KESUSASTRAAN INDONESIA DALAM

PERSPEKTIF PEMBENTUKAN

KEBUDAYAAN

(Sebuah catatan impresionistik)

 

I

SEMAKIN tua kita menjadi bagian dari negara kebangsaan Indonesia semakin kita sadari bagaimana rumit proses pembentukan kebudayaannya. Kebudayaan yang mendapat sosoknya (sementara) lewat dialektika berbagai sistem (kekuasaan, ekonomi, kepercayaan, kesenian, sosial, pendidikan) seringkali mengecoh kita seakan-akan sosok itu adalah sosok budaya yang permanen dan utuh yang kemudian mengilhami semua proses karya dan cipta dalam masyarakat. Seringkali dilupakan bahwa karena sifat dialektis dari pembentukan sosok kebudayaan, sosok itu bersifat kenyal dan sewaktu-waktu dapat bergeser penampilan sosoknya. Kebudayaan berpuluh atau beratus wilayah dalam kepulauan ini yang mendapatkan sosok sementaranya karena dialektika yang berabad, pada waktu setuju menjadi bagian dari suatu negara kebangsaan yang bernama Indonesia mengalami dinamika baru dari dialektika proses pembudayaan yang baru pula. Semua sistem yang dikandungnya bertarikan mencapai sintesa-sintesa baru untuk tampil dalam sosok budaya yang kemudian disebut kebudayaan Indonesia.

II

KESUSASTERAAN sebagai bagian dari dinamika dialektika pembentukan kebudayaan tidak lepas dari kerumitan tersebut. Polemik Kebudayaan tahun 1935 yang dianggap sebagai titik berangkat dari kesadaran membayangkan kebudayaan Indonesia Merdeka menghayati proses pembentukan itu sebagai jalan yang unilinier, jalan yang tegak lurus, bukan jalan multi linier, jalan yang bermacam-macam dan berkelok-kelok. Proses ‘pembaratan’ yang dibayangkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana maupun proses sintesa “Faust dan Arjoena” yang dibayangkan oleh Sanoesi Pane tidak dibayangkan sebagai jalan yang terbuka bagi serba kemungkinan melainkan sebagai proses yang sederhana, nyaris “dengan sendirinya terjadi”. Padahal sejak sastra Indonesia berjalan dari sastra Melayu Pasar (baik yang ditulis oleh pengarang Indo-Eropa maupun oleh penulis Tionghoa dan Indonesia) ke sastra Balai Poestaka, ke sastra Poejangga Baroe, ke sastra Angkatan ’45, ke sastra pasca sastra ’45, kita mengetahui bahwa pembabakan yang astifisial tersebut, yang membayangkan adanya suatu perjalanan linier, dalam kenyataannya tidak berjalan seperti itu. Sastra Melayu Pasar, misalnya, terjadi karena evolusi perkembangan bahasa Melayu di “pasar”, di pusat-pusat perdagangan di kepulauan Indonesia.

Tumbuhnya pasar-pasar perdagangan ini juga berarti tumbuhnya suatu pra urban society kecil-kecilan yang dihuni oleh pedagang-pedagang dan sudah tentu juga para amtenar pangreh-praja pemerintah kolonial. Mungkin pertumbuhan ini juga mendorong semacam leisure class society yang terdiri dari orang-orang peranakan Tionghoa, orang-orang peranakan Eropa dan para amtenar pribumi kelas menengah. Kelas seperti ini di samping kegiatan kerja rutin mereka juga akan membutuhkan “kesusasteraan” atau tegasnya “bacaan di kala senggang”. Maka lahirlah ceritera-ceritera dalam bahasa Melayu Pasar untuk memenuhi kebutuhan itu. Penulisnya pada permulaan perkembangan ini adalah para Tionghoa Peranakan atau Peranakan Indo-Eropa.

Sementara itu dalam kurun waktu yang jauh lebih tua dari lahirnya sastra-tulis Melayu Pasar yang dapat disebut sebagai salah satu pemula dari sastra Melayu Modern, berbagai tradisi sastra tulis dalam bahasa daerah telah pula berakar. Meskipun harus pula dicatat bahwa sastra tulis tersebut adalah sastra yang dibacakan di depan satu khalayak seperti macapat di Jawa atau hikayat di daerah berbahasa Melayu di Sumatera. Akar tradisi sastra tulis seperti ini kita ketahui adalah bagian dari akar masyarakat feodal-pertanian abad ke 18—19 yang belum memungkinkan lahirnya suatu “popular literature“.* Tradisi sastra tulis feodal-agraris tersebut meskipun terdesak oleh munculnya pusat-pusat perdagangan dan kota-kota baru, seperti dialektika pembangunan suatu sosok budaya baru, unsur tradisi tersebut akan menjadi salah satu unsur yang terserap dalam sintesa baru. Maka dalam puisi-puisi Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Soetardji Calzoum Bachri bahkan Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad dan Rendra pun akar tradisi puisi lama tersebut sekali-sekali nampak transparan.

