. Mencemoohkan tulisan-tulisan itu. Cemooh yang memberikan rangsangan kuat untuk mempertanyakan kembali nilai dari karya-karya itu. Banyak penulis muda yang memaki-makinya, karena mereka mengharapkan pujian. Tapi banyak penulis yang “dekat” dengannya, karena keterusterangannya.

Boleh dikata, hampir semua penulis, sastrawan atau seniman yang tumbuh di Sumatera Barat “bersentuhan” dengan A.A. Navis. A.A. Navis menjadi seorang “pengayom” yang konsisten. Banyak kegiatan yang dilakukan bersama dengannya.

Saat kehidupan kesenian di Sumatera Barat sedang lesu, dia mengumpulkan semua sastrawan dan seniman untuk mengadakan kegiatan. Berbagai kegiatan; pementasan, pameran ataupun penerbitan. Terakhir, dia pun berusaha membentuk Dewan Kesenian Sumatera Barat.

Yang mungkin cukup penting dilihat dari perjalanan kehidupan A.A. Navis adalah kesempatan yang diperolehnya untuk menunaikan ibadah haji baru-baru ini. Perjalanan itu menjadi penting bukan karena setelah itu A.A. Navis lalu menjadi rajin sembahyang, atau setelah itu dia dipanggil “Haji”, tetapi obsesinya terhadap penafsiran kembali ajaran Islam yang telah mulai dicemoohkannya dalam ‘Robohnya Surau Kami’ menjadi semakin kental. Dia semakin menggebu-gebu untuk mempertanyakan berbagai aspek tentang kehidupan umat Islam dan tentang ajaran Islam itu sendiri.

Saya mungkin salah seorang yang beruntung dapat mendengarkan “cemooh”-nya, terhadap kebodohan” yang dilakukan orang Islam dalam menjalankan ibadah haji. Baik kehidupan umat Islam di Indonesia maupun peribadatan selama menunaikan ibadah haji.

Kumpulan karangannya Surat-surat dan Kenangan Haji yang ditulisnya selama perjalanan menunaikan ibadah haji akan memperlihatkan kepada kita bagaimana dia mencoba “menyuntik” pengertian kita yang lama terhadap Islam untuk dimasukkannya pengertian pengertian yang baru, berdasarkan sesuatu yang logis. Mungkin cukup mendasar apa yang dipikirkannya bahwa baginya “way of life” Islam tidak harus bersumber dari dua hal; Al-Quran dan Hadist saja, tetapi ada satu komponen lain yang juga penting “sunatullah” atau alam semesta.

Menurutnya, keterbelakangan umat Islam sampai dewasa ini karena mereka tidak pernah menghubungkan secara tegas, jelas dan tuntas antara ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan. Jika umat Islam bicara soal agama, maka mereka bicara dari dua sumber itu saja, Al-Quran dan Hadist. Keduanya itu memang benar, dan bahkan sangat benar. Tetapi itu hanya untuk menjadikan umat Islam sebagai umat yang taat, sopan dan ulet. Namun apabila ajaran itu juga dihubungkan dengan alam semesta dengan segala gejala dan perkembangannya, maka Islam pastilah menjadi “daya dorong” yang sangat kuat untuk menjadikan umat Islam menjadi umat yang berada di depan kemajuan. Ini bukan suatu teori baru, tetapi sudah dibuktikan dulu pada zaman kejayaan peradaban Islam.

Oleh karenanya, A.A. Navis menjadi semakin “sakit” apabila melihat sistem pendidikan di sekolah-sekolah agama ataupun di pesantren-pesantren. Menurut A.A. Navis, di sekolah agama atau pesantren itu, pemberian pelajaran umum tidak boleh dipisahkan dengan pelajaran agama. Pelajaran matematika misalnya, harus diselipkan “nafas agama” di dalamnya. Selama ini pelajaran seperti itu terlalu “sekular”. Meletakkan matematik sebagai matematik, tetapi tidak pernah menghubungkannya dengan ajaran Islam. Bahkan semua pelajaran umum bernasib sama. Begitu juga dengan pelajaran agama seperti Hadist, Tafsir atau Fiqh dan lainnya. Pelajaran-pelajaran itu jangan hanya dibatasi saja sampai di situ, tapi harus dapat dikaitkan langsung dengan apa yang terjadi di sekeliling kehidupan manusia. Semua pelajaran itu harus saling terkait. Tapi di sekolah manakah apa yang diinginkan A.A. Navis itu ditemukan. Karenanya dia sering marah pada dirinya: “Sayang saya tidak mampu membuat buku pelajaran demikian untuk setiap bidang studi”.

Sekiranya dia mampu, mungkin dia akan mendirikan sekolah yang baru, atau pesantren yang baru untuk mendidik orang Islam menjadi manusia yang rasional. Manusia yang tidak hanya menjadi tokoh tokoh agamis semata. Dalam ketidakmampuannya ini, dan dalam kepeduliannya yang besar terhadap kehidupan umat Islam, sebaiknya kita berlapang dada untuk menerima cemoohnya yang akan datang. Mungkin akan lebih “kelat” lagi dibanding dengan “Robohnya Surau Kami” atau mungkin pula tidak dalam bentuk karya sastra.

Sebab, bila dia tidak mencemooh lagi setelah tujuh puluh tahun ini, bisa jadi “orang Minang” lainnya akan mencemoohkannya.

“Navis kini tidak pencemooh lagi”. Kalau dia tidak mencemooh lagi, dapat pulakah hal itu dijadikan “indikator” bahwa memang masyarakat Minang tidak pencemooh lagi, tidak kritis lagi, atau benar-benar mereka telah kehilangan “nyali”.

Padang, September 1994