Penerbitan buku-buku sastra populer dalam bahasa Melayu “Tinggi”, yaitu bahasa Melayu yang tidak digunakan di “pasar” melainkan di sekolah-sekolah, di kalangan bangsawan dan kaum terpelajar Melayu, mungkin hampir bersamaan waktunya antara tumbuhnya kota-kota perdagangan di Sumatera (terutama Medan) kemudian juga Batavia dan Soerabaja serta Semarang dengan pendirian Volkslectuur yang kemudian Balai Poestaka pada tahun 1920-an. Sastra populer berbahasa Melayu “Tinggi” ini berkembang secara mencolok di Medan. Begitu mencolok sehingga buku-buku genre sastra populer gaya Medan ini mendapat julukan sebagai “roman picisan” gaya Medan. Agaknya pertumbuhan Medan sebagai kota perdagangan baru dengan kehadiran perkebunan-perkebunan besar di sekitarnya yang menjadikan kota Medan sebagai kota terpenting di Sumatera memacu pertumbuhan sastra populer dengan bahasa Melayu “Tinggi”. Komuniti Tionghoa Peranakan atau Indo-Eropa yang berbahasa Melayu Pasar seperti di Jawa nyaris dikenal di kota Medan. Asimilasi atau kawin campur antara pribumi dengan Cina dan Belanda atau Eropa tidak banyak dikenal di Medan. Bahasa Melayu yang sehari-hari dipakai adalah bahasa Melayu Tinggi sehingga sejak semula sastra populer di Medan ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi. Adapun tema-tema di dalam sastra “roman picisan” Medan sangat beraneka-ragam, mulai dari kisah percintaan; ceritera-ceritera hantu dan ilmu hitam sehingga ceritera-ceritera detektif. Buku-buku “roman picisan” Medan tersebut ternyata menjadi bacaan populer di kota-kota besar di Jawa bahkan akhirnya mendesak sastra populer bahasa Melayu Pasar yang ditulis para penulis Tionghoa yang sejak itu lebih banyak mengkhususkan pada ceritera-ceritera silat/Tiongkok.

Kelahiran Volkslectuur yang kemudian menjadi Balai Poestaka oleh pemerintah Hindia Belanda dimaksudkan sebagai suatu kantor penerbitan untuk memajukan bacaan rakyat dan dimaksudkan pula sebagai penerbit yang akan mampu membakukan bahasa-bahasa sastra di Indonesia. Maka bahasa Melayu yang diperkenankan dipakai dalam penerbitan adalah bahasa Melayu Tinggi baku Sumatera Timur dan bukan bahasa Melayu Pasar. Begitu pula dengan bahasa Jawa yang dalam penerbitan Balai Poestaka hanya boleh dipakai bahasa Jawa baku dari Solo atau Yogya, bukan bahasa Jawa baku Jawa Timur atau bahasa Jawa Banyumas. Dalam perkembangan Balai Poestaka sebagai penerbit sastra, seperti ditunjukkan Faruk dalam disertasinya, Balai Poestaka memang berhasil melahirkan suatu ciri gaya khas Balai Poestaka yaitu ciri romantik dengan gaya bahasa Melayu Sumatera Timur dan Minangkabau. Hal ini berkaitan erat dengan munculnya kaum terpelajar Sumatera dan pengaruh romantisme Barat lewat pendidikan Belanda. Kemunculan kaum terpelajar Sumatera tersebut juga membawa tema dan isu yang baru dalam penulisan roman, yaitu konfrontasi antara nilai baru dan nilai lama. Tentulah tema seperti ini ditulis juga dalam roman Melayu Pasar, namun sebagai ciri dalam Balai Poestakalah ciri ini lebih transparan mulai dari Sitti Noerbaja, hingga Layar Terkembang bahkan hingga Atheis.

Kecenderungan penampilan “perbenturan nilai” sebagai tema pokok dalam sastra Indonesia tampaknya merupakan tema yang nyaris menguasai novel atau cerpen di negeri kita. Bila dalam awal perkembangan Balai Poestaka perbenturan nilai tersebut terutama berkisar pada pertanyaan tentang kekukuhan adat lama yang terbentuk dalam tradisi feodal-agraris, roman-roman dari, kurun kemudian, baik dalam tradisi Balai Poestaka maupun dalam tradisi non Balai Poestaka, pertanyaan itu bergeser pada bagaimana nilai-nilai baru yang datang dihayati dan mulai berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Dalam Sitti Noerbaja dan Salah Asoehan para protagonis dua roman tersebut terjebak dalam kekuatan adat lama yang mengungkung masyarakat. Sedang dalam Layar Terkembang, Belenggoe, dan Atheis, nilai-nilai baru dari Barat, pikiran-pikiran modern, mulai tampil sebagai bagian yang nyata dalam kehidupan kelas menengah masyarakat. Dalam novel-vovel tersebut pikiran-pikiran baru sudah mulai diperbicangkan dan dipertimbangkan sebagai kemungkinan dalam cara dan gaya hidup kelas menengah Indonesia. Bila dalam Salah Asoehan, misalnya, Hanafi masih berada dalam bayangan menjalani “hidup modern” dengan membayangkan hidup bersama Corrie, dalam novel-novel Indonesia yang kemudian menjadi bagian dari “hidup modern baru”, sudah merupakan kenyataan. Toeti, Maria dan Joesoef dalam Layar Terkembang, misalnya, telah langsung menghayati kehidupan baru tersebut. Dalam Belenggoe berlainan dengan konfrontasi dalam Salah Asoehan. Dalam Salah Asoehan konfrontasi itu adalah konfrontasi antara sini terhadap sana, sedang dalam Belenggoe, konfrontasi itu berjalan “di sela-sela kehidupan sekarang”. Dalam Atheis pikiran-pikiran dari dunia Barat baik yang pernah maupun yang sedang bergolak di dunia, atheisme, anarkisme, marxisme, nasionalisme, berkonfrontasi sekaligus berdialog dengan konservatisme. Anwar, Roesli, dan Kartini adalah wakil-wakil dari mereka yang merangkul dan membayangkan diri mereka telah menjadi bagian dari berbagai alam pikiran baru tersebut, sedang Hasan adalah sang protagonisnya yang mewakili benteng konservatisme yang berusaha berkonfrontasi dan berdialog dengan pikiran-pikiran baru. Perbedaan antara Layar Terkembang, Belenggoe, dan Atheis adalah nilai-nilai lama dan keterlibatan (mungkin juga komitmen) mereka pada nilai-nilai baru. Layar Terkembang mempertanyakan dan membahas tempat serta peranan perempuan dalam kehidupan kontemporer, sedang Belenggoe meskipun juga mempertanyakan tempat dan peranan perempuan dalam kehidupan sekarang mendudukkan posisi itu dalam bandingan terhadap laki-laki. Dalam Atheis posisi perempuan, Kartini, justru berada dalam posisi yang lemah terhadap laki-laki dengan mendudukkan peranannya sebagai perempuan yang pada akhirnya konvensional dan akomodatif terhadap nilai yang berlaku.

Dari deskripsi sekilas tersebut terdahulu, tampak bahwa proses “pembaratan” di kepulauan kita terutama lewat penjajahan Hindia Belanda, meskipun bekas-bekas pengaruhnya dari peradaban Eropa Iainnya seperti Portugis dan Inggris juga dikenal di beberapa bagian kepulauan kita. “Pembaratan” atau proses “perembesan” kebudayaan Barat seperti dibicarakan oleh para bapak-pendiri negara kita (baik oleh para budayawan maupun oleh para pemimpin politik) yang diucapkan dalam bahasa bayangan masa depan, yaitu Indonesia Merdeka, sesungguhnya telah berjalan atau terjadi sejak Barat menjejakkan kaki-kaki kekuasaan mereka di kepulauan kita.

Proses pengaruh Barat itu terutama semakin nyata pada waktu pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan V.O.C. di negeri kita. Proses tersebut semakin mendalam pada waktu Politik Etis dilaksanakan di mana pemerintah Hindia Belanda yang didorong oleh “rasa hutang budi” kepada Hindia melancarkan politik atau kebijaksanaan lebih memperhatikan kesejahteraan kaum pribumi dengan pengadaan sekolah-sekolah menengah, mulai tingkat sekolah desa hingga sekolah-sekolah menengah umum dan kejuruan hingga tingkat pra-universiter. Juga infrastruktur pertanian dengan irigasi serta infrastruktur pemerintahan dalam negeri dikembangkan secara lebih intensif lagi. Berbagai kebijaksanaan dari pemerintah kolonial itu memberikan dampak yang mendalam terhadap berbagai persepsi bangsa kita tentang pendidikan dan pengairan, pertanian dan organisasi bernegara. Berbagai persepsi tersebut mendorong lahirnya berbagai persepsi baru pula tentang sistem-sistem dalam masyarakat. Persepsi baru tentang sistem-sistem tersebut berfungsi sebagai berbagai tesa dan antitesa unsur-unsur budaya yang pada gilirannya melahirkan berbagai sintesa konsep budaya baru.

Dalam perjalanan kesusasteraan kita, kita mengetahui bahwa jauh sebelum Polemik Kebudayaan 1935 proses “pembaratan” tersebut sudah sejak sebelum pendirian Balai Poestaka pada tahun 1920 telah berjalan. Roman-roman ditulis oleh para penulis Indo-Eropa serta para Tionghoa Peranakan dan kemudian juga oleh penulis pribumi seperti Mas Marco jelas mengambil alih cara bercerita gaya roman Eropa. Bahkan perkembangan kemudian dari “roman picisan” gaya Medan pun kita dapat mengkategorikan sebagai bagian dari Ianjutan proses “pembaratan” tersebut. Namun demikian pendirian Balai Poestaka pada tahun 1920 itulah yang saya kira proses “pembaratan” dalam penerbitan dan penulisan sastra kita dilaksanakan secara sistematis. Pertama, Balai Poestaka sejak semula merupakan bagian dari strategi pendidikan pemerintah Hindia Belanda, bagian dari kebijaksanaan “peningkatan kecerdasan” masyarakat. Itu berarti bahwa Balai Poestaka sejak semula harus dikembangkan sebagai “organisasi Barat” dengan staf birokrasi pribumi meskipun pejabat-pejabat terasnya adalah orang-orang Belanda. Kedua, Balai Poestaka ingin melaksanakan kebijaksanana pembakuan bahasa-bahasa di Indonesia, khususnya bahasa Melayu Tinggi dan bahasa Jawa “vorstelanden”, daerah kerajaan dalam penerbitan buku-bukunya. Pelaksanaan kebijaksanaan ini dijalankan dengan organisasi administrasi dan redaksional yang rapi dan lugas yang berorientasi kepada organisasi penerbitan Belanda. Para penulis Balai Poestaka sejak semula terdiri dari penulis pribumi yang mendapat didikan Belanda, meskipun tidak semuanya tamatan sekolah menengah atas. Para penulis bahasa Melayu dengan beberapa perkecualian adalah penulis-penulis yang dibesarkan dalam lingkungan berbahasa Melayu Tinggi di Sumatera. Demikian juga dengan para penulis roman berbahasa Jawa adalah para penulis yang mendapat didikan dasar dan menengah Belanda dan dibesarkan dalam lingkungan bahasa Jawa vorstenlanden.

Akan tetapi proses “pembaratan” dalam kesusastraan tersebut, dalam bentuk fisik, seperti “organisasi” maupun “gaya”, ternyata dalam pelaksanaannya telah berjalan proses pemaduan “Faust dan Ardjoena” juga. Organisasi penerbitan Balai Poestaka dan penerbitan swasta Tionghoa, misalnya, meskipun mengambil model penerbitan Belanda dilaksanakan oleh pribumi dan Tionghoa dengan “semangat sintesa” yaitu menghayati dan merangkum pengaruh model Barat tersebut dengan tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi mereka. Para pegawai organisasi Balai Poestaka Jawa, misalnya, tetap mempertahankan nilai-nilai priyayi mereka. Unsur “Ardjoena” di situ memang masih lebih menonjol dari unsur “Faust”-nya, karena di organisasi penerbitan tersebut “Faust”-nya adalah para pejabat Belanda. Berlainan dengan para penulis Balai Poestaka yang sesungguhnya adalah para cendekiawan pada masa itu, yang boleh disebut para “enlightened intellectuals” dari masyarakat, orang-orang seperti Marah Roesli, Noer Soetan Iskandar, Abdoel Moeis, dan sudah tentu kemudian juga Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanoesi Pane. Merekalah “orang-orang Barat yang “Ardjoena-Ardjoena” yang bukan priyayi-priyayi, melainkan para pemikir yang mulai merenungkan pemikiran Barat. Sitti Noerbaja, Salah Asoehan, dan Layar Terkembang adalah perjalanan evolusioner “pembaratan” yang lewat jaIan “sintesa Faust dan Ardjoena” secara menarik. Inilah perjalanan refleksi dari penulis intelektual dari Sumatera tentang konfrontansi dan akomodasi antara nilai-nilai tradisi lama dan nilai-nilai baru yang bertiup dari Barat. Kadar “pembaratan” itu memang semakin kental dalam arti nilai-nilai Barat yang modern itu semakin banyak berbicara dan dibicarakan dalam roman Balai Poestaka yang kemudian. Akan tetapi “pembaratan” semakin juga berarti transformasi yang lebih nyata dari perangkulan nilai-nilai Barat atau modern itu menjadi proses “pengindonesiaan” seperti tampak dalam Layar Terkembang dan kemudian dalam zaman Poedjangga Baroe. Belenggoe dari Armijn Pane dan dalam pengertiannya yang agak khas sajak-sajak Amir Hamzah. Dalam dua roman, Layar Terkembang dan Belenggoe itu, nilai Barat itu sudah lebur atau dileburkan dalam nilai baru Indonesia. Nilai-nilai Barat yang modern itu diperdebatkan oleh Toeti dengan Joesoef dan Maria, oleh Soekartono dan Tini sebagai nilai yang sudah hadir, sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Akan tetapi Layar Terkembang, Belenggoe dan sajak-sajak Amir Hamzah adalah hasil kesusasteraan “pasca Polemik Kebudayaan 1935”, yaitu sesudah retorika “menguasai nilai Barat” dan “sintesa Faust dan Ardjoena”, retorika yang berbau “futuristik” tentang kebudayaan Indonesia Merdeka. Dalam hasil-hasil sastra tersebut tampak secara transparan bagaimana diskursus “Indonesia Merdeka”, “Indonesia Baru” mulai merebak menjadi bahasa kesusasteraan baru. “Pembaratan” dan “sintesa Faust dan Ardjonea” sesungguhnya tidak pernah terlaksana dalam proses perjalanan konfrontatif antara dua kubu pandangan dunia yang berhadapan satu dengan lainnya.

Akan tetapi, waktu Soerat Kepercayaan Gelanggang yang sah diumumkan di mana para pendukungnya menyatakan bahwa mereka adalah ahli waris dari kebudayaan dunia dan tidak sudi “melap-lap” kebudayaan lama yang sudah usang, apakah maksud dan makna dari pernyataan tersebut? Mungkin karena, untuk kesekian kali, sejarah kebudayaan ingin mengatakan lagi bahwa sejarah kebudayaan, atau sejarah kemanusiaan apa saja, tidak pernah berjalan secara unilinier. Dialektika pembentukan sosok kebudayaan tidak (selalu) berjalan evolusioner unilinier. Bagaimanapun Chairil Anwar, salah seorang tokoh Surat Kepercayaan tersebut, mengatakan bahwa dia tidak akan menangis kalau sedang jatuh cinta seperti Amir Hamzah tetapi akan mengajak gadisnya jajan es krim, pernyataannya itu bukanlah retorika simbolik dari perbedaan diskursus yang prinsipiil dari diskursus Poejangga Baroe dengan diskursus angkatan yang lebih baru, yang kemudian disebut sebagai Angkatan ’45. Chairil Anwar menulis sajak-sajak sejak zaman pendudukan Jepang waktu banyak dari orang-orang Poedjangga Baroe dan seniman muda berkumpul di Pusat Kebudayaan ciptaan Jepang. Chairil Anwar mulai membuat eksperimen sajak-sajaknya bukan sebagai keberangkatan total, total departure, melainkan sebagai perpanjangan dari usaha para penulis Poedjangga Baroe untuk “mengindonesiakan” proses “pembaratan” dan “sintesa Faust dan Ardjoena”. Baru pada waktu sesudah kemerdekaan diproklamasikan Chairil Anwar bersama kawan-kawannya memproklamasikan manifesto kebudayaan mereka yang memang memberikan kesan keberangkatan menuju Barat. Akan tetapi, meskipun kesan tersebut keras memberi sugesti berpaling ke “kebudayaan dunia” yang Barat dan meninggalkan kebudayaan lama yang sudah usang dan tidak usah “dilap-lap” lagi, sajak-sajak para penulis Angkatan ’45 sesungguhnya masih menjalani jalur “proses pembaratan” bersama dengan proses “sintesa Faust dan Ardjoena”. Sajak-sajak Chairil Anwar dan kemudian ceritera- ceritera Idroes lebih banyak menunjukkan (sesuai dengan udara kemerdekaan yang baru dihirup) kegembiraan dan antusiasme menjelajahi kemungkinan baru.

Angkatan pasca ’45, yang dipelopori oleh Ayip Rosidi yang kemudian disebut sebagai Angkatan ’50, menyatakan perbedaan mereka dengan Angkatan ’45 dari sudut pengalaman dan latar pendidikan. Angkatan ’45 digambarkan sebagai penulis-penulis yang dibesarkan oleh penjajahan Belanda dan Jepang dan mendapat porsi yang banyak dari pendidikan sekolah-sekolah menengah Belanda. Pengalaman dan pendidikan tersebut membuat para penulis Angkatan ’45 sesungguhnya “ahli waris” dari kebudayaan Barat yang membuat karya mereka berorientasi ke Barat. Pada Angkatan Pasca ’45, penulis-penulisnya dibesarkan dan dididik oleh sebagian dari zaman Jepang dan zaman kemerdekaan. Oleh Ayip mereka digambarkan sebagai penulis-penulis yang merujuk lebih banyak kepada kebudayaan sendiri dan pengalaman zaman revolusi kemerdekaan. Bila pengamatan ini benar, jalan “pembaratan” seperti yang dibayangkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana tidak ditempuh oleh penulis-penulis angkatan tersebut. Akan tetapi untuk mengatakan bahwa penulis-penulis angkatan tersebut memilih jalan “Sintesa Faust dan Ardjoena” mungkin juga kurang tepat. Mungkin lebih kena apabila angkatan Ayip ini dikatakan memilih jalan “Ardjoena” (bila konotasi retorika Sanoesi Pane itu masih digunakan). Dalam konteks “revolusi” dan “pengalaman zaman kemerdekaan” dan Angkatan ’45 agak sulit juga menempatkan fenomena seperti Pramoedya Ananta Toer. Dari sudut usia pastilah ia dapat dikategorikan sebagai Angkatan ’45, tetapi sebagai penulis yang paling banyak berceritera tentang revolusi dan perang kemerdekaan pastilah dia dapat disebut sebagai fenomen yang unik. Begitu juga dengan Mochtar Lubis yang dari sudut usia pastilah dapat disebut sebagai Angkatan ’45. Apa pun penggolongan yang pantas diberikan kepada mereka, yang pasti kedua penulis ini dapatlah disebut sebagai penulis-penulis Indonesia yang mula-mula sekali berbicara tentang dampak revolusi kemerdekaan kita pada kehidupan masyarakat. Gerilya dan Bukan Pasar Malam, memang tema “bebenturan nilai” tetap merupakan tema pokok. Akan tetapi nilai-nilai yang berbenturan di dalam tulisan-tulisan tersebut bukan lagi (terutama) antara “yang feodal agraris” dan “yang baru dan Barat”, melainkan antara nilai “masyarakat yang mengalami revolusi kemerdekaan” dan nilai “masyarakat yang tidak diguncang kemelut”. Dalam tulisan penulis-penulis ini dimulai ceritera-ceritera dari “dalam” tentang keluarga-keluarga dalam masa peralihan yang tiba-tiba datang mencekam. Memang tema-tema dari roman-roman Balai Poestaka dan Poedjangga Baroe membicarakan juga keluarga-keluarga dalam masa peralihan, tetapi masa peralihan yang berjalan dalam rentangan waktu lama. Yaitu rentangan masa penjajahan Belanda yang digambarkan sebagai waktu yang sangat lama dan tampak mendatar. Peralihan dari roman-roman Balai Poestaka adalah peralihan dalam menyesuaikan tatanan nilai, yang meskipun lewat konfrontasi (Sitti Noerbaja, Salah Asoehan) tidak berjalan dalam tempo yang tinggi. Sedang keluarga-keluarga yang digambarkan dalam roman Pramoedya dilemparkan dalam situasi darurat perang kemerdekaan yang harus membuat penyesuaian dalam waktu yang jauh lebih singkat.

Keputusan kita untuk membangun suatu negara kebangsaan, nation state, membawa serta beberapa konsekuensi pertanyaan. Kebudayaan Indonesia yang tidak mungkin lagi dibayangkan kemungkinannya untuk lahir sebagai satu kebudayaan yang homogen haruslah pula dapat dibayangkan akan hadirnya suatu dialektika yang seru antara berbagai sistem di masyarakat. Keinginan kita untuk mengembangkan sosok kebudayaan yang dapat dijadikan kerangka acuan bagi semua anggota masyarakat yang bersepakat menjadi bagian dari negara kebangsaan tidak mungkin mengabaikan dialektika pembangunan sosok kebudayaan tersebut. Ini berarti bahwa sejak semula kita harus sudah akan menerima kenyataan bahwa sosok kebudayaan yang akan dapat berfungsi sebagai kerangka acuan budaya semua anggota masyarakat akan terbatas jumlahnya. Tidak semua pernyataan atau ekspresi budaya dapat diterima sebagai acuan bersama dari masyarakat-masyarakat pendukung negara kebangsaan kita. Mungkin inilah yang selama ini mencakup persoalan “apa kebudayaan nasional, apa kebudayaan etnik”. Kita mengetahui bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, bahasa persatuan, sudah diterima sebagai kerangka acuan budaya bagi seluruh masyarakat-masyarakat yang mendukung negara kebangsaan Indonesia. Tetapi bersamaan dengan itu bahasa-bahasa daerah yang sudah bergenerasi menjadi kerangka acuan budaya berpuluh lingkungan etnik di negeri kita tetap pula hidup sebagai kerangka acuan budaya di lingkungan budaya masing-masing. Beberapa dari lingkungan kebudayaan itu memiliki di “belakang” mereka, dalam sejarah kebudayaan mereka, khazanah kesusasteraan baru yang berdampingan dengan bahasa serta kesusasteraaan daerah yang telah berakar membawa konsekuensinya sendiri pula. Bahasa nasional menjadi bahasa yang terpenting di seluruh negara kebangsaan. Karena ia diterima sebagai kerangka acuan budaya nasional ia berkembang jauh lebih pesat dari bahasa-bahasa daerah. Ia menjadi bahasa pengantar sehari-hari di seluruh negeri, menjadi bahasa resmi pemerintahan, menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah, menjadi bahasa ilmu pengetahuan, dan menjadi bahasa pengantar media cetak dan media elektronika, dan yang juga sangat penting dalam hubungannya dengan pembahasan ini adalah tumbuh menjadi bahasa kesusasteraan modern Indonesia. Keadaan perkembangan tersebut tidak dialami oleh bahasa-bahasa daerah. la tidak mengalami perkembangan sepesat bahasa nasional, meskipun tetap penting sebagai bahasa pengantar di lingkungan budaya masing-masing. Kondisi ini membawa konsekuensi tidak mungkin bagi bahasa Indonesia untuk tumbuh sebagai bahasa baku dalam arti homogen, uniform, yang kaku.

Meskipun mungkin dapat direkayasa suatu bahasa Indonesia baku “yang baik dan benar”, bahasa Indonesia juga akan tumbuh lebih kaya dan beragam sebagai akibat dialektika hubungannya dengan para pemakai bahasa di daerah. Mungkin situasi perkembangan pada waktu bahasa Melayu Pasar tumbuh di pusat-pusat kota atau daerah dagang yang hidup berdampingan dengan bahasa Melayu Tinggi akan berulang kembali meskipun pengaruh media massa modern zaman sekarang akan membuat perkembangan itu berbeda. Hal ini dapat kita Iihat di negara-negara industri maju yang dengan kehebatan media massa mereka toh menghadirkan beragam bahasa baku dan kesusasteraan yang beragam pula. Di Amerika Serikat kita menyaksikan bahasa dan dialek utara dan selatan, negro dan Indian yang kesemuanya bersumber bahasa Inggris. Dalam kasus Indonesia kekayaan bahasa nasional sebagai bahasa kesusasteraan akan dipengaruhi berbagai bahasa daerah. Bahasa daerah yang memang terdesak oleh keperkasaan bahasa nasional tidak hilang sama sekali akan tetapi mengalami dialektikanya sendirinya dengan melahirkan bahasa daerah yang “baru”. Kesusasteraan Indonesia modern akan atau sudah mendapat pengaruh idiom dan tambahan kosa kata bahasa daerah. Kesusasteraan bahasa daerah akan dan sudah mengalami proses yang sama pula.

Tekanan globalisasi yang terasa di seluruh dunia terasa pula di negeri kita. Kekuatan negara-negara industri maju untuk melaksanakan kehendak mereka sukar dibendung dan.dilawan. Perkembangan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan sosok budaya negara-negara berkembang. Produk negara industri maju ikut memberi dampak yang mendalam dalam mengubah gaya dan cara hidup masyarakat-masyarakat negara-negara berkembang. Berbagai produk tersebut tiba-tiba menjadi salah satu antitesa yang sangat penting dan berpengaruh dalam proses dialektika pembangunan sosok budaya pada masyarakat transisi di negara berkembang. Kemajuan iptek serta pikiran-pikiran yang berkembang di negara industri maju yang bergabung dengan sistem ekonomi dan perdagangan mereka benar-benar merupakan kekuatan dahsyat dalam membangunan sosok budaya dunia.

Keputusan kita untuk membangun suatu negara kebangsaan, sekarang kita kembangkan untuk menjadi negara modern, yang beriptek maju, dan kompetitif. Ini berarti bahwa kita memang menyediakan diri kita untuk menjadi bagian dari arus globalisasi, menjadi bagian dari kebudayaan dunia. Dalam menerima konsekuensi tersebut mau tidak mau kita akan terus-rnenerus mempertanyakan kembali kemungkinan sosok budaya yang akan terbentuk. Sementara kita membayangkan kemungkinan tersebut kita harus juga membayangkan sintesa-sintesa sementara apa yang akan terbangun dalam dialektika proses pembangunan sosok budaya kita. Sementara berbagai kemungkinan dialektika budaya “dalam negeri” belum menampakkan sosok sintesa budaya yang agak jelas, sekarang kita harus menambah bayangan kita akan kemungkinan-kemungkinan yang lebih terbuka sebagai konsekuensi menjadi bagian dari budaya globalisasi.

Dalam kesusateraan kita tanda-tanda akan serba kemungkinan ini mulai terlihat. Dalam Grota Azura, Sutan Takdir Alisjahbana yang tidak kunjung lelah dalam citanya “membarat” itu, perbihcangan-perbincangan pada protagonisnya sudah mendunia. Demikian juga Y.B. Mangunwijaya dalam Durga umayi misalnya, perbincangan serta pemikiran protagonisnya sudah menjangkau ‘dunia’. Latar fisik serta latar pikiran para penulis kita sekarang semakin melebar dan meluas. Memang isu “pembenturan nilai” yang tampaknya sudah menjadi tema “klasik” dalam kesusasteraan kita akan tetap menjadi tema pokok dalam kesusasteraan kita. Hanya saja nilai-nilai yang berbenturan nilai-nilai yang lebih semrawut dan akan lebih semrawut lagi, sesuai dengan akan makin tidak menentunya kehidupan kita. Hanya penulis-penulis yang akan selalu peka mengamati dan menghayati kehidupan kita dan dunia yang semakin rumit itu yang akan muncul sebagai penulis-penulis piawai dalam kesusasteraan modern kita.

***

A.A. NAVIS yang kita sambut dan hormati pada usianya yang ke-70 ini adalah saksi dan pelaku aktif dalam tema dan isu “perbenturan nilai”. Cerpennya yang sekarang telah menjadi klasik itu, “Robohnya Surau Kami”, adalah salah satu karya cerpen satire sosial yang cemerlang dalam menceriterakan tentang perbenturan nilai.

Sedang studinya yang kemudian sekali dari cerpennya itu, Alam Terkembang Jadi Guru, adalah studi introspeksi budaya yang orisinal dan penting tentang kebudayaan Minangkabau. Sebagai saksi perbenturan nilai yang tidak kunjung berhenti dari tanah kelahirannya, Navis mengamati dan mengikutinya dengan sabar namun intensif, tanpa rasa pesimis, menerimanya dengan ikhlas tanpa kehilangan rasa humornya yang khas. Sebagai pelaku di tengah perbenturan nilai dalam masyarakatnya, Navis aktif mengarang karya sastra di mana “Robohnya Surau Kami” telah menghantarnya sebagai salah seorang penulis sastra yang penting di negeri kita. Dalam ceritera pendek itu terpantul dengan utuh sikap Navis terhadap perbenturan nilai dalam masyarakat. Mengamatinya dan membedahnya dengan tajam, menertawakannya namun memahaminya dengan sabar.

Sebagai penulis Alam Terkembang Jadi Guru, Navis menggali dalam-dalam khazanah nilai-nilai tradisi leluhurnya dengan semangat seorang peneliti modern yang lugas, namun penuh simpati tanpa harus terjatuh dalam sikap bangga-budaya yang berlebih-lebihan. Akhirnya sebagai sesepuh masyarakat tenaganya masih tetap dibutuhkan sebagai jembatan antara generasi muda dan generasi yang lebih tua yang terbukti dengan masih terpilihnya sebagai ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat.

*”popular” di sini jangan diartikan sebagai “popular” dalam pengertian “merakyat” dalam suatu masyarakat urban.

 

000